Anda di halaman 1dari 3

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Satwa akuatik merupakan istilah dari hewan air, yaitu segala jenis hewan yang hampir seluruh
hidupnya dihabiskan dalam lingkungan akuatik mulai dari bernafas, bergerak, dan mencari makan contohnya
ikan, udang, kepiting dan masih banyak hewan lainnya. Lingkungan akuatik adalah tempat hidup hewan
yang berupa air, baik air tawar, air laut, air payau, dan area basah. Sebagian besar permukaan bumi (lebih
dari 70%) tertutup oleh air (Masyamsir 2011). Pengelolaan satwa akuatik harus memperhatikan beberapa
hal yaitu pemilihan tempat yang sesuai dengan ekosistem alaminya, penilaian air yang digunakan,
pengelolaan tempat pemeliharaan , teknik pembenihan, teknik pembesaran, pemberantasan hama dan
penyakit, jenis satwa yang akan dibudidayakan (Sutrisno 2007).
Satwa akuatik air tawar adalah seluruh satwa yang menghabiskan hidupnya di dalam air tawar
dengan salinitas 0.05 %. Contoh air tawar adalah danau dan sungai. Satwa yang hidup di air tawar memiliki
konsentrasi osmotik cairan tubuh lebih tinggi dari air tawar yaitu mendekati 300 mOsm per liter. Hewan inii
memiliki peluang paling besar untuk memasukkan air ke dalam tubuhnya, terutama melalui insang.
Kemudian kelebihan air yang masuk akan dikeluarkan lewat urin, namun garam juga ikut hilang bersama
urin. Adapun contoh satwa yang hidup di air tawar seperti ikan nila, ikan mas, ikan gabus, ikan mujair, ikan
toman, udang galah, udang lar, udang muara, belut, dan masih banyak lagi. Satwa yang hidup di air tawar
sering dibudidayakan manusia untuk keperluan konsumsi atau hanya hobi contohnya ikan hias. Ternyata
pembudidayaan tersebut dapat menjadi usaha yang menjanjikan karena memiliki ketahanan yang tinggi
terhadap krisis ekonomi (Isnaeni 2006).

1.2 Tujuan

Booklet ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengelolaan satwa akuatik dan penyakit –
penyakit yang dapat menyerang satwa akuatik air tawar, air payau, dan air asin.

