Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH EKONOMI PEMBANGUNAN

INDIKATOR PEMBANGUNAN EKONOMI PADA MASA

PRESIDEN SOEKARNO SAMPAI MASA PRESIDEN JOKOWI

Dosen Pengasuh:

Fadli Adnin Nasution,SE,MM.

Disusun Oleh:

Humairah Sari Br. Sitepu

178320391

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ Indikator Pembangunan Ekonomi pada masa Presiden Soekarno sampai masa
Presiden Jokowi” ini dengan baik.

Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
dari mata kuliah “Ekonomi Pembangunan” yang diampu oleh dosen Fadli Adnin
Nasution,SE,MM.

Akhir kata saya menyadari bahwa pembuatan tugas ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu saya mengharapkan saran,
kritik dan petunjuk dari berbagai pihak untuk pembuatan tugas ini menjadi lebih baik
dikemudian hari. Semoga tugas yang telah saya buat ini dapat bermanfaat dan
menjadi bahan informasi pada masa yang akan datang. Sekian dan terimakasih.

Medan, 5 April 2019

Humairah Sari Sitepu

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Kepemimpinan Soekarno .................................................................................. 3
2.2 Kepemimpinan Soeharto ................................................................................... 5
2.3 Kepemimpinan B.J.Habibie .............................................................................. 8
2.4 Kepemimpinan Abdurahman Wahid (Gus Dur) ............................................... 9
2.5 Kepemimpinan Megawati ................................................................................. 11
2.6 Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono ................................................... 11
2.7 Kepemimpinan Jokowi...................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Seiring perkembangan zaman, tentu kebutuhan terhadap manusia bertambah, oleh
karena itu, ekonomi secara terus - menerus mengalami pertumbuhan dan perubahan.
Perubahan yang secara umum terjadi pada perekonomian yang dialami suatu negara
seperti inflasi, pengangguran, kesempatan kerja, hasil produksi, dan sebagainya. Jika
hal ini ditangani dengan tepat maka suatu negara mengalami keadaan ekonomi yang
stabil, mempengaruhi kesejahteraan kehidupan penduduk yang ada negara tersebut.

Sudah hampir 73 tahun Indonesia merdeka. Akan tetapi kondisi perekonomian


Indonesia tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat
kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita yang masih
rendah. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, kita perlu
mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa penjajahan, orde
lama, orde baru hingga masa reformasi. Dengan mempelajari sejarahnya, kita dapat
mengetahui kebijakan - kebijakan ekonomi apa saja yang sudah diambil pemerintah
dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia serta dapat
memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalah ekonomi yang ada.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka rumusan masalah yang dikaji
dalam pembuatan makalah ini difokuskan tentang kebijakan – kebijakan yang diambil
dari masa Presiden Soekarno sampai masa Presiden Jokowi dalam pembangunan
ekonomi. Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan – kebijakan yang diambil Presiden Soekarno sampai


Presiden Jokowi dalam pembangunan ekonomi ?

1
1.3 Tujuan

Untuk memberikan suatu wawasan dan pengetahuan mengenai sejarah


perekonomian Indonesia sekaligus kebijakan – kebijakan apa yang diambil oleh
Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi, dan agar lebih memahami perkembangan
ekonomi di Indonesia secara luas. Selain itu, makalah ini dibuat sebagai bahan
penyelesaian tugas makalah mata kuliah Ekonomi Pembangunan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kepemimpinan Soekarno

Pertama, Kepemimpinan Soekarno (1945-1967). Pasca proklamasi kemer-


dekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum dapat melaksanakan pembangunan
ekono-mi secara utuh karena sedang memperta-hankan kemerdekaan hingga tahun
1949. Pada tahun berikutnya, Indonesia menitik beratkan pada pembangunan
politik karena situasi politik di Indonesia belum stabil. Baru pada tahun 1950
Indonesia mulai bisa melaksanakan pembangunan ekonomi (Rifai, 2009, 24).

Masa kepemimpinan Soekarno meru-pakan masa perbaikan pasca penjajahan.


