Anda di halaman 1dari 24

Sumber: JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol 08/No.

01/Maret/2015 DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM PADA PENYAKIT MENULAR: SEBUAH KAJIAN LITERATUR
Sulistyawati1

PENDAHULUAN

Perubahan iklim adalah suatu keadaan di mana iklim berubah secara drastis dalam jangka
waktu yang lama dan dalam luasan yang besar. Perubahan tersebut dapat diukur secara statistik
(baik rata-rata maupun variasinya). Perubahan iklim ini dapat diakibatkan oleh kondisi alami
maupun karena aktivitas manusia[1]. Perubahan iklim meliputi perubahan dalam hal
temperatur, curah hujan, cuaca ekstrim yang disebabkan oleh gas rumah kaca [2]. Beberapa
tanda iklim mengalami perubahan antara lain: naiknya suhu bumi, naiknya permukaan air laut
dan adanya cuaca ekstrem serta beberapa bencana iklim yang lain seperti banjir hebat dan
kekeringan berkepanjangan [3].

Perubahan iklim yang memiliki konsekuensi berupa cuaca panas, buruknya kualitas udara,
topan atau badai, cuaca ekstrim banjir, kebakaran hutan, kekeringan, peningkatan temperatur,
meningkatnya kandungan karbondioksida akan membawa dampak dalam bidang kesehatan
seperti meningkatnya kejadian stroke, asma, kesehatan mental, kekurangan gizi serta kematian
karena vektor penyakit. Beberapa dampak tadi akan berbahaya kepada populasi rentan seperti
anak-anak dan populasi miskin [4].

Di bidang kesehatan, bidang penyakit menular memerlukan perhatian karena perubahan iklim
akan memberikan dampak meningkatnya kasus penyakit menular terutama penyakit yang
sensitif terhadap iklim[5]. Beberapa hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana
pengaruh variasi iklim berpengaruh terhadap penyakit menular? Apakah ada bukti ilmiah yang
memperlihatkan kejadian penyakit menular berhubungan dengan perubahan iklim dan apa
yang harus kita lakukan?

Artikel ini dihasilkan dengan melakukan studi pustaka dengan menggunakan kata kunci
tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui state of the art dampak perubahan
iklim dalam bidang kesehatan melalui berbagai penelitian yang telah dipublikasikan baik jurnal
maupun laporan.

Bagaimana pengaruh variasi iklim berpengaruh terhadap penyakit menular?

Iklim dan variabelnya yaitu suhu, curah hujan dan kelembaban merupakan bagian penting
dalam penularan penyakit berbasis vektor. Penyakit menular terutama yang sensitif terhadap
iklim akan sangat terpengaruh ketika perubahan iklim terjadi. Perubahan iklim akan membuat
suhu meningkat, curah hujan meningkat dan begitu juga kelembaban. Iklim mempengaruhi
pola penyakit infeksi dalam hal virus, bakteri atau parasite dan vektornya.

Suhu
Suhu berpengaruh terhadap kematangan dan replikasi organisme termasuk vektor [6].
Peningkatan suhu juga mempercepat masa inkubasi sehingga memperluas penularan[5].
Seperti vektor DBD berkembangnya mulai dari telur, larva dan pupa sangat tergantung pada
suhu sekitar[7].

Curah hujan

Beberapa pengaruh lain variabel iklim antara lain, adanya pengaruh curah hujan terhadap
penyakit yang bersumber reservoir seperti Malaria dan Deman Berdarah Dengue (DBD),
adanya curah hujan akan meningkatkan tempat berkembang biak nyamuk. Curah hujan
berpengaruh langsung terhadap tempat perindukan nyamuk A. aegypti[5]. Curah hujan dengan
intensitas tinggi dan lama akan menghilangkan tempat berkembang biak A. aegypti, sedangkan
curah hujan dengan intensitas rendah dalam waktu yang lama akan menambah jumlah tempat
berkembang biak A. aegypti. Selain itu curah hujan mempengaruhi siklus hidup nyamuk[5].
Curah hujan mempengaruhi penularan penyakit[8].

Kelembaban udara

Kelembaban udara mempengaruhi masa hidup nyamuk[9], hal ini sesuai dengan pernyataan
Depkes RI 2007 bahwa kelembaban yang tinggi akan membuat nyamuk aktif dan lebih sering
melakukan gigitan[10]. Selain itu vektor nyamuk bersifat sensitif terhadap kelembaban[8].
Hasil penelitian Suwito, Hadi, Sigit, & Sukowati (2010) menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara kelembaban dan kepadatan nyamuk Anopheles.

Bukti ilmiah kejadian penyakit menular berhubungan dengan perubahan iklim

Berbagai penelitian sudah dilakukan oleh ahli yang disajikan dalam bentuk paper maupun
laporan. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara suhu, curah hujan,
lama penyinaran, kelembaban,dan kecepatan angin dengan kejadian DBD selama tahun 2007-
2008[7]. Hal ini dimungkinkan karena set data yang terlalu pendek atau singkat, mengingat
perubahan iklim akan dapat dilihat dalam waktu yang relatif lama. Selain itu kewaspadaan
masyarakat

terhadap DBD membuat kasus di daerah penelitian menurun. Fakta lain diurai oleh peneliti
Bangladesh yang menyebutkan bahwa kasus measles berhubungan dengan suhu rata-rata
tahunan maksimum di Bangladesh[12]. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa banyak
wabah penyakit menular yang diakibatkan berubahnya iklim seperti suhu, curah hujan dan
kelembaban, termasuk hasil studi di Anhui Province di mana HFM, malaria, influenza, demam
tipoid, meningitis dan schistosomiasis terpengaruh oleh suhu, sedangkan perubahan
kelembaban absolut berpengaruh terhadap disentri, demam berdarah, hepatitis A, hemorrhagic
fever, typhoid fever, malaria, meningitis, influenza and schistosomiasis[13].

Apa yang harus kita lakukan ?


Perubahan iklim sudah terjadi dan menjadi isu global dan dampaknya sudah mulai dirasakan
oleh manusia termasuk di sektor kesehatan. Terdapat dua hal yang harus dilakukan untuk
menghadapi perubahan iklim yaitu adaptasi dan mitigasi, namun demikian sebelum dua hal ini
dilakukan perlu dilakukan penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim di sektor kesehatan.
Sehingga rumusan baik adaptasi maupun mitigasi yang dilakukan adalah sesuai dengan
keadaan sebenarnya serta tepat sasaran.

KESIMPULAN

Berbagai bukti sudah cukup jelas bahwa perubahan iklim membawa dampak yang negatif pada
sektor kesehatan terutama pada penyakit menular. Peningkatan suhu, curah hujan dan
kelambaban diyakini akan meningkatkan kasus penyakit menular seperti DBD, malaria dan
measles. Sektor kesehatan perlu melakukan assessment kerentanan terhadap perubahan iklim
untuk menentukan kebijakan adaptasi dan mitigasi.

Sumber: Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kejadian Demam berdarah di Jawa Barat Ardini
S Raksanagara1, Nita Arisanti2, Fedri Rinawan JSK, Volume 1 Nomor. 1 Tahun 2015

Pendahuluan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-pengaruh
luar yang memengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia. Lingkungan sekitar kehidupan
manusia terbagi menjadi 3 kategori, yaitu lingkungan fisik, lingkungan biologis dan
lingkungan sosial. Adapun yang dimaksud lingkungan biologis adalah segala bentuk
kehidupan yang berada di sekitar manusia seperti 1) binatang (fauna); 2) tumbuh-tumbuhan
(flora); 3) mikroorganisme.1,2

Pada saat ini secara global dunia mengalami masalah perubahan iklim. Adapun dampak
perubahan iklim ini sangat kompleks mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Dampak
perubahan iklim yang sangat dirasakan adalah terjadinya peningkatan suhu, peningkatan curah
hujan dan terjadinya perubahan iklim ekstrim. 3 Perubahan iklim ini akan berpengaruh
terhadap kesehatan manusia baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Perubahan
iklim secara langsung akan merugikan kesehatan manusia terutama yang berhubungan dengan
kejadian penyakit, terutama penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti demam berdarah.
Efek perubahan iklim yang tidak langsung terhadap kesehatan manusia adalah melalui penyakit
yang ditularkan serangga dan hewan pengerat-menular (misalnya, malaria, demam berdarah,
virus demam west nile, penyakit lyme dan hantavirus pulmonary syndrome); meningkat asap
dan polusi udara; penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan yang berhubungan dengan
penyakit (misalnya, giardiasis , infeksi e. coli, dan keracunan kerang); radiasi ultra violet kuat
yang dapat menyebabkan kanker kulit dan katarak.5
dikatakan bahwa pemanasan global berperan terhadap penyakit tular vektor. 5 Dari uraian
diatas maka penelitian ini berujuan untuk mengetahui gambaran keterkaitan perubahan iklim
khususnya perubahan curah hujan dengan terjadinya demam berdarah di Jawa Barat pada
tahun.

