Anda di halaman 1dari 40

A.

Definisi
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau
sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati
ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi
tumor, hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).
B. Patofisiologi
Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen
yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai
sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki
tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan
menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai
konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini
berasal dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua
ventrikel lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus
koroideus dan kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan
yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam
ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,
cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke
dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat
melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu
foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu
rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum
(Guyton, 2007).

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang


mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam
vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton, 2007).

Gambar 2.1 Pembentukan Cairan Serebrospinal


Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan
intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg.
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g),
cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005).

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu


dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15
mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas
40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab
peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma
kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai
tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan
intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan
meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini
mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang
makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah
perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).

Gambar 2.2 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan


Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.
C. Klasifikasi
1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau
proses desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam
rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial (Satyanegara, 2010)
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada
prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi
klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat
keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi
makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan atas
kategori-kategori (Satyanegara, 2010):
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang
jelas, tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ
sekitar. Selain itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul
serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi setelah
dilakukan pengangkatan total. Secara histologis,
menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a
tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi
struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur
tanpa adanya formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi
destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta
cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca
pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik


progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya
disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan
kenaikan intrakranial (Price, 2005).
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak
dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat
tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.
Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai
hilangnya fungsi secara akut dan gangguan serebrovaskular primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron
dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah
ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga
menekan parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan
neurologis fokal (Price, 2005).
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya
massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada
ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema akibat
kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan volume
intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan
serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid
menimbulkan hidrosefalus (Price, 2005).
Gambar 2.3 Skema Faktor Peningkatan Tekanan
Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa


apabila terjadi cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme
kompensasi antara lain bekerja menurunkan volume darah
intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel,
dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak
diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum. Herniasi
unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior
melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi
menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil
serebelum bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu
massa posterior (Price, 2005).
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow
berdasarkan tampilan sitologinya dan dalam perkembangan
selanjutnya dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-
peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi universal awal
dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926) berdasarkan histogenesis
sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya
pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti
lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang
dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari
oleh sistem gradasi keganasan di atas dan menghubungkannya
dengan prognosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”

Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer


yang tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen
yang berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti
astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas
seperti glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik
biasanya adalah lesi infiltratif berbatas samar yang menyebabkan
parenkim membesar dan batas substansia grisea/substansia alba
kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambar 2.4 Astrositoma

Gambar 2.5 MRI Anaplastik Astrositoma


Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa


dan biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan
sitogenik yang sering terjadi pada oligodendroglioma adalah
hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom 19 dan
lengan pendek kromosom 1. Secara makroskopis, oligodendroglioma
biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas yang lebih
tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan
dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam (Vinay
Kumar dkk, 2007).

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit


diperkirakan. Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan
kontras dalam pemeriksaan radiografik, aktivitas proliferatif, dan
karakteristik sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis
(Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar


muncul di dalam salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis
di korda spinalis. Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada
dua dekade pertama kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama
pada orang dewasa. Ependioma intrakranial paling sering timbul di
ventrikel keempat, tempat tumor ini mungkin menyumbat CSS dan
menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial
(Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari


dinding ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam
rongga ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang dengan
papilar yang jelas (Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi
neoplasma. Tumor intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan
tanda peningkatan tekanan intrakranial. Karena lokasinya di dalam
sistem ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang
subarakhnoid (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.6 Ependimoma

Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas


atau neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat
berupa masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah
nekrosis dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai
dengan suatu daerah bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan
(Vinay Kumar dkk, 2007).
Gambar 2.7 Glioblastoma

Gambar 2.8 MRI Glioblastoma


Meduloblastoma

Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan


bertumbuh sangat cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak.
Sekitar 20% neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma
(Arthur, 2012).
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di
infratentorial, di bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel
ke empat. Pada analisis kromosom ditemukan hilangnya informasi
genetik di bagian distal kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari
regio yang mengkode protein p53 pada sebagian besar pasien. Ini
diduga bertanggung jawab terhadap perubahan neoplastik dari sel-sel
punca serebelum menjadi neoplasma (Arthur, 2012).
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata
ditegakkan 1 – 5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis
yang ada timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi
intrakranial. Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan
mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan
terlihat anak berjalan seperti tersandung, sering jatuh, melihat dobel,
dan mata menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan
pemeriksaan neurologis yang secara khas akan memperlihatkan
papiledema atau paresis nervus abdusens (n. VI) (Arthur, 2012).
Gambar 2.9 Gambaran Skematik Meduloblastoma

Tumor Pleksus Khoroid

Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa


massa dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk
mirip dengan kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk sesuai
dengan kontur ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi melalui
foramen-foramen ke dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke
dalam rongga subarakhnoid. Tumor ini mendesak jaringan otak
namun tidak menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal.
Tumor intraventrikel IV dapat menimbulkan gejala nistagmus dan
ataksia (Vinay Kumar dkk, 2007).