Laju pertumbuhan jumlah penduduk pasca kemerdekaan sangat tinggi. Jumlah pen-
duduk pada tahun 1950 adalah 77,2 juta jiwa, meningkat menjadi 85,4 juta jiwa pa-
da tahun 1955, dan 97,02 juta jiwa (sensus penduduk tahun 1961). Produksi
pangan mengalami kenaikan, namun belum mampu mengimbangi pertumbuhan
penduduk. Produksi beras pada tahun 1956 adalah 26%lebih tinggi dari produksi
pada tahun 1950, tetapi impor beras masih diperlukan. Perusahaan-perusahaan
asing pada tahun 1950-an mulai masuk ke Indonesia seperti Shell, Stanvac, dan
Caltec, dan mendapat-kan posisi yang kuat di bidang industri minyak. Sebagian
besar pelayaran antar pulau dipegang oleh pelayaran KPM Belanda (Koninklijke
Paketvaart Maatschappij). Perbankan didominasi oleh oleh perusahaan-perusahan
Belanda, Inggris, dan Cina. Orang-orang Cina men-guasai sebagian besar kredit
pedesaan (Rickles, 1991, 356-358).

Pada tahun 1949 menteri Keuangan Sjafrudin Prawiranegara melakukan


“Gunting Sjafrudin” atau shanerring yang ber-tujuan menghapus inflasi. Rakyat
diwajib-kan menggunakan uang pecahan lima ru-piah ke atas dan dipotong menjadi
dua po-tong, dengan ketentuan sebelah kanan ma-sih berlaku sebagai alat

3
pembayaran yang sah tetapi nilainya tinggal setengah, sedang-kan sebelah kiri harus
diserahkan kepada pemerintah untuk diganti oleh obligasi ne-gara yaitu tanda hutang
negara (Soebagyo, 1980, 70).

Dalam rangka mengendalikan inflasi, pada tanggal 25 Agustus 1959 mata uang
Rupiah didevaluasikan sebesar 75%. Dari sisi moneter, semua nilai uang kertas
Rp500,00 dan Rp1.000,00 diturunkan menjadi sepersepuluh dari nilai nominalnya,
dan deposito-deposito bank dalam jumlah besar juga dibekukan. Tindakan ini mengu-
rangi jumlah uang beredar dari Rp 34 Milyar menjadi Rp 21 Milyar. Krisis likuiditas
menjadikan pemerintah terpaksa mem-perbolehkan utang dan dalam waktu enam
bulan persediaan uang telah kembali ke tingkat sebelumnya dan inflasi kembali stabil
(Rickles, 1991, 404). Inflasi sangat tinggi telah menyebabkan harga barang-barang
naik 500%selama tahun 1965. Inflasi yang sangat tinggi tersebut disebabkan oleh
harga beras yang naik sebesar 900%setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk Rupiah
terhadap Dollar Amerika Serikat Serikat jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965
menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga dan menjadi Rp 50.000,00 pada kuartal
keempat (Rickles, 1991, 426).

Pada masa Soekarno, pada tahun 1963, Indonesia berhasil memenangkan


kembali Irian Barat. Bung Karno mencip-takan musuh baru, yakni Malaysia, untuk
memelihara koalisi semu segitiga antara diri-nya dengan TNI (Tentara Nasional
Indo-nesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Koalisi ini pecah dengan adanya
pem-bunuhan, kudeta dan kontra kudeta pada 1 Oktober 1965.

Inflasi dan korupsi menjadi masalah utama dalam kepemimpinan Soekarno.


Inflasi menjadi kronis dan tidak terkendali dan tidak terawasi sejak awal
kemerdekaan. Jumlah Uang beredar menjadi dua kali lebih besar pada tahun 1965.
Harga-harga meningkat antara 30-50%perbulan. Presiden dan kabinetnya serta
angkatan ber-senjata pada saat itu menutupi kebutuhan mereka sendiri karena tidak
dapat meng-harapkan alokasi anggaran, tanpa adanya anggaran belanja dan
pengawasan anggaran yang efektif. Selain itu pasar gelap, penyelundupan dan

4
bentuk-bentuk penyim-pangan lainnya telah mengurangi pengawa-san ekonomi
pemerintah pada tingkat yang sangat kronis. Sebagian besar sektor ekonomi
produksinya merosot seperti be-ras, makanan pokok dan bahan makanan lainnya.
Meskipun tidak mutlak menurun, namun telah gagal mengimbangi pertumbuhan
penduduk, sehingga pada tahun 1966, 10%kebutuhan pangan harus diimpor (Arndt,
1991, 245). Pemerintahan di masa Soekarno, 1945 - 1966, berganti kabinet sebanyak
28 kali, Soekarno berakhir paada 12 maret 1967.

