Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Obat yang masuk ke dalam tubuh mengalami reaksi modifikasi kimia atau
disebut sebagai biotransformasi, istilah lain dari metabolisme. Umumnya, proses ini
mengurangi atau menghilangkan aktivitas biologi obat dan meningkatkan
hidrofilisitasnya sehingga lebih larut air setelahnya, obat akan dieliminasi melalui
ginjal. Karena kecepatan eliminasi obat berkaitan dengan konsentrasi terapeutik, obat
biasanya didesain dengan ikatan lemah, contohnya ikatan ester yang mudah
dihidrolisis oleh esterase (Lullman et al, 2000).
Metabolisme obat memiliki dua efek penting (Neal, 2002) :
1.Obat dibuat menjadi lebih hidrofilik sehingga mempercepat laju ekskresinya
melalui ginjal. Maksudnya adalah metabolit yang hidrofil atau kurang lipofil
akan susah direabsorbsi oleh tubulus ginjal sehingga akan cenderung
dieliminasi dari tubuh.
2.Metabolit umumya menjadi kurang aktif dari keadaan semula. Akan tetapi,
ada pula obat yang dirancang sama aktifnya atau justru menjadi lebih aktif
dari obat awalnya. Sebagai contoh, diazepam dimetabolisme menjadi
nordiazepam dan oxazepam yang juga aktif. Contoh lain adalah golongan
prodrugs yang diberikan dalam keadaan inaktif dan baru aktif bila sudah
dimetabolisme di dalam tubuh, misalnya levodopa, obat antiparkinson.
Levodopa ini dimetabolisme menjadi dopamine.
Organ metabolisme utama adalah hati. Metabolisme obat meliputi dua tipe
reaksi, yaitu :
1. Reaksi Fase I
Pada reaksi fase I, terjadi proses biotransformai yang mengubah molekul obat
secara oksidasi, reduksi atau hidrolisis. Reaksi fase I biasanya mengubah obat asal
(parent drug) menjadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau
melaepaskan suatu gugus fungsional (-OH, -NH2, -SH). Metabolit ini sering bersifat
tidak aktif, walaupun pada beberapa keadaan aktifitas obat hanya berubah saja. Jika
metabolit reaksi fase I cukup polar, maka biasa dapat diekskresikan dengan mudah.
Namun, banyak produk reaksi fase I tidak di eliminasikan dengan cepat dan
mengalami suatu reaksi selanjutnya di amna suatu substrat endogen seperti asam
glukorat, asam sulfur, asam asetat atau suatu asam amino akan berkombinasi dengan
gugus fungsional yang baru untuk membentuk suatu konjugat yang sangat polar.
Reaksi konjugasi atau sintetik ini merupakan tanda dari reaksi fase II
(Mutschler,1991).
Berbagai macam obat mengalami reaksi biotransformasi berantai ini,
contohnya: gugusan hidrazid dari isoniazid dikenal membentuk suatu konjugat N-
asetil dalam suatu reaksi fase II. Konjugat ini merupakan substrat untuk reaksi fase I,
yang disebut hidrolisa menjadi asam isonikotrainat. Jadi, reaksi fase II sebenarnya
bisa juga mendahului reaksi fase (Katzung, 1998). Reaksi fase I pada dasarnya tidak
bertujuan untuk menyiapkan obat untuk di ekskresikan, tetapi bertujuan untuk
menyiapkan senyawa yang digunakan untuk metabolisme fase II. Sistem enzim yang
terlibat dalam reaksi oksidasi adalah sistem enzim mikrosomal yang disebut juga
sebagai Mixed Function Oxidases (MFO) atau sistem monooksigenase.
Komponen utama dari MFO adalah sitokrom P450, yaitu komponen oksidasi
terminal dari suatu sistem transfer elektron yang berada pada retikulum endoplasmik
yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi oksidasi obat dan digolongkan
sebagai enzim yang mengandung haem(suatu haemprotein) dengan protoperfirin IX
sebagai gugus protestik (Gordon dan Skett, 1986). Reaksi yang dikatalisis oleh MFO
meliputi hidroksilasi senyawa alifatis dan aromatis, epokdidasi, dealkilasi, deaminasi,
N-oksidasi dan S-oksidasi (Anief, 1990).
1) Reaksi Oksidasi
Reaksi oksidasi adalah salah satu mekanisme reaksi perubahan obat yang penting
dan berperan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Raksi oksidasi tersebut terjadi
pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-masing tipe
struktur kimianya yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril dan heterosiklik,
reaksi oksidasi alkohol dan aldehid, reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida,
reaksi desaminasi oksidatif, pembukaan inti dan sebagainya (Ahmad, 1993).
Reaksi oksidasi dibagi menjadi 3 jenis menurut enzim yang mengkatalisisnya:
a. Oksidasi dengan mikrosom sitokrom P450
Mikrosom adalah fragmen RE dalam bentuk bulat yang diperoleh apabila suatu
jaringan hati dihomogenisasi pada 10-100s. dalam sistem transferase oksigen terminal
enzim yang digunakan adalah sitokrom P450. yaitu, enzim yang mereduksi ligan
karbon monoksida yang mempunyai absorpsi spektrum maksimum pada 450nm. Di
bawah enzim ini, atom oksigen dari oksigen molekuler dipindahkan ke molekul obat
(DH—DOH). Sisa atom oksigen mengikat dua proton dan membentuk air.
b. Oksidasi dengan mikrosom non sitokrom P450
Oksidasi ini memberikan efek sebagai berikut:
1. Sulfoksidasi senyawa sulfur nukleofilik, contoh pada metimazol.
2. Hidroksilamin dari amin sekunder, contoh pada desimipramin, nortriptilen.
3. Amin oksida dari amin tersier pada guanethidin dan brompheniramin.
c. Oksidasi non mikrosom
Oksidasi yang terjadi oleh enzim non mikrosomal seperti dehidrogenase alkohol,
aldehid dan oksidase monoamin dan diamin (Anief, 1990).
2) Reaksi Reduksi
Kurang penting dibandingkan dengan reaksi oksidasi, reaksi ini terutama
berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada
karbon. Hanya beberapa obat yang mengalami metabolisme dengan reduksi baik pada
letak mikrosomal maupun non mikrosomal. Gugus nitro, azo dan karbonil merupakan
subyek reduksi yang menghasilkan gugus hidroksida amino lebih polar. Ada
beberapa enzim reduktase dalam hati yang tergantung pada NADH atau NADPH
yang mengkatalisiskan reaksi tersebut, NADPH adalah Nikotinamida dinukleotida.
Contoh yang paling terkenal adalah reduksi protonsil sebagai prodrug menjadi
Sulfanamid (Anief,1990).
3) Reaksi Hidrolisis
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah hidrolisis dari
ester dan amida oleh enzim esterase yang terletak baik mikrosomal dan non
mikrosomal akan menghidrolisasi obat yang mengandung gugus ester. Di hepar lebih
banyak terjadi dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis Peptidin oleh suatu enzim
Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan sebagai contoh
Prokain dimetabolisis oleh esterase plasma (Anief 1990).
2. Reaksi Fase II
Reaksi konjugasi sesungguhnya merupakan reaksi antara molekul eksogen atau
metabolit dengan substrat endogen, membentuk senyawa yang tidak atau kurang
toksik dan mudah larut dalam air, mudah terionisasi da selanjutnya sangat mudah
dikeluarkan (Ahmad, 1993).
Dalam metabolisme fase kedua, obat yang tak berubah, asli atau merupakan
metabolit polar mengalami konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asam
merkapturat atau asetat menjadi lebih polar dan diekskresikan lebih cepat. Jadi
metabolisme fase kedua merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya
dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi yang dilakukan oleh
enzim transferase memerlukan baik komponen endogen maupun eksogen.
Contohnya adalah Fenobarbital yang membutuhkan reaksi fase I sebagai persyaratan
reaksi konjugasi (Anief, 1990).
Reaksi fase II terdiri dari :
a. Konjugasi asam glukoronat
Konjugasi asam glukoronat merupakan cara konjugasi umum dalam proses
metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi ini karena sejumlah besar
gugus fungsional obat dapat berkombinasi secara enzimatik dengan asam glukoronat
dan tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah yang cukup pada tubuh
(Siswandono dan Soekardjo, 2000)
b. Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa
senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin, dan histaminserta untuk proses
bioinaktivasi obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah adalah S-
adenosil-metionin(SAM). Reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase yang
terdapat dalam sitoplasma dan mikrosom (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
c. Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer,
sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama asetilasi
adalah membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi (Siswandono dan
Soekardjo,2000). Tidak semua obat melalui 2 fase ini, ada juga yang hanya melalui
fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) ataupun melalui fase II saja (satu atau
beberapa macam reaksi). Tetapi memang kebanyakan obat di metabolisme melalui
beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit
(Syarif, 1995).
Telah disebutkan bahwa ada 2 jenis enzim yang berperan dalam proses
metabolisme, yaitu enzim mikrosomal dan non mikrosomal. Perbedaan tersebut
dikategorikan berdasarkan letaknya di dalam sel. Kedua enzim ini, terutama terdapat
di dalam sel hati tetapi dapat juga terletak di sel jaringan lain seperti, ginjal, paru-
paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim
non mikrosomal yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis
reaksi konjugasi glukuronid, sebagian besar reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan
hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya,
beberapa oksidasi serta reduksi dan hidrolisis (Syarif, 1995).
Fakor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat ( Neal, 2002 ) :
1. Induksi enzim
Beberapa obat, fenobarbital, karbamazepin, etanol, dan rifampicin serta polutan
menaikkan aktivitas enzim pemetabolisme obat.
2. Inhibisi enzim
Reaksi inhibisi enzim terjadi lebih cepat daripada induksi enzim karena terjadi
secara cepat setelah onsentrasi inhibitor ini mencapai titik tertentu yang sanggup
bersaing dengan obat dalam menduduki sisi aktif enzim pemetabolisme. Simetidin
menghambat metabolisme fenitoin, teofilin, dan warfarin. Eritromisin menghambat
sitokrom P450 sehingga meningkatkan aktivitas teofilin, warfarin, karbamazepin, dan
digoksin.
3. Polimorfisme genetic
Resppon terhadap obat berbeda pada tiap individu karena perbedaan genetik.
Contohnya adalah debrisoquine hydroxylation.
4. Usia
Enzim mikrosomal di hati dan fungsi ginjal belum sempurna pada saat lahir dan
akan berkembang secara cepat pada empat minggu pertama setelah dilahirkan. Di
masa tua, metabolisme obat oleh hati akan berkurang sehingga untuk manula, dosis
obat biasanya lebih rendah daripada untuk usia muda. Pemberian berulang dari suatu
obat akan meningkatkan sintesis enzim sitokrom P450, dikatakan sebagai
penginduksi enzim. Hasilnya adalah laju metabolisme obat menjadi tinggi dan
banyak yang akan tereliminasi. Sementara itu, ada pula senyawa yang dapat
menghambat sintesis sitokrom P450 ataupun menghambat aktivitas enzim
mikrosomal sehingga metabolisme obat menjadi lambat dan obat akan lebih banyak
terabsorbsi daripada tereliminasi ( Neal, 2002 ).
DAFTAR PUSTAKA
Neal, M.J. 2002. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit
Erlangga. pp. 85.
Syarif, A. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas lndonesia edisi-4.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234,
239, Airlangga University Press, Surabaya.
Anief, M., 1990. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik , cetakan ke-9, 168-171,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ahmad. C., J. E. Hall. 1993. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta:
EGC, 543-45; 1265-69.
Gordon dan Skett. 1986. The epidemiological approach to the etiology of cancer. In
Cancer pathophysiology, etiology and management. 4th ed. (Kruse L. C, J. L.
Reese, L. K. Hart, editors.). St Louis: The C.V. Mosby Co.; p. 45-6.
Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.
Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Petrus Adrianto.
Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai