Anda di halaman 1dari 23

A.

Landasan teoritis penyakit

1. Defenisi

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu adalah sebenarnya sekum (cecum). Infeksi ini bisa
mengakibatkan peradangan akut sehingga memerukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Nanda, 2015).

Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan
bawah abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat. Pria
lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa; insiden tertinggi
adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman dan Hackley, 2016).

Apendiks adalah ogan tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum
tepat di bawah katub ileosekal. Karena apendiks mengosongkan diri dengan tidak
efesien, dan lumenya kecil, karena apendiks mudah mengalami obstruksi dan retan
terhadap infeksi (apendisitis). Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari
inflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab yang paling umum
dari pembedahan abdomen darurat. (Baughman, D. C., dan JoAnn C. H. 1996)
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks (umbai cacing) akibat infeksi oleh
bakteri. Apabila sisa makanan masuk ke dalam apendiks, makanan tersebut akan busuk
dan sulit dikeluarkan. Akibatnya, apendiks akan mengalami peradangan. (Firmansyah,
Rikki dkk, 2009)

Jadi kesimpulannya, apendisitis adalah peradangan pada apendiks (umbai cacing)


pada kuadran kanan bawah. Apendisitis disebabkan oleh infeksi, bakteri, ataupun sisa
makan yang tertinggal di bagian apendiks yang dapat menyebabkan peradangan.

2. Klasifikasi

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), apendisitis diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :


a. Apendisitis akut
Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteria. Dan faktor
pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu hyperplasia jaringan limf,
fikalit (tinja/batu), tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan dan
juga erosi mukosa apendiks karena parasite (E. histolytica).
b. Apendisitis rekurens
Apendisitis rekures yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang mendorong
dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan yang apendiksitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi
fibrosis dan jaringan parut.
c. Apendisitis kronis
Apendiditis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh di
dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang setelah apendiktomi.

2. Etiologi

Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat
banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi
pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing,
parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering
menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.
(Irga, 2007).

Apendisitis dapat disebabkan karena fekalith (batu feses) yang mengoklusi lumen
apendiks, apendiks yang terpuntir, pembengkakan dinding usus, kondisi fibrosa di
dinding usus, okulusi eksternal usus akibat adesi, Infeksi organisme yersinia telah
ditemukan pada kasus 30% kasus. (Black, J. M., dan Hawks, J. H. 2009.)
Menurut klasifikasi apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri dan faktor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu
fekalith (tinja/batu), tumor apendiks, biji-bijian dan cacing askaris yang dapat
menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks karena parasit. Sedangkan
apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopi dan mikroskopi (fibrosis menyeluruh
di dinding apendiks sumbatan persial atau lumen apendiks adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel infalmasi kronik), dan keluhan menghilang setelah
pembedahan apendiktomi.
Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor
prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.
1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk appendiks.
5. Appendik yang terlalu panjang.
6. Appendiks yang pendek.
7. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
8. Kelainan katup di pangkal appendiks.

3. Manifestasi klinis
Nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang (kepunggung)
dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan
lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.
Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri
dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal, bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini
hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung
appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot
rektum kanan dapat terjadi.
Palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada
kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar, distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk.

Menurut Baughman dan Hackley (2016), manifestasi klinis apendisitis meliputi:

a. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual dan seringkali
muntah.
b. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina anterior dari ilium)
nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan.
c. Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri tekan, spasm otot,
dan konstipasi atau diare kambuhan.
d. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah, yang menyebabkan
nyeri pada kuadran kiri bawah).
e. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar; terjadi distensi abdomen
akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
Sedangkan menurut Grace dan Borley (2014), manifestasi klinis apendisitis meliputi :
a. Nyeri abdomen periumbilikal, mual, muntah
b. Lokalisasi nyeri menuju fosa iliaka kanan.
c. Pereksia ringan.
d. Pasien menjadi kemerahan, takikardi, lidah berselaput, halitosis.
e. Nyeri tekan (biasanya saat lepas) di sepanjang titik McBurney).
f. Nyeri tekan pelvis sisi kanan pada pemeriksaan per rektal.
g. Peritonitis jika apendiks mengalami perforasi.
h. Masa apendiks jika pasien datang terlampat.
Gambar 2. Letak Mc. Burney Point

