Anda di halaman 1dari 70

CASE BASED DISCUSSION

ANESTESI PADA STRUMA

Dokter Pendidik Klinis:


dr. Satrio Wijanarko, Sp.An

Disusun Oleh :
Anindya Widianingtyas
1513010013

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
PERIODE 30 SEPTEMBER – 26 OKTOBER 2019
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 3
BAB II : ILUSTRASI KASUS ....................................................................... 4
BAB III : LAPORAN ANESTESI................................................................... 8
BAB IV : TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12
BAB V : ANALISIS KASUS ......................................................................... 64
BAB VI : KESIMPULAN ............................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 69

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berarti tidak, dan
Aesthesis berarti rasa atau sensasi. Anestesi dilakukan untuk menghilangkan
rasa nyeri saat operasi, tindakan partus, dan kebutuhan diagnosis. Sehingga
anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai
dengan hilangnya kesadaran, tetapi bersifat sementara dan dapat kembali
(1)
kepada keadaan semula . Berdasarkan tekniknya anestesi dibagi menjadi
dua, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Dalam tindakan anestesi
diperlukan “Trias Anestesi” yang meliputi tiga komponen, yaitu hipnotik,
(2)
anelgesi, dan relaksasi otot rangka . Anestesi umum biasa dapat digunakan
untuk operasi pada bagian kepala dan lengan atas. Salah satu contoh operasi
yang menggunakan anestesi umum adalah operasi lobektomi pada penderita
struma.

Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di


daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat
dicegah dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa
ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya
multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa (3).
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut,
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk
involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin (3).
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma(3).

3
BAB II

ILUSTRASI KASUS

A. Status Pasien
Identitas Pasien
Nama : Ny. SK
Usia : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. Rekam Medik : 599544
Alamat : Kalisoka
Diagnosis pre-op : Struma
Jenis Pembedahan : Lobektomi
Jenis Anestesi : General Anestesi
Tanggal Masuk RS : 7 Oktober 2019
Tanggal Operasi : 8 Oktober 2019

I. ANAMNESIS
Autoanamnesis
Tanggal anamnesis : 7 Oktober 2019
Keluhan utama : Benjolan di leher sejak 6 bulan SMRS
Keluhan tambahan : Nyeri ketika menelan, batuk (+), sesak (+)
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluhkan rasa mengganjal di
tenggorokan dan mengeluh nyeri ketika menelan dan sulit menelan
Riwayat penyakit dahulu : (-)
Riwayat penyakit keluarga : (-)
Riwayat kebiasaan : (-)
Riwayat pengobatan : (-)

4
II. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan fisik: 7 Oktober 2019
 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesan sakit : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)

 Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 99 x/menit
Suhu : 37,3˚C
Pernapasan : 22 x/menit

 Antropometri
Berat badan : 48 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI :
Status gizi : Cukup

 Status Lokalis
Kepala : Normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : Bentuk normal, discharge (-), deviasi septum (-)
Telinga : Normotia, MT auricula dekstra intak / MT auricula sinistra
terdapat perforasi, CAE (canalis auditus eksternus) lapang pada kedua telinga,
hiperemis -/-, edema -/-, serumen prop -/-
Mulut : Hygiene baik, gigi utuh, gigi palsu (-)
Tenggorokan : hiperemis (-/-)
Leher : pembesaran KGB colli dextra et sinistra (+), kelenjar tiroid
tampak membesar
Toraks : Pernapasan simetris, napas tertinggal (-)

5
o Jantung : S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Paru : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
o Inspeksi : Bentuk perut datar, skar (-), massa (-)
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar & lien (-)
o Perkusi : timpani pada 4 kuadran
o Auskultasi : bising usus (+)
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Lab - Tanggal : 24/09/2019
- HEMATOLOGI
Hasil Nilai Normal
Leukosit 9.1 4.5-13.0
Eritrosit 4.5 4.40-5.90
Hemoglobin 13.2 12.8-16.6
Hematocrit 39 35-47
MCV 88 80-100
MCH 30 26-34
MCHC 34 32-36
Trombosit 221 150-400
Eosinophil 0.50 2.00-4.00
Basophil 0.70 0-1
Netrofil 68 50-70
Limfosit 21.10 26-40
Monosit 9.70 2-8
RDW SD 40.4 35-43
RDW CV 12.5 11-14
PT TEST 9.2 9.3-11,4

6
APTT test 34.7 25.5-42.1
GDS 81 75-140
Ureum 18.2 17,1-42.8
Kreatinin 0.39 0.40-1.00
Albumin 4.40 0.8-5.3
SGOT 2 13-33

7
BAB III

LAPORAN ANESTESI

A. Pre operatif
- Surat Izin Operasi (+), Surat Izin Anestesi (+)
- Puasa (+) dari jam 2 malam
- Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu, gigi ompong (+)
- Mallampati : II
- IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Tanda vital :
 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 90x/menit
 RR : 22x/menit
 Suhu : 37,3o C
- ASA : II

B. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan ondansetron 4 mg bolus IV

C. Pemantauan selama anestesi


Selama operasi dilakukan monitoring secara konstan terhadap keadaan
pasien yaitu reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya
terhadap fungsi pernapasan dan jantung.
- Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, Tekanan darah setiap 5 menit
- Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien dan saturasi
oksigen
- Cairan : Monitoring input cairan

8
D. Monitoring tindakan operasi :
Jam Tindakan Tek. Darah Nadi Saturasi
(mmHg) (x/menit) O2 (%)
10.30 - Pasien dipindah ke meja 106/76 106 99
operasi
- Pemasangan monitoring
saturasi, nadi, tekanan darah.
- Ondansetron 4 mg bolus iv
sebagai premedikasi
10.35 - Anestesi dimulai 120/60 105 99
- Pemberian Fentanyl 100 g
secara IV bolus
- Pemberian Midazolam
secara IV bolus
- Pemberian Propofol 200mg
secara IV bolus
- Diberikan 02 3L/menit, N2O
3L/menit, dan Sevofluran
100cc
- Pemasangan Endotrakeal
tube no.7
10.45 - Operasi dimulai 120/60 98 100
- Kondisi terkontrol
10.50 - Kondisi terkontrol 120/65 94 100
10.55 - Kondisi terkontrol 120/60 97 100
11.00 - Kondisi terkontrol 120/70 94 100
11.05 - Kondisi terkontrol 120/70 88 99
11.10 - Kondisi terkontrol 120/70 85 99
11.15 - Kondisi terkontrol 130/75 85 100
11.20 - Kondisi terkontrol 140/80 75 100

9
12.05 - Operasi selesai 140/80 72 99
- Pemberian Ketorolac
- Alat monitoring di lepas, O2
dihentikan
- Pasien dipindah ke recovery
room dan Diberikan O2 3
L/menit
12.15 Diruang recovery 120/70 83 100

