Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

PENYUSUN :

Elsandi Fiqri Firdaus 1913020006

Anindya Widianingtyas 1913020008

PEMBIMBING :

dr. Satrio Wijanarko, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD SOESELO SLAWI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
PERIODE 30 SEPTEMBER – 26 OKTOBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul
“Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Anestesi Rumah Sakit
Umum Daerah dr.Soeselo Slawi.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat
ini, terutama kepada dr. Satrio Wijanarko, Sp.An selaku pembimbing, atas waktu
dan pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Anestesi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para dokter dan staff
Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soeselo Slawi, serta rekan-rekan
seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat penulis perlukan demi melengkapi referat ini.
Akhir kata, semoga Tuhan membalas kebaikan semua pihak dan referat ini
hendaknya membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, profesi, dan
masyarakat luas.

Slawi, 19 Oktober 2019

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFFERAT DENGAN JUDUL


“Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi RSUD dr.Soeselo
Slawi
Periode 30 Sepetember– 26 Oktober 2019

Slawi, 19 Oktober 2019

dr. Satrio Wijanarko, Sp.An

3
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7
A. Anatomi dan Fisiologi Jantung ................................................................................. 7
B. Anatomi dan Fisiologi Paru ...................................................................................... 10
C. Definisi ..................................................................................................................... 11
D. Sejarah ...................................................................................................................... 12
E. Etiologi dan Patofisiologi ......................................................................................... 14
F. Penatalaksanaan ........................................................................................................ 17
G. Prognosis .................................................................................................................. 33
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 36

4
BAB I

PENDAHULUAN

Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi kegawatdaruratan


karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak yang
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh malfungsi
mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang mendadak dan berat
ini mengakibatkan kerusakan organ. Henti napas dapat mengakibatkan penurunan
tekanan oksigen arteri, menyebabkan hipoksia otot jantung yang menyebabkan
henti jantung (1).
Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas otot jantung yang
tidak terkoordinasi. Dengan EKG, ditunjukkan dalam bentuk Ventricular
Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan persisten VF, aliran darah koroner
menurun hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, aliran darah karotis tidak
ada sehingga menimbulkan kerusakan neurologi secara permanen (1).
Henti jantung dapat disebabkan oleh banyak hal diantara nya karena
kelainan pada jantung itu sendiri seperti penyakit jantung koroner, ventrikel
fibrilasi, kelainan vaskular, trauma dada dan penyebab lainnya. Henti jantung
biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas, umumnya walaupun
kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih
dapat berlangsung terus sampai 30 menit (1).

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi


di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi
jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation untuk dapat
memberikan pertolongan hidup dasar (2).
Menurut American Heart Association bahwa rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi penderita
yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan
mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali. Namun pada

5
beberapa keadaan tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan henti
jantung yang telah berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi kerusakan
otak yang permanen. Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan
memberikan pertolongan yang berarti bagi pasien (1).

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Jantung


Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskuler. Jantung
dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan
kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Jantung memiliki bentuk jantung
cenderung berkerucut tumpul. Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm, lebar
8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200
sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan pemiliknya.
Setiap harinya jantung berdetak 100.000 kali dan dalam masa periode itu
jantung memompa 2000 galon darah atau setara dengan 7.571 liter darah (1).
Posisi jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah
dada, bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas
processus xiphoideus, terlindungi oleh tulang rusuk. Pada tepi kanan cranial
berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi
lateral sternum. Pada tepi kanan caudal berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum tepi kiri cranial
jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II sinistra di tepi lateral
sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di
kiri linea medioclavicularis (1).

