Disusun Oleh:
Nama : Anindya Widianingtyas
NIPP : 1913020008
Pembimbing:
dr. Aprilludin, Sp.P
i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
EFUSI PLEURA SINISTRA et Causa CONGESTIVE HEART FAILURE
Disusun Oleh:
Nama : Anindya Widianingtyas
NIPP : 1913020008
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Senin/3 Januari 2021
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
ii
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. EK
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Bawangan 1/3 Kec. Suruh Semarang
Tanggal Masuk : 04 Januari 2021
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Salatiga dengan keluhan sesak napas sejak
4 jam SMRS. Sesak dirasakan memberat saat beraktivitas dan saat berbaring posisi
telentang dan membaik saat posisi duduk. Keluhan disertai nyeri dada (+), demam (+)
dan lemas (+). Keluhan batuk, mual, muntah, BAK dan BAB dalam batas normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi dan Diabetes Melitus tidak
terkontrol. Penyakit jantung, asma dan alergi disangkal oleh pasien.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Terdapat riwayat penyakit DM dan hipertensi pada kedua orang tua pasien.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Pasien merupakan perokok aktif
sejak remaja. Pasien memiliki asuransi BPJS Kesehatan .
C. PEMERIKSAAN FISIK
1
05 Januari 2021
Status Generalisata
Kesan Umum Tampak sesak napas
Kesadaran Compos Mentis (GCS : E4V5M6)
IGD Bangsal
Tekanan Darah : Tekanan Darah : 200/100
Vital Signs /
255/158 mmhg mmhg
Tanda-Tanda
Nadi : 128x/menit Nadi : 110x/menit.
Vital
Respirasi : 30x/menit Respirasi : 26x/menit
Suhu :38,2 0C Suhu :36,80C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), deviasi
trakea (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis
tengah, JVP 5±3
Thorax
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk, ginekomasti (-), spider navi (-)
Palpasi Terdapat ketertinggalan gerak hemithorax kiri dan
vokal fremitus kiri tidak teraba
2
Suara S1 dan S2 terdengar iregular
Auskultasi Murmur (+), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi Asites (-), caput medusa (-), striae (-), sikatriks (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak tidak ada
pembesaran
Perkusi Timpani, batas paru-hepar dan paru-lien dalam batas
normal
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, CRT <2 detik
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
3
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 16,84 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,16 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 11,4 13 – 18 gr/dL
Hematokrit 33,9 40 – 52 vol%
MCV 85,5 85 – 100 Fl
MCH 27,4 28 – 31 Pg
MCHC 33,5 30 – 35 gr/dL
Trombosit 371 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah -
Hitung Jenis
NLR 7,95 <3,13 mg/dl
ALC 800 >1500 mg/dl
Elektrolit
Kalium 3,7 135-155 Mmol/L
Natrium 127 40 – 75 Mmol/L
Kimia
Glukosa Darah Mg/dl
483 <140
Sewaktu
Ureum 53 20-40 Mg/dl
Kreatinin 1,6 0,9-1,3 Mg/dl
7 Januari 2021
Kimia
Glukosa Darah Mg/dl
441 <140
Sewaktu
Ureum 95 20-40 Mg/dl
Kreatinin 3,0 0,9-1,3 Mg/dl
4
2. Pemeriksaan Radiologi Foto Thorax
4 Januari 2021
Hasil:
- Tampak opasitas inhmogen paracardial sinistra dengan batas tak tegas dan
airbronchogram (+)
- Tampak opasitas homogen heothorax sinistra aspek inferior dengan penebalan pleural
space
- Tak tampak pembesaran limfonodi hilus bilateral
- Sinus costophrenicus bilateral lancip
5
- Diafragma bilateral licin dan tak mendatar
- Cor, CTR tak valid dinilai o/k batas kiri cor tertutup opasitas, konfigurasi cor
membesar
Kesan:
- Efusi pleura sinistra
- Supek pleuropneuminia sinistra
- Konfigurasi cor membesar
E. ASSESSMENT
Efusi Pleura Sinistra Et Causa Congestive Heart Failure dengan HT urgensi dan DM
F. PENATALAKSANAAN/PLANNING
IGD
Tatalaksana 04-01-2021
• Infus NaCl loading 1fl
• Candesartan 16mg
• Amlodipin 10mg
• Infus Paracetamol 1g ekstra
• 02 nasal canul 3lpm
• Injeksi Omeprazol 2 x 1
• Advice : Masuk ICU
BANGSAL
Tatalaksana 05-01-2021
• Infus RL 20tpm
• O2 nasal 5l/menit
• Sp nicardipin mulai 5mg/jam
• Sp apidra 5 unit IV per 2 jam
• PO Candesartan 16mg (1-0-0)
• PO Amlodipin 10mg (0-0-1)
• PO Clonidin 3x150mcg
• Ceftriaxone 1x2g
• Lantus 1x12ui
6
Tatalaksana 06-01-2021
• Infus RL 20tpm
• O2 nasal 5l/menit
• Sp nicardipin mulai 5mg/jam
• Sp apidra 5 unit IV per 2 jam
• PO Candesartan 16mg (1-0-0)
• PO Amlodipin 10mg (0-0-1)
• PO Clonidin 3x150mcg
• Ceftriaxone 1x2g
• Lantus 1x12ui
• Konsul dr.April, Sp.P -> terapi konservatif
Tatalaksana 07-01-2021
• Infus RL 20tpm
• O2 nasal 5l/menit
• Sp nicardipin mulai 5mg/jam
• Sp apidra 5 unit IV per 2 jam
• PO Candesartan 16mg (1-0-0)
• PO Amlodipin 10mg (0-0-1)
• PO Clonidin 3x150mcg
• Ceftriaxone 1x2g
• Lantus 1x12ui
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang tidak normal di rongga pleura yang
diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.
Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan.4,5,6
Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah,
nanah, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.4,5
2.2. Epidemiologi
Efusi pleura merupakan gejala dari penyakit yang mendasarinya, oleh karena
itu sulit untuk menentukan angka kejadiannya. Namun, insiden efusi pleura di
Amerika diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus per tahunnya. Diperkirakan prevalensi
efusi pleura adalah didapatkan 320 kasus dari 100.000 penduduk di negara industri.4
Selain itu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth di RSUP H
Adam Malik tahun 2011, dari 136 kasus, proporsi jenis kelamin pasien tertinggi
adalah pada laki-laki (89 orang) dan perempuan (47 orang), dimana kelompok umur
terbanyak adalah 45-59 tahun. Menurut lokasi cairan terbanyak di sebelah kanan (68
orang), proporsi etiologi efusi pleura tertinggi adalah TB paru (60 orang).2
8
2.3. Patofisiologi
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis
peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks.3,4
9
2.4. Etiologi
Penyebab utama dari efusi pleura ada dua tipe, yaitu efusi pleura transudatid
dan efusi pleura eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh beberapa
kombinasi dari peningkatan tekanan hidrostatik atau berkurangnya tekanan tekanan
onkotik kapiler misalnya gagal jantung, sirosis dan sindrom nefrotik. Efusi pelura
eksudatif disebabkan oleh proses local yang mengakibatkan perubahan pada
pembentukan dan penyerapan cairan pleura, peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan eksudasi cairan, protein dan komponen serum lainnya penyebab yang
paling sering adalah pneumonia, malignas dan pulmonary embolism, infeksi firus dan
tuberkulosis4.
10
polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfost. Cairan efusi sangat sedikit
mengandung kuman tuberculosis.
4. Pleuritis karena Fungi
Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran
infeksi fungi dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah :
aktinomikosis, koksidioidomikosis, aspergillus, kriptokokus, histoplasmosis,
blastomikosis, dll. Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi
hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
5. Pleuritis karena parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah
amoeba. Bentuk tropozoit datang dari parenkim hati menembus diafragma
terus ke parenkim paru dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini
terjadi karena peradangan yang ditimbulkannya. Di samping ini dapat terjadi
empiema karena karena ameba yang cairannya berwarna khas merah coklat.di
sini parasit masuk ke rongga pleura secara migrasi dari perenkim hati. Dapat
juga karena adanya robekan dinding abses amuba pada hati ke arah rongga
pleura.
Adapun penyakit non infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pleura antara
lain4,5 :
11
terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan
peradangan dengan efusi yang berdarah (warna merah). Di samping itu
permeabilitas antara satu atau kedua bagian pleura akan meningkat,
sehingga cairan efusi mudah terbentuk.
Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak, dan
biasanya sembuh secara spontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal
lainnya. Pada efusi pleura denga infark paru jumlah cairan efusinya lebih
banyak dan waktu penyembuha juga lebih lama.
c. Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti
sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta
anasarka. Efusi terjadi karena rendahnya tekana osmotic protein cairan
pleura dibandingkan dengan tekana osmotic darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
2. Efusi pleura karena neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang
pleura dan umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling
banyak ditemukan adalah sesak nafas dan nyeri dada. Gejala lain adalah
adanya cairan yang selalu berakumulasi kembali dengan cepat walaupun
dilakukan torakosentesis berkali-kali.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma, yakni :
12
b. Uremia, Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang
terdiri dari efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal (asites).