E. Intraoperatif
- Tindakan operasi : Lobektomi
- Tindakan anestesi : General Anestesi
 Lama operasi : 75 menit (10.45 – 12.00)
 Lama Anestesi : 90 menit (10.35 – 12.05)
- Jenis Anestesi : General Anestesi
- Posisi : Supine
- Pernafasan : dibantu ventilator
- Infuse : Ringer laktat pada lengan kiri 500 cc/jam
- Pramedikasi : Ondansetron 4 mg
- Induksi : Propofol 100 mg
- Rumatan : O2 3L
- Medikasi : Fentanyl 100 mcg, Propofol 200 mg, Ketorolac,
Midazolam
- Cairan : Input : RL 500 cc

F. Post Operatif
- Pasien ditempatkan di recovery room dan dapat dipindah ke ruangan setelah
memenuhi kriteria
- Observasi tanda vital :
 Kesadaran : Compos mentis
 Tek. Darah : 120/70 mmHg
10
 Nadi : 83x/menit
 Saturasi : 100%
- Penilaian pemulihan kesadaran dengan Aldrette score

No Kriteria Score Nilai


1 Aktivitas motorik:
 Mampu menggerakkan empat ekstremitas 2 2
 Mampu menggerakkan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
2 Respirasi:
 Mampu napas dalam, batuk dan tangis kuat 2 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0
3 Tekana darah:
 Berubah sampai 20% dari prabedah 2 2
 Berubah 20%-50% dari prabedah 1
 Berbubah > 50% dari prabedah 0
4 Kesadaran:
 Sadar baik dan orientasi baik 2 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna kulit:
 Kemerahan 2 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0
Keterangan :
Pasien dapat dipindah ke ruangan jika jumlah nilai ≥ 9

11
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Tiroid


Kelenjar tiroid adalah sebuah organ berwarna merah kecoklatan
berbentuk seperti kupu-kupu dan merupakan kelenjar endokrin yang paling
banyak vaskularisasinya. Organ ini terletak di bagian anterior dari leher bagian
bawah sebelah anterior trakea, sejajar dengan vertebra C5 sampai vertebra T1.
Kelenjar tiroid dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal
fascia profunda yang melekatkan tiroid ke laring dan trakea. Kelenjar tiroid
terdiri dari lobus kanan dan lobus kiri yang dihubungkan oleh isthmus.bagian
posteromedial dari lobus kelenjar tiroid menempel pada sisi dari kartilago
krikoid oleh ligamentum tiroid lateralis(3).
Kelenjar tiroid mendapat suplai darah dari arteri tiroid superior dan
inferior. Arteri tiroid superior bercabang menjadi bagian anterior
(memperdarahi permukaan anterior kelenjar) dan posterior (memperdarahi
permukaan medial dan lateral kelenjar). Sedangkan arteri tiroid inferior
mengarah ke basis dari kelenjar tiroid dan bercabang menjadi superior
(ascending) dan inferior untuk memperdarahi permukaan bagian inferior dan
posterior kelenjar (3).

Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid

12
Dalam fisiologi kelenjar tiroid, yang perlu diperhatikan adalah
keberadaan sel-sel sekretorik utama dari kelenjar ini. Sel-sel sekretorik utama
tiroid tersusun menjadi gelembung-gelembung berongga, yang masing-masing
membentuk unit fungsional yang disebut folikel. Folikel tampak sebagai
cincin-cincin sel folikel yang bagian sebelah dalamnya terdapat lumen yang
dipenuhi koloid. Koloid ini merupakan suatu bahan yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan ekstrasel untuk hormon-hormon tiroid. Selain itu di
ruang interstitium antar folike terdapat sel sekretorik jenis lain, yaitu sel C
yang mengeluarkan hormon kalsitonin yang berperan dalam metabolisme
kalsium (3).
Konstituen utama koloid adalah molekul-molekul besar dan kompleks
yang dikenal sebagai tiroglobulin, yang didalamnya terdapat hormon-hormon
tiroid dalam berbagai tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan
dua hormon yang mengandung iodium, yaitu tetraiodotironin (T4 atau
tiroksin) yang mengandung 4 atom iodium, dan triiodotironin (T3) yang
mengandung 3 atom iodium. Kedua hormon inilah yang secara kolektif
disebut sebagai hormon tiroid (3).
Seluruh langkah sintesis hormon tiroid berlangsung di tiroglobulin yang
kemudian meyimpan hormon-hormon tersebut. Bahan dasar untuk membuat
hormon tiroid adalah tirosin dan iodium yang keduanya diserap dari darah oleh
sel-sel folikel. Tirosin merupakan suatu asam amino yang disintesis dalam
jumlah memadai di dalam tubuh, sedangkan iodium harus diperoleh dari
makanan (3).
Hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak
langsung oleh hormon tiroid. Efek hormon tiroid dapat dikelompokan menjadi
beberapa kategori:
1. Efek pada laju metabolisme
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolik basal tubuh secara keseluruhan.
Hormon ini merupakan regulator terpenting bagi tingkat konsumsi oksigen dan
pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat.
2. Efek kalorigenik
13
Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi panas
tubuh.
3. Efek pada metabolisme perantara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang terlibat
dalam metabolisme bahan bakar. Hormon ini mempengaruhi sintesis dan
penguraian karbohidrat, lemak, dan protein. Efek ini dapat berbeda-beda
tergantung kadar hormon tiroid di tubuh. Contoh, perubahan glukosa menjadi
glikogen (bentuk simpanan glukosa) dipermudah oleh keberadaan hormon
tiroid dalam jumlah kecil, sedangkan dalam jumlah besar terjadi penguraian
glikogen menjadi glukosa.
4. Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan sensitivitas sel sasaran terhadap katekolamin
(epinefrin dan norepinefrin), suatu zat perantara kimiawi yang digunakan oleh
sistem saraf simpatis. Hormon tiroid menyebabkan proliferasi reseptor
katekolamin di sel sasaran, karena itu pada keadaan hipertiroid akan dijumpai
efek yang serupa dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis.
5. Efek pada sistem kardiovaskuler
Melalui efek simpatomimetik, hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut
dan kekuatan kontraksi otot jantung sehingga curah jantung meningkat. Selain
itu akibat efek kalorigenik, terjadi vasodilatasi perifer untuk menyalurkan
kelebihan panas ke permukaan tubuh.
6. Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf
Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tubuh
dan sistem saraf terutama SSP. Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi
hormon pertumbuhan tetapi juga mendorong efek hormon pertumbuhan pada
sintesis protein struktural baru dan pada pertumbuhan rangka. Kadar hormon
tiroid yang abnormal akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
tubuh dan otak anak terganggu, dan pada orang dewasa dapat menyebabkan
perubahan pola perilaku.