Metode

Desain penelitian ini adalah deskriptif, dengan mengumpulkan data sekunder mengenai
perubahan curah hujan dan kejadian penyakit demam berdarah di Indonesia. Data curah hujan
didapatkan dari BMKG sedangkan data kejadian demam berdarah didapatkan dari Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Data curah hujan dan kejadian demam berdarah
dipresentasikan dalam bentuk tabel yang digambarkan perubahan setiap bulannya selama 5
tahun yaitu 2004 sampai 2008. Variabel tergantung adalah terjadinya kejadian demam
berdarah, dan yang menjadi variabel bebasnya adalah perubahan iklim yang digambarkan oleh
curah hujan. Dampak curah hujan terhadap kejadian demam berdarah dianalisis menggunakan
linear regresi model.

Hasil

Demam berdarah merupakan penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk. Perkembangan
vektor penyakit dapat dipengaruhi terjadinya perubahan iklim melalui berbagai cara 1) unsur
cuaca memengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan dan populasi nyamuk tersebut;
2) curah hujan dengan penyinaran yang relatif panjang turut memengaruhi habitat perindukan
nyamuk.

Berdasarkan penelitian ini didapatkan data perubahan iklim yaitu curah hujan serta kejadian
demam berdarah selama 5 tahun (2004 – 2008) di Jawa Barat. Dari data yang didapatkan
kemudian diolah dengan bantuan komputer untuk menggambarkan pola curah hujan dan
kejadian demam berdarah.

Berdasarkan data WHO pada tahun 2003, dilaporkan bahwa terjadinya perubahan iklim
berperan dalam terjadinya penyakit diare sebesar 2,4% dan penyakit malaria sebesar 2%. Pada
tahun 2000, WHO menduga bahwa sekitar 150.000 kematian disebabkan oleh perubahan iklim.
3,5

Dari gambar tersebut dapat dilihat kecenderungan kenaikan curah hujan yang disertai dengan
kenaikan kejadian demam berdarah. Walaupun demikian, terdapat perbedaan waktu (time lag)
antara peningkatan curah hujan dan peningkatan kasus. Untuk mengetahui pengaruh curah
hujan terhadap kejadian demam berdarah, analisis yang digunakan adalah linear regresi
logistic dan didapatkan persamaannya pada setaiap tahun seperti pada tabel 1.

Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang sensitif terhadap perubahan cuaca.
Diperkirakan penyakit ini akan menonjol pada tahun 2080, sekitar 6 miliar orang akan berisiko
tertular demam berdarah sebagai konsekuensi dari perubahan iklim, dibandingkan dengan 3-5
miliar orang jika iklim tetap tidak berubah.

Pembahasan

nyamuk penyebar penyakit. Selain itu, tempat perindukan nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh
ketinggian tempat (altitude), kemiringan lereng (slope) dan penggunaan lahan (Land Use),
sedangkan unsur cuaca memengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan dan populasi
nyamuk tersebut. Curah hujan dengan penyinaran yang relatif panjang turut memengaruhi
habitat perindukan nyamuk.7

Terjadinya suatu penyakit menurut Henrik L Blum adalah sebagai akibat interaksi antara
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan, sedangkan berdasarkan teori
segitiga epidemiologi terjadinya suatu penyakit karena terdapatnya interaksi antara
pejamu/host, agen penyakit dan lingkungan. 2

Penelitian tentang perubahan iklim dan penyebaran virus dengue menemukan bahwa rata- rata
suhu dan curah hujan mempunyai pengaruh yang bermakna dengan kejadian demam berdarah.
8

Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap patogenesis berbagai penyakit yang berbeda dan dengan
cara berbeda satu sama lain pula. Salah satu pengaruh perubahan iklim adalah terhadap potensi
peningkatan kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti Malaria,
Radang Otak akibat West Nile Virus, Filariasis, Japanese Encephalitis, dan Demam Berdarah.
Perubahan suhu, kelembaban dan kecepatan angin dapat meningkatkan populasi,
memperpanjang umur dan memperluas penyebaran vektor sehingga berdampak terhadap
peningkatan kasus penyakit menular seperti: malaria, dengue fever, schistosomiasis, filariasis
dan pes.6

Hasil penelitian ini memperkuat penelitian sebelumya yang menunjukkan bahwa curah hujan
merupakan salah satu prediktor utama penularan demam berdarah. Karena curah hujan yang
tinggi akan meningkatkan kelembaban relatif sehingga memperpanjang umur nyamuk dewasa.
Peningkatan curah hujan dapat meningkatkan habitat dan populasi larva dan juga menciptakan
habitat baru untuk nyamuk dewasa. 10-11 Tingginya kejadian penyakit Demam berdarah di
Jawa Barat dan tingginya curah hujan disebabkan oleh faktor geografis Jawa Barat yang relatif
lebih tinggi dibandingkan propinsi lainnya di pulau Jawa.

Pada kejadian demam berdarah, meningkatnya penyebaran penyakit dapat disebabkan oleh
meningkatnya jumlah vektor sebagai perantara penyebaran penyakit. Curah hujan yang tinggi
menimbulkan genangan-genangan air yang merupakantempatperindukanyangnyamanbagi

Keterbatasan penelitian yang ditemukan adalah beberapa data tidak lengkap untuk kepentingan
analisis. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim, yaitu terjadinya
perubahan curah hujan berdampak pada kenaikan kejadian demam beradarah. Oleh karena itu,
untuk melindungi masyarakat dari dampak perubahan iklim terhadap kejadian demam berdarah
ini, diperlukan berbagai upaya seperti upaya mitigasi (minimalisasi penyebab dan dampak) dan
adaptasi (menanggulangi risiko kesehatan). Early warning system terhadap kejadian luar biasa
DBD harus dilaksanakan di setiap daerah dengan memperhatikan kecenderungan perubahan
faktor iklim. Selain itu diperlukan perbaikan lingkungan yang harus disertai dengan perubahan
faktor lain seperti perilaku dan pelayanan kesehatan.

Sumber: PERUBAHAN IKLIM GLOBAL, KESEHATAN MANUSIA DAN


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Global Climate Change, Human Health and
Sustainable Development Soedjajadi Keman JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN,
VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 195 - 204

PERUBAHAN IKLIM DAN VARIABILITAS IKLIM

Perlu dibedakan istilah perubahan iklim dengan variabilitas iklim. Perubahan iklim
didefinisikan sebagai perubahan signifikan dari iklim maupun variabilitas iklim yang menetap
dalam jangka waktu yang lama (satu dekade) atau seterusnya (IPCC, 2001). Perubahan iklim
dapat disebabkan oleh proses perubahan alamiah internal (misalnya badai El Nino) maupun
eksternal (seperti perubahan persisten yang diinduksi oleh aktivitas manusia, berupa perubahan
komposisi udara dan perubahan peruntukan tanah).

Para ilmuwan membuat model perubahan iklim menggunakan observasi perubahan dimasa
lampau terhadap temperatur udara, presipitasi, ketebalan seliput salju dan es, ketinggian
permukaan air laut, sirkulasi arus air laut dan udara, dan kejadian ekstrim lainnya. Hal ini
adalah data bersejarah yang diukur secara langsung maupun dari data sekunder. Hasil observasi
ini selanjutnya dapat digunakan dengan kombinasi model matematika untuk menstimulus apa
yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang pada vegetasi alamiah, iklim global, iklim
regional, dan kejadian berdampak besar yang terjadi sesaat.

Laporan terakhir The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa
pengetahuan ilmiah saat ini tentang bagaimana iklim akan berubah memberikan gambaran
emisi gas rumah kaca dimasa mendatang. Laporan tersebut juga mengestimasi perubahan
temperatur global antara 1,4oC dan 5,8oC pada akhir tahun 2100. Pembuat kebijaksanaan
internasional bertujuan menjaga peningkatan temperatur global pada kisaran dibawah 2oC.
Penemuan IPCC selanjutnya menyarankan bahwa efek pemanasan global akan menyebabkan
peningkatan permukaan air laut, dan peningkatan dalam kejadian cuaca ekstrim, seperi
ringkasan sebagai berikut (IPCC, 2001-a).

a. Temperatur permukaan bumi diproyeksikan meningkat antara


1,4oC sampai 5,8oC sebagai kisaran rata-rata global dari tahun

1990pai tahun 2010;

b. Pemanasan (ekspansi thermal) dari lautan, bersamaan dengan

pelelehan gletser dan es di daratan, akan menyebabkan peningkatan permukaan air laut
seluruh dunia, yang berarti permukaan air laut diproyeksikan naik 0,09 sampai 0,88
meter antara tahun 1990 sampai tahun 2010, hal ini akan berlangsung terus bahkan
setelah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi stabil;

c. Kejadian cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan, dan banjir diprediksi akan
terus meningkat, demikian juga temperatur minimal yang lebih tinggi dan semakin sedikit hari-
hari yang dingin;

d. Gletser dan puncak es yang meleleh diproyeksikan akan terus semakin meluas selama abad
XXI, dengan ancaman gletser tropis dan subtropis dan beberapa kasus akan menghilang.

