Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tidur pada lansia

1. Pengertian Tidur dan Pola tidur

Tidur adalah kondisi organisme yang sedang istirahat secara regular,

berulang dan reversible dalam keadaan mana ambang rangsang terhadap

rangsangan dari luar lebih tinggi jika di bandingkan dengan keadaan

terjaga. Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka

waktu yang relative menetap dan meliputi (1) jadwal jatuh (masuk) tidur

dan bangun, (2) irama tidur, (3) frekuensi tidur dalam sehari, (4)

mempertahankan kondisi tidur, dan (5) kepuasan tidur.(Prayitno, 2002).

Selama tidur, tubuh akan beristirahat dan tidak berespon terhadap

lingkungan akan tetapi, seseorang dapat dibangunkan oleh stimulus

lingkungan seperti : memanggil nama, menyentuh tubuhnya, rangsang

suara, dan lampu. Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah

untuk tidur, diyakini bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan

kesehatan dan proses penyembuhan penyakit.

2. Klasifikasi gangguan tidur

a. Gangguan tidur primer

Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan

oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan
tidur ini dibagi dua yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai

dengan gangguan pada jumlah, kualitas dan waktu tidur. Parasomnia

dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa fisiologis yang dikaitan

dengan tidur, stadium tidur tertentu atau perpindahan tidur bangun.

Disomnia terdiri dari insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi,

gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritmik

sirkadium tidur, dan disomnia yang tidak dapat diklasifikasikan.

Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur,

berjalan saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat diklasifikasikan.

b. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain

Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan

gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental

lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat

untuk ditegakkan sebagai gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan

bahwa mekanisme patofisiologik yang mendasari gangguan mental

juga mempengaruhi terjadinya gangguan tidur bangun.

c. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum

Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan

tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik

langsung kondisi medik umum terhadap siklus tidur bangun.

d. Gangguan tidur akibat zat

Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang

menggunakan atau menghentikan penggunaan zat (termasuk


medikasi). Penilaian sistemik terhadap seseorang yang mengalami

keluhan tidur seperti ini perlu dilakukan evaluasi bentuk gangguan

tidur yang spesifik, jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur,

pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur, mata

cepat menutup dan terbuka, nadi cepat dan irrreguler, tekanan darah

meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan

metabolisme meningkat, tidur ini penting untuk keseimbangan mental,

emosi, juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi

(Alimul,2006).

3. Tahapan tidur

Fisiologi tidur dapat diterapkan melalui gambaran aktivitas sel-sel otak

selama tidur, dan dapat di rekam dengan electroenchepalografi(EEG).

Untuk merekam otak orang yang sedang tidur, digunakan poligrafi EEG.

Dengan cara ini kita dapat merekam stadium tidur adalah sebagai berikut :

a. Stadium jaga (wake) / mengantuk

EEG : pada keadaan rileks dan mata tertutup, gambaran didominasi

oleh gelombang alfa. Tidak ditemukan adanya kumparan tidur dan

kompleks K.

Elektrookulograff (EOG) : gerakan mata berkurang, kadang terdapat

artefak yang disebabkan oleh gerakan kelopak mata.

Elektromiograf (EMG) : kadang-kadang tonus otot meninggi


b. Stadium I

EEG: terdiri dari campuran gelombang alfa, beta dan kadang teta.

Tidak terdapat kumparan tidur, kompleks K atau gelombang delta

EOG : tidak terlihat aktivitas bola mata yang cepat

EMG : tonus otot menurun dibanding stadium wake

c. Stadium II

EEG : terdiri atas gelombang campuran alfa, teta dan delta. Terlihat

adanya kumparan tidur dan kompleks K.

EOG : tidak terdapat aktivitas bola mata yang cepat

EMG : kadang-kadang terlihat peningkatan tonus otot secara tiba-tiba,

menunjukkan bahwa otot-otot tonik belum seluruhnya dalam keadaan

rileks.

d. Stadium III

EEG : persentase gelombang delta antara 20-50 %, tampak kumparan

tidur.

EOG : tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat

EMG : gambaran tonus otot yang jelas dari stadium II

e. Stadium IV

EEG : persentase gelombang delta mencapai lebih dari 50%, tampak

kumapran tidur.

EOG : tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat

EMG : tonus otot menurun dari pada stadium sebelumnya


f. Stadium REM

EEG : terlihat gelombang campuran alfa, beta dan teta. Tidak tampak

gelombang delta, kumparan tidur dan kompleks K

EOG : terlihat gambaran REM yang lebar

EMG : tonus otot sangat rendah, frekuensi nadi tinggi dan ereksi.