14
B. Struma

Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya


dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar
sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena
serta pembentukan vena kolateral. Pada struma gondok endemik, Perez
membagi klasifikasi menjadi (4):
- Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
- Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
- Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
- Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
- Derajat 0a
Tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
- Derajat 0b
Jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala diposisikan
dalam keadaan tegak (ekstensi).
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
- Nontoxic diffuse goiter
- Endemic
- Iodine deficiency
- Iodine excess
- Dietary goitrogenic
- Sporadic
- Conngenital defect in thyroid hormone biosyntesis
- Chemichal agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid
- Iodine deficiency
- Compensatory following thyroidectomy
- Nontoxic nodular goiter due to causes listed above
- Uninodular or multinodular

15
- Functional, nonfunctional, or both
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon
tiroksin, maka bisa dibagi menjadi:
- Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada
penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
- Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
- Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
- Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroid.
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan
menjadi:
- nodul dingin (cold nodule)
- nodul hangat (warm nodule)
- nodul panas (hot nodule)
Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi:
- nodul lunak
- nodul kistik
- nodul keras
- nodul sangat keras

1. Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak
diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala
tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan
hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari
bagian kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan
mengapa kelenjar ini biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar
tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat tiroiditis (4).

16
Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar tiroidnya
timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan
hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat dijumpai adalah (4) :
1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium dipompakan ke
dalam sel jumlahnya tidak adekuat.
2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi menjadi iodium.
3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul tiroglobulin,
sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak terbentuk.
4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari tirosin
teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk membentuk hormon
tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi iodium.
Akhirnya, ada beberapa makanan yang mengandung substansi goitrogenik
yakni makanan yang mengandung sejenis propiltiourasil yang mempunyai
aktifitas antitiroid sehingga juga menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid
akibat rangsangan TSH. Beberapa bahan goitrogenik ditemukan pada beberapa
varietas lobak dan kubis.
2. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid (4).
Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk
dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul
yoditironin (T3) (4).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi
Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa
obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan
17
umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis.
Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid (4).
3. Klasifikasi
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut (4) :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter
atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat
mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi
atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop
atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara
dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan
kemampuan bicara. Gambar penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah
ini.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan
atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar
tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun,
nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara
18
dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid
tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita hipertiroidisme
dapat terlihat di bawah ini.
• Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut (5) :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas
ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan
(struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme
karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan.
Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut
sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi
tetapi bukan mencegah pembentukyna.
Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam
jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa
khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan
menelan, koma dan dapat meninggal.
19
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non
toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut
sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan
keganasan.
Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Struma non
toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas
dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang
maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin.
Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis
ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 %
dan endemik berat di atas 30 %.
Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:
1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
20
a. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
b. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila
kepala ditegakkan.

4. Manifestasi Klinis
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan
pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
Klien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme.
Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena klien hiperaktif dengan
meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi
berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar,
dan kelelahan. Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan
dalam hal (5) :
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.

5. Diagnosis
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo-atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan (5).

21
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspirator (5).
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada
trakea. Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat
jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah
kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan (5).
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea
dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih
bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma
menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus
kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi (5).
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri
penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di mediall di
bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu
jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari
lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk
(5)
meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut .

22
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan (5):
1. lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea
muskulus sternokleidomastoidea
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.

Inspeksi : leher dibatasi di cranial oleh tepi rahang bawah, di kaudal oleh
kedua tulang selangka dan tepi cranial sternum, di lateral oleh pinggir depan
m. trapezius kiri dan kanan. Kedua m.sternocleidomastoideus selalu jelas
terlihat, dan pada garis tengah dari cranial ke kaudal terdapat tulang hyoid
serta kartilago tiroid, krikoid, dan trakea.
Palpasi : palpasi dapat dilakukan pada pasien dalam sikap duduk atau
berbaring, dengan kepala dalam sikap fleksi ringan supaya regangan otot pita
leher tidak mengganggu palpasi. Pada sikap duduk dilakukan pemeriksaan dari
belakang penderita maupun dari depan. Sedangkan pada sikap berbaring
digunakan bantal tipis di bawah kepala. Tulang hyoid, kartilago tiroid dan
krikoid sampai cincin kedua trakaea biasanya mudah diraba di garis tengah.
Cincin trakea yang lebih kaudal makin sukar diraba karena trakea mengarah ke
dorsal. Pada gerakan menelan, seluruh trakea bergerak naik turun. Satu-
satunya struktur lain yang turut dengan gerakan ini adalah kelenjar tiroid atau
sesuatu yang berasal dari kelenjar tiroid (5).
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan
nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik (5):
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan
kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
23
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan, walaupun
nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis
dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda infiltrasi atau metastase
ke jaringan sekitar.
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas,
tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar
progresif.
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido
mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berry’s sign)

Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum (6) :


1. Sangat mencurigakan
a. riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare
b. cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin
c. nodul padat atau keras
d. sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar
e. paralisis pita suara
f. metastasis jauh
2. Kecurigaan sedang
a. umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
b. pria
c. riwayat iradiasi pada leher dan kepala
d. nodul >4cm atau sebagian kistik
e. keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.
3. Nodul jinak
a. riwayat keluarga: nodul jinak
24
b. struma difusa atau multinodosa
c. besarnya tetap
d. FNAB: jinak
e. kista simpleks
f. nodul hangat atau panas
g. mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.

Index Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami eutiroid,


hipotiroid atau hipertiroid (5).

Gejala subjektif Angka Gejala objektif Ada Tidak


Dispneu d’ effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruit diatas +2 -2
systole
Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Suka panas -5 Lid retraksi +2 -
Suka dingin +5 Lid lag +1 -
Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Tangan panas -1 <80x/m - -3
Nafsu makan ↑ +3 80-90x/m -
Nafsu makan ↓ -3 >90x/m +3
BB ↑ -3 < 11 à eutiroid
BB ↓ +3
11-18 à normal
Fibrilasi atrium +3
Jumlah > 19 à hipertiroid

Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa penyakit tiroid


terbagi atas (5) :

1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid


Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA)
dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua
penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L
25
atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal
pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat
membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH
meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal
Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
a. antibodi tiroglobulin
b. antibodi mikrosomal
c. antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
d. antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
e. thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi


trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis
pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher [posisi AP dan Lateral diperlukan
untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya,
bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memelukan
CT-scan leher. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk (5) :
1. Dapat menentukan jumlah nodul
2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
4. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
5. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya
pembesaran tiroid.
6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
7. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan

26
Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan kadar hormon
tiroid. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji angkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang
lebih tinggi (5).
Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan
terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja (5).
Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid (5).
1. Jinak (negatif)
Tiroid normal
Nodul koloid
Kista
Tiroiditissubakut,
Hashimoto
2. Curiga
(indeterminate)
Selfolikuler
Neoplasma Hurthle
Temuan kecurigaan keganasan tai tidak pasti
3. Ganas (positif)
Karsinoma tiroid papiler
Karsinoma tiroid medule
Tiroid anaplastik.

