Anda di halaman 1dari 11

Penanganan Gawat Darurat Kejadian Epistaksis Posterior pada Pasien Laki-

laki Berusia 50 Tahun


Skenario 3 – Blok Kegawatdaruratan I
Annelis Aulia Sari (102016207)
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510
Email Korespondensi: annelisaulia12@gmail.com

PENDAHULUAN
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih
dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh
darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung
kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah
yang cukup besar, antara lain dari arteri sphenopalatina. Epistaksis merupakan
perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala
umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus
ditangani pada pelayanan kesehatan primer, dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke
rumah sakit dan spesialis THT. Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia
selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis
meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35
tahun ke atas. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan
yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi
ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, disamping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang
mendasarinya.
ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulangnya: os nasale, bagian nasal
os frontalis, prosesus frontalis os maxilla. Sedangkan tulang rawannya: cartilago
septum nasi, cartilago ala nasi major, cartilago ala nasi minor, dan cartilago nasi
lateralis. Hidung ke arah kaudal dibentuk dari tulang rawan, sehingga bisa digoyang-
goyang.
Hidungnya bentuknya seperti piramid. Di dalamnya ada rongga hidung, bisa
masuk ke rongga hidung melalui lubang hidung (naris). Hidung ada dinding lateral dan
medial. Ada atap dan lantai. Dinding medial hidung dibentuk tulang dan tulang rawan:
dibentuk persatuan lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan di bawahnya os
vomer, menyatu dengan cartilago septum nasi di depan. Tapi persatuannya tidak pernah
tepat di tengah-tengah. Dasarnya: palatum durum dan palatum molle.
Di rongga hidung ada bangunan yaitu konka nasalis. Terdapat tiga konka nasalis
yaitu konka superior, konka medius, dan konka inferior.Di bawah konka ada lekukan
yang diberi nama meatus nasi. Meatus nasi juga terdapat tiga sesuai dengan letaknya di
bawah setiap konka yaitu meatus superior, meatus medius dan meatus inferior. Di
meatus nasi bermuara sinus-sinus paranasalis. Dan yang di inferior bermuara duktus
nasolakrimalis

VASKULARISASI HIDUNG
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis
anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri
sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior anterior
dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian
superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasales posterolateral
yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi posterior yang menyebar pada
septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika
superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

EPISTAKSIS
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan keluhan atau
tanda bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi adalah kelainan setempat atau penyakit
umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu
juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya. Epistaksis sering
ditemukan sehari- hari dan hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan)
atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendri dengan menekan
hidungnya. Epistaksis berat walaupon jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan
jiwa pasien bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bahagian anterior dan
bahagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
arteri ethmoidalis anterior sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri
sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis biasanya terjadi secara tiba-
tiba yang perdarahannya bisa banyak atau bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan
sehingga merasa perlu ke dokter. Sebagian darah keluar melalui hidung atau
dimuntahkan kembali.
EPIDEMIOLOGI
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis
dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi
atau arteriosklerosis.
ETIOLOGI
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. Penyebab local :
a. Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada
anak dan remaja.
b. Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek
hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma
yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
c. Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia,
udara panas pada mukosa hidung.
d. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan
udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
e. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral
disertai ingus yang berbau busuk.
f. Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.
g. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun
nasofaring.
h. Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka
lama.
2. Penyebab sistemik :
a. Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah,
seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis
dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan
vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan
penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat
anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).
b. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam
tifoid.
c. Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
d. Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis
adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-
Rendu.
PATOFISIOLOGI
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada
epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering
terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri
ethmoidalis anterior, arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor dan arteri labialis
superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang
menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan
biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat
timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat
menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus
cepat dilakukan.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan anamnesis, keadaan umum, dan pemeriksaan fisik
hidung. Pada anamnesis perlu ditanyakan :

