Anda di halaman 1dari 15

2.

6 Manifestasi Klinis
Komplikasi Orbital yang disebabkan oleh sinusitis maksilaris. Gejala yang paling umum
ditemukan pertama kali adalah edema dan eritema diikuti dengan proptosis , rinorea purulent,
kehilangan motilitas okuler dan diplopia serta gejala konstitusional seperti demam dan sakit
kepala.

Grup 1
Karena drainase vena terbatas Pembengkakan kelopak mata tidak
Udem inflamasi dan selulitis
akibat edema inflamasi nyeri tekan
preseptal (periorbita)

Pembengkakan kelopak mata dengan


Grup 2 Edema dan peradangan tanpa
tanda-tanda proptosis dan mobilitas
Selulitis Orbita pembentukan abses
meta berkurang serta chemosis

Grup 3 Pus terkumpul di ruang antara Ditandai edema dan proptosis yang
Abses Subperiosteal tulang dan periosteum lebih lanjut

Proptosis semakin memburuk,


Grup 4 Pus terkumpul di dalam ruang
opthalmoplegia dengan kehilangan
Abses Orbita orbita
penglihatan

Grup 5 Demam, sakit kepala,


Trombosis opthalmoplegia, kehilangan
Sinus Cavernosus penglihatan, kelumpuhan saraf
kranial

Tabel 1: Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan komplikasi4

1
Gambar 9: Selulitis Periorbita6 Gambar 10: Selulitis Orbita3

Gambar 11: Abses Periosteal4

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik.
Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri
wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung,
drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis
akut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan
nyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga. Beberapa gejala ditemukan spesifik pada anak-
anak seperti batuk dan iritasi. Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua kriteria mayor atau satu
mayor dan dua minor.12
Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan mempelajari riwayat penyakit pasien,
menanyakan tentang durasi dan faktor lain yang berhubungan dengan alergi lingkungan,
pengobatan (termasuk penggunaan alat semprot dekongestan hidung yang tidak sesuai), trauma

2
hidung, dan operasi hidung sebelumnya. Tindakan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik dengan
seksama, termasuk endoskopi hidung. Melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, meliputi
hidung eksternal dan internal.12
Untuk mendiagnosis sinusitis maksilaris dengan komplikasi orbita juga dimulai dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan gejala-gejala pada
tiap tahapan komplikasi sinusitis ke orbita.

2.8 Diagnosa Banding


2.8.1. Rhinitis Chronika Atropicans Foetida (Ozaena)
Rhinitis Chronika Atropicans Foetida atau sering disebut Ozaena adalah penyakit infeksi
hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan
pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.22
Etiologi dan pathogenesis ozaena sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti,
beberapa ahli mengatakan akibat infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus.
Kuman lain sebagai penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus. Faktor lain yang diduga sebagai penyebab yaitu adanya defisiensi nutrisi (vitamin A dan
zat besi), endokrin(estrogen) dan herediter. Defisiensi estrogen didukung dengan kejadian
penyakit biasanya mulai sekitar usia pubertas, bertambah parah saat haid dan hamil, serta gejala
berkurang pada pemberian terapi estrogen. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka
pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor
penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau
jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu
ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini
sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit.
Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif
yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia) .6
Untuk mendiagnosis ozaena dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang .13

3
a. Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam hidung. Gejala
ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun pada
rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang
sekitarnya sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi
penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi
pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat
mengering). Hidung tersumbat, gangguan penghidu, sakit kepala dan epistaksis.
b. Pemeriksaan Fisik :
Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi atrofi, ada
sekret purulen dan krusta berwarna hijau.
c. Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan hemoglobin penting pada penderita anemia, hitung jumlah leukosit bisa
didapatkan leukositosis, hapusan darah tepi akan didapatkan hipokromik mikrositik yang
menggambarkan anemia defisiensi besi. Pasien malnutrisi memerlukan pemeriksaan kadar
protein serum dan vitamin plasma. Usap hidung diperlukan untuk pemeriksan pengecatan, kultur
dan sensitivitas antibotika. Pemeriksan nasal endoskopi diperlukan untuk menunjukkan adanya
krusta kehijauan dan atrofi konka, serta membantu untuk usap hidung. Pemeriksaan
histopatologik yang berasal dari biopsi konka media, Pemeriksaan mikrobiologi untuk
menentukan kuman penyebab, pemeriksaan radiologi sinus paranasalis. Dan juga CT-Scan,
dimana pada pemeriksaan ini ditemukan: Penebalan mukoperiostium sinus paranasalis,
kehilangan ketajaman dan kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan
proses “uncinate”, hipoplasia sinus maksilaris, pelebaran kavum hidung dengan erosi dan
membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa pada konkha media dan
inferior.

Ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :


 Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
 Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

4
 Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.