6. Terapi
Pilihan terapi nodul tiroid (5) :
1. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
2. Pembedahan
3. Iodium radioaktif

27
4. Suntikan etanol
5. US Guided Laser Therapy
6. Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
Kontraindikassi operasi pada struma:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering
dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun
laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang
baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi
dan sering hasilnya tidak radikal.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah


nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul
tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus tersebut operabel atau
inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan tindakan
biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok parafin.
Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau
khemoradioterapi (5).

28
Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan
isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (VC) (5).
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
1. Lesi jinak.
Maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi
2. Karsinoma papilare.
Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi
AMES.
a. Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan
observasi.
b. Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
3. Karsinoma folikulare.
Dilakukan tindakan tiroidektomi total
4. Karsinoma medulare.
Dilakukan tindakan tiroidektomi total
5. Karsinoma anaplastik.
a. Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total.
b. Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking
dilanjutkan dengan radiasi eksterna atau khemoradioterapi.

Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB
(Biopsi Jarum Halus ). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu
(5)
:
1. Hasil FNAB suspek maligna, “Foliculare Pattern” dan “Hurthle
Cell”. Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong
beku seperti diatas.
2. Hasil FNAB benigna.
Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan
kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan tindakan
observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah

29
besar sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan
potong beku seperti diatas (5).

C. General Anestesi
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan
relaksasi otot.(6)
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran
menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang
memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.(6)
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang
tidak diinginkan.(6)
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada
dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.(6)
1. Macam-macam Teknik Anestesi (7)

30
a. Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang
menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik
diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga
kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.
Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal
3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang
dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi
dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang
dari 100% kebutuhan.
d. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga
udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.
2. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk

31
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah(6)
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
- ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
- ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
- ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
- ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
- ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
- ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
a. Pemeriksaan praoperasi anestesi (7)
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma

32
bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan
penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat
yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat
anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik,
golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi,
endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi
leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal
dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu(13)
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

33
pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja

Gambar 3. Mallampati
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
- Pemeriksaan lab. Darah
- Urine : protein, sedimen, reduksi
- Foto rongten ( thoraks )
- EKG
b) Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
- EKG pada anak
- Spirometri pada tumor paru

34
- Tes fungsi hati pada ikterus
- Fungsi ginjalpada hipertensi
- AGD, elektrolit.

b. Puasa Perioperatif
Periode puasa yang harus dilakukan oleh pasien menjelang pembiusan
disesuaikan dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi
menjelang tindakan pembiusan dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan
kemampuan lambung dalam mengosongkan isinya. Cairan bebas ampas
biasanya dengan cepat dapat dikosongkan oleh lambung (half life 10-20
menit) contohnya air mineral, jus buah tanpa ampas, minuman bersoda, teh
dan kopi hitam, tapi tidak demikian dengan minuman beralkohol.
Makanan padat biasanya lebih lama bertahan dilambung jika
dibandingkan dengan cairan. Biasanya sangat tergantung kepada kandungan
gizi dari jenis makanan padat tersebut. Makanan yang bayak mengandung
lemak atau makanan jenis daging biasanya memerlukan waktu hingga 8
jam lebih untuk bisa dikosongkan sepenuhnya dari lambung. Sedangkan
makanan ringan dan biskuit hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk keluar
sepenuhnya dari lambung. Susu dalam hal ini tergolong bahan padat karena
pada saat mencapai lambung dia akan bereaksi dengan asam lambung
membentuk massa yang padat yang perlu waktu lebih lama untuk di cerna.
Susu sapi memerlukan waktu hingga 5 jam hingga kosong sepenuhnya dari
lambung. Sedangkan ASI yang kadar protein dan lemaknya lebih rendah
dari susu sapi dalam proses pencernaannya memerlukan waktu yang lebih
cepat.

ASA FASTING GUIDELINES

JENIS MAKANAN LAMA PUASA MINIMAL

35
Minuman ringan 2 jam

ASI 4 jam

Susu formula bayi 4-6 jam

Non human milk 6 jam

Makanan ringan 6 jam

Kondisi yang dapat memperlambat pengosongan lambung

1. Faktor metabolik seperti penyakit DM yang tidak terkontrol, gagal ginjal.


2. Gastroesofageal refluks dapat memperlambat pengosongan lambung dari
makanan padat.
3. Peningkatan tekanan intra-abdomen (hamil, obesitas)
4. Dalam pengaruh opioid
5. Trauma

Bahan-bahan yang dapat mengontrol keasaman dan volume cairan

lambung :

1. Antasida

Antasida adalah senyawa-senyawa basa lemah yang akan bereaksi


jika bertemu dengan asam, dalam hal ini adalah asam lambung. Saat
senyawa basa ini bertemu dengan asam maka akan terjadi reaksi yang
berujung kepada berkurangnya sifat kimia dua zat yang saling bertemu
tersebut, maksudnya senyawa basa akan terkena dampak dari reaksi asam
lambung hingga menjadi netral sedangkan asam lambung akan berkurang
kuantitasnya akibat dari reaksi dengan senyawa basa. Preparat yang
mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan alumunium
menyebabkan konstipasi dan kombinasi keduanya saling menghilangkan
pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi.(8)
2. H2 blokers/ penghambat pompa proton

36
Empat antagonis H2 yang beredar di USA adalah: simetidin, ranitidin,
famotidin, dan nizatidin. Kerja antagonis reseptor H2 yang paling penting
adalah mengurangi sekresi asam lambung. Obat ini menghambat sekresi
asam yang dirangsang histamin, gastrin, obat-obat kolinomimetik dan
rangsangan vagal. Volume sekresi asam lambung dan konsentrasi pepsin
juga berkurang. Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2
sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang mengeluarkan asam
lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel.(8)
3. Metocloperamide (lebih efektif IV daripada oral)

Metoclopramide HCl merupakan benzamida tersubstitusi yang


merangsang motilitas saluran pencernaan makanan tanpa mempengaruhi
sekresi lambung, empedu atau pankreas. Metoclopramide HCl mempunyai
aktivitas parasimpatomimetik dan mempunyai sifat antagonis reseptor
dopamin dengan efek langsung pada kemoreseptor "trigger zone".
Metoclopramide HCl kemungkinan juga mempunyai sifat antagonis
reseptor serotonin.(8)
4. Pompa Proton Inhibitor

Inhibitor pompa proton merupakan “prodrug”, yang memerlukan


aktivasi di lingkungan asam (Pasricha dan Hoogerwefh, 2008). Mekanisme
kerjanya adalah memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase yang akan
memecah K+/H+ ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dan kanalikuli sel pariental
kedalam lumen lambung . Inhibitor pompa proton memiliki efek yang
sangat besar terhadap produksi asam.(8)
5. Antikolinergik
Bekerja dengan menurunkan motilitas lambung dan peristalttik usus.
Selain itu juga menurunkan sekresi asam lambung dan air ludah.