Sumber Gas Rumah Kaca


Atmosfer bumi menerima radiasi elektromagnetik, termasuk cahaya matahari yang kasat mata
ke permukaan, beberapa diantara sinar ini adalah gelombang pendek berenergi ringan
diabsorbsi dan kembali dipantulkan sebagai panas dengan gelombang panjang. Panas yang
tertahan di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca yang alamiah. Apabila tidak ada panas
yang terperangkap di atmosfer, permukaan bumi akan terlalu dingin untuk mendukung
kehidupan di bumi dan semua air di bumi akan membeku. Atmosfer telah berubah secara
perlahan selama empat juta tahun yang lalu.

Telah terdapat siklus alamiah panas dan dingin berhubungan dengan fluktuasi tingkat gas
karbon dioksida dan methan di atmosfer selama paling tidak sejak 160.000 tahun yang lalu.
Pada waktu revolusi industri 200 tahun yang lalu, lebih banyak gas rumah kaca dimasukkan ke
dalam atmosfer sebagai hasil aktivitas manusia, hal ini akan semakin meningkat pada tahun
1950an dan setelah itu terus meningkat. Beberapa gas rumah kaca yang diantaranya terbentuk
karena aktivitas manusia adalah karbon dioksida (CO2), methan (CH4), nitogen oksida (N2O)
dan klorofluorokarbon (CFCs). Meskipun peningkatan temperatur selama 100 tahun terakhir
sebagai hal yang tidak dapat dipertanyakan sebagai akibat aktivitas manusia, peningkatan yang
luar biasa dari potensial pemanasan oleh gas rumah kaca akan berdampak pada perubahan
ekologis.

Distribusi Global Perubahan Iklim


Efek perubahan iklim akan tidak sama di semua tempat, misalnya tidak semua populasi
penduduk mengalami risiko banjir di daerah pantai. Banjir karena serangan badai telah
mengancam 50 juta penduduk setiap tahun. Apabila permukaan air laut naik setinggi setengah
meter, maka angka ini dapat meningkat dua kalinya. Hasil penelitian para ahli menunjukkan
bahwa gletser di Greenland telah mencair dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan
dengan tahun- tahun sebelumnya. Hal ini akan membahayakan bagi masyarakat yang tinggal
di daerah pantai yang rendah. Sebagai contoh jika permukaan air laut naik setinggi 1 meter, hal
ini berdampak 1% tanah di Mesir; 6% tanah di Nederland; dan 17,5% tanah di Bangladesh
akan tertutup air, serta hanya 20% tanah di Pulau Marshall yang terletak di atas permukaan air.
Efek lain terhadap kesehatan manusia tidak didistribusikan secara merata. Efek pemanasan
global terhadap lingkungan dan kesehatan tidak hanya karena distribusi yang tidak merata,
melainkan juga tergantung dari kemampuan masing-masing negara yang terkena dampak
untuk menangani perubahan tersebut.

Efek Terhadap Kesehatan Manusia


Walaupun efek perubahan iklim dan konsekuensi pemanasan global tidak dimengerti secara
pasti, beberapa efek langsung terhadap pajanan peningkatan temperatur dapat diukur, seperti
peningkatan kejadian penyakit yang berhubungan dengan kenaikan temperatur, peningkatan
angka kematian karena gelombang udara panas seperti yang terjadi di Perancis tahun 2003.
Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan peningkatan kejadian bencana alam,
seperti badai, angin siklon puting beliung, kekeringan, dan kebakaran hutan, yang berdampak
terhadap kesehatan fisik dan mental masyarakat yang terserang.

Pola iklim yang terganggu juga menyebabkan efek tidak langsung terhadap kesehatan manusia.
Efek terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan
kejadian penyakit perut karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit
malaria, demam berdarah dengue, chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui
rodent seperti leptospirosis. Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius pada daerah
di dunia dengan penduduk miskin.

Terdapat sejumlah penyakit yang diprediksi prevalensinya akan meningkat sebagai akibat
perubahan iklim. WHO (2004) telah mengidentifikasi beberapa penyakit yang sangat besar
kemungkinan karena perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya wabah. Telah
direkomendasikan memasang sistem peringatan dini untuk memonitor perubahan distribusi
penyakit.

Beberapa penyakit yang bukan wabah juga berhubungan dengan perubahan iklim. Penggunaan
teknologi dan pengindraan jarak jauh atau Geographical Information System (GIS) telah
memungkinkan peningkatan pemetaan risiko beberapa penyakit, misalnya penyakit cacing
perut. Terdapat sedikit variasi musim terhadap kejadian penyakit infeksi cacing, tetapi terdapat
beberapa bukti bahwa kelembaban tanah adalah sangat penting (WHO, 2004) dan sangat
dipengaruhi oleh perubahan iklim dan presipitasi air hujan. Pemetaan risiko secara geografis
(geographical risk mapping) kecacingan seperti schistizomiasis dan filariasis telah ditangani
dengan penggunaan data temperatur, presipitasi dan vegetasi.
Penyakit diare merupakan penyebab signifikan kesakitan dan kematian secara global. Dua juta
anak-anak meninggal setiap tahunnya di negara dengan penduduk berpenghasilan menengah
ke bawah walaupun sudah ada peningkatan penggunaan oralit untuk terapinya. Kesakitan dan
kematian tersebut berhubungan dengan pemakaian air yang tidak memenuhi syarat kesehatan
serta higiene dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai. Walaupun demikian, diare juga
masih menjadi masalah di negara dengan penduduk berpenghasilan menengah ke atas, karena
diare tidak hanya berhubungan dengan higiene dan sanitasi lingkungan, tetapi juga
berhubungan dengan praktek higiene dan keamanan pangan.

Terdapat variasi musiman dalam penyakit diare, dimana pada peningkatan temperatur
berhubungan dengan peningkatan jumlah penderita diare yang masuk rumah sakit di semua
bagian belahan bumi ini. Studi yang dilakukan di Peru menunjukkan bahwa penderita diare
yang masuk rumah sakit meningkat sebanyak 4% untuk setiap peningkatan temperatur 1oC di
musim kemarau, dan meningkat 12% untuk setiap peningkatan temperatur 1oC di musim
penghujan. Di Fiji studi pada hal yang sama menunjukkan adanya peningkatan kasus bulanan
3% untuk setiap peningkatan temperatur per 1oC (Singh et al., 2001).

Perubahan iklim diprediksi berdampak terhadap penyakit diare seperti kolera, karena
perubahan curah hujan menyebabkan banjir di musim penghujan yang berakibat epidemi dan
sebaliknya terjadi kekeringan di musim kemarau. Perubahan ini juga berdampak terhadap
penyediaan air bersih dan sanitasi yang adekuat, serta juga tersedianya makanan yang higienis
dan kemampuan menerapkan praktek higiene yang baik pada tempatnya.

Di negara maju dilaporkan adanya kasus keracunan makanan di bulan-bulan musim panas.
Salmonella adalah penyebab kedua terbanyak pada kasus keracunan makanan di England dan
Wales dengan jumlah 30.000-40.000 kasus yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium per tahun, yang dengan demikian masih banyak kasus yang tidak terekam.
Bakteria Salmonella tumbuh pada makanan pada temperatur ambien dan menunjukkan
hubungan linier sampai temperatur di atas 7-8oC. Penyimpanan makanan yang sempurna
meliputi pendinginan yang adekuat akan memperlambat dan bahkan menghentikan
pertumbuhan bakteri. Penyakit juga menyebar dari satu orang ke orang lain dikarenakan
praktek perilaku higiene yang tidak baik. Wabah Salmonella sering berhubungan dengan
dengan praktek penanganan makanan yang kurang higienis dan kegagalan di industri makanan.
Terdapat bukti yang kurang kuat untuk menghubungkan perubahan iklim dengan peningkatan
penyakit diare yang disebabkan oleh Salmonella atau bakteri lainnya seperti Campylobacter,
kecuali semakin tinggi temperatur pada musim panas akan semakin meningkat kemungkinan
perilaku yang berisiko seperti piknik, sebagai penyebaran penyakit karena berhubungan
praktek penjamahan makanan yang kurang higienis.