2 Pengelolaan Satwa Akuatik

2.1 Satwa Akuatik Air Payau

Penyakit – penyakit yang dialami oleh satwa akuatik di air payau adalah dari jenis penyakit bakterial yang
ditemukan pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal strip ekor dan penyakit mulut
merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa jenis bakteri yang diduga berkaitan erat
dengan kasus penyakit bakterial, yaitu Vibrio alginolyticus, V algosus, V anguillarum dan V fuscus. Diantara
jenis bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat patogen pada ikan
kerapu tikus. Vibrio alginolyticus dicirikan dengan pertumbuhannya yang bersifat swarm pada media padat
non selektif. Ciri lain adalah gram negatif, motil, bentuk batang, fermentasi glukosa, laktosa, sukrosa dan
maltosa, membentuk kolom berukuran 0.8-1.2 cm yang berwarna kuning pada media TCBS. Bakteri ini
merupakan jenis bakteri yang paling patogen pada ikan kerapu tikus dibandingkan jenis bakteri lainnya. Nilai
konsentrasi letal median (LC50) adalah sebesar 106.6 pada ikan dengan berat antara 5-10 gram (Frans et.
al. 2011).
Kematian masal pada benih diduga disebabkan oleh infeksi bakteri V alginolyticus. Pengendalian penyakit
dapat dilakukan dengan penggunaan berbagai jenis antibiotika seperti Chloramfenikol, eritromisina dan
oksitetrasiklin. Sifat lain yang tidak kalah penting adalah sifat proteolitik yang berkaitan dengan mekanisme
infeksi bakteri. Dibandingkan dengan V alginolyticus, V anguillarum merupakan spesies yang kurang
patogen terhadap ikan air payau. Pada uji patogenisitas ikan kerapu tikus ukuran 5 gram yang diinfeksi
bakteri dengan kepadatan tinggi hingga 108 CFU/ikan hanya mengakibatkan mortalitas 20%. Diagnosis
penyakit dapat dilakukan dengan melakukan isolasi dan identifikasi bakteri. Penumbuhan bakteri pada
media selektif TCBS akan didapatkan koloni yang kekuningan dengan ukuran yang hampir sama dengan
koloni V alginolyticus akan tetapi bakteri ini tidak tumbuh swarm pada media padat non-selektif seperti NA.
Penyakit ini sering ditemukan pada ikan kerapu bebek dan macan, dengan tanda ikan yang tersering terlihat
bercak putih (Frans et. al. 2011).
Stadia parasit yang menginfeksi ikan dan menimbulkan penyakit adalah disebut trophont berbentuk seperti
kantong atau genta berukuran antara 0.3-0.5 mm, dan dilengkapi dengan silia.Tanda klinis ikan yang
terserang adalah ikan seperti ada gangguan pernafasan, bercak putih pada kulit, produksi mukus yang
berlebihan, kadang disertai dengan hemoragi, kehilangan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus. Erosi
(borok) dapat terjadi karena infeksi sekunder dari bakteri. Diagnosis dapat dilakukan dengan melihat gejala
seperti adanya bercak putih, tetapi untuk lebih memantapkan (diagnosis definitif) perlu dilakukan
pengamatan secara mikroskopis dengan cara memotong insang, mengerok dari lendir. Serangan penyakit
dapat diatasi dengan penjagaan kualitas air. Perlakuan bahan kimia pengendali parasit dapat dilakukan
seperti perendaman dalam larutan formalin 25 ppm, perendaman ikan dalam air bersalinitas 8 ppt selama
beberapa jam dan memindahkan ikan yang sudah diperlakukan ke dalam wadah barn bebas parasit.
Penempelan Trichodina pada tubuh ikan sebenarnya hanya sebagai tempat pelekatan (substrat), sementara
parasit ini mengambil partikel organik dan bakteri yang menempel di kulit ikan. Tetapi karena pelekatan yang
kuat dan terdapatnya kait pada cakram, mengakibatkan seringkali timbul luka, terutama pada benih dan ikan
muda (Frans et. al. 2011)
Pelekatan pada insang juga seringkali disertai luka dan sering ditemukan set darah merah dalam vakuola
makanan Trichodina. Pada kondisi ini maka Trichodina merupakan ektoparasit sejati.Trichodina yang
merupakan ektoparasit pada ikan air laut mempakan spesies yang bersifat sebetulnya lebih bersifat
komensal daripada ektoparasit. Trichodina spp. yang didapatkan pada ikan air payau merupakan spesies
yang memiliki toleransi yang luas terhadap kisaran salinitas. Trichodina yang menempel di insang umunmya
berukuran lebih kecil dibandingkan yang hidup di kulit, contohnya adalah Trichodinella.Ikan yang terserang
Trichodina biasanya warna tubuhnya terlihat pucat, produksi lendir yang berlebihan dan terlihat kurus.
Diagnosis dapat dilakukan dengan cara melakukan pengerokan (scraping) pada kulit, atau mengambil
lembaran insang dan melakukan pemeriksaan secara mikroskopis. Pencegahan terhadap wabah penyakit
adalah dengan cara pengendalian kualitas lingkungan, karena mewabahnya penyakit berkaitan dengan
rendahnya kualitas lingkungan. Perlakuan terhadap ikan yang terinfeksi oleh parasit adalah dengan cara
perendaman dalam larutan formalin 200-300 ppm. Parasit jenis ini sering, ditemukan baik pada induk ikan
maupun di tambak. Penempelan ektoparasit ini dapat menimbulkan luka, dan akan lebih parah lagi karena
ikan yang terinfeksi dengan parasit sering menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding bak atau substrat
keras lainnya. Timbulnya luka akan diikuti dengan infeksi bakteri. Caligus sp. berukuran cukup besar
sehingga dapat diamati dengan tanpa bantuan mikroskop. Perlakuan ikan terserang parasit cukup mudah,
yaitu hanya merendamnya dalam air tawar selama beberapa menit. Perlakuan dengan formalin 200-250
ppm juga cukup efektif. Penggunaan bahan seperti Triclorvon (Dyvon 95 SP) hiingga 2 ppm dapat
mematikan parasite (Johansen et.al. 2011).

2.2 Satwa Air Tawar

Hal hal yang menjadi gangguan dan ancaman kehidupan satwa akuatik di air darat diantaranya
pemangsa, penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri, pencemaran lingkungan perairan, perubahan
iklim, dan cuaca serta bencana alam seperti tanah longsor. Keberadaan ikan introduksi seperti Poecilia
reticulate, Xipophorus helleri, Cichlasoma nigrofasciatum, dan Aequidens pulcher dapat memberikan
pengaruh negative terhadap keberadaan sata akuatik asli pada peraian. Ikan tersebut apabila bercampur
dapat memangsa ikan-ikan asli perairan (Rachmatika & Wahyudeantoro 2006). Penyakit yang menyerang
satwa akuatik terutama ikan konsumsi seperti ikan Nila (Oreochromis niloticus), ikan Mas (Cyprinus carpio),
ikan Lele Dumbo ( Clarias gariepinus) sangat mempengaruhi ketersediaan pangan dan ekonomis serta
ekologis. Penyakit pada ikan dibagi menjadi penyakut infeksius dan non infeksius. Penyakit infeksius
disebabkan oleh organisme parasite seperti bakteri, virus, jamur, protozoa dan mikroorganisme lainnya.
Sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti
defisiensi mineral dan keracunan (Salasia dkk 2001).
Organ – organ yang menunjukkan adanya infeksi penyakit diantaranya insang, sirip, otot, dan
saluran pencernaan. Cacing merupakan salah satu parasit yang palig sering ditemukan menginfeksi ikan.
Keberadaan cacing tersebut menyebabkan penurunan bobot badan ikan, jumlah produksi, dan tingkat
ketahanan tiap-tiap ikan. Jumlah parasit yang dapat menginfeksi induk dipengaruhi oleh jenis kelamin,
umur, sistem kekebalan tubuh inang, dan kepadatan jumlah ikan. Semakin padat jumlah ikan tiap
kolammhya semakin tinggi kemungkinan kontak antara ikan yang terinfeksi parasit dan yang tidak.
Keberadaan cacing parasitik dapat diatasi dengan perbaikan sanitasi dan suhu. Karena kedua hal tersebut
dapat menghambat pertumbuhan cacing. Salah satu cacing yang menginfeksi ikan Mujair (Oreochromis
mossambicus) yaitu cacing dengan sub kelas Monogenea dan sub kelas Diginea. Kedua cacing parasitik
tersebut dapat menyerang ikan air tawar dari fase benih hingga deasa. Selain kedua cacing tersebut cacing
Discocotyle sp. Merupakan cacing parasitikyang biasa ditemukan menginfeksi ikan air tawar. Infeksi dari
parasit seperti cacing tidak menimbulkan kematian. Infeksi dari parasite pada umumnya menyebakan luka,
lesu, anoreksia yang dapat menimbulkan adanya infeksi sekunder dari virus dan bakteri sehingga
mengakibatkan kematian (Rahayu dkk 2013).
Penyakit bacterial yang sering menyerang ikan konsumsi air tawar seperti ikan NIla diantaranya
Aeromonas hydrophilla (Amanu dkk 2015). Infeksi bakteri tersebut menyebabkan lambatnya pertumbuhan
pada ikan, konversi pakan yang tinggi, pemeliharaan yang lebih lama dan menyebabkan kematian (Kordi
2004).
Hama yang dapat menyerang ikan hias diantaranya keong. Telur – telur keong tersebut terbawa oleh eceng
gondok dan keong dewasanya menggangu ikan – ikan hias di kolam dengan memakan telur – telur ikan.
Keberadaannya harus sering dikontrol dan dikendalikan dengan membuangnya dari lingkungan kolam.
Penyakit yang sering menyerang ikan hias diantaranya white spot atau bitnik putih yang disebakan oleh
parasite Ichtyophtirius (Anggina dkk 2013).
2.3 Satwa Akuatik Air Asin