c. Premedikasi Anestesi

37
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain: (8)
a) memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b) menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c) membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d) memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e) mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f) memperlancar induksi, misal : pethidin
g) mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h) menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan
i) mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian
maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam
operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.(8)

d. Obat-obatan Premedikasi
Contoh obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi:
a) Sulfas atropin
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihanutama
untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal
dariperangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikummaupun
tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek ainnya adalah melemaskan
tonus otot polos organ-organ dan menurunkanspasme gastrointestinal. Perlu
diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame yang
berkaitan dengan anestesi umum. Setelah penggunaan obat ini (golongan

38
baladona) dalam dosisterapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan
penglihatan jadikabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk
anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada
penderitadengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit
jantung khususnya fibrilasi aurikuler.Atropin tersedia dalam bentuk atropin
sulfat dalam ampul 0,25mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan
subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa
dan 0,015mg/kgBB untuk anak-anak.

b) Midazolam

Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untukpremedikasi,


induksi dan pemeliharaan anestesi . Dibandingkandengan diazepam,
midazolam bekerja cepat karena transformasimetabolitnya cepat dan lama
kerjanya singkat. Pada pasien orang tuadengan perubahan organik otak atau
gangguan fungsi jantung danpernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-
hati. Efek obat timbuldalam 2 menit setelah penyuntikan.Dosis premedikasi
dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikandengan umur dan keadaan pasien.
Dosis lazim adalah 5 mg. padaorang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-
0,05 mg/kgBB.Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri,
denyutnadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit

c) Ondansetron

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik


untukpencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping
berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas.Dosis dewas 2-4
mg.

d) Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB,
termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah
ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya,
39
telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid
dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan
dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi
secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi
berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi
maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif. (9)

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya


efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek
euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi
secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh
droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama
sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas
pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl
biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan
sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk
suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1.
Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan
amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu
efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.(9)

e. Stadium Anestesi(16)
Semua zat anastetik menghambat SSP secara bertahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat
adalah medula oblongata tempat pusat vasomtor dan pernapasan. Tahapan
dalam anestesi terdiri dari 4 stadium, yaitu :

40
1. Stadium I (Analgesia) : Dimulai dari pemberian obat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Dalam stadium ini pasien masih sadar dan dapat
mengikuti perintah, tetapi pasien tidak dapat lagi merasakan nyeri.
2. Stadium II (Eksitasi) : Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai pernapasan
yang tidak teratur, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), tonus otot
meningkat, hilangnya refleks menelan dan hilangnya refleks bulu mata.
3. Stadium III (Pembedahan) : Dimulai dengan timbunya kembali pernapasan
teratur hingga pernapasan spontan hilang. Tanda dari stadium ini adalah
hilangnya pernapasan spontan, dan hilangnya refleks kelopak mata. Pada
stadium pembedahan dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
 Plana I : Pernapasan teratur sampai berhentinya gerakan bola mata,
pernapasan dada dan perut seimbang, miosis, refleks cahaya (+), tonus otot
masih ada.
 Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata hingga permulaan paralisis
otot intrakostal. Pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola
mata tidak bergerak, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menghilang,
tonus otot mulai menurun.
 Plana III : Dari permulaan paralisis otot intrakostal hingga paralisis otot
intrakostal secara keseluruhan. Pernapasan perut lebih dominan daripada
pernapasan dada, refleks cahaya (-), tonus otot semakin menurun.
 Plana IV : Dari paralisis otot intrakostal secara keseluruhan hingga paralisis
difragma. Pernapasan lambat, irregular, dan tidak adekuat, terjadi flaccid
karna tonus otot semakin menurun, refleks cahaya (-).
4. Stadium IV : Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang
kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan
akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini
karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

41
Gambar 4. Stadium Anestesi

f. Induksi(9)
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi.

Sebelum dilakukan anestesia dan pembedahan, perlu dilakukan tindakan


induksi anestesia. Induksi anestesia merupakan tindakan untuk membuat
pasin dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dilakukan secara
intravena, inhalasi, intramuscular, dan rectal. Sebelum dilakukan tindakan
induksi anestesi diperlukan STATICS, yaitu :
S : Scope, terdiri dari Stetoskop dan Laringo-Scope. Stetoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-scope untuk mempermudah
melihat jalur trakea.

42
T : Tubes, adalah pipa trakea. Pipa trakea dipilih sesuai usia, usia <5 tahun
tanpa balon, dan >5 tahun dengan balon.
A : Airway, pipa mulut faring (guedel, orotracheal airway) dan pipa hidung
faring (nasotracheal airway). Fungsinya adalah untuk menahan lidah
supaya jalan napas tidak tersumbat.
T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer, adalah stilet yang mudah dibengkokkan sebagai pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S : Suction, penyedot lender, ludah dan lainnya.
Induksi Intravena
Salah satu cara dari tindakan induksi yang paling banyak dikerjakan dan
digemari adalah induksi intravena. Obat induksi intravena yang sering
digunakan diantaranya tiopental, propofol, dan ketamin. Ketamin (Ketalar)
intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb. Pasca anestesia dengan ketamin sering
menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan
sedatif seperti midazolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada
pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1%
menggunakan dosis 2-3mg/kgbb. Suntikan propofol intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan
lidokain 1mg/kgbb secara intravena.
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.(9)
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,

43
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain.(9)
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi
trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya
adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit.
Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada
thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai
glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam
bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran
darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik
selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat
anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan

44
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental
dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan
cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi
langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik.
Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental
waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada
dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.(9)
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat
pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).(9)

Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi saat ini menggunakan isoflurane atau sevofluran.
Induksi dengan isofluran atau sevofluran memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2.

g. Pemeliharaan
a) Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan

45
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu
tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi
yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi
umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% :
40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.(10)

b) Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan puih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.
Efek terhadap sistem saraf pusat sepperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh badan.

Tabel 1. Fisik dan kimia anestesik inhalasi


Anestetik inhalasi N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Berat molekul 44 197 184 184 168 200
Titik didih(ºC) -68 50-50.2 56.6 48.5 22.8-23.5 58.5
Tekanan Uap(mmHg20 ºC) 5200 243-244 172-174.5 238-240 669-673 160-170
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Turunan eter Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya
Pengawet - Perlu - - - -
Koef partisi darah/gas 0.47 2.4 1.9 1.4 0.42 0.65
Dengan kapur soda 40 ºC Stabil Tidak Stabil Stabil stabil Tidak
MAC (KAM) 37 ºC Usia 30-55 104-105 0.75 1.63-1.70 1.15-1.20 6.0-6.6 1.80-2.0

46
tahun tekana 760 mmHg
b.