Pemanasan global yang terjadi menyebabkan perubahan iklim dan cuaca di seluruh dunia.
Sebagian belahan dunia menjadi lebih kering, dan sebagian lagi menjadi lebih basah. Sebagian
dunia ada yang menjadi lebih panas dan sebagian lagi menjadi lebih dingin. Semua itu
mempengaruhi spesies yang hidup didalamnya, khususnya nyamuk yang sangat peka terhadap
perubahan cuaca yang terjadi secara cepat. Perubahan iklim secara tidak langsung
mempengaruhi distribusi, populasi, serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan diri (Patz,
2006). Nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) hanya
berkembang biak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari 16oC dan pada ketinggian
kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Namun sekarang nyamuk tersebut telah
banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1.000–2.195 meter di atas permukaaan air
laut. Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok untuk berbiaknya nyamuk
Aedes, dimana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28 oC. Karena itu mudah
difahami bahwa perubahan iklim karena pemanasan global memperluas ruang gerak nyamuk
Aedes sehingga persebaran daerahnya menjadi lebih luas. Perluasan persebaran daerah ini akan
meningkatkan risiko terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang sebelumnya belum
pernah terjangkit. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan curah
hujan yang berdampak pada meningkatnya habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan
kepadatan populasi nyamuk. Peningkatan kelembapan juga meningkatkan agresivitas dan
kemampuan nyamuk menghisap darah dan berkembang biak lebih cepat.

Penelitian laboratoris menyebutkan bahwa tingkat replikasi virus Dengue berhubungan dengan
kenaikan temperatur. Dalam penelitian ini ditunjukkan dengan model pengaruh perubahan
temperatur secara relatif akan memberikan kesempatan pada virus untuk memasuki populasi
manusia yang rentan terhadap risiko terjangkit. Kenaikan suhu memperpendek masa inkubasi
virus dalam tubuh vektor (Patz, 2006).

Nyamuk Anopheles betina sebagai vektor penyakit malaria menyebarkan parasit plasmodium
dari satu orang ke orang lainnya menyebabkan demam akut yang dapat berulang. Terdapat 1,1
juta kematian karena malaria setiap tahun terutama pada anak-anak. Malaria juga bertanggung
jawab terhadap 40 juta kecacatan (disability adjusted life years atau DALYs) setiap tahunnya.
Telah terdapat munculnya kembali malaria di sejumlah area karena resistensi terhadap obat
dan insektisida.
Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit malaria dengan cara: (1)
peningkatan distribusi penyakit malaria, dimana saat ini epidemi malaria dibatasi oleh
temperatur, sekarang mungkin terjadi di area yang baru; (2) atau sebaliknya menurunkan
distribusi karena daerah ini menjadi terlalu kering untuk nyamuk untuk secara cukup
jumlahnya menularkan penyakit; (3) peningkatan atau penurunan bulan-bulan penularan; (4)
mening- katkan risiko wabah lokal di daerah dimana penyakit malaria diberantas tetapi vektor
masih terdapat, seperti di Inggris atau Amerika Serikat.

PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Konsekuensi perubahan iklim adalah tantangan signifikan terhadap lingkungan, ekonomi


global dan kesehatan manusia, dengan perubahan yang mempengaruhi generasi mendatang.
Pembangunan berkelanjutan sangat krusial dalam kerangka mitigasi yang sukses terhadap
perubahan iklim. Tidak hanya generasi mendatang saja yang berada dalam ancaman bahaya,
beberapa masyarakat di wilayah tertentu telah mengalami dampak perubahan iklim seperti
pulau-pulau kecil dan beberapa negara sedang berkembang.

Tindakan nyata dalam rangka mitigasi dampak perubahan iklim membutuhkan (1) fokus pada
keadilan dan kesinambungan pembangunan dengan bekerja pada berbagai tingkatan; (2)
bekerja sama secara konstruktif pada tingkat internasional; dan (3) kebijakan nasional yang
kuat dan juga secara individual (Landon, 2006).
Perubahan iklim tidak berdampak secara merata terhadap lingkungan dan berbagai penduduk
di dunia. Amerika Serikat yang memproduksi 28% gas rumah kaca hanya mempunyai
penduduk sebanyak 5% dari penduduk dunia. Kemampuan suatu negara atau wilayah untuk
menangani perubahan iklim bergantung pada tingkat kekayaan, teknologi dan infrastukturnya.
Negara dengan tingkat pendapatan menengah kebawah, tidak memiliki industri, transportasi,
atau sistem pertanian yang intensif memiliki kemampuan terbatas untuk melindungi diri sendiri
terhadap konsekuensi yang merusak dari perubahan iklim. Misalnya seperti kenaikan
permukaan air laut akan mengancam Bangladesh dan pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik.
Sehubungan dengan hal itu, perubahan iklim merupakan tantangan untuk keadilan lingkungan
dan kesehatan. Pemilihan untuk tidak menggunakan teknologi sering menjadi lebih mahal,
teknologi dengan energi efisien menurunkan ketidakkeseimbangan dalam jangka waktu
pendek, tetapi akan meningkatkan masalah pemanasan global (Pats and Kovats, 2002).

Pembangunan yang berkelanjutan adalah faktor kunci dalam mitigasi perubahan iklim (Lihat
Skema 2). Agar mitigasi berhasil dalam jangka waktu yang panjang, maka kebijakan dan
langkah nyata akan membutuhkan kerjasama dengan inisiatif perlindungan terhadap
lingkungan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan keadilan sosial (IPCC,
2001-b).

KESIMPULAN DAN SARAN

Telah diuraikan pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan manusia secara garis
besar. Kemungkinan besar perubahan iklim global ini disebabkan oleh aktivitas manusia,
seperti aktivitas industri, transportasi dan intensifikasi pertanian. Terdapat konsekuensi
dampak kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Perlu kerjasama di tingkat
negara ataupun individu untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan secara adil,
misalnya adanya Protokol Kyoto yang merupakan salah satu usaha tingkat internasional untuk
menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai penyebab terjadinya pemanasan global dan
perubahan iklim.

Sumber: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL TERHADAP KESEHATAN


MASYARAKAT DI INDONESIA (Impact of Global Climate Change on Public Health in
Indonesia) Khoiron Jurnal IKESMA Volume 5 Nomor 2 September 2009

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Perubahan Lingkungan

Perubahan iklim global memiliki potensi dampak terhadap perubahan lingkungan. Perubahan
lingkungan yang terjadi pada umumnya merugikan kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya. Perubahan lingkungan tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam
seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, badai, dan sebagainya. Baru-baru ini wilayah
Amerika Serikat sering dilanda badai yang dahsyat dengan memakan korban jiwa, harta dan
tatanan sosial budaya (Patz, 2005).

Perubahan iklim global juga mengakibatkan terjadinya pergantian musim hujan dan musim
kemarau yang tidak menentu sehingga menyebabkan hasil pertanian tidak optimal. Pada saat
yang sama di berbagai wilayah mengalami kekeringan yang panjang, sementara di daerah yang
lain mengalami curah hujan yang sangat tinggi sehingga menimbulkan banjir dan tanah longsor
(Cline, 2007).

Perubahan iklim dan pemanasan global telah menyebabkan permukaan air laut menjadi
semakin tinggi. Beberapa daerah pantai di Indonesia sudah terkena dampak tersebut. Kota
Jakarta khususnya daerah muara baru dan Kota Semarang sering dilanda banjir akibat air laut
pasang. Peningkatan permukaan air laut meningkatkan resiko terjadinya banjir di wilayah
pesisir yang mengakibatkan pemindahan penduduk, penduduk kehilangan mata pencaharian,
akhirnya meningkatkan tekanan psikososial masyarakat yang terkena dampaknya (WHO,
2008). Ketika musim hujan tiba, bencana banjir, tanah longsor terjadi dimana-mana. Sementara
pada masa kemarau terjadi kekeringan. Negara sangat dirugikan akibat adanya bencana alam,
infrastruktur rusak, perekonomian rakyat berhenti tingkat kesehatan dan kesejahteraan juga
menurun.

Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Kesehatan Masyarakat

Perubahan iklim global yang diringi dengan peningkatan suhu bumi memiliki potensi dampak
terhadap perubahan lingkungan serta kesehatan masyarakat. Dampak tersebut terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang langsung dirasakan
oleh manusia dengan adanya suhu panas yang ekstrim dan suhu dingin yang ekstrim. Dampak
tidak langsung adalah dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang dirasakan oleh
manusia melalui berbagai peristiwa dan perantara.

Beberapa dampak langsung yang terjadi adalah gelombang panas (heat waves) dan musim
dingin yang sangat ekstrim. Gelombang panas dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras
untuk mendinginkan badan, jika kondisi jantung terbatas dapat menimbulkan gangguan yang
fatal. Suhu panas dapat menyebabkan menyebabkan kematian melalui beberapa cara :
utamanya dehidrasi dan heat stroke. Kondisi lainnya adalah cardiovascular collapse,
cerebrovascular, dan respiratory distress. Pada tahun 1995 gelombang panas telah
menyebabkan kematian 700 orang di Chicago (Achmadi, 2008). Gelombang panas juga terjadi
di Perancis pada awal Agustus 2003 (Vandentorren dan Bissonnet, 2005). Bahkan pada tahun
2003 gelombang panas juga terjadi di berbagai negara di Eropa (lihat tabel 1). Meskipun suhu
hangat dapat mengurangi kematian terutama orang jompo dimusim dingin, namun kematian
akibat pemanasan global dua kali lebih besar setiap tahunnya. Manusia diperkirakan memilih
suhu nyaman sekitar 20°C hingga 25°C. Dampak langsung yang lain akibat suhu panas adalah
terjadinya peningkatan kasus asma serta kanker kulit (Achmadi, 2008). Selain suhu panas,
musim dingin yang sangat ekstrim juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa
penyakit sebagai penyebab kematian yang berhubungan dengan suhu dingin yang ekstrim
adalah ischaemic heart disease, cerebro-vascular disease dan respiratory disease, terutama
influenza (Hassi, 2005).