Gambar 1. Anatomi rongga dada

7
Selaput yang membungkus jantung disebut pericardium dimana teridiri
antara lapisan fibrosa dan serosa, dalam cavum pericardii berisi 50 cc yang
berfungsi sebagai pelumas agar tidak ada gesekan antara pericardium dan
epicardium. Epicardium adalah lapisan paling luar dari jantung, lapisan
berikutnya adalah lapisan miokardium dimana lapisan ini adalah lapisan yang
paling tebal. Miokardium merupakan lapisan otot jantung yang berperan
penting dalam memompa darah melalui pembuluh arteri. Lapisan terakhir
adalah lapisan endocardium (1).
Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium
dan sisanya adalah ventrikel. Pada orang awan atrium dikenal dengan serambi
dan ventrikel dikenal dengan bilik. Keempat rongga tersebut terbagi menjadi
2 bagian, yaitu bagian kanan dan kiri yang dipisahkan oleh dinding otot yang
dikenal dengan istilah septum. Sesuai dengan etimologis, jantung pada dunia
medis memiliki istilah cardio yang berasal dari bahasa latin cor (1).
Dimana cor dalam bahasa latin memiliki arti : sebuah rongga.
Sebagaimana bentuk dari jantung yang memiliki rongga berotot yang
memompa darah lewat pembuluh darah dalam kontraksi berirama yang
berulang dan berkonsistensi (1).

Gambar 2. Anatomi jantung

8
 Pericardium
Perikardium merupakan semancam kantung dengan 2 lapisan yang
mengelilingi jantung. Lapisan serosa yang dalam (perikardium viseralis)
menempel ke bagian luar dinding jantung dipisahkan dari pericard
parietalis oleh lapisan tipis cairan pericardium (1).
 Katup Jantung
Ada 4 tipe katup jantung yang mengatur aliran darah dalam jantung, yaitu:
 Katup trikuspid: mengatur aliran darah antara atrium kanan dan
ventrikel kanan
 Katup pulmonalis mengontrol aliran darah dari ventrikel kanan ke
arteri pulmonalis, yang membawa darah ke paru untuk mengambil
oksigen
 Katup mitral membiarkan darah kaya oksigen dari paru yang
masuk ke atrium kiri untuk menuju ventrikel kiri
 Katup aorta memberikan jalan bagi darah yang kaya oksigen dari
ventrikel kiri ke aorta, arteri terbesar tubuh yang nantinya akan
dikirim ke seluruh tubuh Katup trikuspid dan katup mitral
dihubungkan oleh chorda tendinae ke papillary muscle. Hal ini
mencegah regurgutasi saat ventikel kontraksi (1).
 Sistem Konduksi

Gambar 3 Sistem konduksi jantung

9
Impuls elektris dari otot jantung (myocardium) menyebabkan
jantung berkontraksi. Sinyal elektrik ini dimulai di nodus SA, lokasinya
pada puncak atrium kanan. Nodus SA sering disebut ‘pacu jantung alami’.
Katika impuls elektris dilepaskan dari pacu jantung alami, antrium
berkontraksi. Sinyal kemudian diteruskan ke nodus AV. Nodus AV
kemudian mengirimkan sinyal ke serat-serat otot ventrikel, menyebabkan
kontraksi ventrikel. Nodus SA mengirimkan impuls elektrik dengan laju
tertentu, tapi frekuensi detak jantung masih dapat berubah tergantung
pada kebutuhan fisik, stress atau faktor hormonal (1).
B. Anatomi dan Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih
tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik
otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai
penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena
diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (2).
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif
akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot
interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung
diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari
paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada
akhir ekspirasi (2).
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-
gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari
0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih
tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam
atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu

10
oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan
mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan
parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur
dengan udara dalam ruangan sepi anatomi saluran udara dan dengan uap
air. Perbedaan tekanan karbondioksida(2).

Gambar 4. Anatomi Paru

C. Definisi
Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi kegawatdaruratan
karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak yang
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh
malfungsi mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang
mendadak dan berat ini mengakibatkan kerusakan organ. Henti napas
dapat mengakibatkan penurunan tekanan oksigen arteri, menyebabkan
hipoksia otot jantung yang menyebabkan henti jantung. Resusitasi
Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah
prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung
dan pada henti napas (3,4).
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung
yang dilakukan pada korban serangan jantung (3,4).