Tabel 2. Farmakologi klinik anestetik inhalasi


N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Kardiovaskuler TB↑↓
Tekanan darah TB ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Laju nadi TB ↓ ↑ ↑ TB atau ↑ TB
Tahanan vaskuler TB TB ↓ ↓↓ ↓
Curah jantung TB ↓ ↓↓ TB TB atau ↓ ↓
Respirasi
Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju napas ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
PaCO2 Istirahat TB ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
’Challenge’ ↑ ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
Serebral
Aliran darah ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan intrakranial ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Laju metabolisme ↑ ↓ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓
’Seizure’ ↓↓ ↓ ↑ ↓ ↓ ↓

Blokade
Pelumpuh otot non-depol ↑ ↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑

Ginjal
Aliran darah ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju filtrasi Glomerulus ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
Output urin ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
Hepar
Aliran darah ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓
Metabolisme 0.004% 15-20% 2-5% 0.2% <0.1% 2-3%

h. Obat Pelumpuh Otot


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat

47
ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi,
misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan
dalam pembedahan dan ventilasi kendali.(10)

a) Atracurium besilat (tracrium)


Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan
obat terdahulu antara lain adalah :
- Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi
kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung
pada fungsi hati dan ginjal.
- Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
- Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3
menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.(10)
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama
kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik
atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.(4,10)
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan
pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
- Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

- Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv


48
- Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

i. Intubasi Endotrakea
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada
intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha
ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah
dibantu dan dikendalikan.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi
dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi
endotrakheal :
- Mempermudah pemberian anestesia.
- Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
- Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
- Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
- Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
- Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain sebagai
berikut:
- Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
- Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
- Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.

49
- Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara
lain: (10)
- Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
- Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan,
karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face
mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
- Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tidak ada ketegangan.
- Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
- Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
- Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
- Tracheostomi.
- Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya
intubasi endotrakheal antara lain :
- Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
- Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.


Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in
the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan
leher.

50
Gambar 5. Posisi pasien untuk tindakan intubasi

Alat-alat Untuk Intubasi


Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal
antara lain :
- Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua
jenis laringoskop yaitu :
o Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

Gambar 6. Laringoskop
- Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa
plastik yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea.
Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan
pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon
yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil
51
cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran
darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume
besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang
lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon
biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas
adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa
dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang
dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki
berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk intubasi oral
panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan
dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk
anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat
besarnya jari kelingkingnya.
- Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah
obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang
tidak diintubasi.

Gambar 7. Pipa endotrakeal


- Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
- Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur
kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa.

52
Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa
endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

Gambar 8. Stilet
- Connector. Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa
dengan bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.
- Alat pengisap atau suction. suction yang dimaksud adalah penyedot
lendir, ludah dan cairan lainnya

Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa
prosedur yang telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup
keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi
serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan
kanan.
c. Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri

53
dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam
rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula,
faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan
dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi
atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan
kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan
dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang
timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa
lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah
esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar
suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk
hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.

54
Langkah-langkah intubasi

1 2

3 4

5 6
Gambar 9. langkah intubasi

55
Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa
mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

j. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau
masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya.(11)
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.(11)
Tabel 3. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah 1
atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0

56
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 4. Steward Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0
2 Jalan napas  Batuk atas perintah atau menangis 2
 Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas 0

3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2


 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 5. Robertson Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4
 Tidur ringan 3

57
 Membuka mata atas perintah 2
 Tidak ada respon 1
2 Jalan napas  Batuk atas perintah 3
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala 1
 Tanpa bantuan obstruksi 0
3 Aktifitas  Mengangkat tangan atas perintah 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0

Tabel 6. Scoring System untuk pasien anak

Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menela, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

D. Manajemen Operatif
Manajemen operatif hipertiroidisme
Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk
menurunkan level hormon tiroid dan memberikan “counter” (perlawanan
balik) terhadap tanda dan gejala yang muncul, terutama yang dapat

58
mengancam jiwa. Penanganan medis hipertiroid menggunakan obat-obatan
yang menghambat sintesis hormon (misalnya : obat propylthioruacil,
methimazole) atau obat-obatan yang menghambat pelepasan hormon
(misalnya potasium, sodium iodida), atau obat yang melawan overaktivitas
dari adrenergik seperti propanolol. Meskipun β-adrenergik antagonis tidak
mempengaruhi fungsi dari kelenjar tiroid, obat-obatan ini menghambat
konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak fungsi sel-sel
kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak direkomendasikan untuk pasien hamil
dan dapat menghasilkan suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total
sekarang mulai berkurang penerapannya tetapi tetap dibutuhkan pada pasien
dengan goiter multinodul yang toksik ataupun adenoma toksik soliter (11).

1 Preoperatif
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti
pasien-pasien lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan
penekanan pada anamnesis serta pemeriksaan fisik maupun penunjang
untuk mengidentifikasi kelainan fungsi tiroidnya. Gejala dan tanda yang
harus menjadi perhatian utama pasien hipertiroid adalah terkait
dengan fungsi jantung dan respirasi. Pasien dengan goiter yang besar
memiliki problem potensial terkait dengan jalan napasnya. Sehingga, pada
pasien ini, penilaian jalan napas menjadi hal utama yang harus dinilai
dengan cermat. Pasien dapat memberikan gejala kesulitan napas misalnya
positional dyspnoe dan hal ini dapat dihubungkan dengan beberapa derajat
dari disfagia. Pasien juga dapat menunjukkan gejala sumbatan pada vena
cava terutama pada kasus goiter retrosternal. Beberapa penilaian lain
terhadap jalan napas dapat beruba penilaian jarak tiromental, derajat
protrusi gigi bawah, keterbatasan gerak dari leher dan observasi struktur
faring (12).

59
A. Pemeriksaan Fisis (12)
• Tiroid berada di regio koli anterior yang mempunyai batas-batas
m.sterno kleidomastoideus, m. digastrikus, dan manubrium sterni. Tiroid di
luar regio tersebut disebut sebagai tiroid ektopik atau struma aberans.
• Tiroid terdiri dari dua lobus kanan dan kiri, yang masing-masing
dihubungkan oleh satu lobus piramidalis yang berada di garis media
melekat pada kartilago tiroidea dan terdapat di fasia koli media. Karena
kartilago tiroidea melekat pada trakea, maka pada pergerakan trakea misal
sewaktu menelan, maka tiroid juga ikut bergerak
• Bila terjadi pembesaran di leher yang berasal dari tiroid, akan
tampak pembesaran ini bergerak naik turun sewaktu menelan.
• Manisfestasi klinis : Berat badan menurun, Intoleransi panas,
Kelemahan otot, Diare, Refleks hiperaktif, Kecemasan, Tremor,
Eksoftalmus, Goiter, Kelainan jantung (sinus takikardi, atrial fibrilasi dan
CHF).