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Terkadang, tidak dirasakan
adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Perforasi akan terjadi tergantung jenis obat pencaharnya misalnya
(bisacodyl) untuk mengatasi sembelit atau konstipasi, dan untuk mengosongkan perut
sebelum prosedur operasi, colonoscopy, endoscopy, x-ray, atau prosedur pada usus
lainnya. Kontraindikasi jangan digunakan untuk penderita yang mengalami reaksi
hipersensitivitas/alergi terhadap bisacodyl. Hindarkan juga pemakaian obat ini pada
bedah perut akut, penderita obstruksi usus, obstruksi ileus, perforasi usus, toksik kolitis,
toksik megakolon, inflammatory bowel disease akut, apendisitis, dan dehidrasi berat.
Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam 37,5 - 38,5 derajat celcius.
4. Pemeriksaan penunjang dan diagnostik
Menurut Nuraruf dan Kusuma (2015), pemeriksaan penunjang apendiks meliputi :
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling)rongga perut dimana dinding perut tampak
mengencang (distensi).
2) Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan
terasa nyeri(Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis
akut.
3) Dengan tindakan tungkai bawah kanan dan paha diteku kuat/tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa
nyeri di perut semakin parah (proas sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur dan atau
vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji psoas akan positif dan tanda perangsangan
peritoneum akan lebih menonjol.

b. Pemeriksaan laboratorium

Peningkatan sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm3. Jika terjadi
peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah). (Nanda, 2015)

c. Pemeriksaan radiologi

 Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.


 Ultrasonografi (USG)

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada
wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.

 CT scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi
dari appendicitis seperti bila terjadi abses.

 Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen, apendikogram.
(Nanda, 2015)

Gambar 8. Pemeriksaan dengan CT scan


5. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi


penanggulangan konservatif dan operasi.

Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke
pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah
infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik. Antibiotik yang biasanya diberikan adalah
ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindomisin.

Berikut perawatan yang dilakukan setelah operasi :

Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam,
syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambing bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi Fowler. Pasien
dapat dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan.
Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa
diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk
duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk
diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Operasi

Terdapat 2 tindakan operasi dalam penanganan apendisitis, antara lain:

Apendiktomi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang dilakukan adalah
operasi membuang apendiks (apendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa
antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik
dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi
dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat
apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Pada umumnya,
tehnik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan
bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau pun dengan
cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik,
kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata (Syamsuhidajat, 1997).
Insisi Grid Iron (McBurney Incision)11
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis
insisi parallel dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu
1/3 lateral garis yang menghubungkan
spina liaka anterior superior kanan dan
umbilikus.

Lanz transverse incision12


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat,
insisi transversal pada garis miklavikula-
midinguinal. Mempunyai keuntungan
kosmetik yang lebih baik dari pada insisi
grid iron.

Rutherford Morisson’ s incision (insisi


suprainguinal)13
Merupakan insisi perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan jika apendiks
terletak di parasekal atau retrosekal dan
terfiksir.

Low Midline Incision13


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi
perforasi dan terjadi peritonitis umum.
Insisi Grid Iron (McBurney Incision)11
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis
insisi parallel dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu
1/3 lateral garis yang menghubungkan
spina liaka anterior superior kanan dan
umbilikus.

Insisi paramedian kanan bawah13


Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5
cm di bawah umbilikus sampai di atas
pubis.

Gambar 9. Macam-macam Insisi untuk apendektomi

Laparoskopi

Laparaskopi adalah teknik bedah dengan akses minimal. Artinya, pembedahan tidak dengan
membuka dada atau perut, melainkan dilakukan lewat dua atau tiga lubang berdiameter masing-
masing 2-10 milimeter. Satu lubang untuk memasukan kamera mini (endo camera) yang
memindahkan gambaran bagian dalam tubuh ke layar monitor, sedangkan dua lubang lain
menjadi jalan masuk peralatan bedah. Karena luka yang ditimbulkan minimal, pemulihannya pun
lebih cepat, mengurangi nyeri dan pasca operasi dan rawat inap lebih singkat. (Harmanto, Ning.
2006).

Gambar 10. Laparaskopi

Apendisitis pada kehamilan

Dugaaan adanya apendisitis merupakan salah satu indikasi tersering dilakukanya eksplorasi
pembedahan abdomen pada wanita hamil. Sebuah studi yang melibatkan 700.000 wanita
melaporkan bahwa sekitar 1 dari 1000 menjalani apendektomi sewaktu hamil, dengan apendisitis
dipastikan pada 65% (1 dari 1500 kehamilan).

Kehamilan sering menyebabkan diagnosis apendisitis lebih sulit karena anoreksia, mual, dan
muntah yang menyertai kehamilan normal juga merupakan gejala umum pada apendisitis; seiring
dengan membesarnya uterus, apendiks sering bergerak ke atas dan keluar menuju pinggang
sehingga nyeri dan tekan di kuadaran kanan bawah mungkin tidak mencolok, sewaktu
kehamilan normal biasanya sedikit banyak terjadi leukosit; selama kehamilan khususnya,
penyakit lain dapat menyerupai apendisitis, misalnya, pielonefritis, kolik ginjal, solusio plasenta,
dan degenerasi mioma uterus; dan wanita hamil terutama pada usia gestasi lanjut (ukuran lama
waktu seorang janin berada dalam rahim), sering tidak memperlihatkan gejala yang dianggap
“khas” untuk pasien tidak hamil dengan apendisitis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa
lebih dari separuh wanita hamil dengan apendisitis mengalami perforasi.

