Anda di halaman 1dari 28

MEKANISME PENYAKIT GINJAL KRONIK

Batasan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
. berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
2 Laju filtrasi glomelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama
. 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal
kronik.

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth faktors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotansin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth faktor seperti transforming growth faktor β
(TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metanolisme fosfor
dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal
kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000
mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti
pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tata laksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya


Deraja LFG Rencana tatalaksana
t (ml/mnt/1,73m2)
1 ≥90 - Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2 60 – 89 - Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30 – 59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 - Terapi pengganti ginjal
ANATOMI GINJAL DAN SALURAN KEMIH
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekspresikan
zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal gagal
menjalankan fungsinya, terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi
vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan
reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang
tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air diekskresikan keluar tubuh dalam
urine melalui sistem pengumpul urine. Bab ini akan membahas anatomi
makroskopis dan mikroskopis ginjal serta membahas mengenai fisiologi ginjal.

Hubungan Anatomis Ginjal


Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum,
di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar—transversus abdominis, kuadratus
lumborum, dan psoas mayor (Gbr. 44-2). Ginjal dipertahankan dalam posisi
tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak di atas kutub
masing-masing ginjal.
Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung – disebelah posterior
dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan di anterior
dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Bila ginjal mengalami cidera, maka
hampir selalu terjadi akibat kekuatan yang mengenai iga kedua belas, yang
berputar ke dalam dan menjepit ginjal di antara iga itu sendiri dengan korpus
vertebra lumbalis. Perlindungan yang sempurna terhadap cedera langsung ini
menyebabkan ginjal dengan sendirinya sukar untuk diraba dan juga sulit untuk
dicapai sewaktu pembedahan. Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak
teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior
ginjal tertutup oleh limpa. Namun, kutub bawah ginjal kanan yang berukuran
normal, dapat diraba secara bimanual. Kedua ginjal yang membesar secara
mencolok atau tergeser dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi, walaupun
hal ini lebih mudah dilakukan di sebelah kanan.

STRUKTUR MAKROSKOPIK GINJAL


Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7
hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya
sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.
Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan
pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan
tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah
perubahan struktur.
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena
adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus
adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. Ginjal
diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan
jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda—
korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi
baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian
korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak
karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang
terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap
duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk
seperti cawan yang disebut kaliks minor (L. calix, cawan). Beberapa kaliks minor
bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoir utama sistem pengumpul ginjal,
ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.
Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami
pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut
selama bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus
pengumpul. Urine yang terbentuk kemudian mengalir ke dalam duktus papilaris
Belini, masuk kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya
meninggalkan ginjal melalui ureter menuju vesika urinaria. Dinding kaliks, pelvis
dan ureter mengandung otot polos yang dapat berkontraksi secara berirama dan
membantu mendorong urine melalui saluran kemih dengan gerakan peristaltik.

STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJAL


Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari
fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang
mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
Henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul. Orang yang normal masih dapat bertahan (walaupun dengan susah
payah) dengan jumlah nefron kurang dari 20.000 atau 1% dari massa nefron total.
Dengan demikian, masih mungkin untuk menyumbangkan satu ginjal untuk
transplantasi tanpa membahayakan kehidupan.

Korpuskulus Ginjal
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Istilah glomerulus sering kali digunakan juga untuk menyatakan
korpuskulus ginjal, walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan rumbai
kapiler.
Kapsula Bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula
Bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang
Bowman atau ruang kapsular.
Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis
berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel viseralis
jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian
luar dari rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki
yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada
jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar
sel epitel. Daerah-daerah yang terdapat di antara podosit biasanya disebut celah
pori-pori, lebarnya sekitar 400 Å (satuan Angstrom).
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di
antara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain.
Membrana basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel
hidrasi yang menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis tidak tampak adanya
pori-pori, kendatipun bersifat seakan-akan memiliki pori berdiameter sekitar 70
sampai 100 Å.
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak
seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.
Namun terdapat beberapa pelebaran seperti jendela (dikenal dengan nama
fenestrasi) yang berdiameter sekitar 600 Å. Sel-sel endotel berlanjut dengan
endotel yang membatasi anteriola aferen dan eferen.
Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel viseralis merupakan
tiga lapisan yang membentuk membrana filtrasi glomerulus. Membran filtrasi
glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur
darah dan molekul-molekul protein besar dari bagian plasma lainnya, dan
mengalirkan bagian plasma tersebut sebagai urine primer ke dalam ruang dari
kapsula Bowman. Sifat diskriminatif ultrafiltrasi glomerulus timbul dari susunan
struktur yang unik dan komposisi kimia dari sawar ultrafiltrasi. Membrana basalis
glomerulus tampaknya merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut
ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Di samping itu, sawar
filtrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan oleh kumpulan makromolekul
kata anion pada membran basalis dan melapisi batas sel epitel dan endotel.
Muatan negatif inilah yang menjadi alasan mengapa secara normal albumin
anionik (yang berdiameter sedikit lebih kecil daripada ukuran pori yang terkecil)
tidak mampu masuk ke ruang urine. Molekul-molekul protein yang besar serta
sel-sel darah dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam filtrat maupun urine.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang
terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk
jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga
berfungsi sebagai kerangka jaringan penyongkong. Sel mesangial bukan
merupakan bagian dari membrana filtrasi namun menyekresi matriks mesangial.
Sel mesangial memiliki aktivitas fagositik dan menyekresi prostaglandin. Sel
mesangial mungkin berperan dalam memengaruhi kecepatan filtrasi glomerulus
dengan mengatur aliran melalui kapiler karena sel mesangial memiliki
kemampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan kapiler
glomerulus. Sel mesangial yang terletak di luar rumbai glomerular dekat dengan
kutub vascular glomerulus (antara anteriola aferen dan eferen) disebut sel lacis.

APARATUS JUKSTAGLOMERULUS
Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomerulus yang berperan
penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume cairan
ekstraseluler (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel : (1)
jukstaglomerulus (JG) atau sel granular (yang memproduksi dan menyimpan
renin) pada dinding arteriol aferen, (2) makula densa tubulus distal dan (3)
mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah sekelompok sel
epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini
bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi
renin.
Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan
intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG
dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau
penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang
sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut disimpan di
dalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol
aferen, juga bertindak sebagai transduser tekanan miniature, yaitu merasakan
takanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang
sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang dirasakan
sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke
dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-
aldosteron (dibahas di akhir bab ini).
Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat di dalam sel makula
densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang
terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium
klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang diabsorpsi dalam
tubulus proksimal); kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG
menyebabkan peningkatan pelepasan renin. Mekanisme sinyal klorida yang
diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu
peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal
dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang
berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF – yaitu
menekan sekresi renin.
Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal,
yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1–adrenergik dalam JGA,
dan angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain
yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan
natrium) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormon
antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida
(dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium (EDRF),
dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi
berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

FISIOLOGI DASAR GINJAL


Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol
oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus seperti yang akan dibahas
dalam bagian selanjutnya. Kotak 44-1 menyajikan daftar fungsi ginjal yang
mungkin berguna sebagai bahan tinjauan pada tahap ini. Fungsi-fungsi ini akan
dibahas kembali pada bagian akhir bab ini.

ULTRAFILTRASI GLOMERULUS
Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma.
Aliran darah ginjal (RBF) setara dengan sekitar 25% curah jantung atau 1.200
ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal (RPF)
sama dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar seperlima dari plasma
atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal
dengan istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada glomerulus
dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer mempunyai komposisi
sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul
protein yang besar atau protein bermuatan negatif (seperti albumin) secara efektif
tertahan oleh sekresi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari
sawar memban filtrasi glomerular, sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil
atau dengan beban yang netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah
langsung tersaring. Perhitungan menunjukkan bahwa 173 L cairan berhasil
disaring melalui glomerulus dalam waktu sehari-hari—suatu jumlah yang
menakjubkan untuk organ yang berat totalnya hanya sekitar 10 ons. Saat filtrat
mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai zat dari filtrat,
sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang diekskresi sebagai urine.

REABSORPSI DAN SEKRESI TUBULUS


Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus : elektrolit, nonelektrolit,
dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), Kalium
(K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan
fosfat (HPO4=). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa, asam amino, dan
metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein : urea,
asam urat, dan kreatinin.
Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah
reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi
direabsorpsi melalui “pori-pori” kecil yang terdapat dalam tubulus sehingga
akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang
mengelilingi tubulus. Disamping itu, beberapa zat disekresi pula dari pembuluh
darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.
Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transpor
aktif dan pasif. Suatu mekanisme disebut aktif bila zat berpindah melawan
perbedaan elektrokimia (yaitu, melawan perbedaan potensial listrik, potensial
kimia, atau keduanya). Kerja langsung ditujukan pada zat yang direabsorpsi atau
disekresi oleh sel-sel tubulus tersebut, dan energi ini dikeluarkan dalam bentuk
adenosin trifosfat (ATP) (misalnya, 3Na+/2K+ ATPase). Mekanisme transpor
disebut pasif bila zat yang direabsopsi atau disekresi bergerak mengikuti
perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses perpindahan zat tersebut tidak
dibutuhkan energi.
Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya di sepanjang tubulus
proksimal melalui transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya
direabsorpsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal.
Sedikitnya dua pertiga dari jumlah natrium yang difiltrasi akan direabsorpsi secara
aktif dalam tubulus proksimal. Proses reabsorpsi natrium berlanjut dalam
lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul, sehingga kurang dari 1% beban
yang difiltrasi diekskresikan dalam urine. Sebagian besar Ca 2+ dan HPO4=
direabsorpsi dalam tubulus proksimal dengan cara transpor aktif. Air, klorida, dan
urea direabsorpsi dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Dengan
berpindahnya sejumlah besar ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen
tubulus, maka ion klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk
mencapai kondisi listrik yang netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan
nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan mengalami
pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar tubulus dan masuk ke
darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif mengikuti perbedaan
konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorpsi air. Ion hydrogen (H +), asam organik
seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa
organik) semuanya secara aktif disekresi ke dalam tubulus proksimal. Sekitar 90%
dari bikarbonat direabsorpsi secara tak langsung dari tubulus proksimal melalui
pertukaran Na+--H+. H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus (sebagai penukar
Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus
sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan berdisosiasi menjadi air
dan karbondioksida (CO2). CO2 maupun H2O akan berdifusi keluar lumen tubulus,
masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut sekali lagi, karbonik anhidrase
mengatalis reaksi CO2 dengan H2O untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi
H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali dan HCO3- akan masuk
ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+.
Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian
asenden dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya akan berdifusi secara
pasif masuk bagian lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan urine
dan akan dibahas kemudian dalam bab ini.
Proses sekresi dan reabsorpsi selektif diselesaikan dalam tubulus distal dan
duktus pengumpul. Dua fungsi penting tubulus distal adalah pengaturan tahap
akhir dari keseimbangan air dan asam-basa. Pada fungsi sel yang normal, pH ECF
harus dapat dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45. Sejumlah
mekanisme biologis bersama-sama membantu mempertahankan pH dalam batas
normal.