Stadium I dan II disebut sebagai tidur ringan, sedangkan stadium III dan

IV sebagai tidur dalam. Stadium I, II, III, dan IV disebut stadium non

REM (NREM). Stadium REM dikatakan sebagai tidur ringan, sehingga

stadium ini juga disebut sebagai paradoxical sleep. Pada stadium REM,

individu mengalami peristiwa mimpi dengan intensitas tinggi sehingga

panca indera ikut terangsang (Prayitno, 2002).

Mengantuk

Stadium 1 NREM Stadium 2 NREM Stadium 3 NREM

REM Stadium 4 NREM

Stadium 2 NREM Stadium 3 NREM

Gambar 1: Tahap Tidur (dikutip dari Fundamental of Nursing (Potter and

Perry,2005).

4. Perubahan pola tidur pada usia lanjut

Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan dalam periode tidur

kebutuhan tidur akan berkurang dengan berlanjutnya usia, pada usia 12


tahun kebutuhan tidur sampai 8,5 jam, berkurang menjadi 8 jam pada usia

20 tahun, 7 jam pada usia 40 tahun , 6 jam pada usia 60 tahun atau lebih

(Alimul,2006). Selain itu perubahan juga terjadi pada ritme circardian

yang menghasilkan penigkatkan tidur lebih awal, terbangun lebih awal,

disertai dengan penigkatan bangun yang sering di malam hari. Alasan-

alasan yang juga menyertai terbangunnya lanjut usia pada malam hari

meliputi jalan ke kamar mandi, susah bernapas, kram kaki, dan suara

gaduh. Dengan bertambahnya usia, frekuensi terbangun meningkat dari

1atau 2 sampai 6 kali semalam.

Semakin bertambah usia efisiensi tidur semakin berkurang. Efisiensi

tidur diartikan sebagai jumlah waktu tidur berbanding dengan waktu

berbaring ditempat tidur. Pada lansia kebutuhan tidur semakin menurun

karena dorongan homeostatic untuk tidur berkurang. Lansia wanita lebih

banyak mengalami insomnia dibanding dengan lansia pria yang banyak

mengalami sleep apneaatau kondisi medis lainnya yang dapat menggangu

tidur. Tidur lansia kurang dalam, lebih sering terbangun, tidur delta

berkurang, dan tidurnya tidak efektif. Mengantuk disiang hari sering

terjadi pada lansia. Keadaan ini dapat mempengaruhi jadwal tidur

bangunnya dimalam hari. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi

pengurangan pada gelombong lambat, terutama stadium 4 gelombang alfa

menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun dimalam hari atau

meningkatnya fragmentasi tidur karena sering terbangun. Ritmik

circardian tidur bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia
lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju, seringnya terbangun malam

hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang

hari.

Perubahan pola tidur pada lansia banyak disebabkan oleh kemampuan

fisik lansia yang semakin menurun. Kemampuan fisik menurun terkait

oleh kemampuan organ dalam tubuh yang menurun juga seperti jantung,

paru-paru dan ginjal, penurunan tersebut mengakibatkan daya tahan tubuh

dan kekebalan turut berpengaruh. Pada lansia biasanya insomnia lebih

sering menyerang. Hal ini terjadi sebagai efek samping (sekunder) dari

penyakit seperti nyeri sendi, osteoporosis, payah jantung, Parkinson dan

depresi. Jika penyebab utama diatasi dengan sendirinya gangguan tidur

akan teratasi. Pada kondisi seperti ini obat tidur bukanlah solusi yang

tepat, lansia amat mudah lelah sehingga tertidur pada siang hari

(Narto,2011).

Adanya perubahan struktur fungsi tidur pada lansia karena proses

penuaan yang berdampak pada peningkatan jumlah jam tidur pada tahap I

& II, penurunan jumlah jam tidur pada tahap III & IV, waktu yang lama

untuk dapat tidur, sulit untuk tidur, sering terbangun pada malam hari,

jumlah total jam tidur berkurang dan mengantuk pada siang hari (Loftis

and Glover, 1993 : Miller, 1995 dalam Karota-Bukit,2005).