2.8.2 Rinoskleroma
Rinoskleroma adalah penyakit radang kronis granulomatosa yang mulai di hidung, kemudian
dapat meluas ke nasofaring, orofaring, laring dan kadang-kadang sampai ke trakea dan bronkus.
Rinoskleroma merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronik pada hidung yang disebabkan
oleh Klebsiella rhinoscleromatis. Penyakit berjalan lambat, dimulai sebagai reaksi radang akut
dini dengan rinore purulen yang berbau busuk. Selanjutnya terbentuk krusta hidung dan nodula-
nodula keras, tumbuh lambat dan tidak peka, yang akhirnya dapat menyumbat hidung. Hidung
bawah dan bibir atas menonjol bila tidak diobati, menimbulkan deformitas yang luas.19
Perjalanan penyakitnya terjadi dalam 3 tahap17, yaitu:
1. Tahap mukopurulenta
Terjadi perlunakan mukosa yang terserang serta perubahan pada dasar hidung, septum dan
konka yang ditandai adanya sekret mukopurulent dan bila mengering akan terbentuk krusta yang
menimbulkan bau busuk. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan biasanya belum terdiagnosis.
2. Tahap Granulomatosa
Mukosa hidung membentuk massa peradangan terdiri dari jaringan ikat, membentuk jaringan
granulasi atau seperti polip. Dapat menyebabkan destruksi tulang dan tulang rawan sehingga
menyebabkan deformitas puncak hidung dan septum, dan bisa menyebabkan epistaksis. Jaringan
ikat ini sering meluas keluar dari nares anterior atau ke sinus paranasalis, nasofaring, faring atau
saluran napas bawah. Timbul jaringan granulasi yang membentuk nodul non-ulseratif yang
berwarna kemerahan dan kenyal, lama-kelamaan berubah menjadi lebih pucat dan keras. Tahap
ini berlangsung berbulan-bulan atau bertahun.
Gambaran histopatologi pada stadium ini sangat khas, adanya :
 Hialine bodies dari Russel
 Sel Mikuliez (foal cell), yaitu suatu sel makrofag yang besar dengan adanya sitoplasma
yang berbusa disertai nukleus yang kecil yang terletak eksentrik

5
3. Tahap Sklerotik atau Sikatriks
Dimana terbentuk sikatriks yang bersifat retraktif kontraktif dan terjadi pergantian jaringan
granulasi menjadi fibrotik dan sklerotik yang menyebabkan penyempitan saluran napas serta
terjadi adhesi dan stenosis sehingga terjadi perubahan bentuk atau malformasi anatomis dari
organ yang terkena, antara lain stenosis hidung, laring dan bronkus. Kelainannya dapat meluas
ke sinus maksilaris, sakus lakrimalis, nasofaring, palatum durum, trakea dan bronkus utama.
Penyebaran ke kelenjar getah bening sangat jarang. Kerusakan tulang yang luas mungkin terjadi
dan meskipun jarang, penyakit ini dapat berubah menjadi ganas. Pada satu pasien ketiga tahap itu
mungkin dapat ditemukan bersamaan.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


2.9.1 Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan
angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan).

2.9.2 Rontgen sinus paranasalis


Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa
 Penebalan mukosa
 Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
 Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto
waters.

2.9.3 CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan
adanya kelainan pada mukosa dan variasi anatominya yang relevan untuk mendiagnosis
komplikasi sinusitis ke orbita. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan
dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.

6
Gambar 12: Contoh Pemeriksaan CT Scan pada Sinusitis5

2.9.4 Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang
perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari
ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan
yang tidak menyenangkan buat pasien.

Gambar 13: Nasal Endoskopi2

2.9.5 Pemeriksaan mikrobiologi


Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat bila
dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,
pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis
dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik
yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.3
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan demikian
untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya penyebab
sinusitisnya. Penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak adalah Stafilokokus aureus,
diikuti Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia. Sedangkan kuman Streptokokus

7
pneumonia sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus
aureus dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Corynebacterium sp. 3

2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Medikamentosa
Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal selulitis periorbital. Jika hal ini
tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi selulitis orbital dan abses. Hasil dari
manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbital. Jika
dicurigai adanya orbital selulitis atau abses, maka harus dikonsultasikan ke dokter mata.
Diagnosis harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda.3
Pasien dengan edema inflamasi kelopak mata ringan atau preseptal selulitis (grup 1) dapat
diobati dengan antibiotik oral dan dekongestan. Yang paling efektif adalah Cefuroxime,
amoksisilin klavulanat. Antibiotik parenteral diberikan pada komplikasi yang melibatkan
postseptal (grup2-5). Antibiotik parenteral meliputi Ceftriaxone atau Cefotaxime ditambah
cakupan untuk bakteri anaerob (penambahan Metronidazole atau Klindamisin). Antibiotik
untuk methicillin-sensitif S. aureus serta bakteri aerob dan anaerob termasuk Cefoxitin,
Carbapenems, dan kombinasi dari Penisilin (misalnya Tikarsilin) dan inhibitor beta-laktamase
(misalnya Asam klavulanat). Metronidazol diberikan dalam kombinasi dengan agen efektif
melawan aerobik atau fakultatif Streptokokus dan S. aureus. Glycopeptide (Vankomisin
misalnya) harus diberikan dalam kasus dengan adanya atau dicurigai adanya Methicillin-
resistant S. aureus (MRSA)