PATOFISIOLOGI UMUM GAGAL GINJAL KRONIK


Terdapat dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk
menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandangan
tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun
dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang
berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah
strukturnya. Misalnya, lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik
pada lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars asendens
lengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran balik penukar. Pendekatan
kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh,
yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya
akan hancur, namun sisa nefron yang masuh utuh tetap bekerja normal. Uremia
akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan
cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini
sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal
progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan
elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Urutan peristiwa dalam patofisilogi gagal ginjal progresif dapat diuraikan
dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit ginjal kronik terus
berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oelh ginjal untuk
mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang
bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi
penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi
peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam
setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam
ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi
ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron
sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron
demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan
antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorsi oleh tubulus) tidak dapat lagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi
zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat
mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang
berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan
ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan
urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 265 mOsm (yaitu
sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan
nokturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makanan normal mengekskresi zat
terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalau orang itu tidak dapat lagi memekatkan
urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar 285 mOsm, maka tanpa
memandang banyaknya asupan air akan terdapat kehilangan obligatorik 2 liter air
untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respon terhadap
beban zat terlarut yang sama dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat
memekatkan urine sampai 4 kali lipat konsentrasi plasma dan dengan demikian
hanya akan mengekskresi sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai
akhirnya mencapai nol, maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat
terlarut secara tepat untuk mampu mengakomodasikan penurunan fleksibilitas
fungsi ginjal.
Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan
eksperimental. Bricker dan Fine (1969) memperlihatkan bahwa pada pasien
pielonefritis dan anjing-anjing yang ginjalnya dirusak pada percobaan, nefron
yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan menjadi lebih aktif dari
keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal seorang yang normal
dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal ini
mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu secara
bersama-sama.
Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat
akan bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal progresif. Hal ini
mendukung hipotesis nefron yang utuh. Data eksperimental dalam Gambar 46-3
memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah beban zat terlarut secara
progresif, maka kemampuan pemekatan urine dalam keadaan kekurangan air
(kurva atas) atau kemampuan pengenceran urine dalam keadaan asupan air yang
banyak (kurva bawah) akan menghilang secara progresif. Kedua kurva mendekati
berat jenis 1,010 sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285
mOsm sehingga terjadi berat jenis yang tetap.
Keadaan percobaan tersebut di atas dapat ditimbulkan pada seorang
normal dengan memberikan manitol (suatu diuretik osmotik). Angka 10 pada
sumbu x sengaja dipilih untuk memperlihatkan bahwa ginjal mengekskresi beban
zat terlarut sebanyak 10 kali lipat. Dalam keadaan ini setiap nefron yang normal
mengalami dieresis osmotik disertai kehilangan air obligatorik. Ginjal kehilangan
fleksibilitasnya untuk memekatkan maupun mengencerkan urine dari osmolalitas
plasma sebesar 285 mOsm.
Kejadian yang serupa mungkin terjadi pada pasien gagal ginjal progresif.
Pasien dengan 90% massa nefron yang rusak berada pada titik yang sama pada
grafik tersebut seperti orang normal dengan beban zat terlarut 10 kali keadaan
normal. Sepuluh persen sisa nefron dipaksa untuk mengekskresi 10 kali lipat
beban zat terlarut normal, dan dengan demikian kehilangan fleksibilitasnya.
Nefron-nefron tersebut tidak dapat mengkompensasi secara tepat dengan
perubahan yang terjadi melalui reabsorpsi tubulus terhadap kelebihan atau
kekurangan natrium atau air.
Tercatat beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat progresif,
bahkan bila faktor pencetus cedera telah disingkirkan. Sebagai contoh, pada anak-
anak dengan pielonefritis kronik yang disebabkan oleh refluks vesikouretral dan
infeksi traktus urinarius (UTI) yang berulang akan timbul jaringan parut
pielonefritis yang menyerang tubulus dan interstisium. Namun, bila refluks
tersebut dikoreksi secara bedah dan infeksi ginjal dihentikan dengan antibiotik,
gagal ginjal progresif tetap akan berlanjut. Observasi ini telah memulai upaya
penelitian utama baru-baru ini untuk mempelajari alasan perkembangan penyakit
ginjal dan cara untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal progresif tanpa
penyakit ginjal primer yang aktif adalah hipotesis hiperfiltrasi. Menurut teori
hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan
aliran plasma dan GFR serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus
(misalnya, tekanan kapiler glomerulus[Pgc]). Walaupun kenailan SNGFR dapat
menyesuaikan diri dengan lari jangka panjang.
Sebagian besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari
model sisa ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga
dari hinjal yang lain rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal
ginjal stadium akhir (ESRD) dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit
gagal ginjal primer. Tikus itu mengalami proteinuria dan biopsi ginjal pada sisa
ginjal memperlihatkan glomerulosklerosis yang meluas menyerupai lesi pada
banyak penyakit ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi ginjal dan gagal ginjal
progresif berdasarkan pada perubahan fungsi dan struktur yang timbul ketika
jumlah nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan
hipertensi sistemik dan peningkatan SNGFR (hiperfiltrasi) pada sisa nefron yang
utuh. Peningkatan SNGFR sebagian besar dicapai melalui dilatasi arteriol aferen.
Pada saat yang bersamaan, arteriol eferen berkontraksi karena pelepasan
angiotensin II lokal. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal (RPF) dan P gc
meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus.
Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan struktural yang
bermakna. Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan
jumlah sel epitel visera, dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai
glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan
hipertrofi merupakan perubahan signifikan yang menyebabkan cedera sekunder
dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif. Penurunan densitas
epitel visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan hilangnya sawar selektif
terukur sehingga akan meningkatkan protein yang hilang dalam urine.
Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu
akumulasi dari protein besar (misalnya, fibrin, immunoglobulin M [IgM],
komplemen) dalam ruang subendotelial. Akumulasi subendotelial ini menumpuk
bersama proliferasi matriks mesangial yang pada akhirnya menyebabkan
penyempitan lumen kapiler akibat tertekan. Cedera sekunder lainnya adalah
pembentukan mikroaneurisma akibat disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhan
adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan
dengan proteinuria dan gagal ginjal progresif. Selain itu, rangkaian ini
menyebabkan timbal balik positif dari lengkung Henle dengan percepatan proses
yang destruktif, sehingga makin sedikit sisa nefron yang utuh. Perubahan struktur
dan fungsional akan menyebabkan cedera sekunder pada glomerulus.
Perkembangan terbaru dalam pemahaman mekanisme gagal ginjal
progresif melalui hipotesis hiperfiltrasi menyebabkan dokter lebih memusatkan
perhatian pada pengobatan pencegahan cedera glomerulus sekunder daripada
menitikberatkan pada penyakit ginjal primer. Percobaan klinis besar yang
sekarang sedang dilakukan adalah pembatasan protein pada makanan dan terapi
antihipertensi yang dimaksudkan unruk memperlambat perkembangan gagal
ginjal kronik.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Organisme penyebab infeksi pada saluran kemih yang tersering adalah
Escherichia coli, yang menjadi penyebab pada lebih dari 80% kasus. E.coli
merupakan penghuni normal pada kolom. Organisme lain yang juga dapat
menimbulkan infeksi adalah golongan Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan
Pseudomonas. Organisme gram positif kurang berperan dalam UTI kecuali
Staphylococcus saprophyticus, yang meneybabkan 10% hingga 15% UTI pada
perempuan muda.
Pada kebanyakan kasus, organisme tersebut dapat mencapai vesika
urinaria melalui uretra. Infeksi dimulai sebagai sistitis, dapat terbatas di vesika
urinaria saja atau dapat pula merambat ke atas melalui ureter sampai ke ginjal.
Organisme juga dapat sampai di ginjal melalui aliran darah atau aliran getah
bening, tetapi cara ini dianggap jarang terjadi. Vesika urinaria dan bagian atas
uretra biasanya steril, meskipun bakteri dapat ditemukan di bagian bawah uretra.
Tekanan dari aliran urine menyebabkan saluran kemih normal mengeluarkan
bakteri yang ada sebelum bakteri tersebut sempat menyerang mukosa. Mekanisme
pertahanan lainnya adalah kerja antibakteri yang dimiliki oleh mukosa uretra, sifat
bakterisidal dari cairan prostat pada laki-laki, dan sifat fagositik epitel vesika
urinaria. Meskipun terdapat mekanisme pertahanan seperti ini, infeksi tetap
mungkin terjadi dan kemungkinan ini berkaitan dengan faktor predisposisi.
Obstruksi aliran urine yang terletak di sebelah proksimal dari vesika
urinaria dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal
dan ureter. Hal ini saja sudah cukup unruk mengakibatkan atrofi hebat pada
parenkim ginjal. Keadaan ini disebut hidronefrosis. Di samping itu, obstruksi
yang terjadi di bawah vesika urinaria sering diserta refluks vesikoureter dan
infeksi pada ginjal. Penyebab umum obstruksi adalah jaringan parut ginjal atau
uretra, batu, neoplasma, hipertrofi prostat (sering ditemukan pada laki-laki dewasa
di atas usia 60 tahun), kelainan kongenital pada leher vesika urinaria dan uretra,
serta penyempitan uretra.
Anak perempuan dan perempuan dewasa mempunyai insidensi UTI dan
pielonefritis akut yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki dan laki-
laki dewasa, mungkin karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya
yang berdekatan dengan anus sehingga mudah terkontaminasi oleh feses. Studi
epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna (10 5 organisme/ml
urine) pada 1% sampai 4% gadis pelajar, 5% sampai 10% pada perempuan usia
subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun (Kunin,
1997). Hanya sedikit dari kasus ini yang memperlihatkan gejala-gejala klinis UTI.
Penelitian lanjutan jangka panjang yang dilakukan terhadap gadis usia sekolah
menyatakan bahwa gadis yang pernah mengalami bakteriuria bermakna akan lebih
mudah terkena UTI berulang pada masa dewasanya, biasanya tidak lama setelah
menikah atau selama kehamilan pertama (Kunin, 1997). Walaupun UTI ini
bertanggung jawab atas morbiditas yang cukup tinggi, tetapi jarang
mengakibatkan pielonefritis kronik dan penyakit ginjal tahap akhir, kecuali pada
kasus-kasus yang penyakitnya tidak nyata diserta kerusakan urologik pada masa
kanak-kanak—biasanya refluks vesikoureter yang berat. Infeksi pada laki-laki
jarang ditemukan, dan bila terjadi biasanya disebabkan oleh obstruksi.
Telah diketahui sebelumnya bahwa hidroureter dan hidronefrosis biasanya
paling jelas pada ginjal kanan, selalu terjadi selama masa kehamilan dan menetap
selama beberapa waktu sesudahnya. Pelebaran ini agaknya sebagian disebabkan
oleh relaksasi otot akibat kadar progesteron yang tinggi dan sebagian akibat
obstruksi ureter karena uterus yang membesar. Sekitar 5% sampai 7% dari
perempuan yang terserang mengalami bakteriuria yang asimtomatik (Whalley,
1967; Norden, Kass, 1968). Dari suatu studi terkontrol, Kass (1960) menemukan
bahwa 42% dari kelompok perempuan yang mengalami bakteriuria asimtomatik
pada awal kehamilan yang mendapat placebo (n=48), akan mengalami
pielonefritis pada akhir kehamilan atau beberapa minggu postpartum, sedangkan
dari kelompok perempuan yang mendapat antibiotik (n=42), tidak ada yang
menderita infeksi simtomatik. Sistitis dan pielonefritis tidak sering terdapat pada
perempuan dengan toksikemia dibandingkan dengan perempuan lain.
Meningkatnya insidensi pada bayi prematur dan mortalitas terjadi jika seorang
perempuan terkena UTI bagian atas selama kehamilan (Stamn, 1998; Kunin,
1997).
Ketika pelvis ginjal mengalami distensi akibat urine yang baru terbentuk,
maka otot polos akan berkontraksi, mendorong urine menuju ureter. Selanjutnya
dilatasi uereter memulai timbulnya gelombang peristaltik, sehingga urine
mengalir ke vesika urinaria. Aliran urine ini biasanya hanya berlangsung satu arah
yaitu dari pelvis ginjal menuju vesika urinaria, dan aliran balik (refluks) dicegah
oleh adanya katup ureterovesikular (berada di tempat implantasi ureter pada
vesika urinaria). Kerja katup searah ini sangat penting dalam mencegah terjadinya
aliran balik pada saat berkemih ketika tekanan di dalam vesika urinaria
meningkat, sebab transmisi tekanan ini dapat langsung merusak ginjal. Refluks
vesikoureter (VUR) didefinisikan sebagai aliran urine retrograde dari vesika
urinaria memasuki ureter terutama sewaktu berkemih. VUR memiliki derajat dari
I sampai V. Derajat I menunjukkan refluks yang hanya mencapai ureter bagian
bawah. Derajat V menunjukkan refluks masih ke dalam pelvis ginjal dan kaliks.