2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian
dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price,
2005).
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau
tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang teroenting adalah pupil mata
anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 2.10 Hematom Epidural


Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang
menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran
hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh
karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika
dibandingkan dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala
timbul pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul
antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul
sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat, 2004).
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera.
Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki
mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien
yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya
mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan
dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang
selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2005).
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua
minggu setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita
hematom subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam
beberapa jam. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan
hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak
merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan
tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat timbunan darah
akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral dan
timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak (Price,
2005).
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya
tertunda beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah
cidera awal. Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan
gejala awal demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke
dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan,
darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma.
Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan
lebih lanjut akibat robekan membran atau pembuluh darah di
sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan
hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-
unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-
perubahan yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala
dan tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda
perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif dalam
tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian
dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan
kognitif yang lebih tinggi (Price, 2005).
Gambar 2.11 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural
Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan
hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang
(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang
dianggap sebagai neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat,
2004).

Gambar 2.12 Hematom Subdural


Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan
selaput arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke
ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan
tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat,
2004).

D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum
dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.
Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang
memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya
umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala (Syaiful Saanin, 2012).
a. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli
bedah saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia
lokal karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak
tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah
arteria meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar
otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa
kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah
serebral atau sinus venosus serta cabang utamanya dan
memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir
diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater
didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin
berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila
mekanisme nyeri bekerja (Syaiful Saanin, 2012).
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara
klasik bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam
satu-dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya
peningkatan tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi
berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena depresi
pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi
cairan serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).
b. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel
keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi
hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat
obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat
peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun,
sering bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering
dijelaskan sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat
dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran
yang menarik perhatian (Syaiful Saanin, 2012).
c. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih
dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan
dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan
tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi
drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan
menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina
serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat
menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus
(Syaiful Saanin, 2012).

2. Gejala Umum
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah
sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat,
papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan
gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor
pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi
tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit
neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin,
2004, Bradley, 2000):
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium
dapat berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi
dapat menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan
dapat pula menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan
otak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang
berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan
neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada
vena dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya tumor di
fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang
mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini
mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang
berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga
tekanan dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari
fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke kolong tepi
bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon
yang pertama kali mengalami gangguan, melainkan bagian
ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan
kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan
gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi
tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium.
Pupil yang melebar merupakan cerminan dari terjepitnya
nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap
berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan
menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang
supratentorial dan secara berangsur-angsur akan menimbulkan
kompresi ke bagian rostral batang otak. Tanda bahwa suatu
tumor supratentorial mulai menggangu diansefalon biasanya
berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah
keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa
mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang
otak akan menyebabkan :
 Respirasi yang kurang teratur
 Pupil kedua sisi sempit sekali
 Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri
dan kanan
 Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
 Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
 Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk
melonjak terus
 Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
 Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan
tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula
oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler
dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan gangguan
pada medula oblongata, pons, ataupun mesensefalon akan
terjadi.

2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi


Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial
atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering
adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala
hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas)
menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna
(jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat
berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya
memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior
atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan
gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor
otak yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya
tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering
diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan
aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada
50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor
supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian
frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke
oksiput dan leher. Sakit kepala merupakan gejala umum yang
dirasakan pada tumor intrakranium. Sifat dari sakit kepala itu
adalah nyeri berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala
seolaholah mau meledak. Nyerinya paling hebat di pagi hari,
karena selama tidur malam PCO2 arteri serebral meningkat
sehingga mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan
demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium. Lokalisasai
nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas,
mungkin saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma
pada tahap dini dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan
gejala apapun. Sebaliknya, astrositoma derajat 1 sekalipun
dapat berefek buruk jika menduduki daerah yang penting,
misalnya daerah bicara motorik Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS.
Karena itu, sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk
waktu yang lama tidak menunjukkan gejala defisit neurologik.
Tumor infratentorial yang berlokasi di samping (unilateral)
cepat menimbulkan gejala defisit neurologik akibat pergeseran
atau atau desakan terhadap batang otak. Maka dari itu, tuli
sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus, oftalmoplegia
(paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan) perifer
fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan
dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh
oftalmoplegia (yang menimbulkan diplopia). Kombinasi
pusing kepala ataupun sakit kepala dan diplopia harus
menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya tumor serebri,
terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan
efek dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya
pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari,
dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual
menambah kecurigaan adanya massa intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur.
Hal ini disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi
selama tidur malam, di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat
muntah dari penderita dengan tekanan intrakranium meninggi
adalah khas, yaitu proyektil atau muncrat yang tanpa didahului
mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan
intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama sebagai
gejala dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya
timbul pada tumor di fosa kranium posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-
gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau
temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani
dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.
(4,9,10) Tumor di sebagian besar otak dapat mengakibatkan
gangguan mental, misalnya demensia, apatia, gangguan watak
dan serta gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi
juga akan terjadi terutama jika tumor tersebut mendesak sistem
limbik (khususnya amigdala dan girus cinguli) karena sistem
limbik merupakan pusat pengatur emosi.
e. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor
otak, sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera
dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan
gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil
yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta,
penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan
penglihatan kabur yang tidak menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya
lambat seperti astrositoma, oligodendroglioma dan
meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal
baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.

3. Gejala Lokal
Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi
fokal yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan
muntah dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan.
Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di
bagian otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di
bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran
intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka
menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan
disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain
dari tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah
premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan
refleks memegang dan anosmia (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum
yang diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau
parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang.
Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan
kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi.
Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

2. Tumor di daerah presentralis


Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah
motorik sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral
sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah
menimbulkan destruksi strukturil, maka gejalanya berupa
hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk
serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior
akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

3. Tumor di lobus temporalis


Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis
kurang menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan
timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan
terjadi gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi
auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan
dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus
temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan
kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

4. Tumor di lobus parietalis


Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah
sensorik. Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil,
maka segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral
yang bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini
akan menimbulkan astereognosia dan ataksia sensorik. Bila
bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul gejala
yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat
terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic radiation
sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari lobus
parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan
lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan
fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan
menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk
mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta
apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang
bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik).
Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan
sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala
utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain
diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral
dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin, 2004, Bradley,
2000).

5. Tumor pada lobus oksipitalis


Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala
yang muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput.
Kemudian dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia
homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering
ditandai dengan persepsi kontralateral episodik terhadap
cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri (Saanin, 2004,
Bradley, 2000)
.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala
yang baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering
timbul dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor
yang menduduki korpus kalosum (Saanin, 2004, Bradley,
2000).

7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal


Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan
hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan
ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal
dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga
menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea,
galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

8. Tumor Batang Otak


Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek
lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan
ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan
hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum
(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput
merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor
serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.

4. Gejala Lokal yang Menyesatkan


Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil
dari lokasi tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur
intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan
kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor pada
korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia) (Bradley,
2000).
Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada
tumor intrakranium (Bradley, 2000):
1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat
tekanan intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan
pada nervus optikus secara langsung. Papil akan terlihat berwarna
merah tua dan ada perdarahan di sekitarnya. Untuk melihat
papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau oftalmoskopi.
Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula
spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan
tercermin pada ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada
kedaan demikian, fungsi lumbal tidak boleh dilakukan dapat
menyebabkan herniasi serebelum di foramen magnus yang dapat
mengkahiri kehidupan.
2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat
menyebabkan ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.
3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan
gangguan pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga
menimbulkan bradikardi (melambatnya denyut jantung) atau
tekanan darah sistemik meningkat secara progresif
4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang
otak dari luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi
sentral rostro-kaudal terhadap batang otak menyebabkan
pernafasan yang lambat namun dalam.
5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi.
Penipisan tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat,
sedangkan penebalan tulang sebagai akibat rangsang dari
meningioma yang gepeng.