Dampak tidak langsung dari perubahan iklim global adalah terjadinya penyakit, yang berbasis
lingkungan dan malnutrisi. Penyakit berbasis lingkungan tersebut antara lain : penyakit karena
vektor (vector borne disease), penyakit karena rodent (rodent borne disease), dan penyakit yang
menular melalui media air (water borne disease). Penyakit karena kurang gizi (malnutrition)
akibat gagal panen dan menurunnya produksi pertanian.

Vector Borne Diseases

Perubahan cuaca dan iklim dapat berpengaruh terhadap penularan vector-borne diseases
termasuk temepatur, curah hujan, angin, banjir, kekeringan yang panjang, dan peningkatan
permukaan air laut. Perubahan iklim juga memperpanjang waktu transmisi berbagai penyakit
yang disebabkan oleh vektor (seperti demam berdarah dan malaria), juga mengubah jangkauan
geografisnya sehingga berpotensi menjangkit daerah yang masyarakatnya memiliki kekebalan
yang rendah terhadap penyakit tersebut (WHO, 2008). Vektor yang dapat menjadi perantara
berbagai penyakit adalah nyamuk.

Mosquito borne-diseases, yaitu penyakit yang penularannya melalui nyamuk, seperti malaria,
demam berdarah, cikungunya, arbovirus, dan Japanese encephalitis. Pemanasan global
menyebabkan perubahan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk. Hal ini disebabkan oleh
perubahan bionomik nyamuk. Nyamuk Anopheles yang menularkan malaria hanya bisa hidup
pada suhu diatas 15°C. Pada suhu yang meningkat dengan kelembaban tertentu, perilaku
nyamuk akan semakin agresif untuk melakukan perkawinan semakin meningkat. Sehabis
melakukan perkawinan, maka perilaku menggigit manusia atau binatang semakin meningkat.
Secara naluriah, untuk memproduksi telur nyamuk, nyamuk memerlukan protein manusia atau
darah binatang. Adanya peningkatan suhu diperkirakan nyamuk akan dapat merambah ke
gunung-gunung yang tinggi serta hidup di negara subtropik. Suhu 20°C hingga 30°C dengan
kelembaban diatas 60% merupakan suhu ideal bagi kehidupan nyamuk. Diperkirakan apabila
suhu meningkat 3°C pada tahun 2100 maka akan terjadi proses penularan penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat. Diperkirakan kejadian malaria dan penyakit
lain yang ditularkan melalui nyamuk akan meningkat. Hal ini diakibatkan oleh semakin
cepatnya perkembangbiakan nyamuk, pendeknya masa kematangan parasit dalam nyamuk,
angka rata-rata gigitan nyamuk yang meningkat (biting rate), juga kegiatan reproduksi akibat
peningkatan suhu global yang semakin panas (Achmadi, 2008).

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang penularannya melalui
nyamuk Aedes aegypti. DBD merupakan penyakit menular yang menjadi masalah di
Indonesia. Bahkan sampai saat ini dibeberapa daerah masih terjadi kejadian luar biasa (KLB)
DBD. Rata-rata replikasi virus dengue dalam nyamuk Aedes aegypti di laboratorium
bertambah seiring dengan temperatur ( Patz, 2005). Selain faktor suhu, perilaku masyarakat
dan curah hujan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk ini. Masyarakat
kita masih kurang sadar dalam berperilaku sehat, khusunya dalam menjaga kebersihan
lingkungan, program menutup, menguras dan mengubur (3M) tidak berjalan dengan baik.

Rodent-Borne Diseases

Rodent-borne pathogens berpengaruh secara tidak langsung tergantung pada faktor penentu
ekologi. Kekurangan makanan berpengaruh pada jumlah populasi rodent, banjir menyebabkan
rodent berpindahan tempat untuk berlindung dan mencari makanan (Patz, 2005). Rodent-Borne
Diseases adalah penyakit yang penularannya melibatkan hewan pengerat seperti tikus.
Beberapa penyakit yang termasuk rodent-borne diseases adalah infeksi hantavirus,
leptospirosis dan pes. Infeksi hantavirus umumnya ditularkan oleh excreta dari rodent dan
menjadi penyakit yang sangat mematikan bagi manusia. Hantavirus pulmonary syndrome yang
baru ditemukan di Southwest Amerika Serikat pada tahun 1993, kondisi cuaca mendorong
pertumbuhan populasi rodent dan kemudian penularannya tersebar melalui badai El Nino (Glas
et al, 2000 dalam Patz, 2005).

Kejadian luar biasa penyakit leptospirosis dapat disebabkan oleh hujan badai dan banjir yang
besar. Epidemi leptospirosis di Nicaragua mengikuti banjir yang besar di tahun 1995. Suatu
studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa resiko penyakit leptospirosis pada air banjir adalah
lima belas kali (Trejevo et al, 1998 dalam Patz, 2005). Leptospirosis merupakan penyakit
zoonosis penting yang tersebar luas di seluruh dunia dan menyerang lebih dari 160 spesies
mamalia. Reservoir yang memegang peran utama bagi penyebaran leptospira adalah hewan
pengerat terutama tikus meskipun hewan peliharaan (anjing, babi, sapi, kuda, kucing, kelinci)
dan hewan lain seperti kelelawar, tupai, musang juga dapat berperan sebagai reservoir
(Djunaidi, 2007).

Water Borne Diseases


Water borne diseases yaitu penyakit yang disebarkan atau ditularkan melalui media air.
Kaitannya dengan pemanasan global, maka air yang dimaksud adalah air laut yang
permukaannya meningkat terutama air pasang (rob), maupun air yang disebabkan oleh banjir
bandang akibat perubahan iklim dimana komponen utamanya adalah kenaikan temperatur
bumi. Jakarta, Semarang dan Surabaya adalah kota-kota pelabuhan yang terancam dengan
kenaikan permukaan air laut ini. Air laut naik akan menyebarkan penyakit hantavirus dan
leptospirosis (Achmadi, 2008). Pola curah hujan yang semakin beragam mengganggu
ketersediaan air bersih, serta meningkatkan resiko penyakit yang disebabkan oleh air seperti
kolera, dan wabah penyakit diare (WHO, 2008). Sampai saat ini diare masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka morbiditas diare di Indonesia adalah 423 per 1000
penduduk. Angka ini cenderung mengalami peningkatan. Bahkan kejadian luar biasa (KLB)
diare masih sering terjadi dan menimbulkan kematian (Achmadi, 2008).

Secara global, pemanasan dan perubahan iklim global dapat menyebabkan kelangkaan air
bersih. Padahal air bersih adalah kebutuhan yang esensial bagi kesehatan manusia.
Diperkirakan lebih dari setengah penduduk di dunia (sekitar 3 milyar jiwa) hidup di lingkungan
kumuh tidak terjangkau sarana sanitasi yang baik. Satu milyar orang tidak dapat mengakses air
bersih, suatu faktor penting yang sangat besar kaitannya dengan penyakit diare dan kematian
pada anak-anak, diperkirakan 5000 anak meninggal setiap hari karena penyakit yang berkaitan
dengan air (Arhen dan McMichael, 2002).

Malnutrisi

Produktifitas pangan dan kejadian malnutrisi, perubahan iklim global sangat berpengaruh
terhadap hasil panen dan produksi peternakan. Kadang perubahan iklim dapat berdampak
positif maupun negatif terhadap produktifitas pangan. Produksi pangan tergantung pada
beberapa faktor kunci. Pertama, dampak langsung suhu, curah hujan, CO2 level (misalnya
berkaitan dengan dampak pemupukan karbon), perubahan iklim yang ekstrim dan tidak
menentu, serta naiknya permukaan air laut. Adanya berbagai bencana alam diperkirakan akan
menurunkan produktifitas pangan. Selain itu kekeringan sebagai akibat langsung dari
perubahan iklim dapat berdampak tidak langsung pada kesehatan penduduk.