Mekanisme penumpukan cairan ini belum diketahui betul, tetapi diketahui
dengan timbulnya eksudat terdapat peningkatan permeabilitas jaringan
pleura, perikard atau peritoneum. Sebagian besar efusi pleura karena
uremia tidak memberikan gejala yang jelas seperti sesak nafas, sakit dada,
atau batuk.
c. Miksedema. Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagai bagian
miksedema. Efusi dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama.
Cairan bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi.
d. Limfedema. Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka,
tangan dan efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Pada
beberapa pasien terdapat juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan.
e. Reaksi hipersensitif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofurantoin, metisergid, praktolol kadang-
kadang memberikan reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura
berupa radang dan dan kemudian juga akan menimbulkan efusi pleura.
f. Efusi pleura idiopatik
Pada beberapa efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur
diagnostic secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis, analisis cairan,
biopsy pleura), kadang-kadang masih belum bisa didapatkan diagnostic
yang pasti. Keadaan ini dapat digolongkan daloam efusi pleura idiopatik.
4. Efusi pleura karena kelainan Intra-abdominal
Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan
peradangan yang terdapat di bawah diafragma, seperti pankreatitis, pseudokista
pancreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses ginjal, abses hati,
abses limpa, dll. Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi dapat juga
bilateral. Mekanismenya adalah karena berpindahnya cairan yang kaya dengan
enzim pancreas ke rongga pleura melalui saluran getah bening. Efusi disini
bersifat eksudat serosa, tetapi kadang-kadang juga dapat hemoragik. Efusi
pleura juga sering terjadi setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti
splenektomi, operasi terhadap obstruksi intestinal atau pascaoperasi atelektasis.
a. Sirosis Hati
13
Efusi pleura dapat terjadi pada pasien sirosis hati. Kebanyakan
efusi pleura timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat
kesamaan antara cairan asites dengan cairan pleura, karena terdapat
hubungnan fungsional antara rongga pleura dan rongga abdomen
melalui saluran getah bening atau celah jaringan otot diafragma.
b. Sindrom Meig
Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada
ovarium (jinak atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis
terjadinya efusi pleura masih belum diketahui betul. Bila tumor
ovarium tersebut dioperasi, efusi pleura dan asitesnya pun segera
hilang. Adanya massa di rongga pelvis disertai asites dan eksudat
cairan pleura sering dikira sebagai neoplasma dan metastasisnya.
c. Dialisis Peritoneal
Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya
dialysis peritoneal. Efusi terjadi pada salah satu paru maupun bilateral.
Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura
terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya
komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.
2.6. Diagnosis
14
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi
pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang
sakit. Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai
batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini ditentukan
oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung
selain melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal melemah,
redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau menghilang.
Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat.
15
3. Foto thorax
Foto thorax biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Foto dada
juga dapat menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat
jantung yang membesar, adanya masa tumor, adanya lesi tulang yang destruktif
pada keganasan, dan adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia
atau abses paru.
4. USG Thorax
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan. Jumlahnya
sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun
waktu melakukan aspirasi cairan dalam rongga pleura. Demikian juga dengan
pemeriksaan CT Scan thorax.
5. CT Scan Thorax
CT scan thorax dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan dengan
jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi
pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau
tumor. Hanya saja pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih
mahal.
16
6. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis.
Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang
dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah pengaruh pembiasan
lokal dalam dan berguna sebagai sarana untuk diuagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan posisi
duduk. Aspirasi dilakukan toraks, pada bagian bawah paru di sela iga v garis
aksilaris media dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran
cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus
yang dapat menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya
tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
7. Biopsi Pleura
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya maka
dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk dianalisa.
Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 -75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor
pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan
beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
17
Komplikasi biopsi antara lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau
tumor pada dinding dada.
18
kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis
adenokarsinoma.
c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel-sel tertentu.
o Sel neutrofil : Menunjukkan adanya infeksi akut.
o Sel limfosit : Menunjukkan adanya infeksi kronik sepertipleuritis
tuberkulosa atau limfomamalignum
o Sel mesotel : Bila jumlahnya meningkat, inimenunjukkanadanya
infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
o Sel mesotel maligna : Pada mesotelioma
o Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid
o Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan
empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang
aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan
pleura adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella, Pseudomonas, Entero-
bacter.Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam
hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%.
9. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber
cairan yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasus-kasus
neoplasma, korpus alineum dalam paru, abses paru dan lain-lain
10. Scanning Isotop
Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan emboli paru.
11. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
19
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau
tuberculosis pleura.Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada
(dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan dengan
memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bias melihat kedua pleura.
Dengan memakai bronkoskop yang lentur dilakukan beberapa biopsy.
20
21
2.8. Penatalaksanaan
22
Pleurodesis, dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan
mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk
efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi karena keganasan. Sebelum
dilakukan pleurodesis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada
dan paru dalam keadaan mengembang. Tindakan melengketkan pleura
visceralis dengan pleura parietalis dengan menggunakan zat kimia (tetrasiklin,
bleomisin, thiotepa, corynebacterium, parfum, talk) atau tindakan pembedahan.
Tindakan dilakukan bila cairan sangat banyak dan selalu terakumulasi
kembali.Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang
dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung pada
kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura. Setelah
tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg
yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga
pleura, selanjutnya diikuti segera dengan 20 ml larutan garam fisiologis.
Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30
menit dan selama itu posisi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi
di seluruh rongga pleura. Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang
dada dicabut.
2.9. Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari
kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobatan lebih dini
akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak memedapatkan
pengobatan dini. 4,5
23
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sesak nafas
yang dirsakan sudah 2 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas
muncuk mendadak dan hilang timbul. Jika sesak nafas muncul, dada kanan terasa berat
dan sakit untuk bernafas. Pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih. Nafsu
makan pasien menurun kurang lebih sudah 2 minggu ini. Mual, muntah, nyeri perut dan
nyeri dada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien mengeluhkan sesak nafas secara tiba-tiba, berlangsung terus menerus, dan
tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan sesak dirasakan berat saat bernafas dan tidak
membaik dengan perubahan posisi yang membuatnya sulit untuk melakukan aktifitas.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, jantung dan
asma. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, jantung, asma, dan diabetes
melitus. Namun, pasien mengaku memiliki riwayat penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE). Riwayat penyakit DM, hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung
pada keluarga disangkal.
Pasien belum bekerja. Sehari-hari pasien membantu orang tuanya dirumah.
Dirumah pasien tinggal bersama ibu dan ayahnya. Rumah tempat tinggal pasien berada di
perkampungan yang padat penduduk.
Dari pemeriksaan status generalisata pasien didapatkan hasil bahwa suhu awal saat
di IGD yaitu 38,3oC, namun pada saat sudah dipindahkan dibangsal suhu pasien menjadi
37,2oC, nadi: 80x/menit dan pernafasan 25x/menit. Hasil pemeriksaan dari kepala dan
leher, tidak didapatkan adanya konjungtiva anemis. Saat dilakukan palpasi tidak
didapatkan pembesaran limfonodi, tidak ada deviasi trakea dan jugular venous pressure
(JVP) dalam batas normal, tidak ada peningkatan maupun penurunan. Pada pemeriksaan
thorax didapatkan hasil bahwa bentuk dadanya simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk. Palpasi thorax menunjukkan adanya ketertinggalan gerak terutama di lapang paru
dextra serta terdapat penurunan vokal fremitus di lapang paru dextra. Saat dilakukan
perkusi, suara yang dihasilkan redup terutama dibagian basal paru dextra, ini menandakan
bahwa adanya cairan didalam rongga pleura. Pada auskultasi paru didapatkan suara dasar
vesikuler menurun di lapang paru dextra, sedangkan pada lapang paru sinistra dalam batas
24
normal, suara tambahan seperti ronki (+) pada paru dextra dan wheezing tidak ditemukan.
Pada pemeriksaan jantung tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis, perkusi jantung juga
menunjukkan hasil normal, tidak ada pembesaran jantung. Saat dilakukan asukultasi suara
jantung juga normal tidak ada suara tambahan maupun bising jantung. Pemeriksaan
abdomen tidak menunjukan adanya pembesaran dinding abdomen, bising usus dalam
batas normal, tidak terdapat nyeri tekan, serta tidak terdapat pembesaran hepar dan lien.
Ekstremitas baik superior dan inferior tidak didapatkan adanya edema piting pada kedua
tangan dan kakinya.