Pada paruh pertama kehamilan, laparoskopi untuk pasien yang diduga menderita apendisitis
merupakan tindakan yang dapat diterima. Beberapa orang mempertanyakan keamanaaan
terjadinya pneumoperitoneum dengan karbondioksida yang dapat menyebabkan asidosis janin
dan menggangu fungsi kardiovaskular janin. Dalam sebuah studi skala besar ditemukan bahwa
hasil akhir perinatal pada wanita yang menjalani tindakan laparoskopi sebelum gestasi 20
minggu tidak berbeda dari mereka yang ditangani dengan laparotomi.
Pasien diberi antimikroba intravena, misalnya sefalosporin atau penisilin. Kecuali jika terjadi
gangren, perforasi, atau flegmon periapendiks, terapi antimikroba dapat dihentikan setelah
pembedahan. Jika tidak terjadi peritonitis, progonsis pasien baik. Sesar jarang diindikasikan saat
dilakukan apendektomi. Pada peritonitis sering terjadi kontraksi uterus dan kami tidak
menyarankan obat tokolitik, meskipun sebagai penulis menganjurkannya. Dilaporkan bahwa
pada apendisitis peripartum, peningkatan pemberian cairan intravena dan pemakaian tokolitik
meningkatkan risiko cidera paru.

Apendisitis yang tidak terdiagnosis sering memicu persalinan. Uterus yang berukuran besar
sering membantu menahan infeksi secara lokal, tetapi setelah persalinan ketika uterus dengan
cepat mengecil, infeksi yang selama ini tertahan menjadi pecah disertai perembesan pus bebas ke
dalam rongga peritonium. Pada kasus ini, dalam bebrapa jam pascapartum terjadi keadaan
abdomen akut.

b. Penatalaksanaan keperawatan

6. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pasca oprasi menurut Mansjoer (2012) :

a. Perforasi apendiks

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.
Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,5 derajat celcius, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan
leukositosis. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis.

b. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, nyeri abdomen, demam dan leukositosis.

c. Abses

Abses merupakan peradangan apendisitis yang berisi pus. Teraba masa lunak di kuadran kanan bawah
atau daerah pelvis. Masa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendisitis gangrene atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus buntu
dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang terinfeksi) atau
peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan utama untuk perforasi
appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan perawatan. Secara umum,
semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan
perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu,
setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda.
Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus.

Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot


usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika penyumbatan
usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat
terjadi. Kemudian mungkin perlu untuk mengeluarkan isi usus melalui pipa melewati
hidung dan kerongkongan dan ke dalam perut dan usus. Sebuah komplikasi apendisitis
yang lebih ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi masuk ke
darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya. Kebanyakan komplikasi setelah
apendektomi adalah: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik,
dan fistula tinja eksternal (Hugh A.F. Dudley, 1992).
B. Landasan teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

Pengkajian
Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
Identitas penanggung.
Riwayat kesehatan sekarang.
Keluhan utama Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut
kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian
setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat
keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang
lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
Riwayat kesehatan masa lalu
Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak sakit ringan/sedang/berat. Berat badan Sebagai indicator untuk
menentukan pemberian obat.
Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-
kadang.
Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising
usus.
Nyeri/kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat
berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk,
atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/posisi duduk tegak. Keamanan Demam, biasanya rendah.
Data psikologis
Klien nampak gelisah. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan
takut. Penampilan yang tidak tenang.
Data Demografi

Pasien dengan apendisitis Usia : paling muda usia 4 tahun, 18 tahun keatas
hingga usia 70 tahun.
Perbandingan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:1,7.
Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama
Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan >37,5˚C, mual,
muntah, anoreksia, malaise, nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney.
Riwayat Keluhan
Klien dengan apendisitis gejala awal yang khas, nyeri samar (nyeri tumpul) di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan
pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri
akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
Kebiasaan
Klien dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung biji-bijian
yang sulit dicerna oleh lambung misalnya, biji cabai dan lain-lain. Selain
kebiasaan itu juga penyebabnya klien yang kurang mengunsumsi makanan
tinggi serat.

Pemeriksaan fisik fokus pada pasien dengan apendisitis


Keadaan Umum
Pasien dengan penyakit apendisitis mengalami perubahan tanda - tanda vital, yaitu
peningkatan nadi perifer, hal ini disebabkan karena pasien merasa cemas dan
nyeri.