Kekeringan berkepanjangan akan mengakibatkan kerawanan pangan dan kasus keracunan


makanan umumnya meningkat pada masa kemarau panjang. Hal ini disebabkan karena
penduduk memakan apa saja tanpa memperhatikan kualitas pangan(Achmadi, 2008).
Peningkatan suhu dan variabel curah hujan mengurangi jumlah produksi tanaman pangan di
banyak daerah termiskin, sehingga meningkatkan resiko malnutrisi (WHO, 2008). Penduduk
yang hidup di lingkungan marginal akan lebih rentan terimbas dampak perubahan lingkungan
terkait dengan kerawanan pangan dan kelaparan. Kelaparan dapat menyebabkan terjadinya
penyakit busung lapar hingga menyebabkan kematian. Diperkirakan pada tahun 2080, jumlah
orang yang kelaparan akan bertambah sekitar 80 juta jiwa (Parry dan Livermore, 2002).

Strategi yang Perlu dilakukan dalam Mengurangi Dampak Perubahan Iklim

Berbagai strategi untuk mengurangi dampak perubahan iklim dapat dilakukan mulai dari
individu, masyarakat, dan pemerintah. Secara personal, setiap warga hendaknya memiliki
pemikiran bagaimana berbuat sesuatu untuk memberikan kontribusi lingkungan yang nyaman
(Achmadi, 2008). Setiap warga perlu berperilaku hidup bersih, sehat serta ramah lingkungan.
Perlu membudayakan membuang sampah pada tempatnya, memisahkan sampah organik dan
anorganik, menghemat penggunaan bahan bakar minyak, hemat listrik, dan mengurangi
timbulnya suara yang berlebihan (tidak berteriak-teriak ketika rapat, demonstrasi, tidak
membunyikan klakson mobil/motor sembarangan) karena suara adalah energi yang dapat
dikonversi menjadi panas. Hal penting yang perlu dilakukan oleh setiap warga adalah
berhemat, karena prinsip dari pembangunan berkelanjutan adalah hidup hemat demi masa
depan generasi mendatang.

Pemerintah harus membuat program pengelolaan lingkungan yang baik. Misalnya program
penanaman pohon, menggunakan metode sanitary landfill dalam mengelola sampah kota, dan
membuat serta menjalankan peraturan dibidang lingkungan secara tegas dan adil. Tindak
dengan tegas dan seadil-adilnya para pelanggar hukum lingkungan seperti para pelaku illegal
logging dan pelaku industri yang mencemari lingkungan. Pada tingkat pusat perlu dikaji
kembali Undang-undang dan peraturan-peraturan di bidang lingkungan. Pemerintah daerah
harus mendukung Undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat dengan
membuat Peraturan Daerah yang mengatur perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan
lingkungan.

Pemerintah harus membuat program yang sinergis antar dinas/ badan, misalnya terintegrasinya
program Dinas Kesehatan khusunya kesehatan lingkungan dengan Dinas/Badan lingkungan
hidup. Dinas Kesehatan mempunyai sumber daya yang terkait dengan kesehatan dan kesehatan
lingkungan, sementara Dinas/Badan Lingkungan hidup memiliki sumber daya dibidang
lingkungan hidup. Namun demikian, urusan pemanasan global tidak hanya menjadi urusan
kesehatan lingkungan dan badan lingkungan hidup saja, tetapi seluruh jajaran pemeritah harus
turut mendukung terlaksananya program pengurangan dampak pemanasan global. Bahkan visi
misi pemerintah harus diarahkan pada upaya tersebut, yaitu visi misi pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).

Berbagai pendekatan harus dilakukan secara multi disiplin, mulai dari pendekatan moral
agama, perilaku, sosial budaya, hukum dan teknis aplikatif. Departemen Pendidikan Nasional
perlu memasukkan muatan pengetahuan tentang lingkungan hidup dan dampak pemanasan
global. Departemen Agama bersama dengan Lembaga Keagamaan mengeluarkan fatwa haram
bagi pelanggaran dan perusakan lingkungan hidup, misalnya dengan mengharamkan beberapa
hal berikut : penebangan hutan secara ilegal (illegal logging), membuang limbah industri tanpa
pengolahan yang baik, dan penggunaan bahan atau metode yang tidak ramah lingkungan
lainnya.

Secara khusus Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2008) secara rinci memberikan beberapa arahan
yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak negatif adanya perubahan iklim sebagai
berikut : bertindaklah dari sekarang; belilah perlengkapan rumah tangga yang pemakaian
energinya efisien; hitung jejak karbon pribadi anda dan kurangi emisi gas rumah kaca akibat
aktivitas sehari-hari; lakukan debat, diskusi dan penyebaran lembar informasi tentang
perubahan iklim dan isu kesehatan lingkungan; nikmatilah matahari, pasang panel surya di atas
atap rumah dan kantor; jangan biarkan pintu lemari es terbuka lebih lama dari yang diperlukan,
biarkan makanan menjadi dingin benar sebelum dimasukkan ke dalam lemari es atau freezer;
bergabunglah dengan suatu kelompok cinta lingkunan; kurangi penggunaan bahan kimia
beracun; hemat kertas; kurangi perjalanan melalui pesawat udara karena berkontribusi secara
signifikan pada emisi CO2 yang mengarah pada perubahan iklim; hargai sampah; tulislah surat
tentang dampak perubahan iklim kepada surat kabar lokal; ekspresikan perhatian terhadap isu
kesehatan lingkungan dan solusinya serta tetaplah mengakses informasi yang berkaitan.

Upaya Mitigasi Bencana Akibat Perubahan Iklim Global Dan Perubahan Lingkungan

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif bencana adalah setiap
daerah harus memiliki peta bencana serta memiliki rencana darurat (contingency plan) untuk
penanggulangan bencana. Kemudian perlu dilakukan upaya identifikasi potensi bencana serta
membuat upaya penanggulangan pencegahan jangka panjang. Pemerintah hendaknya membuat
program tanggap bencana (disaster awareness) yang mencakup pemberian pengetahuan kepada
masyarakat untuk tidak sekadar melakukan tindakan reaktif, tetapi yang lebih penting adalah
melakukan tindakan antisipatif yang terkoordinasi dan terorganisir pada saat terjadinya
bencana. Pengetahuan praktis semacam ini dapat diberikan berupa buku yang dibagikan secara
gratis pada setiap rumah tangga. Selain itu, daerah juga membentuk komisi penanganan
bencana yang melibatkan lintas sektor dan terintegrasi.

Khoiron : Dampak Perubahan Iklim Global terhadap ... 142 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perubahan iklim global, pemanasan global sedang terjadi seiring dengan perubahan lingkungan
dan pertambahan jumlah penduduk dunia. Dampak perubahan iklim dan pemanasan global
begitu luas dan hampir menyentuh seluruh sektor kehidupan di dunia. Salah satu sektor yang
terkena adalah kesehatan masyarakat. Karenanya sangat penting dilakukan upaya pengurangan
dampak negatif yang terjadi mulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, daerah dan
negara bahkan secara global. Semua upaya yang dilakukan hendaknya secara lintas sektor dan
terintegrasi sehingga berdampak cukup signifikan.

Upaya pengendalian penyakit sebagai dampak langsung maupun tidak langsung perlu
dilakukan dengan komitmen dan tindakan yang jelas. Salah satu upaya penting adalah
mengkondisikan lingkungan sehat, yaitu keterjangkauan warga terhadap air bersih dan sarana
sanitasi yang memadai. Kemudian peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga
kesehatan dalam melakukan upaya pencegahan, deteksi dini serta pengobatan untuk mencegah
meluasnya penyakit sangat penting dilakukan. Pemerintah wajib menyediakan sumber daya
dalam mengendalikan penyakit akibat pemansan global dan perubahan lingkungan.

Saran

Perubahan iklim global dapat diminimalisasi dengan melakukan berbagai kegiatan yang dapat
mengurangi peningkatan gas rumah kaca. Kegiatan tersebut dilakukan oleh individu, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait. Kegiatan tersebut hendaknya dilakukan
dengan terintegrasi satu dengan lainnya.

Sumber: Jurnal Fisika Unand Vol. 4, No. 2, April 2015 PENGARUH BADAI TROPIS
HAIYAN TERHADAP POLA HUJAN DI INDONESIA Lusi Fitrian Sani, Marzuki

Badai tropis merupakan fenomena alam yang terjadi pada bagian atmosfer bumi yang terbentuk
di atas permukaan laut yang hangat pada kawasan tropis. Secara efektif badai tropis terbentuk
pada daerah yang terletak pada lintang lebih dari 10o pada bagian utara dan selatan. Hal ini
dipicu oleh gaya coriolis yang pengaruhnya semakin kecil dengan penurunan lintang (Putra
dan Khomarudin, 2004).
Badai tropis dapat memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap daerah yang
dilewatinya dibandingkan dengan fenomena alam lainnya (Pennington, 2010). Dampak badai
tropis berkisar pada radius antara 2o dan 4o dari pusatnya, bahkan pola pembentukan badai
dapat mencapai radius di atas 12o. Dampak badai tropis dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung dialami oleh daerah
yang dilewati badai dan dampak tidak langsung dirasakan oleh daerah yang tidak dilewatinya.
Indonesia bukan merupakan daerah tempat pembentukan badai tropis, tetapi posisi
geografisnya berbatasan langsung dengan daerah pembentukan dan lintasan dari badai tropis.
Hal ini menyebabkan Indonesia menerima dampak tidak langsung dari badai tropis, seperti
badai Charlotte yang terbentuk di teluk Carpentaria Australia pada tanggal 9 hingga 12 Januari
2009 yang menimbulkan dampak terhadap Indonesia berupa curah hujan kategori sedang –
lebat sekitar 35 mm sampai 83 mm selama 4 sampai 5 jam (Widiani, 2012).