11
D. Sejarah
1740 The Paris Academy of Sciences secara resmi merekomendasikan
resusitasi mulut-ke-mulut pada korban tenggelam.
1767 The Society for the Recovery of Drowned Persons menjadi
organisasi pertama yang berusaha menghadapi kematian tak terduga dan
mendadak
1891 Dr. Friedrich Maass pertama kali melakukan dan
mendokumentasikan kompresi dada pada manusia.
1903 Dr. George Crile melaporkan keberhasilan pertama melakukan
kompresi dada eksternal pada resusitasi manusia.
1904 Kasus pertama di Amerika dilakukan closed-chest cardiac massage
oleh Dr. George Crile.
1954 James Elam pertama yang membuktikan bahwa udara yang cukup
dan memadai dapat menjaga oksigen dengan baik
1956 Peter Safar dan James Elam menciptakan resusitasi mulut-ke-
mulut.
1957 Militer Amerika Serikat mengadopsi metode resusitasi mulut-ke-
mulut untuk membantu korban yang tidak sadar.
1960 Cardiopulmonary resuscitation (CPR) dikembangkan oleh The
American Heart Association dengan memulai program untuk
memperkenalkan dolter dengan resusitasi jantung dan pernapasan dan
menjadi awal pelatihan CPR untuk masyarakat dan publik.
1963 Cardiologist Leonard Scherlis memulai the American Heart
Association's CPR Committee, dan pada tahun yang sama, the American
Heart Association secara resmi mendukung CPR.
1966 The National Research Council of the National Academy of
Sciences mengadakan konferensi tentang CPR. Konferensi ini adalah
hasil langsung permintaan dari American National Red Cross dan
organisasi lain untuk membuat standard dan pelatihan setandar tentang
CPR

12
1972 Leonard Cobb menggelar pelatihan warga pertama di dunia di
Seattle, Washington yang disebut Medic 2. Ia telah membantu melatih
lebih dari 100.000 orang pada dua tahun pertama program.
1973 Konferensi Nasional kedua tentang CPR dan ECC.
1979 Bantuan Hidup Kardiovaskular Lanjutan/ACLS dikembangkan
setelah diskusi pada Konferensi Nasional Ke-tiga tentang CPR
1981 Sebuah program menyediakan instruksi telepon pada CPR mulai di
King Country, Washington.Program digunakan pada kasus emergensi
operator memberikan petunjuk instan ketika departemen pemadam
kebakaran dan personel EMT yang keluar dari rute. Operator CPR
sekarang adalah perawatan standard untuk operator center di Amerika.
1983 AHA menyelenggarakan konferensi nasional tentang resusitasi
pediatrik dalam menngembangkan CPR dan ECC pedoman untuk
pediatrik dan pasien neonates. 1985 Konferensi Nasional keemmpat
tentang CPR dan ECC.
1988 AHA memperkenalkan pelatihan pertama pediatrik, BHD pediatrik,
BHL pediatrik dan resusitasi neonatal, yang disponsori oleh The
American Academy of Pediatrics (AAP).
1990s Early Public Access Defibrillation (PAD) program dikembangkan
dengan tujuan dan pemikiran telah disediakan pelatihan dan resource
untuk public sehingga mereka dapat mengobati dalam resusitasi yang
berhasil pada korban serangan jantung.
Feb 1992 Konferensi ke lima CPR dan ECC.
1992 International Committee on Resuscitation (ILCOR) didirikan.
1999 Tugas pertama pada pertolongan pertama
Konferensi Internasional pertama tentang pedoman untuk CPR dan ECC
2004 AHA dan ILCOR mengeluarkan pernyataan penggunaan AED pada
anak-anak umur 1-8 tahun yang tidak memiliki tanda-tanda sirkulasi.
2005 AHA mengembangkan keluarga dan teman dan perangkat CPR
kapan saja , produk revolusioner yang memperbolehkan siapa saja
mempelajari kemampuan CPR dalam 20 menit. Perangkat tersebut berisi