Pemeriksaan Fisik head to toe fokus pada apendisitis.


Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran klien biasanya compos mentis, dapat mengenali dan menjawab
tentang keadaan sekelilingnya serta berkomunikasi dengan baik.

Wajah

Pada klien terjadi ketegangan pada otot wajah karena merasa nyeri.

Abdomen

Auskultasi: Bising usus mengalami penurunan.

Palpasi : merasakan nyeri saat dilakukan deep palpation pada area abdomen
bagian perut kanan bawah: nyeri pada bagian titik Mc Burney.Nyeri sering terasa
pada pasien, nyeri yang dirasakan adalah nyeri saat di tekan dan nyeri saat dilepas.

Range of Motion

Jika dilakukan pemeriksaan melalui Blumberg Sign pasien dengan apendisitis bila
dilakukan palpasi pada daerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri hal ini adalah kunci dari apendisitis
akut. Pemeriksaan melalui ROM (range of motion) berlanjut dengan cara
pemeriksaan PSOA’S Sign dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat
atau tungkai diangkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri diperut semakin parah.
Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah apabila dilakukan
pemeriksaan dubur dan vagina merasa nyeri juga. Pada apendiks terletak pada
retro sekal maka uji psoas sign akan positif dan tanda perangsangan peritoneum
tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga pelvis maka
obturator sign akan positif dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih
menonjol. Obturator sign dilakukan dengan cara fleksi dan endorotasi sendi
panggul.

Pola fungsional gordon


Pengkajian 11 Pola Gordon

1. Pola persepsi kesehatan.

Apakah pernah mengalami penyakit apendisitis sebelumnya dan belum diangkat ?

Adakah riwayat apendisitis dalam keluarga

Bagaimana pasien mengobati penyakit yang dideritanya ?

2. Pola nutrisi metabolik.

 Bagaimana pola makan


 Kebersihan rongga mulut dan mukosa mulut
 Mual, muntah, anoreksia
 Makananan kurang serat dan kurang cairan

3. Pola eliminasi.

 Apakah ada penurunan frekuensi urin


 Bagaimana kebiasaan BAK dan BAB ?
 Apakah ada konstipasi pada awitan awal
 Apakah ada diare ?
 Sering menahan BAB

4. Pada aktivitas dan latihan.

 Apakah ada sakit pada ekstremitas


 Apakah ada rasa lemah ?
 Aktivitas menurun

5. Pola istirahat dan tidur.

Apakah malam hari sering terbangun ?

Jam berapa biasanya tidur


6. Pola persepsi kognitif.

Apakah ada keluhan nyeri ?

Apakah ada perubahan suhu ?

Apakah tanggapan pasien tentang penyakitnya ?

Apakah ada demam ?

Adakah nyeri tekan pada abdomen ?

7. Pola persepsi dan konsep diri.

Bagaimana pasien menilai dirinya

Apa pendapat / pandangan pasien tentang dirinya

8. Pola peran dan hubungan dengan sesama.

Apakah pasien tahu status dirinya ?

Bagaimana hubungan klien dilingkungan tempat tinggal

Bagaimana hubungan dengan orang-orang terdekat

9. Pola reproduksi – seksualitas.

Gender

Kelainan seks

Bagaimana kebersihan genitalia

Apakah pasien sudah menikah


10. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.

Apakah mudah mengalami stress

Apakah merasa cemas

Bagimana cara klien mengatasi / menyelesaikan masalah

Bagaimana emosi klien ?

11. Pola sistem kepercayaan

Bagaimana kebiasaan beribadah

Agama klien apa

Apakah ibadah terganggu

6. Evaluasi

Evaluasi.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah
dilakukan pada klien perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai
berikut :
Apakah klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?
Apakah klien dapat terhidar dari bahaya infeksi?
Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?
Apakah klien sudah mendapat informasi tentang perawatan dan pengobatannya.
EVALUASI
Pasien melaporkan berkurangnya nyeri, nyeri hilang atau terkontrol
Pasien tampak rileks, mampu tidur/istirahat
Kecemasan berkurang, pasien tampak tenang
Cairan tubuh seimbang
Turgor kulit baik
Tubuh pasien mampu mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan berat badan, berat
jenis urine normal, dan HT normal
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas,
turgor kulit, membran mukosa lembab
Tidak ada rasa haus yang berlebihan, nutrisi terpenuhi, berat badan stabil
Toleransi terhadap diet yang dianjurkan
Pasien menunjukkan tingkat keadekuatan tingkat energi
Pasien menunjukkan tidak ada tanda infeksi, luka sembuh tanpa tanda infeksi, cairan yang keluar
dari luka tidak purulen
Pasien mengatakan mengerti tentang penyakitnya dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai