Definisi
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau
sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati
ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi
tumor, hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).
B. Patofisiologi
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen
yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai
sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki
tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan
menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini
berasal dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua
ventrikel lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus
koroideus dan kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan
yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam
ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,
cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke
dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat
melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu
foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu
rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum
(Guyton, 2007).
Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Astrositoma
Ependimoma
Glioblastoma
2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian
dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price,
2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau
tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang teroenting adalah pupil mata
anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum
dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.
Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang
memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya
umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala (Syaiful Saanin, 2012).
a. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli
bedah saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia
lokal karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak
tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah
arteria meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar
otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa
kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah
serebral atau sinus venosus serta cabang utamanya dan
memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir
diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater
didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin
berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila
mekanisme nyeri bekerja (Syaiful Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara
klasik bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam
satu-dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya
peningkatan tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi
berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena depresi
pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi
cairan serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).
b. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel
keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi
hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat
peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun,
sering bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering
dijelaskan sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat
dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran
yang menarik perhatian (Syaiful Saanin, 2012).
c. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih
dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan
dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi
drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan
menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina
serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus
(Syaiful Saanin, 2012).
2. Gejala Umum
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah
sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat,
papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan
gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor
pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit
neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin,
2004, Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium
dapat berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi
dapat menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan
dapat pula menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan
otak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang
berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan
neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada
vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya tumor di
fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini
mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang
berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga
tekanan dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari
fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke kolong tepi
bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon
yang pertama kali mengalami gangguan, melainkan bagian
ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan
kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi
tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium.
Pupil yang melebar merupakan cerminan dari terjepitnya
nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap
berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan
menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang
supratentorial dan secara berangsur-angsur akan menimbulkan
kompresi ke bagian rostral batang otak. Tanda bahwa suatu
tumor supratentorial mulai menggangu diansefalon biasanya
berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah
keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang
otak akan menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri
dan kanan
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk
melonjak terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan
tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula
oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler
dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan gangguan
pada medula oblongata, pons, ataupun mesensefalon akan
terjadi.
3. Gejala Lokal
Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi
fokal yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan
muntah dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan.
Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di
bagian otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di
bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran
intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan
disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain
dari tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah
premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan
refleks memegang dan anosmia (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum
yang diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau
parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang.
Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan
kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi.
Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput
merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor
serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.
E. Penegakan Diagnostik
Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Foto polos kepala
Arteriografi
Computerized Tomografi (CT Scan)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
F. Penatalaksanaan
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan
dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma.
Peningkatan ICP pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan
meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus untuk menghindari
pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah fenomena sementara
yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder
segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan
ditujukan untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan
akan membantu. Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan
(Widjoseno, 2004, Eccher,2004 ).
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk
mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien
dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor
GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang
menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi
ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat
meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan
inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung
kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa
pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian
analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam
kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan
cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF
yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan
umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30 o. Pasien
harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan karena
apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai
dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena
jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat
membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan ICP. Sehingga
banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan terapi
profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan
tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan
harus dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-
140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi
pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik
O2, hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di
Jepang. Mereka pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi
serebral dan mengurangi volume darah otak dan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger
radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol
dan urea merupak golongan yang jarang digunakan hari ini.
Beberapa teori telah dikemukakan mengenai mekanisme yang
mengurangi ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang
menurunkan viskositas darah dan menyebabkan
vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan
menurunkan ICP dan dapat mengurangi produksi CSF oleh
pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi
otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas
sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang
signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih
baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan
oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24
jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih
umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.
Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam setelah
infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan
berpengaruh cukup terhadap ICP. Ketika dosis berulang
diperlukan, penggunaan garis dasar osmolalitas serum
meningkat secara bertahap dan saat ini melebihi 330 mosm
/ 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan lebih lanjut
tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama
dengan bantuan manitol untuk mempercepat ekskresi dan
mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis
berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa furosemid manitol
dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload
sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena pembalikan
gradien osmoICP sebagai akibat kebocoran progresif dari
agen osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau
karena ICP yang meningkat kembali (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal,
tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi
lipid dimediasi radikal bebas dan menekan metabolisme serebral;
persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume darah otak
yang berkurang mengakibatkan penurunan ICP. Fenobarbital yang
paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30
menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus
menemani setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan
masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas
dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema.
Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan arteri
sehingga mengurangi ICP. Selain itu mengurangi metabolisme otak
dan permintaan energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi
yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari
temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini
dapat mungkin menurunkan ICP dengan menurunkan metabolisme dari
otak. Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau kurang dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8
jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan
ICP.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang
berhubungan dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat
perubahan tersebut. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi
depresi jantung pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden
komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia telah dilaporkan pada
metode terapi ini (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan
diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis
didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari
nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan
penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan
memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150
mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada
pasien dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu
perdarahan memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur
secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter
dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk
mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe
ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain). Pada situasi yang
jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan
untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi lumbal dapat
digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan
ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan
pemasangan material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat
tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma
otak, abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi
tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk, 2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan
lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.
Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,
2010):
CT scan
MRI
Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID
memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi
pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum
operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang
khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum
6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat
sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka
tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau
insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang
melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran
tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi
dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan
suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti
pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang
telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan
akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di
dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit
dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri
yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin
bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena,
kelainannya dipotong kemudian disambung kembali dengan pembuluh
darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak
beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat
shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang
tersumbat ke tempat lain dengan menggunakan alat sejenis kateter
berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus berkembang, seperti Matson
(1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke saluran kencing
(ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter
(1952), Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan
pintasan ke arah ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut
(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah dengan menggunakan katup
pengaman.Teknologi pintasan terus berkembang dengan ditemukan bahan-
bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya menggunakan bahan
polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu ditanam di jaringan
otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan seumur hidup
penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan
kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan
selaput otak yang selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul
kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu
ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung selang tersebut
dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang ditanam di bawah kulit
sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).