 apakah perdarahan ini baru perlama kali atau sebelumnya sudah pernah
 kapan terakhir lerjadinya.
 jumlah perdarahan
 Perlu lebih detail karena pasien biasanya dalam keadaan panik dan cenderung
mengatakan bahwa darah yang keluar adalah banyak. Tanyakan apakah darah
yang keluar kira-kira satu sendok alau satu cangkir Sisi mana yang berdarah jjga
perlu dilanyakan,
 Apakah satu sisi yang sama atau keduanya;
 Apakah ada trauma, infeksi sinus, operas hidung atau sinus
 apakah ada hipertensi
 keadaan mudah berdarah
 Apakah ada penyakit paru kronik, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis;
apakah sering makan obat-obatan seperti aspirinn atau produk antikoagjlansia

Pada pemeriksaan keadaan umum tanda vital harus dimonitor. Segeralah pasang
infus jika ada penurunan tanda vital, adanya riwayat perdarahan profus, baru
mengalami sakit berat misalnya serangan jantung, stroke atau pada orang tua.
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita,
sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis,
uji faal hati dan faal ginjal. Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus
paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.
Pemeriksaan lain yang diperlukan berupa :
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
3. Pengukuran tekanan darah
Tekana darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5. Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin
parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan

PENATALAKSANAAN
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis
singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan
berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat.
Hal-hal penting adalah sebagai berikut :
1. riwayat perdarahan sebelumnya
2. lokasi perdarahan
3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. lama perdarahan dan frekuensinya
5. kecenderungan perdarahan
6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. hipertensi
8. diabetes mellitus
9. penyakit hati
10. gangguan anti koagulan
11. trauma hidung yang belum lama
12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada
syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan
usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan,
kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang
mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika
dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian
klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien
berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infus plasma expander.
Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon,
lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti
dengan sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung
harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah
terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya,
kecuali sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan
hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan
adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga
hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu
tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini
dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau
posterior.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kiesselbach di septum
bagian depan. Perdarahan anterior terutama pada anak dapat coba dihentikan dengan
menekan hidung dari luar selama 10- 15 menit, tindakan ini walaupun terlihat sederhana
tetapi sering berhasil. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau
dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak
melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon
dimasukkan melalui nares anterior sebanyak 2-4 buah dan harus dapat menekan tempat
asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 2x24 jam dan harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan
medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu
untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada
malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi
perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon
Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-
kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan
sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua
nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua
ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon
Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang
yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari
telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke
dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat
pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak
di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi
lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik
tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di
samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan
tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain
arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior dan anterior.
Mencegah epistaksis berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif,
namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir.
Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-
pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah.
Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik
topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan
epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat
50% pada pembuluh tersebut.
Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan
meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya
sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan
daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui,
dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis
pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya
pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal
dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak
berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.
Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi
hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT- scan sinus
bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila
dicurigai ada kelainan sistemik.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau
sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya
tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan
infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus
atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan
septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan
dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah
melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat
mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon
posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di
pipi.
KESIMPULAN
Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan
merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab lokal antara lain : idiopati,
trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh lingkungan, benda asing
dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi
sistemik, gangguan endokrin, kelainan congenital.
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari Pleksus Kiesselbach (yang
paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior,
perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering
terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit
kardiovaskuler dan perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan
perdarahan secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon, mencegah
komplikasi baik sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha penanggulangan
epistaksis dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan
umum pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu
Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002,
125-129
2. Peter A. Hilger, MD, Penyakit Hidung, dalam : Harjanto, Kuswidayati, editor,
BOIES, Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta, 1997, 224-233
3. Mansjoer, Arif., et al (eds), Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI,
Media Aesculapius, Jakarta. 1999.pp; 96-99
4. Mark A. Graber dan Laura Beaty, Otolaringologi, dalam : Dewi, Susilawati,
editor, Buku Saku Kedokteran Keluarga University of IOWA, ed.3, EGC,
Jakarta, 2006, 745-747

Anda mungkin juga menyukai