2.10.2 Pembedahan
Pembedahan diindikasikan pada keadaan seperti dibawah ini, yaitu1 :
 Pasien grup III, IV, dan V (Klasifikasi Chandler)
 Stadium I dan II jika kondisi pasien memburuk dalam 24-48 jam setelah pengobatan
antibiotik
 Ketajaman visual semakin memburuk
 Peningkatan level Proptosis dan oftalmoplegia
 Adanya abses yang tampak pada CT scan

8
Intervensi yang dilakukan berupa insisi atau drainase abses orbital, antrostomy intranasal,
operasi sinus frontal dengan menggunakan trephine, dan ethmoidectomy. Deteksi dini
komplikasi sinusitis dan penanganan yang segera dapat mencegah perburukan penyakit.

2.11 Komplikasi
Komplikasi Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan,
karena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Hal ini lebih ditekankan pada anak-anak,
karena anak-anak mempunyai tulang septa dan dinding sinus yang lebih tipis, porositas tulang
yang lebih besar, garis sutura yang terbuka dan pembuluh darah foramen yang lebar. Orbita
dipisahkan dari sinus ethmoid dan sinus maksila oleh lempeng tulang tipis ( lamina papiracea )
saja, sehingga infeksi dapat menyebar langsung oleh penetrasi dari tuang tipis tersebut .23
Infeksi juga dapat meluas secara langsung dengan melintasi foramen etmoidalis anterior dan
posterior, karena sistem pembuluh vena pada mata tidak mempunyai katup maka vena yang
melebar serta komunikasi limfatik antara sinus dan struktur sekitarnya memungkinkan aliran dua
arah yang dapat menyebabkan tromboflebitis dan penyebaran infeksi.8
Komplikasi orbita telah dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah

menurut tingkat keparahannya, yaitu23 :

1. Udem inflamasi dan selulitis preseptal


Udem terjadi karena adanya tekanan inflamasi pada pembuluh darah etmoid yang menyebabkan
infeksi sehingga terjadi obstruksi vena. Pasien umumnya datang dengan tanda dan gejala
sinusitis yang berhubungan dengan udem dan eritema pada kelopak mata.
2. Selulitis orbita
Terjadi peradangan dan selulitis dari isi orbita dengan berbagai tingkat proptosis, kemosis dan
atau gangguan visual yang tergantung dari beratnya komplikasi. Keterlibatan orbita
menyebabkan udem difus dan infiltrasi bakteri pada jaringan adipose tetapi belum terjadi abses
3. Abses subperiosteal
Terjadi abses yang dapat menyebabkan keterbatasan gerakan dari bola mata. Selama infeksi
hanya terbatas di subperiosteal, maka tidak ada gangguan penglihatan yang terjadi. Pernglihatan
umumnya normal pada stadium awal namun dapat menjadi terganggu.

9
4. Abses orbita
Terjadi akumulasi pus dalam jaringan lunak orbita di belakang bola mata. Abses berkembang
karena terjadi perluasan infeksi ke lemak orbita yang berhubungan dengan proses inflamasi,
purulensi dan nekrosis lemak. Gangguan visual dapat terjadi karena tingginya tekanan dalam
orbita yang menyebabkan okusi arteri retina atau neuritis optic.
5. Thrombosis sinus kavernosus
Terjadi akibat perluasan dari infeksi orbita yang kemungkinan terjadi karena tidak adanya katup
pada pembuluh darah orbita yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Tahap ini adalah tahap
komplikasi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan adanya ptosis, nyeri orbital, gangguan
berat ketajaman visual dan hilangnya penglihatan pada mata yang kontralateral. Persentase
terjadinya kebutaan dan kematian mencapai 20 persen.

Gambar 8: Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita1

2.12 Prognosis
Diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat dapat menghasilkan angka survival rate
70-75%. Namun gejala sisa permanen seperti kebutaan dan kelumpuhan saraf kranial lainnya

10
umumnya terjadi pada penderita.3 Meskipun pengobatan agresif dilakukan dengan antibiotik dan
pembedahan drainase, abses orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus di mana hasil
visualisasi akhir dilaporkan 7,1% sampai 23,6% pasien menjadi buta.4
Perlu diingat bahwa angka kematian setelah thrombosis sinus kavernosus bisa mencapai
80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh, angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %,
dimana gejala sisa thrombosis sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.
.