E. Penegakan Diagnostik

Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):


a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi
yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini
dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di
medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan
menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan
pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat
berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya
peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme
kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya
tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan
perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,
maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung,
suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus
atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi
yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema
otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang
penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil
nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil
odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala
 Arteriografi
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

F. Penatalaksanaan
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan
dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma.
Peningkatan ICP pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan
meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus untuk menghindari
pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah fenomena sementara
yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder
segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan
ditujukan untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan
akan membantu. Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan
(Widjoseno, 2004, Eccher,2004 ).
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk
mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien
dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor
GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang
menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi
ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat
meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan
inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung
kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa
pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian
analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam
kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan
cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF
yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan
umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30 o. Pasien
harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan karena
apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai
dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena
jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat
membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan ICP. Sehingga
banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan terapi
profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan
tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
2. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan
harus dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-
140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi
pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan
(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik
O2, hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di
Jepang. Mereka pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi
serebral dan mengurangi volume darah otak dan ICP (Kaye,
2005, Eccher,2004 ).
 Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger
radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol
dan urea merupak golongan yang jarang digunakan hari ini.
Beberapa teori telah dikemukakan mengenai mekanisme yang
mengurangi ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang
menurunkan viskositas darah dan menyebabkan
vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan
menurunkan ICP dan dapat mengurangi produksi CSF oleh
pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi
otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas
sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang
signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih
baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma
dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan
oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24
jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih
umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.
Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam setelah
infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah
aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan
berpengaruh cukup terhadap ICP. Ketika dosis berulang
diperlukan, penggunaan garis dasar osmolalitas serum
meningkat secara bertahap dan saat ini melebihi 330 mosm
/ 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan lebih lanjut
tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal ginjal.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama
dengan bantuan manitol untuk mempercepat ekskresi dan
mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis
berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa furosemid manitol
dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan
furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload
sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena pembalikan
gradien osmoICP sebagai akibat kebocoran progresif dari
agen osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau
karena ICP yang meningkat kembali (Kaye, 2005,
Eccher,2004).
3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal,
tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi
lipid dimediasi radikal bebas dan menekan metabolisme serebral;
persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume darah otak
yang berkurang mengakibatkan penurunan ICP. Fenobarbital yang
paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30
menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk
memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus
menemani setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan
masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas
dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema.
Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan arteri
sehingga mengurangi ICP. Selain itu mengurangi metabolisme otak
dan permintaan energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik
(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi
yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari
temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini
dapat mungkin menurunkan ICP dengan menurunkan metabolisme dari
otak. Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau kurang dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8
jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan
ICP.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang
berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang
berhubungan dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat
perubahan tersebut. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi
depresi jantung pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden
komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia telah dilaporkan pada
metode terapi ini (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan
diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis
didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari
nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan
penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan
memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150
mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.
Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada
pasien dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu
perdarahan memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).
6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur
secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter
dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk
mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe
ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain). Pada situasi yang
jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan
untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi lumbal dapat
digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.
Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara
membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi
adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan
pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan
duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya
herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan
ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai
pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan
pemasangan material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat
tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma
otak, abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi
tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk, 2010).
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan
lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.
Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,
2010):
 CT scan
 MRI
 Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan
mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah
operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID
memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi
pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum
operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai
tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang
khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum
6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat
sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka
tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau
insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang
melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran
tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi
dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan
suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti
pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang
telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan
akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di
dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah
prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula
dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit
dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri
yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin
bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena,
kelainannya dipotong kemudian disambung kembali dengan pembuluh
darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak
beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat
shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang
tersumbat ke tempat lain dengan menggunakan alat sejenis kateter
berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus berkembang, seperti Matson
(1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke saluran kencing
(ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari
rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter
(1952), Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan
pintasan ke arah ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut
(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah dengan menggunakan katup
pengaman.Teknologi pintasan terus berkembang dengan ditemukan bahan-
bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya menggunakan bahan
polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu ditanam di jaringan
otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan seumur hidup
penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.
Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan
kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan
selaput otak yang selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul
kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu
ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung selang tersebut
dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang ditanam di bawah kulit
sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).

Anda mungkin juga menyukai