13
apapun yang perlu dipelajari dasar CPR, kemampuan AED dan bantuan
tersedak dimana pun, dari rumah nyaman besarnya settingan grup. 2005
The 2005 International Consensus on ECC and CPR Science rekomedasi
pengobatan (CoSTR) konferensi menghasilkan the 2005 American Heart
Association Guidelines for CPR & ECC. Pedoman ini mengeluarkan data
baru kompres:ventilasi rasio yang baik diganti oleh AED
2008 The AHAmengeluarkan pernyataan tentang Hands-Only™ CPR,
mengatakan bahwa saksi serangan jantung harus menghubungu 911 dan
melakukan kompresi dada dengan penekanan kuat dan cepat di tengah
dada korban
2010 The 2010 International Consensus on ECC and CPR Science
dengan rekomedasi pengobatan (CoSTR) konferensi menghasilkan the
2010 American Heart Association Guidelines for CPR & ECC; 50th
Anniversary of CPR
E. Etiologi dan Patofisiologi

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel


atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%).
Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena
akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena
koordinasi aktivitas jantung menghilang (1,2).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (1,2).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali (1,2).

14
Henti jantung kebanyakan dialami oleh orang yang telah
mempunyai penyakit jantung sebelumnya. Patofisiologi cardiorespiratory
arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti
jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh
akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak
ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit (Sudden cardiac death) (2).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing
etiologi yang mendasari terjadinya cardiac arrest dan respiratory arrest.:
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan
salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri
koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan
menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam
arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke
jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai
oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat
terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem
konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest (5).
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung
gagal berfungsi, diantaranya (2).
 perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam

15
 sengatan listrik
 kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam
ataupun serangan asma yang berat
 Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
 Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang memiliki gangguan jantung
 Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
reflex akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam
keluarga. Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka.
Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena
cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang
dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan Struktur Jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung
dapat menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada
akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini
meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit
jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan
struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel
blocker, kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan
aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat
medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa
medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau
mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat
membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade Jantung

16
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak
jantung sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi
berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension Pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum
pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara
luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran
mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga
membatasi aliran balik ke jantung.
8. Airway Obstruksi
Vomiting, benda asing, darah, sekret, mucus yang bergumpal,
laring atau spasme bronkus,
9. Depresi SSP
Stroke, trauma kepala, hiperkapni, barbiturate, narkotika, obat
penenang atau anastesi.
10. Neuromuskular failure
Secondary dari poliomyelitis, distrofi otot, myestenia atau relaxan
otot.
F. Penatalaksanaan

1. Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis)
ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis
ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis,
terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan
terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis
dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4
menit setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya

17
tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik
yang dilakukan.
a. Indikasi
1) Henti Nafas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan
oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat,
tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda
asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung,
radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya (4).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih
teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih
cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat
pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan
sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung (1,4).
2) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak
sanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke
otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik
normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung
terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak
termasuk henti jantung (1,4).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul
oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-
mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit
ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung
menghilang (1,4).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat

18
sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi
pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar
(1,4)
.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung,
kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi
pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan
menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu
dapat membuat jantung berdenyut kembali (1,4).

b. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya (1).
1) Fase 1
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu
prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas,
henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP
secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2) Fase 2
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu
tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah
dimulai PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel,
asistole atau agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel.

19
3) Fase 3
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic
yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua
tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang (Alkatiri, 2007)
c. Pembaharuan pada BLS Guidelines 2015
BLS terdiri dari elemen-elemen resusitasi yang dapat dilakukan
tanpa tambahan peralatan: manajemen jalan napas dasar, pernapasan,
dan kompresi dada manual. Latihan mendekati korban dengan urutan
jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC), meskipun urutan
sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan (CAB) telah digunakan di
beberapa Negara dengan hasil yang sebanding (6).
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2015, berbanding
dengan 2010. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti
berikut (5) :
1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon
dan pernafasan.
2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS

20
3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang
tidak terlatih
4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum
breathing.
5) Health care providers memberi chest compression yang efektif
sehingga terdapat sirkulasi spontan.
6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7) Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care
providers.
8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak
mengandali chest compression, airway management,rescue breathing,
rhythm detection dan shock.