Tabel 1. Perubahan Pola tidur Pada Lanjut Usia

Pola tidur Laporan subjektif Laporan objektif

Lamanya di tempat Meningkat Meningkat


tidur meningkat
Total waktu tidur Menurun Bervariasi
(umumnya menurun)
Ancang-ancang tidur Meningkat Bervariasi
(sleep latency) (umumnya menurun)
Terjaga setelah Meningkat Meningkat
mulai tidur
Tidur singkat pada Meningkat Meningkat
siang hari (daytime
naps)
Efisiensi tidur Menurun Menurun

Tabel 2. Perubahan dalam struktur tidur pada usia lanjut

Fase tidur Hasil polisomnografik

Non rapid eye movement (NREM)


Stadium I Meningkat
Stadium II Bervariasi (umumnya menurun)
Stadium III Menurun
Stadium IV Menurun
Rapid eye movement (REM)
Kualitas Menurun
Distribusi Onset lebih awal cenderung kea rah
periode durasi yang sama (bukan
perpanjangan yang proporsif)
5. Kualitas tidur lansia

a. Pengkajian kualitas tidur

Kualitas tidur adalah suatu keadaan yang dapat dilihat dari

kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan mendapatkan

kebutuhan tidur yang cukup dari tidur REM dan NREM (Kozier and

Erb, 1987). Kualitas tidur dapat diketahui dengan melakukan

pengkajian yang data subjektif dan data objektif. Data subjektif biasa

individu melaporkan pengalaman tidur yang dialami berkaitan dengan

total waktu tidur, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk tertidur,

frekuensi seringnya terbangun pada malam hari dan waktu bangun di

pagi hari (Craven and Hirnle,2000). Data objektif berupa pemeriksaan

fisik dan diagnostik, pemeriksaan fisik dapat diobservasi dari

penampilan seperti adanya lingkaran hitam disekitar mata, mata sayu,

dan konjungtiva merah. Dapat dilhat juga dari perilaku dan tingkat

energi individu seperti prilaku iritabel, kurang perhatian, respon

lambat, sering menguap, menarik diri dan bingung, postur tubuh tidak

stabil, tangan tremor dan kurang koordinasi. Dari pemeriksaan

diagnostic dapat dilakukan dengan merekam proses tidur dengan EEG

(elektroenchepalogram), EMG (eltromyogram) dan EOG

(elektrooculogram)(Potter and Perry, 2001).

b. Kualitas tidur pada lansia

Kualitas tidur pada lansia mengalami perubahan seiring dengan

terjadinya perubahan fisik pada sistem saraf yang mempengaruhi


aktivasi dengan sel-sel cerebral. Jumlah saraf mulai menurun yang di

ikuti dengan penurunan efisiensi sistem saraf perifer yang mengalami

degenerasi yang menyebabkan penurunan kecepatan konduksi sensorik

dan motorik. Terjadinya penurunan sensorik seperti kemampuan untuk

melihat pada lansia juga mengurangi sensitivitas terhadap stimulus

eksternal seperti cahaya atau gelap yang mempengaruhi pola tidur

(Stabb and Hodges, 1996). Perubahan tidur pada lansia paling umum

adalah terjadinya peningkatan jumlah waktu di tempat tidur namun

efisiensi tidur kurang, peningkatan waktu latensi tidur, peningkatan

frekuensi terbangun dari tidur dimalam hari (Foreman and Wyke,

1995).

6. Berbagai gangguan tidur pada lansia

Klasifikasi oleh Association of sleep disorder pada tahun 1999, gangguan

tidur berat pada lansia terbagi menjadi :

a. Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (Disorder of initiating

and maintaining sleep = DIMS).

b. Gangguan mengantuk berlebihan (disorder of excessive somnolence =

DOES).

c. Gangguan siklus tidur – jaga (disorder of the sleep – wake cycle).

d. Perilaku tidur abnormal (abnormal sleep behaviour, parasomnias)


7. Faktor yang mempengaruhi tidur pada lansia.

Menurut Potter dan Perry (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi

tidur antara lain :

 Penyakit fisik

Seseorang yang mengalami sakit memerlukan waktu tidur yang lebih

banyak dari normal. Namun demikian, keadaan sakit menjadikan

seseorang kurang tidur bahkan tidak dapat tidur.

 Latihan fisik dan kelelahan

Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Seseorang

dengan kelelahan tingkat menengah dapat tidur nyenyak, sedangkan

pada kelelahan yang berlebihan akan menyebabkan periode tidur REM

lebih pendek.

 Stres emosional

Depresi akan menyebabkan gangguan frekuensi tidur. Hal ini

disebabkan oleh kondisi cemas yang meningkatkan norepirefin darah

melalui sistem saraf simpatis dan akan mengurahi tahap REM dan

NREM.

 Obat-obatan dan subtansi

Beberapa jenis obat dan subtansi yang dapat menimbulkan gangguan

tidur yaitu : diuretik, antidepresan, kafein, betabloker, narkotika,

amfetamin.
 Nutrisi

Makanan seperti keju, susu, daging dan ikan tuna dapat mempercepat

tidur.