11
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Sinusitis maksilaris merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada
praktik sehari-hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Gejala-gejala sinusitis
maksilaris ditandai dengan hidung tersumbat, nyeri tekanan pada wajah, ingus purulent,
gangguan penciuman, sakit kepala, demam dan gejala-gejala sistemik lainnya. Komplikasi ke
orbita merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena keistimewaan anatominya.
Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama
dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari
sinusitis primernya. Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan,
karena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya.
Komplikasi ke orbita merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena
keistimewaan anatominya. Komplikasi ke orbital terjadi disebabkan secara anatomi sinus
ethmoidalis, maksila, dan frontal berhubungan dengan rongga orbita. Komplikasi orbita telah
dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah menurut tingkat keparahannya,
yaitu udem inflamasi dan selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan
thrombosis sinus kavernosus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik.
Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri
wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung,
drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis
akut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan
nyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga.
Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal komplikasi orbita. Hasil dari
manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbita. Diagnosis
harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda.

12
3.2 Saran
Dalam Referat ini terdapat penjelasan tentang Sinusitis maksilaris dengan komplikasi
orbita, agar supaya semua Dokter Muda FK-UWKS pada kepaniteraan klinik di ilmu THT-
KL dapat memahami dan mengetahui tentang bagaimana sinusitis maksilaris dengan
komplikasi orbita terhadap pasien, baik melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
tambahan, manifestasi klinik, penatalaksanaan dan prognosisnya.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Bailey JB. Sinusitis: In TextBook of Head and Neck Surgery- Otolaryngology Volume
I Ed 2.2006. p452
2. Becker DG. Sinusitis. Jurnal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003 ; 13 (3)
; 175-194.
3. Brook Itzhak. Microbiology and anti Microba Treatment of Orbital and Intracranial
complications of Sinusitis in Children and their Management. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryology. 2009 (73).1183-6

4. Chaundry IA, Al-Rashed W, Arat Yo. The Hot Orbital : Orbital Cellulitis. Middle
East Afr J Ophthalmol. 2012. 19(1): 34–42.

5. Chavan SS. Et.al. Orbital Complication of Sinusitis-Case study. World Articles in Ear,
Nose, Throat. November 2010. Vol 3-1

6. Dutt SN, Kameswaran M. Review article the etiology and management of atrophic
rhinitis. J Laryngol Otol 2009; 119 : 843- 52.

7. Elango S, Reddy TNK. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J.


1990 ; 31 ; 341-344.
8. Garryty James. Preceptal and Orbital Selullitis. Maret 2012. Diunduh dari
www.merckmanuals.com

9. Goldbert C. Periorbital Selullitis. 20 Maret 2012. Diunduh dari


www.meded.ucsd.edu.com

10. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku Ajar
Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 2007. hal 240-53

11. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2011. Hal 150-3.

12. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD [editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2011 : h.145-
149.

13. Moore EJ, Kern EB. Atrophic rhinitis: A review of 242 cases. Am J Rhinol 2011;
15(6): 355-61.

14. Neto LM, Mitsuda AV, Fava AS. Et. al. Acute Sinusitis in Children - A Retrospective
Study of Orbital Complications. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2017; 73
(1) : 81-5

14
15. Netter, F.H . 2016 . Atlas of Human Anatomi ( Netter Basic Science

16. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal Nerve.
Maret 2012.Diunduh dari http://home.comcast.net/

17. Ovetchkine P. Rodriguez D. Grant A. Puel A. Bustamante J. etc.


Rhinoscleroma : A Franch National Retrospective Study of Epidemiological
and Clinical Features. 2014. Diunduh dari :
http://cid.oxfordjournals.org/content/47/11/1396.full

18. Pletcher SD, Golderg AN. 2013. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

19. Soepardi EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokKepala & Leher.
Edisi Keenam. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

20. Valera FC. Et.al. Orbital Complication of Acute Rhinosinusitis- A new Classification.
Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2017; 73 (5) : 684-8

21. Voegels RL. Sinusitis Orbitary Complications Classification : Simple and Practical
Answers. Brazilian Journal Otorhinolaryngology 2007 : 73 (5) ; 578

22. Yucel A, Aktepe O, Aktepe F, Derekoy FS. Atrophic rhinitis : A case report. Turk J
Med Sci 2016; 33: 405-7.

23. Zinreich Kennedy B. Orbital Complication: In TextBook Diseases of the Sinuses:


Diagnosis and Management. 2014: p169-170

15

Anda mungkin juga menyukai