21
Gambar 5. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa

Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak
responsive maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat
kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan
teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak
bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon

22
dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil
bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan
lebih baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut
nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda
waktu dilakukannya RJP..

).
Gambar 6. Algoritma ventricular fibrillation (VF) / pulseless ventricular tachycardia (VT

23
2) Resusitasi Jantung Paru dini
Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18
detik). Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang
berkualitas adalah:
 Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali
per menit dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan
lebih dari 120 kali / menit, kedalaman kompresi akan
berkurang seiring semakin cepatnya interval kompresi dada.
 Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5
cm) dan kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan
kedalaman kompresi maksimal diperuntukkan mengurangi
potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan.
Pada pasien bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-
posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak
sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas
(remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien
dewasa.
 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah
bawah sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di
bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di
tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan selama melakukan kompresi dada dan pemberian
ventilasi:

24
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa

 Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.


Selama melakukan siklus kompresi dada, penolong harus
membolehkan rekoil dada penuh dinding dada setelah setiap
kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak
boleh bertumpu di atas dada pasien setelah setiap kompresi.
 Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus
berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam
kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang
dilakukan per menit.
 Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun
jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan
jalan nafas melalui jaw thrust.
 Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2
kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara
ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan
volume tidal yang masuk adekuat.
 Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa
endotrakeal, Combitube, atau saluran udar masker laring),
penolong perlu memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik (10
napas buatan per menit) untuk pasien dewasa, anak-anak, dan
bayi sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan

25
 Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada
bergantian setiap 2 menit.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan


pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6
detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut
nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan
kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang,
pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi
interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari
10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau
pemasangan advance airway.
3) Alat defibrilasi otomatis
AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia.
Bila AED belum tiba, lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan
rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock diberikan bila ada indikasi /
instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan program/panduan
yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi shock
atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun
jika ritme tidak dapat diterapi shock lanjutkan RJP selama 2 menit
dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga
petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang, atau
korban mulai bergerak.

4) Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi


 Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan
sama seperti pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan.
Beberapa perbedaan ini seperti yang tercantum pada tabel 2.

26
Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi

27
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang
penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu
orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 :
2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi
menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan
pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau
sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu
orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.

Gambar 7 Algoritma bradikardia dukungan kehidupan lanjut anak (PALS). ABC

28
d. Bantuan Hidup Lanjut
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1) Penting
a) adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan
beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit
sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan
pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel (1).
b) Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik
asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik
berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10
menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan
yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa
terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila
belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian
dengan dosis yang sama (1).
c) Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan
sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada
keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard,
terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg,
diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit
sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh
melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
d) Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek
antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik
dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak
ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan
arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama

29
efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya
fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan
episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat
dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak
lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %
larutan (1 mg/ml) (1).
2) Berguna
a) Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera
(bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan
dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml
larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk
meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit.
Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil
diatasi dengan Atropine (1).
b) Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti
aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi
ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana
ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis
umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg,
dengan pengawasan yang ketat (1).
c) Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5
mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB
dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau
shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak
setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium
succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi
paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam (1).

30
(EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya
fibrilasi ventrikel dan monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang
listrik tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada


satu obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi.

Gambar 8. Obat dan Dosis ACLS Dewasa

31
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda
dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum
atas.
e. Bantuan Hidup Terus Menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring
terus-menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan
system saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim
saraf dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya
kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi


Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah
masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status
serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya
sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran,
gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang
dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit,
biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi
selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan
terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara

32
berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat
termasuk terapi obat (5).
f. Post Resuscitation Care
Faktor utama yang berkontribusi terhadap kematian setelah resusitasi
yang berhasil adalah perkembangan penyakit utama dan kerusakan
otak yang diderita akibat penangkapan. Setiap serangan jantung,
bahkan dalam durasi yang singkat, menyebabkan penurunan secara
umum fungsi miokard mirip dengan hipokinesis regional terlihat
setelah periode regional iskemia. Ini biasanya disebut sebagai global
myocardial stunning dan dapat dikurangi dengan agen inotropik, jika
perlu. Manajemen aktif setelah resusitasi nampaknya mengurangi
kerusakan otak pasca-iskemik dan meningkatkan hasil neurologis.
Meskipun sejumlah besar pasien memiliki defisit neurologis yang
parah setelah resusitasi, dukungan yang berorientasi pada otak yang
agresif tampaknya tidak meningkatkan proporsi bertahan hidup di
kondisi vegetatif. Paling rusak parah korban meninggal karena
kegagalan multisistem dalam 1 hingga 2 minggu.
Ketika aliran dipulihkan setelah periode iskemia otak global, tiga
tahap otak reperfusi terlihat dalam 12 jam berikutnya. Segera setelah
resusitasi, ada area multifokal otak tanpa reflow. Dalam 1 jam, terjadi
hiperemia global segera (6).

G. Prognosis
Untuk penderita koma yang sembuh dari CPR, pertanyaan tentang
prognosis akhir adalah penting. Satu studi retrospektif menunjukkan
bahwa pemeriksaan neurologis masuk korban koma sangat berkorelasi
dengan kemungkinan kebangkitan. Jika tidak ada respons cahaya pupil
dan tidak ada gerakan mata spontan, dan jika respons motorik terhadap
rasa sakit tidak ada atau ekstensor. Dalam postur, hanya ada 5%
kemungkinan pasien akan bangun. Sebuah studi pendamping
menunjukkan bahwa peluang untuk bangun kembali turun dengan cepat

33
pada hari-hari setelah penangkapan. Jika pasien tidak bangun setelah 4
hari setelah penangkapan, peluang untuk bangun adalah 20%, dan
semuanya kebangkitan itu telah menandai defisit neurologis. Sebagian
besar pasien yang sembuh total menunjukkan hasil yang cepat perbaikan
dalam 48 jam pertama. Ada juga korelasi yang tinggi antara keparahan
neurologis cedera dan tingkat kreatin kinase-BB ditemukan dalam cairan
serebrospinal. Nilai puncak ≥ 25 IU dikaitkan dengan kerusakan
neurologis yang parah dan dicapai 48 hingga 72 jam setelah penangkapan
(6)
.

34
BAB III

KESIMPULAN

Henti nafas ataupun henti jantung merupakan keadaan kegawatdaruratan


karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak yang
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh malfungsi
mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang mendadak dan berat
ini mengakibatkan kerusakan organ. Henti napas dapat mengakibatkan penurunan
tekanan oksigen arteri, menyebabkan hipoksia otot jantung yang menyebabkan
henti jantung.

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau


takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%)
dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak
menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.
Begitupun henti nafas, penatalaksanaan awal yang dilakukan ialah
memperhatikan airway, breathing, dan circulationnya (A-B-C). Pedoman
pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan
Heart Assosiation. Amerikan Heart Assosiation merevisi pedoman RJP setiap
lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2015. AHA merevisi dari A-B-C ke
C-A-B.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Alkatiri J (2007). Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
2. Torpy JM (2006). Cardiac arrest. The Journal of the American Medical
Assosiation, 295(1).
3. Medscape (2014). Sudden Cardiac Death. Emedicine.
http://emedicine.medscape.com/article/151907-overview - Diakses Oktober
2019
4. Latief SA (2007). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Penerbit FKUI.
5. American Heart association, Guidelines for CPR and ECC Comparison
Chart of Key Changes. 2010 Diambil dari URL:
http://www.scribd.com/doc/39645526/AHA-Guidelines-for-CPR-and-ECC-
Comparison-Chart-of-Key-Changes-2010
6. Barash P G, Cullen B F, Stoelting R K, Inhalation Anesthesia on : Clinical
Anesthesia, 2002.

36

Anda mungkin juga menyukai