 Lingkungan

Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang untuk

tidur. Pada lingkungan yang tenang memungkinkan seseorang untuk

tidur nyenyak dan sebaliknya.

 Motivasi

Motivasi dapat mempengaruhi dan menimbulkan keinginan untuk

tetap bangun dan menahan tidak tidur, sehingga dapat menimbulkan

gangguan proses tidur.

8. Penatalaksanaan gangguan tidur

a. Farmakologik

Benzodiazepine merupakan pilihan yang paling sering digunakan

untuk mengatasi gangguan tidur, namun penggunaan dalam jangka

waktu panjang tidak di anjurkan. Karena dapat menyebabkan

penurunan kognitif dan gangguan koordinasi motorik.

b. Non farmakologik

- Hygiene tidur

Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur

merupakan syarat yang mutlak untuk gangguan tidur. Jadwal tidur-

bangun dan latihan fisik sehari-hari yang teratur perlu


dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari suasana tidak nyaman.

Klien di minta untuk menghindari latihan fisik berat sebelum tidur.

Tempat tidur jangan dijadikan tempat untuk menumpahkan

kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan lingkungan ini efektif

untuk memperbaiki tidur.

- Terapi pengontrolan stimulus

Terapi ini bertujuan untukmemutus siklus masalah yang sering

dikaitkan dengan kesulitan memulai dan jatuh tidur.

Ada beberapa instruksi yang harus diikuti oleh penderita insomnia:

1. Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.

2. Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

3. Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelepon di

tempat tidur.

4. Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa bertambah

frustasi jika tidak bisa tidur.

5. Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun,

pergi ke ruang lain, kerjakan sesuatu yang membuat terjaga,

masuk kamar tidur setelah kantuk dating kembali.

6. Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan

waktu tidur, total tidur, atau hari

7. Menghindari tidur di siang hari

8. Jangan menggunakan stimulant (kopi, rokok,dll) dalam 4-6 jam

sebelum tidur.
- Slepp restriction therapy

Membatasi waktu ditempat tidur dapat membantu

mengkonsolidasi tidur. Terapi ini bermanfaat untuk pasien yang

terbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya bila klien

mengatakan bahwa hanya tertidur 5 jam dari 8 jam waktu

berbaring maka waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di

siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur di siang hari

sekitar 30 menit, bila efisiensi tidur lansia mencapai 85% (rata-rata

setelah lima hari), waktu tidurnya boleh di tambahkan 15 menit.

Terapi pembatasan tidur dapat mengurangi frekuensi dan durasi

terbangun di malam hari.

- Terapi relaksasi dan biofeedback

Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas

dalam sehingga terjadi keadaan rileks, cukup efektif untuk

memperbaiki tidur. Biofeedbackyaitu memberikan umpan balik

perubahan fisiologis yang terjadi setelah relaksasi.

- Terapi apnea tidur obstruktif

Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari tidur

terlentang, menggunakan perangkat gigi, menurunkan berat badan,

menghindari obat-obat yang menekan jalan napas, menggunakan

stimulansia pernafasan seperti acetazolamide, nasal continuous

positive airway pressure, upper airway surgery (Amir, 2007).


B. Konsep ADL (Activity Daily Living)

1. Definsi

ADL adalah kegiatan melakukan pekerjaan rutin sehari-hari. ADL

merupakan aktivitas pokok bagi perawatan diri. ADL meliputi antara lain

ke toilet, makan, berpakaian (berdandan), mandi, dan berpindah tempat.

(Hardiwinito dan setiabudi,2005). Sedangkan menurut Brunner & Suddart

(2002), ADL adalah aktifitas perawatan diri yang harus pasien lakukan

setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup sehari-hari.

ADL adalah keterampilan dasar dan tugas okupasional yang harus dimiliki

seseorang untuk merawat dirinya secara mandiri yang dikerjakan

seseorang sehari-harinya dengan tujuan untuk memenuhi/berhubungan

dengan perannya sebagai pribadi dalam keluarga dan masyarakat

(Sugiarto,2005).