B. Laboratorium : T4 total, T3 serum, FT4


C. BMR : 0,75 {(0,74 (sistole-diastole) + N) } - 72
Nilai normal : - 10 s/d 10
D. Indeks wayne / new castle
Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme
jantungnya. Selain itu juga dinilai gejala-gejala yang berhubungan dengan
miopati, manifestasi sistem saraf pusat ( misal : kondisi gugup), tanda-tanda
di mata, tanda dehidrasi, maupun adanya kehamilan maupun kehamilan
mola. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di antaranya
pemeriksaan EKG, profil darah tes fungsi pembekuan darah,CT scan leher,
foto rontgen dada (terutama pada pasien goiter). Pasien juga harus dinilai
apakah akan menjalani pembedahan elektif atau pembedahan emergency (5)
.

60
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk
tindakan tiroidektomi subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami
keadaan klinis dan kimiawi yang “eutiroid”. Penilaian preoperatif harus
termasuk penilaian terhadap fungsi tiroid. Nadi isitirahat yang
direkomendasikan adalah 85 kali/menit. Benzodizepin adalah pilihan yang
baik untuk sedasi preoperatif. Meski demikian, beberapa berpendapat
bahwa pemberian sedasi yang berlebihan tidak dianjurkan terutama pada
pasien yang memiliki goiter yang besar yang mengganggu airway.
Meskipun hal ini sebenaranya tidak berhubungan langsung dengan kondisi
hipertiroidnya,lebih pada gangguan jalan napas (5).
Preparasi cepat dibutuhkan untuk pasien yang akan menjalani
pembedahan darurat. Preparasi cepat ini dilakukan dengan memberikan
kombinasi beta-bloker, kortikosteroid, thionamid, iodium dan asam
iopanoic (mengandung iodium dan penghambat pelepasan hormon tiroid).
Wanita yang akan menjalani evakuasi darurat dari mola hidatidosa dapat
dalam keadaan hipertiroid dan memiliki resiko terjadi badai tiroid (5).
Obat antitiroid dan antagonis β-adrenergik dilanjutkan sampai pagi
hari operasi. Pemberian Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting
karena kedua obat ini memiliki waktu paruh yang pendek. Apabila akan
dilakukan pembedahan darurat (emergency), sirkulasi yang hiperdinamik
dapat dikontrol dengan menggunakan titrasi esmolol (5).
Obat antagonis β-adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol
denyut jantung. Akan tetapi, obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan
ulang pemberiannya untuk pasien-pasien dengan kondisi gagal jantung
kongestif (CHF). Meski demikian, menurunkan denyut jantung dapat
meningkatkan fungsi pompa jantung itu sendiri. Kemudian, pasien
hipertiroid yang memiliki laju ventrikel yang cepat dan dalam kondisi CHF
serta membutuhkan pembedahan segera, dapat diberikan esmolol yang
dipandu dengan perubahan pulmonary artery wedge pressure. Jika dosis

61
kecil esmolol (50 μg/kg) yang diberikan tidak memperparah kondisi gagal
jantung yang telah ada, dapat diberikan esmolol tambahan (5).

2 Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara
ketat pada pasien yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus
dilindungi secara baik, karena keadaan eksoftalmus pada penyakit Grave’s
meningkatkan resiko abrasi kornea sampai dengan ulserasi. Ketamin,
pancuronium, agonis adrenergik indirek dan obat-obat lain yang
menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya kemungkinan
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung (5).
Thiopental dapat menjadi obat induksi pilihan di mana obat ini
memiliki efek antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi
hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi rentan untuk mengalami respon
hipotensi selama induksi anestesi. Kedalaman anestesi yang adekuat harus
dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau stimulasi pembedahan untuk
menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel (5).
Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan
secara hati-hati, karena keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan
dengan peningkatan insiden miopati dan miastenia gravis. 6 Untuk
menumpulkan respon hemodinamik saat melakukan intubasi dapat
diberikan lidokain, fentanyl atau kombinasi keduanya yang diberikan
sebelum intubasi.9 Pasien dengan goiter yang besar dan mengalami
obstruksi jalan napas dikelola seperti pasien-pasien lain yang mengalami
gangguan jalan napas. Apabila memilih anestesi regional, seharusnya tidak
menambahkan epinefrin dalam anestesi lokal (5).

3 Postoperatif
1. Badai Tiroid

62
Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah
badai tiroid (thyroid storm), yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi,
penurunan kesadaran (agitasi, delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai
tiroid biasanya 6-24 jam setelah pembedahan tetapi dapat muncul
intraoperatif, menyerupai hipertermi maligna. Tidak seperti hipertermi
maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan rigiditas otot, peningkatan
kreatinin kinase, atau keadaan asidosis metabolik maupun respiratorik. (4,5)

2. Kerusakan nervus laryngeal recurent


Cedera pada nervus reccurent laryngeal akan berakibat pada suara serak
(jika unilateral) atau afonia dan stridor (bilateral). (4,5)
3. Obstruksi jalan napas setelah operasi, disebabkan oleh hematoma
atau trakeomalasia akan membutuhkan intubasi trakea yang segera.
4. Hipoparatiroidsme
Gejala Hipokalsemi akut akibat pengangkatan kelenjar paratiroid (12 – 72
jam post ops) berupa carpo pedal syndrom sampai laringospasme.
5. Pneumothoraks , kemungkinan terjadi akibat eksplorasi leher.