Pasien kemudian dirawat inap dibangsal untuk mengevaluasi demam yang
dirasakan kurang lebih sudah 14 hari, pasien kemudian dilakukan usulan pemeriksaan
laboratorium berupa darah rutin, dan USG thorax. Dari hasil pemeriksaan hematologi
tidak didapatkan adanya kelainan, semua masih dalam batas normal.
Hasil dari pemeriksaan USG thorax pasien menunjukkan Tampak lesi anechoic
dicavum pleura dextra (minimal) dengan gambaran pleura yang tebal. Tak tampak
gambaran interna echo maupun septa didalamnya.Pada punctum, tak tampak gambaran
lesi anechoic. Lesi tervisualisai di marker 1 (minimal), dan marker 2 minimal dengen
ketebalan +/- 15 mm dengan jarak lesi dari cutis +/-18.20 mm. Tak tampak lesi anechoic
di cavum pleura sinistra. Dari hasil USG thorax didapatkan kesimpulan loculated pleural
effusion dextra (minimal)
Setelah mengetahui adanya gambaran efusi pleura dextra, serta adanya klinis
pasien yang merasakan sesak nafas secara mendadak dan tidak membaik dengan
perubahan posisi, maka selanjutnya dilakukan tindakan untuk mengeluarkan cairan pada
pleural space paru sinistra dengan water sealed drainage (WSD). WSD merupakan suatu
sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari
cavum pleura. Tindakan ini biasanya dilakukan pada keadaan efusi pleura masif. Setelah
dilakukan WSD, keluar cairan kurang lebih 250 cc yang berwarna agak kekuningan keruh
(serous-xantho-ctrone). WSD telah dilakukan namun cairan tidak keluar.
Apabila dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang sudah dilakukan pada pasien ini, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien
ini sudah dapat didiagnosis efusi pleura dextra.
25
Efusi pleura yang terbentuk pada pasien ini merupakan komplikasi dari riwayat
SLE pada pasien. Efusi pleura merupakan suatu keadaan dimana terdapat penumpukan
cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit melainkan
manifestasi dari berbagai macam penyakit. Dalam keadaan normal cairan masuk ke dalam
rongga pleura dari kapiler di pleura parietal dan diserap melalui pembuluh limfe yang
berada di pleura visceral. Cairan juga bisa masuk ke rongga pleura melalui rongga
intersisial paru melalui pleura viscera atau dari rongga periotneum melalui celah sempit
yang ada di diafragma.
26
B. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
pada kasus ini didiagnosis efusi pelura dextra minimal. Penatalaksanaan yang diberikan
pada pasien ini yaitu dilakukannya thorakosintesis untuk mengatasi efusi pleura dextra,
kemudian pasien diberikan kortikosteroid berupa methylprednisolone, antibiotik obat
yang diberikan yaitu ceftriaxone dan diberikan ambroxol. Beberapa pemeriksaan
penunjang yang seharusnya dilakukan untuk mendiagnosis asites pada pasien ini tidak
dilakukan karena berbagai alsan dan kondisi.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratomo IP & Yunus F. Anatomi dan Fisiologi Pleura. CDK-205. Vol 40 No 6, 2013
2. Tobing E & Widirahardjo. Karakteristik Penderita Efusi Pleura di RSUP H Adam
Malik Medan Tahun 2011. E-Jurnal FK USU Volume 1 No 2 Tahun 2013
3. Halim H. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Setiati, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI. Tahun 2014. Jakarta : Interna Publishing
4. Rubins J. Pleural Effusion. Updated 5 September 2014. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview#showall
5. Light RW. Disorders of the Pleura and Mediastinum. Available in : Longo, et al. 2012.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed.United States : Mc Graw Hill
Companies
6. Khairani R, Syahruddin E & Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di RS
Persahabatan. J Respir Indo. Vol 32, No 3, Juli 2012
7. Sylvia Anderson Price, Lorraine Wilson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6.
8. Jakarta : EGC, 2005. Hal 736-852
9. Sjamsuhidayat-de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC, 2010. Hal 498-
513.
10. Alsagaff H.,Mukty H.A., Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Surabaya : Airlangga Press,
2002. halaman 144-145
11. Pierce Grace, Neil Borley. Et Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga.2006. Hal 25-27
12. Darmanto, Djojodibroto. Respirologi. Jakarta : EGC. 2007. Hal 173-185
13. Brunner & Sudart. Buku Ajar Keperawatan medikal bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.
2008. Hal 90 -98.
14. Hadi Halim. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 4. Jakarta : FKUI. 2007.
Hal 1056 - 1061
28