2. Macam-macam ADL.

a. ADL dasar yaitu keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang

untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum,

toileting, mandi, berhias, dan kemampuan mobilisasi (Sugiarto, 2005).

b. ADL instrumental yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaaan

alat atau benda penunjang kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan

makanan, menggunakan telepon, menulis, mengetik, dan mengelola

uang.

c. ADL vokasional yaitu ADL yang berhubungan dengan pekerjaan


d. ADL nonvokasional yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi dan

mengisi waktu luang.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi ADL

Menurut Hardywinoto (2007), kemauan dan kemampuan untuk melakukan

ADL tergantung pada beberapa faktor yaitu :

a. Umur dan status perkembangan

Umur dan status perkembangan seseorang menunjukan kemauan dan

kemampuan, ataupun bagaimana klien bereaksi terhadap

ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari

b. Kesehatan fisiologis

Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan

partisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Bila terjadi terjadi gangguan

pada salah sistem tubuh maka akan berpengaruh pada pelaksanaan

aktivitas sehari-hari.

c. Fungsi kognitif

Fungsi kognitif menunjukan proses menerima, mengorganisasikan dan

menginterpretasikan sensor stimulus untuk berpikir dan menyelesaikan

masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif

,dapat mengganggu dalam proses berpikir logis, dan menghambat

kemandirian dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

d. Fungsi psikososial

Fungsi psikologi menunjukan kemampuan seseorang untuk mengingat

sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang
realistik. Interaksi intrapersonal dan interpersonal dalam proses ini

apabila mengalami gangguan akan mempengaruhi kemampuan dalam

pemenuhan aktivitas sehari-hari.

e. Tingkat stres

Stress merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam

kebutuhan. Stressor dapat timbul dari tubuh atau lingkungan atau dapat

mengganggu kesimbangan tubuh.

f. Ritme biologi

Irama biologi membantu mahluk hidup mengatur lingkungan fisik

disekitarnya dan membantu homeostatis internal (keseimbangan dalam

tubuh dan lingkungan).Salah satu irama biologi adalah irama

sirkardium yang berjalan pada siklus 24 jam. Perbedaan irama

sirkadium membantu aktifitas meliputi tidur, temperature tubuh dan

hormon.

g. Status mental

Status mental menunjukan keadaan intelektual seseorang. Seperti yang

diungkapkan cahya yang dikutip dari baltes, salah satu yang dapat

mempengaruhi ketidakmandirian individu dalam memenuhi

kebutuhannya adalah keterbatsan status mental.

h. Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat salah satunya adalah

posyandu lansia. Lansia yang secara aktif melakukan kunjungan ke


posyandu kualitas hidupnya akan lebih baik daripada lansia yang tidak

aktif ke posyandu (Pujiyono 2009).

C. Konsep Lanjut usia (Lansia)

1. Definisi lansia

Menurut WHO dan Undang-Undang No 13 tahun 1998 pasal 1 ayat 2,

3,4 tentang kesehatan, usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai

usia ≥ 60 tahun.

2. Karakteristik lansia

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan secara

perlahan-lahan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang

diderita(Contantinedes,1994). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi

merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi

rangsangan dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian memang harus

diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering terjadi pada kaum lansia

(Nugroho,2000).

Menurut Budi Ana Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik sebagai

berikut :

a. Berusia lebih dari 60 tahun (UU no 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia).


b. Kebutuhan dan masalah bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta kondisi adaptif dan

maladaptive.

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi

3. Tipe lansia

Tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,

kondisi fisik, mental, social, dan ekonominya (Nugroho,2000). Tipe

tersebut diantaranya :

a. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

c. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin mentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengeritik dan

banyak menuntut.

d. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan

melakukan pekerjaan apa saja.

e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,

pasif dan acuh tak acuh.

4. Perubahan fisiologis pada lansia

Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang

terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik antara lain (Padila, 2013) :

a. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang

menetap.

b. Rambut kepala mulai memutih atau beruban

c. Gigi mulai lepas (ompong)

d. Mudah lelah dan mudah jatuh

e. Mudah terserang penyakit

f. Nafsu makan menurun

g. Penciuman mulai berkurang

h. Gerakan mulai lamban dan kurang lincah

i. Pola tidur berubah

5. Kebutuhan hidup lansia

Kebutuhan hidup lansia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi

seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan

kondisi rumah yang tentram dan aman, kebutuhan social seperti

bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka

mempunyai banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi

pengalaman, memberikan pengarahan untuk hidup yang lebih baik.

Kebutuhan tersebut di perlukan oleh lansia agar dapat mandiri sehingga


dapat melakukan tugas dalam perkembangannya. Kemandirian lansia

dapat dilihat dari kemampuan untuk melakukan aktivitas normal sehari-

hari. Kemandirian lansia tidak hanya diukur dari kemampuan mereka

dalam beradaptasi dan beraktivitas normal sehari-hari, tapi juga dari

kondisi tubuh ataupun kesehatan lansia. Semakin lemah kondisi kesehatan

lansia semakin berkurang pula kemapuannya dalam beraktivitas

(Yunita,2010).

Anda mungkin juga menyukai