Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PAI HUKUM ISLAM

TENTANG PERKAWINAN

Disusun oleh:
1. Bayu Alifian
2. Dwi Apriyani
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hukum Islam tentang
Perkawinan ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak Amin selaku Guru maple PAI yang telah memberibimbingan kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Hukum Islam tentang Perkawinan. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.

Wonosobo, Oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang.............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi dan Dasar hokum nikah.....................................................................................
B. Tujuan nikah...................................................................................................................
C. Hokum nikah..................................................................................................................
D. Rukun nikah....................................................................................................................
E. Hukmah pernikahan.......................................................................................................
F. Putusnya perkawinan.....................................................................................................
G. Perkawinan menurut undang-undang di Indonesia.......................................................

BAB III PENUTUP


Simpulan......................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah
kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-
Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada
yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”.
Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia
melakukan pernikahan.

Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat
adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di
bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak
dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Dasar Hukum Nikah.

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫) النكاح‬, adapula yang mengatakan perkawinan
menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7] Sedangkan menurut istilah
Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan
perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam
menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan adalah ;
‫عبارة عن العقد المشهور المشتمل على األركان والشروط‬
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan
syarat-syarat.[3][9]
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada
umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
‫عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما‬
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan
seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang
serupa dengan kedua kata tersebut.[4][10]

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)
B. Tujuan Nikah

Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya
semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah
karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

... ْ‫ع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءة َ فَ ْليَت َزَ َّوج‬ َ َ ‫ب َم ِن ا ْست‬


َ ‫طا‬ َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
ِ ‫شبَا‬
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka
hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ فَإِنِِّي ُم َكاثِ ٌر ِب ُك ُم ْال ُ َم َم‬،َ‫ت َزَ َّو ُج ْوا ْال َود ُْودَ ْال َولُ ْود‬
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti)
aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan
istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:

ٌ ِ‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم ذَ ِل َك أ َ ْز َكى لَ ُه ْم ِإ َّن هللاَ َخب‬


‫ير ِب َما‬ ُ َ‫ار ِه ْم َو َي ْحف‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُ ْل ِل ْل ُمؤْ ِم ِنينَ َيغُضُّوا ِم ْن أ َ ْب‬
‫ظنَ فُ ُرو َج ُه َّن‬ ْ َ‫ار ِه َّن َويَ ْحف‬ َ ‫ضضْنَ ِم ْن أ َ ْب‬
ِ ‫ص‬ ُ ‫ت يَ ْغ‬ ِ ‫ َوقُ ْل ِل ْل ُمؤْ ِمنَا‬. َ‫صنَعُون‬
ْ َ‫ي‬
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
C. Hukum Menikah

Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk
melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon
istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk
nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon istrinya.
5. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena
alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

D. Rukun Nikah
1. WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

ِ َ‫ب‬. ‫ فَنِ َك ُح َها بَا ِط ٌل‬،‫ت ِبغَي ِْر اذ ِِن َو ِل ْي َها‬


‫اط ٌل‬ ْ ‫ايُّ َما ْام َرأةِ نُ ِك َح‬
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal..
batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2. SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:

ْ َ‫الَ ِن َكا َح االَّ ِب َو ِلي َو شَا ِهد‬


‫ي َع ْد ِل‬
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan
Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-
hadits lain.”)
3. AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak
saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima
nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:

1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.


2. Adanya Ijab Qabul.
3. Adanya Mahar.
4. Adanya Wali.
5. Adanya Saksi-saksi.

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Kedua belah pihak sudah tamyiz.


2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi
dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa
ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing
pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah
pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum
aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul
Hajat.

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan
ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang bernama
Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama Fulaanah.”
Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4. MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar
juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang
selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan
jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi
yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun
Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar
adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)

E. Hikmah Pernikahan
1. Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.
2. Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3. Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4. Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan
kewajiban.
F. Putusnya perkawinan

Arti Perceraian

Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti
membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari

berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang
berarti perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan
arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang
dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan
sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak
dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan
karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti
yang khusus.

Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian
pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun
diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang
bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.

Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:

1. Talak
2. Khulu’
3. Syiqaq
4. Fasakh
5. Ta’lik talak
6. Ila’
7. Zhihar
8. Li’aan
9. Kematian
G. Perkawinan menurut undang-undang di Indonesian

1. Perkawinan dalam UU RI No. 1 Tahun 1974


Di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang
mulai diundangkan pada tanggal 2 januari 1974. Undang-undang tersebut dibuat dengan
mempertimbangkan bahwa falsafah Negara Republik Indonesia adalah Pancasila, maka
perlu dibuat undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara . Bagi
umat islam di Indonesia, undang-undang tersebut meskipun tidak sama persis dengan
hukum pernikahaan di dalam fikih islam, namun dalam pembuatannya telah di cermati
secara mendalam sehingga tidak bertentangan dengan hokum islam.

2. Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14
Bab dan terbagi dalam 67 pasal. Isi masing-masing bab itu secara garis besarnya sebagai
berikut :
a. Bab I Dasar Perkawinan
Berisi ketentuan mengenai :
1) Pengertian dan tujuan perkawinan ;
2) Sahnya perkawinan;
3) Pencatat perkawinan;
4) Asas monogami dalam perkawinan.

3. b. Bab II Syarat- syarat Perkawinan


Berisi ketentuan-ketentuan :
1) Persetujuan kedua mempelai;
2) Izin kedua orang tua;
3) Pengecualian persetujuan kedua calon mempelai dan izin kedua orang tua;
4) Batas umur perkawinan;
5) Larangan kawin;
6) Jangka waktu tunggu;
7) Tata cara pelaksanaan perkawinan.
4. c. Bab III Pencegahan Perkawinan
Berisi tentang :
1) Pencegahan perkawinan;
2) Penolakan perkawinan.

5. d. Bab IV Batalnya Perkawinan


Berisi ketentuan tentang dapat dibatalkannya suatu perkawinan, pihak yang dapat
mengajukan pembatalan dan ketentuan-ketentuan lain yang berkenan dengan perkawinan.
e. Bab V Perjanjian Perkawinan
Berisi ketentuan tentang dapat diadakannya perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum
perkawinan oleh kedua belah pihak , atas persetujuan bersama, dan mengenai
pengesahan, mulai berlakunya , serta kemungkinan perubahan perjanjian tersebut.
f. Bab VI Hak dan Kewajiban Suami Istri
Berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban suami istri, baik sendiri-sendiri atau bersama-
sam.
g. Bab VII Harta Benda dalam Perkawinan
Berisi ketentuan tentang harta benda bawaan masing-masing.
h. Bab VIII Putusnya Perkawinan dan Akibatnya
Berisi ketentuan putusnya perkawinan dan sebab-sebabnya.
i. Bab IX Kedudukan Anak
Berisi ketentuan tentang kedudukan anak yang sah dan anak yang dilahirkan di luar
pernikahan.
j. Bab X Hak dan Kewajiban Antara Orangtua dan Anak
Berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban orang tua serta hak dan kewajiban anak .
k. Bab XI Perwalian
Berisi ketentuan mengenai perwalian bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan
tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
l. Bab XII Ketwntuan-ketentuan Lain,
m. Bab XIII Ketentuan peralihan,
n. Bab XVI Ketentuan Penutup.
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal
yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal),
pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada
kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini boleh-boleh saja
dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk melarang apalagi mentidaksahkan
pernikahan ini.[16][16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,
kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur
secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-
pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
 Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa
tahun. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
 Djalil, Abdul. 2000. Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta
 Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
 Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
 Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan
Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai
Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
 Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta:
Lentera Hati
 Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
 Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at,
8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
 MUI online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
 Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
 Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id

Anda mungkin juga menyukai