Hewan akuatik yang hidup di lingkungan air laut biasanya bersifat osmokonformer, hal ini ditandai
dengan adanya konsentrasi osmotic cairan tubuhnya sama dengan air laut tempat hidup mereka (Isnaeni
2006). Tidak semua hewan akuatik menetap di air tawar dan air laut. Sejumlah hewan air tawar maupun
hewan air laut pada saat tertentu memasuki daerah payau contohnya adalah ikan lamprey, ikan salmon, dan
belut. Air payau adalah campuran antara air tawar dan air laut (air asin). Jika kadar garam yang dikandung
dalam satu liter air adalah antara 0,5 sampai 30 gram, maka air ini disebut air payau. Namun jika konsentasi
garam melebihi 30 gram dalam satu liter air disebut air asin (Lantu 2010). Hewan akuatik yang menetap di
daerah payau merupakan hewan akuatik yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap perubahan
kadar garam (Isnaeni 2006).

3 Penutup

3.1 Simpulan

Pengelolaan satwa akuatik memiliki banyak permasalahan yang berbeda sesuai dengan jenis air yang
digunakan. Pengelolaan satwa akuatik air tawar memiliki masalah lebih banyak dengan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri,virus dan keberadaan pemangsa. Pengelolaan satwa akuatik air payau memiliki
masalah lebih banyak dengan parasite dan bakteri. Pengelolaan satwa akuatik air asin memiliki masalah
yang hampir sama dengan pengelolaan air tawar dan payau.

DAFTAR PUSTAKA

Amanu S, Untari T, Wibowo M H, Artanto S. 2015. Pengembangan deteksi Aeromonas hydrophilla pada ikan
Nila (Oreochromis niloticus) dengan metode agar gel presipitasi di Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner.
33 (2) : 216 – 221.
Anggina D, Hamid H, Hendrik. 2013. Analysis of ornamental fish farming member of group diamond fish club
in Tampan Village Districts Payung Sekaki Pekanbaru City Riau Province. 1-9.
Frans I, Michiels CW, Bossier P, Willems KA, Lievens B and Rediers H. 2011. Vibrio anguillarum as a fish
pathogen: virulence factors, diagnosis and prevention. Journal of fish diseases, 34(9): 643-661.
Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Johansen LH, Jensen I, Mikkelsen H, Bjørn PA, Jansen PA and Bergh Ø. 2011. Disease interaction and
pathogens exchange between wild and farmed fish populations with special reference to
Norway. Aquaculture, 315(3-4): 167-186.
Kordi M G. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta (ID) : Rineka Cipta Bina Adiaksara.
Lantu S. 2010. Osmoregulasi Pada Hewan Akuatik. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 6(1): 46-50.
Masyamsir. 2011. Ekofisiologi Hewan Akuatik. Bandung (ID): Unpad Press.
Rachmatika I, Wahyudeantoro G. 2006. Jenis – jenis introduksi di perairan tawar Jawa Barat dan Banten :
catatan tentang taksonomi dan distribusinya. Jurnal Iktiologi Indoneisia. 6 (2) : 93 – 97.
Rahayu F D, Ekastuti D R, Tiuria R. 2013. Infestasi cacing parasitic pada insang ikan Mujair (Oreochromis
mossambicus). Acta Veterinaria Indonesia. 1 (1) : 8-14.
Salasia S I O, Sulanjari D, Ratnawati A. 2001. Studi hematologi ikan air tawar. Biologi. 2 (12) : 710 – 723.
Sutrisno. 2007. Budidaya Ikan Air Tawar. Jakarta (ID): Ganeca Exact.

Anda mungkin juga menyukai