VUR dapat diketahui dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam vesika
urinaria melalui kateter sampai vesika urinaria mengalami distensi dan pasien
measa ingin buang air kecil. Kemudian dibuat radiogram serial mulai dari keadaan
vesika urinaria yang terdistensi serta pada saat dan setelah pasien berkemih.
Seluruh tindakan ini dikenal dengan nama sistouretografi berkemih. VUR
dikaitkan dengan malformasi kongenital dari bagian ureter yang berada di dalam
vesika urinaria, obstruksi pada bagian bawah vesika urinaria (leher vesika urinaria
atau uretra) dan sistitis. VUR dapat ditemukan pada banyak pasien terutama anak
yang menderita UTI rekuren, dan tampaknya merupakan cara organisme untuk
memasuki ginjal. Umumnya diakui bahwa aliran balik urine terinfeksi memasuki
parenkim ginjal mengakibatkan terjadinya jaringan parut ginjal yang menonjol
pada manusia (nefropati refluks). Kesimpulannya, pielonefritis kronik akibat VUR
bertanggung jawab atas 20% sampai 30% dari gagal ginjal stadium akhir (ESRF)
pada anak (Rose, 1987).
Kateterisasi uretra dan ureter serta sistoskopi sering menyebabkan infeksi
pada vesika urinaria atau ginjal. Sekitar 2% dari tindakan kateterisasi vesika
urinaria mengakibatkan infeksi. Terdapat 98% insidensi infeksi dalam jangka
waktu 48 jam pada pemasangan kateter menetap, kecuali bila sangat diperhatikan
supaya sistem drainasenya tertutup dengan baik. Bahkan sekalipun sistem itu
sudah tertutup dengan baik, urine hanya steril selama 5 sampai 7 hari. Fakta-fakta
ini menunjukkan bahwa kateterisasi merupakan tindakan yang sedapat mungkin
harus dihindari.
Vesika urinaria merupakan tempat penampungan urine yang dapat
mengembang, juga merupakan tempat urine dikeluarkan dalam interval yang
sesuai. Persarafan vesika urinaria terdiri dari satu lengkung refleks yang berada
pada tingkat S2 sampai S4 medula spinalis, fungsinya dipengaruhi oleh
sambungan motorik dan sensorik pada pusat yang lebih tinggi di otak. Tindakan
berkemih melibatkan kerjasama antara kontraksi otot detrusor (otot polos dinding
vesika urinaria), dinding abdomen, dan otot-otot dasar panggul, fiksasi dada dan
diafragma, serta relaksasi otot-otot spingter eksternal dan internal. Dengan
demikian, ada keterlibatan aktivitas otonom maupun voluntar. Kontraksi otot
detrusor adalah suatu refleks (terangsang jika isi vesika urinaria mencapai 300
ml), dan refleks kontraksi ini dapat dihambat dihambat atau dipermudah oleh
bagian supraspinal dari sistem saraf yang berada di bawah control voluntar.
Gangguan pada bagian eferen atau aferen lengkung refleks, atau gangguan pada
jalur aferen atau eferen yang menghubungkan batang otah daerah sakral dengan
pusat mekanisme penghambatan atau perangsangan dapat mengacaukan proses
berkemih normal. Keadaan ini disebut vesika urinaria neurogenik.
Lapides (1976) menemukan lima tipe disfungsi vesika urinaria
neurogenik, setiap tipe berkaitan dengan lesi saraf tertentu : (1) vesika urinaria
neurogenik tak terhambat, (2) vesika urinaria neurogenik refleks, (3) vesika
urinaria neurogenik otonom, (4) vesika urinaria neurogenik paralitik sensorik, dan
(5) vesika urinaria neurogenik paralitik motorik.
Vesika urinaria neurogenik tak terhambat melibatkan defek pada jaras
pengatur dari korteks. Keadaan ini sering ditemukan pada pasien yang memiliki
lesi pada korteks serebri, seperti pada gangguan pembuluh darah otak, atau pada
pasien yang memiliki lesi-lesi batang otak tersebar yang mengenai jaras pengatur
dari korteks, seperti pada sklerosis multiple. Vesika urinaria tak terhambat ini
menyerupai vesika urinaria pada bayi. Pasien sadar akan adanya rasa ingin
berkemih tetapi tidak dapat menundanya walaupun keadaannya tidak tepat.
Disfungsi vesika urinaria tipe tak terhambat ini merupakan tipe yang paling sering
ditemukan dalam praktik klinik. Pada anak-anak, disfungsi upper motor neuron
(UMN) bermanifestasi sebagai dieresis diurnal dan nokturnal yang menetap
sesudah usia 2 sampai 3 tahun. Disfungsi vesika urinaria yang tak terhambat dapat
dihubungkan denagn UTI rekuren, terutama pada gadis muda. Pasien mungkin
dapat menahan keluarnya urine dengan sengaja mengontraksikan otot lurik di
sekitar uretra, tetapi tidak mampu mengendalikan kontraksi vesika urinaria yang
tak terhambat. Peningkatan tekanan dalam vesika urinaria dan penurunan
kekebalan pada jaringan setempat, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
Vesika urinaria neurogenik refleks disebabkan oleh putusnya lengkung
refleks sakral dari pusat yang lebih tinggi, seperti pada cedera batang otak atau
cedera transversal di atas tingkat S2. Semua sensasi vesika urinaria hilang dan
pengosongan terjadi secara refleks bila tekanan di dalam vesika urinaria
meningkat di atas batas tertentu. Pengosongan vesika urinaria tidak dapat tuntas
karena kurangnya input motorik dari pusat yang lebih tinggi, dan karena
terjadinya refluks vesikoureter akibat tekanan dalam vesika urinaria yang tinggi.
VUR maupun urine residu dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya sistitis dan
pielonefritis pada pasien cedera batang otak.
Vesika urinaria neurogenik otonom terjadi akibat kerusakan pada kedua
jaras lengkung refleks vesika urinaria, seperti pada lesi sakral atau kauda ekuina
(contohnya, luka tembakan, operasi reseksi abdominal-perineal, neoplsia dan
anomali congenital seperti spina bifida dan mielomeningokel). Pasien dengan lesi
tipe ini tidak dapat merasakan penuhnya vesika urinaria dan juga tidak dapat
memulai berkemih dengan pola normal. Namun, mereka dapat belajar berkemih
dengan meninggikan tekanan secara voluntar (mengedan) dan menekan bagian
atas suprapubik dengan tangan (perasat Crede).
Vesika urinaria neurogenik paralitik sensorik disebabkan oleh adanya lesi
pada bagian sensorik lengkung refleks vesika urinaria seperti pada pasien
neuropati diabetik atau sklerosis multipel. Timbul kehilangan sensasi vesika
urinaria secara bertahap, jarang buang air kecil, dan distensi berlebihan. Distensi
berlebihan menyebabkan otot vesika urinaria kehilangan tonus sehingga
pengosongan tidak sempurna dan terdapat sisa urine.
Vesika urinarua neurogenik paralitik motorik disebabkan oleh adanya
gangguan pada bagian motorik lengkung refleks vesika urinaria yang sering
berkaitan dengan poliomyelitis, tumor, atau trauma. Sensasi penuhnya vesika
urinaria tidak terganggu, tetapi pasien memiliki ketidakmampuan total atau parsial
dalam memulai proses berkemih. Dapat terjadi nyeri akibat distensi berlebihan,
yang membutuhkan kateterisasi dan drainase.
Mekanisme patogenik yang menjadi faktor predisposisi terjadinya UTI
pada disfungsi vesika urinaria neurogenik adalah iskemia dinding vesika urinaria
akibat distensi berlebihan yang mengurangi resistensi terhadap invasi bakteri, sisa
urine yang menjadi media pertumbuhan bakteri dan VUR yang disertai
peningkatan tekanan intravesikular. Pemakaian kateter dan drainase urine
merupakan faktor predisposisi tambahan.
Penyalahgunaan obat analgesik dalam jangka lama dapat menyebabkan
nefritis interstisial kronik, keadaan ini mungkun sulit dibedakan dari pielonefritis
kronik. Selain itu, UTI rekuren sering terjadi pada nefropati alagesik. Berbagai
penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi dan pielonefritis. Yang terakhir, gangguan metabolik seperti diabetes, gout,
dan batu ginjal seringkali dipersulit oleh infeksi ginjal.

GLOMERULONEFRITIS
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria
dan/atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi
seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusahan, sehingga terjadi gagal
ginjal kronik. Penyakit yang mula-mulai digambarkan oleh Richard Bright pada
tahun 1827 (penyakit Bright) sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak
penyakit denagn berbagai etiologi (sebagian besar tidak diketahui), meskipun
respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Pada beberapa tahun terakhir, pengetahuan tentang peribahan patologik
penyakit ginjal telah berkembang pesat melalui pemeriksaan biopsi ginjal dengan
mikroskop cahaya, imunofluoresensi, dan mikroskop elektron. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan, maka timbul kategori-kategori baru karena
bertambahnya kemampuan untuk mendefinisikan sifat alamiah lesi ginjal.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk memisahkan dan memilah berbagai jenis
glomerulonefritis dengan menghubungkan gambaran histologis dan klinisnya.
Sayangnya, berbagai kategori tersebut tidak eksklusif. Dapat dimengerti mengapa
ciri-ciri tersebut tumpang tindih karena ginjal hanya mempunyai respon
fungsional dan morfologik yang terbatas. Kebingungan semakin bertambah
karena berbagai gangguan sistemik dan metabolik yang menyerang ginjal dapat
menimbulkan perubahan-perubahan pada glomerulus yang tidak dapat dibedakan
dengan glomerulonefritis.
Tabel 46-2 memuat daftar berbagai cara penjelasan dan klasifikasi
glomerulonefritis. Tabel ini dapat dipakai sebagai petunjuk pembahasan dari sisa
bab ini dan sebaiknya dibaca terlebih dahulu sebelum meneruskan bab ini. Istilah
umum glomerulonefritis (GN) biasanya dipakai unruk menyatakan sejumlah
penyakit ginjal primer yang terutama menyerang glomerulus, tetapi juga
dipergunakan untuk menyatakan lesi-lesi pada glomerulus yang dapat ataupun
tidak disebabkan oleh penyakit ginjal primer. Misalnya, lesi ginjal pada SLE dapat
dinyatakan sebagai GN proliferatif. Pembahasan berikut ini dipusatkan pada
penyakit ginjal primer yang menyebabkan GN, meski terdapat pula acuan
terhadap penyakit sistemik penyebab lesi yang serupa pada ginjal. Penyakit
sistemik yang dapat menyebabkan lesi pada ginjal akan dibahas lebih rinci pada
bagian selanjutnya dalam bab ini.