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa secara teoritis wilayah Indonesia bebas dari badai tropis,
tapi mengalami dampak tidak langsung berupa curah hujan yang tinggi. Walaupun sudah ada
penelitian sebelumnya tentang dampak badai tropis terhadap Indonesia, dampak ini bergantung
kepada jenis badai dan faktor lain seperti topografi, jarak dari badai, dan kondisi atmosfer
global. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini dengan membahas badai
tropis yang lain, yaitu badai tropis Haiyan. Badai ini terbentuk di sekitar Samudera Pasifik
bagian timur pulau Papua, dan mengalami puncak pada tanggal 8 November 2013 dengan
kecepatan angin mencapai 314 km/jam dan diameter badai mencapai 550 km (Zakir, 2013).
Badai Haiyan menimbulkan dampak langsung bagi Filipina berupa banjir di pantai - pantai
Filipina akibat naiknya air laut (storm surge) sekitar 5 sampai 6 m., kematian sekitar 10 ribu
jiwa (Schiermeier, 2013), kehilangan tempat tinggal untuk 17 juta jiwa penduduk, kerugian
infrastruktur dan pertanian yang ditaksir sekitar 802 juta Dollar Amerika (Mori, dkk., 2014).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pengaruh badai tropis Haiyan terhadap Indonesia
dengan mengolah data curah hujan dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM).
Untuk menunjang analisis juga digunakan data National Centers for Environmental Prediction
and the National Center for Atmospheric Research (NCEP/NCAR) dan data Outgoing
Longwave Radiation (OLR).

3.1 Kondisi Meteorologis Tanggal 1 sampai 15 November 2013

Gambar 1a sampai 1c memperlihatkan temperatur permukaan sebelum badai tropis Haiyan.


Pada tanggal 1 sampai 3 November 2013 Samudera Pasifik mengalami peningkatan temperatur
dari 300 sampai 301 K (27o sampai 28o C) ke 300 sampai 302 K (27o sampai 29o C). Salah
satu syarat terbentuknya badai tropis adalah temperatur permukaan laut lebih dari 26,5o C
(Aemisegger, 2009). Dengan demikian, temperatur Samudera Pasifik pada tanggal 1 sampai 3
November 2013 sudah memenuhi syarat untuk pembentukan badai tropis. Kondisi temperatur
saja tidak cukup untuk mendukung terbentuknya badai tropis, diperlukan kelembaban yang
cukup pada ketinggian sekitar 5 km. Gambar 2a sampai 2c memperlihatkan RH untuk tanggal
1 sampai 3 November 2013 pada ketinggian 500 mb ( 5 km). Dari gambar terlihat dengan
jelas bahwa kawasan Samudera Pasifik pada tanggal 1 sampai 3 November 2013 mempunyai
RH yang tinggi pada ketinggian 5 km yaitu sekitar 70% sampai 85%. Nilai RH ini
menunjukkan bahwa udara cukup lembab pada ketinggian 5 km yang sesuai untuk
pertumbuhan badai tropis. RH yang tinggi juga teramati di atas Sumatera, Kalimantan, dan
Papua yang disebabkan oleh pengaruh pegununan yang ada di atas kawasan ini (Sakurai, dkk.
2005 dan Peiming, dkk, 2003). Badai tropis merupakan gerakan udara memutar dengan pusat
putaran udara bertekanan rendah. Dengan demikian, udara pada bakal badai akan bergerak
naik. Pergerakan naiknya udara pada ketinggian 500 mb diberikan oleh Gambar 3. Dari
Gambar 3a sampai 3c terlihat bahwa terjadi peningkatan pergerakan udara ke atas dari tanggal
1 sampai 3 November 2013 pada kawasan Samudera Pasifik, yang ditandai dengan dengan
nilai omega sekitar -0.5 hingga -0.1. Tanda negatif pada omega menunjukkan pergerakan udara
ke atas. Omega yang negatif juga teramati di atas Sumatera yang disebabkan oleh Bukit Barisan
yang memblok awan yang bergerak ke timur dari Samudera Hindia (Nitta, dkk. 1992).

Temperatur, omega dan RH berhubungan dengan pembentukan awan. Dapat dilihat bahwa
awan konvektif tinggi (deep convective cloud) terbentuk pada kawasan - kawasan dengan RH
besar dan omega bernilai negatif (Gambar 4a, 4b, dan 4c). Awan - awan konvektif yang
ditandai dengan nilai OLR yang kecil, merupakan penyumbang utama hujan di kawasan tropis
(Williams, dkk., 1995). Dengan demikian, OLR dan curah hujan mempunyai hubungan yang
sangat kuat dimana pada OLR yang kecil (deep convective cloud) terbentuk hujan dengan
intensitas yang lebih tinggi dari daerah dengan OLR besar. Pada tanggal 1 sampai 3 November
2013 pembentukan awan konvektif dan hujan teramati di atas Samudera Pasifik, Sumatera,
Kalimantan dan Papua.

Dengan kondisi lingkungan yang mendukung, badai Haiyan pertama kali terbentuk di
permukaan laut Samudera Pasifik, sebelah timur Papua, pada tanggal 4 November 2013 dan
puncak dari badai pada tanggal 8 November 2013 (Gambar 1d sampai 1h). Badai tropis yang
terbentuk 4 November 2013 bergerak ke barat, dan selama pergerakannya, badai melalui
lintasan yang hangat di sepanjang Samudera Pasifik sehingga badai tumbuh dan menguat
dengan cepat. Selama badai, temperatur tinggi di kawasan Indonesia hanya teramati di sekitar
Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan Papua. Pada tanggal 8 November 2013, badai Haiyan
sudah sampai di Filipina dan merupakan puncak dari badai tropis ini.

Pada tanggal 9 sampai 11 November 2013 badai Haiyan berada di atas laut Cina Selatan.
Intensitas badai pada massa ini sudah mengalami penuruan yang disebabkan oleh daratan
Filipina yang tidak kondusif untuk pertumbuhan badai. Selain melalui daratan, temperatur
permukaan laut Cina Selatan juga relatif dingin (299 K atau 26o C) yang tidak mendukung
untuk penguatan badai ini kembali. Badai tropis ditandai dengan gerakan udara yang memutar
(Gambar 2i, 2j, dan 2k) dan naik (Gambar 3i, 3j, dan 3k). Gerakan udara yang memutar ini
menyebabkan kelembaban atmosfir terpusat di sekitar badai, sehingga pola distribusi RH pada
Gambar 2d sampai 2k sangat berbeda dengan Gambar 2a sampai 2c walaupun pola distribusi
temperaturnya hampir sama.

Pada tanggal 9 November 2013, ketika badai Haiyan sudah berada di laut Cina Selatan,
terbentuk sebuah bakal badai tropis baru di Samudera Pasifik, yang ditandai dengan gerakan
udara yang memutar (Gambar 2i) dan naik (Gambar 3i). Badai ini hanya bertahan tiga hari
karena temperatur permukaan laut yang dilaluinya tidak mendukung untuk penguatan badai
(Gambar 1i). Gambar 4d sampai 4k memperlihatkan distribusi awan konvektif dari tanggal 4
sampai 11 November 2013. Dari gambar terlihat dengan jelas di sekitar badai dan daerah yang
dialuinya terbentuk awan - awan konvektif yang menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi
teramati di sekitar kawasan ini. Dari gambar juga terlihat bahwa awan di Papua merupakan
bagian dari pada awan yang terbentuk di sekitar badai. Dengan demikian, dapat dianalisa
bahwa hujan yang terbentuk di Papua dipengaruhi oleh badai Haiyan. Pada tanggal 7 sampai 8
November 2013, ketika badai berada di sekitar Filipina dan Laut Cina Selatan, awan konvektif
yang berhubungan dengan badai teramati hingga Sulawesi dan Kalimantan yang
mengindikasikan bahwa hujan yang terjadi pada periode ini di dua pulau tersebut kemungkinan
disebabkan oleh pengaruh badai Haiyan.

Pada tanggal 12 sampai 15 November teramati temperatur mengalami penurunan yaitu sekitar
297 sampai 300 K (24o sampai 27o C), di sebagian besar daerah pengamatan. Pada kawasan
Samudera Pasifik (timur Papua) teramati temperatur yang tinggi sekitar 302 K (29o C) yang
merupakan ciri khas sirkulasi Walker untuk kondisi normal. Sirkulasi Walker merupakan
sirkulasi yang menggambarkan pergerakan atmosfir dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat
(Wallace dan Hobbs, 2006).