63
BAB V

ANALISIS KASUS

Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang


dari Ny. SK (52 tahun) diperoleh ASA 2. Alasan dari pasien ini dilakukan
lobektomi adalah karena keluhan benjolan di leher, tenggorokan terasa
mengganjal dan nyeri menelan yang tidak kunjung hilang, sehingga
diharapkan dengan dilakukan lobektomi dapat mengurangi keluhan tersebut,
dan dari pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran pada kelenjar tiroid.
Jenis anastesi yang digunakan untuk operasi lobektomi adalah
anastesi umum karena operasinya berada di daerah kepala dan leher, tidak
dilakukannya anestesi spinal karena pada L1-2 beresiko trauma pada
medulla spinalis.
Identitas pasien yaitu Ny. SK 52 tahun datang ke poliklinik Bedah
Umum pada tanggal 23 September 2019 dengan keluhan utama benjolan di
leher. Selain itu pasien mengeluh nyeri menelan, batuk dan sesak. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran kelenjar tiroid.
Pemeriksaan penunjang Ny. SK pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan
penurunan eosinofil, limfosit, PT Test, Kreatinin dan SGOT. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan hasil sinus ritme dan rontgen thorax
ditemukan adanya kardiomegali (LVH). Pemeriksaan USG Tiroid
didapatkan kesan struma nodusa kanan dengan kalsifikasi punctata, nodul
solid multipel dengan bagian kistik di dalamnya pada tiroid kiri, dan
limfadenopati non reaktif multipel regio colli kanan kiri.
PRE OPERATIVE
Pada tanggal 8 Oktober 2019, Ny. SK masuk ke ruang OK dan
menunggu di ruang pre operative, sementara itu disiapkanlah alat-alat dan
obat-obatan yang digunakan untuk anastesi. Alat-alat yang dipersiapkan
adalah bain circuit anesthesia machine, monitor tekanan darah dan pulse
oxymetry, persiapan Endotracheal tube dan laringoskop, hipafix/tape,
64
guedel, sungkup muka, zat volatile sevofluran, dan memastikan kabel alat-
alat terpasang pada tempat yang seharusnya. Obat-obatan yang dipersiapkan
adalah Efedrin HCl, sulfas atropine, ketamine, atracurium, traxenamid acid,
fentanyl, dan propofol, ondansentron.
INTRAOPERATIVE
Ny. SK masuk ke ruang operasi dan segera dipasang alat monitor
tanda vital dan didapatkan hasil tekanan darah 106/76 mmHg dengan nadi
106x/menit dan saturasi oksigen 99%. Obat premedikasi telah diberikan
ondansentron 4 mg secara intravena untuk antiemetik. Pada pukul 10.35
WIB, diinjeksikan fentanyl 150 g secara IV bolus. Untuk anastesi induksi
menggunakan propofol 200 mg yang diinjeksikan melalui bolus IV. Dosis
induksi propofol adalah 2-2,5 mg/kgBB, dimana berat badan Ny SK adalah
48 kg dan didapatkan hasil 48 kg x 2 mg adalah 96 mg. Setelah refleks bulu
mata hilang, dilakukan anastesi inhalasi untuk tujuan maintenance
anesthesia dengan menggunakan sungkup muka dengan perbandingan 50:50
yaitu N2O 3 L/menit dan O2 3 L/menit. Lalu dilakukan bagging selama tiga
menit. Pada pukul 10.40 WIB, pasien dilakukan intubasi menggunakan
Endotracheal tube no 7.
Operasi dimulai pada pukul 10.45 WIB dengan tekanan darah 110/60
mmHg dan nadi 80x/menit. Pada pukul 12.00 WIB operasi selesai tekanan
darahnya adalah 140/80 mmHg dengan nadi 72x/menit. Lalu dilakukan
ekstubasi Endotracheal tube dan memasang orofaringeal airway/Guedel
no.3 dan dilakukan bagging dengan mematikan sevofluran dan N2O, serta
menaikkan kadar O2 menjadi 5 L/menit. Ketorolac 100gram juga telah
dimasukkan secara intravena untuk tujuan analgesik. Setelah pasien dapat
bernafas spontan dengan tanda vital yang bagus, pasien dipindahkan dari
ruang operasi ke ruang resusitasi dengan posisi kepala ekstensi.
POST OPERATIVE
Pada pukul 12.30 WIB, Ny. SK tiba di ruang recovery dengan
kondisi belum sadar karena masih dalam pengaruh obat anastesi. Kemudian

65
dilakukan pemasangan alat tanda vital dan nasal oksigen 3L/menit dan
didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 83x/menit, dan saturasi
oksigen 100%. Ny SK terus dimonitoring hingga kesadaran pulih dengan
tanda vital yang bagus.

66
BAB VI
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anastesi yang teliti memegang peranan penting pada


setiap operasi yang melibatkan anestesi, dimana hal ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin
timbul saat peripoeratif. Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan
anestesi umum pada operasi lobektomi dengan diagnosis struma pada Ny.
SK, perempuan 52 tahun, berat badan 48 kg, status fisik ASA I, dan
mallampati 2, dengan teknik anestesi General Anesthesia dengan
menggunakan intubasi Endotracheal tube no. 7. Obat obatan yang
digunakan pada operasi ini yaitu ondansentron, midazolam, fentanyl,
propofol, dan ketorolac, dengan anastesi inhalasi berupa campuran dari
sevofluran, N2O, dan O2. Dalam kasus Ny. SK selama operasi berlangsung
tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari
tindakan.
Pengobatan dan pertimbangan anestesi
- Kombinasi propanolol dan potasium iodida sebelum pemberian anestesi dan
pembedahan.
- Esmolol dapat diberikan terus-menerus secara intravena
- Isofluran dan sevofluran
- Penanganan intraoperatif adalah pencapaian anestesi yang dalam.
- Ketamin dan Pankuronium tidak dianjurkan
- Tidak menambahkan epinefrin pada anestesi regional
Preoperatif Anestesia
- Tunda operasi sampai klinis dan lab eutiroid.
- Preoperatif
 fungsi tiroid normal
 HR < 85 x / menit (saat istirahat).
- Benzodiazepin pilihan yang baik preoperatif sedasi.
- Obat antitiroid dan β - adrenergik antagonis lanjut sampai hari operasi.
67
- Pada bedah darurat, sirkulasi hiperdinamik dapat kontrol degan titrasi
esmolol.
Intraoperatif Anestesia
- Monitor fungsi kardiovaskuler dan temperatur
- Proteksi mata
- Elevasi meja operasi 15 – 20 derajat
- Intubasi
- Hindari : Ketamin, Pancuronium, Agonis adrenergik
- Induksi tiopental dosis tinggi
- Anestesi dalam.
- Pelumpuh otot digunakan secara hati-hati

Postoperatif Anestesia
• Penyulit pasca bedah :
Badai tiroid (Thyroid storm)
– Hiperpireksia
– Takhikardi
– Hipotensi
– Perubahan kesadaran
– Sering terjadi pada operasi pada pasien hipertiroid akut.
– Terjadi 6 – 24 jam pascabedah, dapat terjadi intra operatif.
• Bedakan dari hipertermia maligna, feokromositoma, anestesi yang tidak
adekuat.

68
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5th ed. Mc Graw Hill: United States. 2013; 793-863.
2. Donohue C. An Introduction of Anesthesia. British Journal of Hospital
Medicine. 2013;4:(5):71-5.
3. Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757 – 778.
4. Widjosono – Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 925 – 952.
5. Lyberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu,
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15 – 19.
6. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
7. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi
FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru.
8. Lundstorm LH, et al. Poor prognostic value of the modified Mallampati
score : a meta analysis involving 177.088 patients. Bristish Journal of
Anesthesia. 2011;107(5):659-67.
9. Pramono, Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi. Yogyakarta. EGC
10. Kartini, dkk. 2002. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan terapi
intensif FKUI.
11. Barash P G, Cullen B F, Stoelting R K, Inhalation Anesthesia on : Clinical
Anesthesia, 2002.
12. Joenoerham J, Latief S A, Anestesi Umum dalam buku : Anestesiologi,
editor : Muhiman M, Thaib R M, Sunatrio S, Dahlan R, hal 93-102, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI Jakarta, 1989

69
1

Anda mungkin juga menyukai