HIPERTENSI ESENSIAL DAN GINJAL


Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang menetap
di atas batas normal yang disepakati, yaitu diastolik 90 mmHg atau sistolik 140
mmHg. Menurut definisi ini, sekitar 18% dari penduduk Amerika Serikat
menderita hipertensi. Namun, sebanyak 50% individu mungkin menderita
gangguan ini pada usia 65 tahun (Nally, 1998). Sekitar 90% kasus hipertensi tidak
diketahui penyebabnya dan hipertensi ini disebut hipertensi esensial (etiologi dan
pathogenesis tidak diketahui). Awitan hipertensi esensial biasanya terjadi antara
usia 20 dan 50 tahun, dan lebih sering dijumpai pada orang Afro-Amerika
daripada populasi umum. Hipertensi esensial dapat diklasifikasikan sebagai
bernigna dan maligna. Hipertensi benigna bersifat progresif lambat, sedangkan
hipertensi maligna adalah suatu keadaan klinis dalam penyakit hipertensi yang
bertambah berat dengan cepat sehingga dapat menyebabkan kerusakan berat pada
berbagai organ.
Laju perkembangan hipertensi esensial jinak berbeda-beda, tetapi biasanya
memiliki perkembangan yang berjalan secara progresif lambat selama 20 sampai
30 tahun. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama keadaan ini
adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Penyebab tersering kematian adalah: infark
miokardium, gagal jantung kongestif, atau gangguan serebrovaskular. Bila
hipertensi esensial tetap jinak, pasien tidak akan menderita kerusakan ginjal yang
dapat menyebabkan kematian akibat uremia. Sebagian besar kasus insufisiensi
ginjal yang dihubungkan dengan nefrosklerosis jinak memiliki penyakit ginjal
yang mendasarinya. Proteinuria dan azotemia ringan dapat berlangsung selama
bertahun-tahun tanpa gejala, dan kebanyakan pasien meninggal akibat uremia
yang disebabkan oleh hipertensi yang sudah memasuki stadium maligna, hal ini
terjadi pada kurang dari 10% kasus hipertensi esensial.
Hipertensi maligna bisa diartikan hipertensi berat dengan tekanan diastolik
lebih tinggi dari 120 sampai 130 mmHg, retinopati stadium IV, dan disfungsi
ekskresi ginjal yang berkisar dari proteinuria, hematuria, sampai azotemia.
Hipertensi maligna dapat terjadi setiap saat dalam perjalanan hipertensi jinak,
tetapi biasanya baru terjadi sesudah bertahun-tahun. Kadang-kadang, terjadi juga
secara de novo, terutama pada laki-laki Afro-Amerika pada dekade ketiga atau
keempat.
Pada ginjal arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya
simetris, dan memounyai permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula.
Secara histologis, lesi yang esensial adalah sklerosis arteria-arteria kecil serta
arteriol yang paling nyata pada arteriol aferen. Penyumbatan arteria dan arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh
nefron rusak.
Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk
menyatakan perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna
hipertensi esensial. Ginjal dapat berukuran normal dengan sedikit granula dan
beberapa petekia akibat pecahnya arteriol, atau dapat mengisut dan membentuk
jaringan parut. Secara histologis ada tiga jenis lesi : (1) endarteritis proliferatif, (2)
nekrosis fibrinoid dinding arteriol, dan (3) nekrosis fibrinoid rumbai glomerulus.
Mula-mula terdapat penebalan nyata bagian intima arteria interlobularis yang
disebabkan oleh proliferasi sel-sel endotel. Perubahan ini menghasilkan suatu
bentuk yang seringkali disebut sebagai “kulit bawang”. Lumen yang menyempit
akan mengakibatkan iskemia arteriol aferen dan pelepasan renin yang akan
semakin meningkatkan tekanan darah tersebut. Nekrosis fokal kemudian terjadi
pada dinding arteriol aferen dank arena daerah yang mengalami nekrosis
mengandung fibrin, maka perubahan ini disebut nekrosis fibrinoid. Nekrosis
fibrinoid rumbai glomerulus mungkin merupakan perluasan nekrosis fibrinoid
arteriol aferen sebagai penyalur nutrisi. Bila tekanan darah tetap meningkat,
perubahan lokal ini semakin meluas disertai pembentukan thrombus, perdarahan
glomerulus, infark seluruh nefron, dan kematian yang cepat dari semua sel ginjal.
Gambar 46-14 memperlihatkan beberapa lesi tersebut diatas. Pengobatan
hipertensi akan dibahas pada Bab 31 dan 48.

PENYAKIT GINJAL POLIKISTIK


Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multipel,
bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal dapat membesar (kadang-
kdangan sebesar batu bola) dan terisi oleh kelompok kista-kista yang menyerupai
angur. Kista-kista itu terisi oleh cairan jernih atau hemoragik.
Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD) adalah suatu
penyakit genetik yang jarang terjadi (1 : 6000 hingga 1 : 40.000), melibatkan
mutasi lokal dari kromosom 6. Sebagian besar kasus terdiagnosis dengan
ultrasound pada usia tahun pertama, lebih tepat lagi jika ditemukan massa
abdomen bilateral. Sering terdapat keterlibatan hepar dan ginjal. Ginjal membesar
dan tubulus distal serta duktus pengumpulan berdilatasi menjadi elongasi kista.
Waktu perjalanan ESRD bervariasi, walaupun banyak anak yang dapat
mempertahankan fungsi ginjal yang adekuat selama bertahun-tahun. Studi terbaru
memperlihatkan prognosis yang lebih baik daripada hasil laporan sebelumnya.
Pada anak-anak yang dapat bertahan selama bulan pertama kehidupan, 78% akan
bertahan hingga melebihi 15 tahun. Diagnosis dini dan pengobatan hipertensi
secara agresif dapat memperbaiki diagnosis pada anak-anak tersebut. Dialisis dan
transplantasi ginjal adalah pengobatan yang sesuai jika terdapat gagal ginjal.
Beberapa anak telah menjalani transplantasi hepar dan ginjal secara bersamaan
dan berhasil.
Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) merupakan
penyakit ginjal yang paling sering diwariskan. Prevalensinya sekitar 1 : 500 dan
lebih sering terjadi pada orang Kaukasia daripada penduduk Afro-Amerika.
ADPKD adalah penyebab keempat gagal ginjal yang membutuhkan dialisis atau
transplantasi. Terapat tiga bentuk ADPKD :
- ADPKD-1 merupakan 90% kasus, dan gen yang bermutasi terletak pada
lengan pendek kromosom 16.
- Gen untuk ADPKD-2 terletak pada lengan pendek kromosom 4, dan
perkembangannya menjadi ESRD terjadi lebih lambat daripada ADPKD-1.
- Bentuk ketiga ADPKD telah berhasil diidentifikasikan, namun gen yang
bertanggung jawab belum diketahui letaknya.
Gambaran klinis kunci adalah kista multipel dalam ginjal, yang dapat
terlihat dengan USG, CT scan, atau MRI. Kista muncul sejak dalam uterus dan
secara perlahan merusak jaringan normal sekitarnya bersamaan dengan
pertumbuhan anak tersebut menjadi dewasa, kista muncul dari berbagai bagian
nefron atau duktus koligentes. Kista tersebut terisi dengan cairan dan mudah
terjadi komplikasi seoerti infeksi yang berulang hematuria, poliuria, dan mudah
membesar, ginjal yang “menonjol” sering menjadi tanda dan gejala yang terlihat.
Sering terdapat hipertensi dan garam ginjal yang berlebihan. Penurunan fungsi
ginjal yang progresif lambat biasa terjadi dan sekitar 50% akan menjadi ESRD
pada usia 60 tahun.
Pengobatan pada pasien ADPKD bertujuan untuk mencegah komplikasi
dan memelihara fungsi ginjal. Pasien dan anggota keluarganya harus diberi
edukasi mengenai cara pewarisan dan manifestasi penyakit. Terapi ditujukan pada
pengendalian hipertensi dan pengobatan dini UTI. Pasien ADPKD memiliki
kecenderungan untuk kehilangan garam, sehingga harus dicegah supaya asupan
garam memadai dan tidak terjadi dehidrasi. Penyakit ini berkembang menjadi
ESRD pada sekitar 25% pasien berusia 50 tahun dan sekitar 50% pada usia 60
tahun. Beberapa pasien dapat memiliki waktu hidup yang normal dan meninggal
akibat penyakit non-renal. ESRD ditangani dengan dialisis atau transplantasi
ginjal. Nefrektomi bilateral mungkin diperlukan sebelum transplantasi pada
pasien dengan ginjal yang sangat membesar.

DIABETES MELITUS
Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan
salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama. Lebih
dari sepertiga dari semua pasien baru yang masuk dalam program ESRD
menderita gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 40% pasien
diabetes tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 15 hingga 25
tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan diabetes tipe 22 lebih sedikit yang
berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan
pengecualian pada orang India Pima dengan insidensi mendekati 50%. Penduduk
Amerika asli dan Afro-Amerika sangat beresiko mengalami gagal ginjal diabetik.
Diabetes melitus menyerang struktur dna fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi
di ginjal pada diabetes mellitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas
dan dapat terjadi secara difus atau nodular. Glomerulosklerosis diabetik difus,
merupakan lesi yang paling sering terjadi, terdiri dari penebalan difus matriks
mesangial dengan bahan eosinofilik disertai penebalan Membrana basalis kapiler.
Glomerulosklerosis diabetic nodular (juga dikenal sebagai lesi Kimmelstiel-
Wilson) lebih jarang terjadi namun sangat spesifik untuk penyakit ini; terdiri dari
bahan eosinofilik nodular yang menumpuk dan baisanya terletak dalam perifer
glomerulus di dalam inti lobus kapiler. Kelainan non glomerulus dalam nefropati
diabetik adalah nefritis tubulointertitial kronik, nekrosis papilaris, hialinosis arteri
eferen dan aferen, serta iskemia. Glomerulosklerosis diabetik hampir selalu
didahului oleh retinopati diabetik, yang ditandai dengan mikroaneurima di sekitar
makula.
Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat
dibagi menjadi lima fase atau stadium. Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa
beberapa komplikasi diabetes jangka panjang, seperti retinopati diabetik,
neuropati, dan nefropati, dapat dicegah atau diperlambat dengan mengendalikan
kadar glukosa darah dan hipertensi secara ketat disertai dengan pembatasan
protein dalam makanan.

Anda mungkin juga menyukai