Setelah badai, kawasan lembab (RH sekitar 70% sampai 90%) dan pergerakan udara naik
(omega sekitar -0.2 sd. -0.1) terlihat di atas Indonesia seperti di sekitar Sumatera, Kalimantan,
dan Papua (Gambar 2l, 2m, 2n, dan 2o & Gambar 3l, 3m, 3n, dan 3o). Hal ini disebabkan oleh
faktor lingkungan dimana secara keseluruhan Sumatera, Kalimantan, dan Papua memiliki
daratan yang luas dan terdapat pegunungan yang tinggi sehingga memicu interaksi antara
daratan dengan lautan sekitar yang membentuk hujan lokal melalui pergerakan angin darat dan
angin laut (Mori dkk., 2004). Konsisten dengan temperatur, RH dan omega, awan - awan
konvektif dan hujan juga terlihat di atas Indonesia seperti sekitar Sumatera, Kalimantan, dan
Papua (Gambar 4l, 4m, 4n, dan 4o).

3.2 Distribusi Curah Hujan Harian Perpulau di Indonesia

Gambar 5 Perbandingan curah hujan per pulau (1 sampai 15 November 2013)

Untuk melihat lebih dekat pengaruh badai tropis Haiyan terhadap total curah hujan di
Indonesia, diakumulasikan curah hujan per pulau per hari selama tanggal 1 sampai 15
November 2013 (Gambar 5). Dapat lihat bahwa pulau - pulau di Indonesia yang jauh jaraknya
dari badai (Jawa dan Sumatera), total curah hujannya tidak menunjukkan hubungan yang kuat
dengan pergerakan badai. Pada pulau Jawa teramati peningkatan curah hujan mulai tanggal 12
November, tetapi hal ini tidak disebabkan oleh badai tropis Haiyan karena pada massa ini badai
tropis sudah menghilang. Pada Sumatera, peningkatan curah hujan terjadi sebelum (5
November) dan sesudah (14 dan 15 November) badai tropis Haiyan terjadi. Hubungan yang
cukup kuat antara badai tropis Haiyan dan curah hujan terlihat untuk pulau Papua dimana
puncak total curah hujan teramati selama badai (5 sampai 11 November) dan menunjukkan
penurunan sebelum dan sesudahnya. Pada tanggal 13 November terjadi banjir bandang di
Wasior, Papua Barat (Victoria, 2013), tetapi banjir ini terjadi sesudah badai sehingga bukan
merupakan dampak tidak langsung dari badai Haiyan. Curah hujan di Sulawesi dan Kalimantan
juga dipengaruhi oleh badai tropis Haiyan walaupun tidak sesignifikan pengaruh terhadap
Papua. Peningkatan curah hujan di Sulawesi teramati pada saat badai tropis Haiyan berada di
laut Cina Selatan (9 November). Untuk Kalimantan, peningkatan curah hujan teramati pada
tanggal 4 sampai 8 November. Dari hasil ini terlihat bahwa pulau - pulau di Indonesia yang
dekat jaraknya dari badai (Papua, Sulawesi dan Kalimantan), total curah hujannya dipengaruhi
oleh pergerakan badai.

3.3 Anomali Curah Hujan Bulan November dari Tahun 1998 sampai 2013

Pada bagian ini akan dibahas anomali curah hujan selama bulan November 2013. Anomali
dihitung dengan merata - meratakan curah hujan bulanan pada bulan November 1998 hingga
tahun 2013. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh badai tropis Haiyan
terhadap total curah hujan selama bulan November 2013 dibandingkan dengan nilai rata - rata
curah hujan bulanan.

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada kawasan yang dilalui oleh badai anomalinya
bernilai positif yang menandakan peningkatan curah hujan bulanan dibandingkan dengan curah
hujan bulanan rata-rata. Anomali juga bernilai positif pada kawasan - kawasan yang dekat
dengan badai seperti Papua. Hal ini mempertegas pembahasan sebelumnya bahwa curah hujan
Papua dipengaruhi secara kuat oleh badai Haiyan sebagaimana juga terlihat pada Gambar 5.
Kawasan Samudera Hindia juga mempunyai anomali yang positif, tetapi hal ini bukan karena
adanya pengaruh dari badai.

3.4 Variasi Diurnal Curah Hujan

Variasi diurnal disebabkan oleh perbedaan kapasitas panas antara daratan dengan lautan sekitar
(Mori, dkk., 2004). Untuk mengamati pengaruh badai tropis Haiyan terhadap variasi diurnal,
maka dirata - ratakan data curah hujan per tiga jam yang teramati oleh satelit TRMM. Gambar
7 memperlihatkan distribusi intensitas hujan rata-rata pada jam 00, 06, 12 dan 18 UTC
(Coordinated Universal Time), untuk tanggal 1 sampai 3 November 2013 dan 6 sampai 8
November 2013.

Secara umum, pada kawasan Indonesia bagian barat pola variasi diurnal curah hujan sebelum,
pada saat terjadi badai tropis Haiyan tidak berbeda dimana hujan mencapai maksimum mulai
siang hari (06 UTC atau jam 13 WIB) hingga sore hari (12 UTC atau jam 19 UTC) di daratan.
Kondisi sebaliknya, terjadi mulai tengah malam (18 UTC) hingga pagi hari (00 UTC) dimana
hujan mencapai maksimum di lautan sekitar pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan
dan Papua. Pada lautan lepas seperti di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, pola diurnal
tidak teramati karena evaporasi yang tinggi setiap saat sehingga curah hujan selalu tinggi.
Pengaruh badai tropis Haiyan terlihat mempengaruhi pola diurnal di Papua seperti yang terlihat
untuk jam 12 UTC. Untuk kondisi normal pada waktu tersebut, curah hujan di daratan Papua
menunjukkan intensitas yang tinggi, tetapi selama badai intensitasnya lebih rendah.

3.5 Pengaruh Faktor Lain Terhadap Curah Hujan Selama Badai Tropis Haiyan 3.5.1 ENSO
(El-Nino-Southern Oscillation)

ENSO merupakan fenomena interaksi antara atmosfer dengan permukaan laut yang ditandai
dengan naik atau turunnya suhu permukaan air laut dari kondisi normal (Rahman, 2011).
Berdasarkan data BMKG (Gambar 8), status ENSO pada bulan November 2013 dikatakan
normal dengan nilai indek sekitar -0.25. ENSO dikatakan aktif (kuat) jika indek bernilai lebih
dari  0.5. Jadi dapat disimpulkan bahwa peningkatan curah hujan selama November 2013
tidak disebabkan oleh ENSO.

3.5.2 MJO (Madden-Julian Oscillation)

MJO merupakan salah satu osilasi yang dominan pada wilayah tropis dengan perulangan 40 -
60 hari yang ditandai dengan pergerakan awan berskala super dari Samudera Hindia ke arah
timur (Madden dan Julian 1971).

Gambar 9 memperlihatkan indek MJO selama 14 Oktober sampai 23 November 2013. Indeks
yang bernilai >  1 (dalam lingkaran) menandakan MJO kuat yang biasanya diikuti oleh curah
hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Dapat dilihat bahwa pada tanggal 1 sampai 4
November 2013 MJO berada di sekitar Afrika. Tanggal 5 hingga 23 November 2013, MJO
berada di atas Indonesia, tetapi sangat lemah dimana nilai indeksnya sangat kecil.

Dengan demikian, peningkatan curah hujan selama bulan November di kawasan Indonesia
terutama di bagian timur seperti Papua tidak disebabkan oleh MJO. Tanggal 6 sampai 9
November 2013, MJO yang agak kuat (indeks sekitar 0.9) berada di Samudera Hindia. Dengan
demikian, peningkatan curah hujan di Samudera Hindia (Gambar 6) selama periode ini bisa
disebabkan oleh MJO.
3.5.3 Monsun

Indonesia termasuk ke dalam kawasan monsun Asia. Monsun ini bisa dibagi atas empat periode
yaitu pre-Southwest (pre-SW), Southwest (SW), pre-Northeast (pre-NE) dan Northeast (NE)
yang secara berturut-turut mengacu kepada bulan April hingga Mei, Juni hingga September,
Oktober hingga November, dan Desember hingga Maret (Kozu dkk., 2006). Dengan demikian,
badai Haiyan berada dalam periode pre-monsun NE dimana angin berhembus dari timur laut
yang konsisten dengan pola angin di dalam penelitian ini terutama untuk bagian barat
Indonesia. Angin yang berhembus dari utara melalui laut Cina Selatan, membawa uap air yang
bisa mendorong terbentuknya hujan pada kawasan barat Indonesia (Gambar 4).

Anda mungkin juga menyukai