2.2 Kepemimpinan Soeharto

Kedua, Kepemimpinan Soeharto (1967-1998). Soeharto mulai menjalankan


tugasnya sebagai presiden Indonesia ke-2 pada 12 Maret 1967, dinamakan masa Or-
de Baru. Pada tahun 1967, Indonesia bera-da dalam situasi yang kacau. Pendapatan
per kapita turun sampai tingkat di bawah yang telah dicapai lima tahun sebelumnya,
perekonomian hancur oleh hiper-inflasi, sektor pertanian tidak dapat lagi menyedia-
kan bahan pangan yang cukup untuk ke-butuhan dalam negeri dan kemiskinan men-
jadi nasib sebagian besar penduduk.

Walaupun pemerintah Orde Baru bergerak cepat dan pasti untuk membangun
sejumlah tujuan di bidang ekonomi, sampai tahun 1985 industrialisasi hanya
berpengaruh ke-cil di Indonesia. Sektor pertanian menyum-bang sekitar 24%dari
PDB, sementara in-dustri non migas menyumbang kurang dari 14%(Abimanyu (Ed.),
2010, 24-25).

Pada masa Soeharto banyak berdiri organisasi pengusaha seperti KADIN (Ka-
mar Dagang dan Industri), Hippi (Himpu-nan Pengusaha Pribumi Indonesia), HIPMI
(Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), HIPLI (Himpunan Pengusaha Lemah Indo-
nesia), IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia), APEGTI (Asosiasi Pengecer
Gula dan Terigu Indonesia), REI (Real Es-tate Indonesia) dan ASI (Asosiasi Semen
Indonesia), yang dimaksudkan untuk me-ningkatkan ekonomi anggota dan bargain-

5
ing power-nya. Pendirian HKTI (Himpu-nan Kerukunan Tani Indonesia), SPSI (Se-
rikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan seje-nisnya mempunyai tujuan yang sama.
Dalam perekonomian internasional, Indonesia ma-suk dalam OPEC (Organisation of
Petro-lium Exporting Countries) dan kerja sa-ma regional APEC (Asia Pasific
Econo-mic Cooperation) (Kuntowijoyo, 1995, 129-130).

Pada saat Ali Wardhana menjabat menteri keuangan, Amerika Serikat pada 15
Agustus 1971 menghentikan pertukaran dollar dengan emas. Presiden Nixon cemas
dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dollar dibolehkan terus ditukar emas,
sedang nilai waktu itu USD 34.00 sudah bisa membeli 1 ons emas. Soeharto tidak
dapat mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah
pada 21 Agustus 1971 dari Rp 378 menja-di Rp 415 per 1 USD. Walaupun Indone-
sia mendapat keuntungan dengan kenaikan harga minyak akibat Perang Arab - Israel
1973, tetapi Pertamina justru hampir mengalami kebangkrutan dengan utang USD 10
milyar. Devaluasi kedua pada masa pemerintahan Soeharto, yakni pada 15 November
1978, dari Rp 415 menjadi Rp 625 per 1 USD tidak dapat dihindari.

Pada saat Radius Prawiro menjabat Menteri Keuangan, dia mendevaluasi rupiah
sebesar 48%(hampir sama dengan proses menggunting separuh nilai dari Rupah).
Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970. Pada 12 September 1986 dia
kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp 1.134 ke Rp 1.664 per 1 dolar
AS. Walaupun Soeharto selalu berpidato bahwa tidak ada devaluasi, tapi sepanjang
pemerintahannya telah terjadi empat kali devaluasi (http://id.wikipedia. org/wiki/
Devaluasi). Kemantapan struktur ekonomi nasional telihat pada peningkatan dan
perluasan jaringan pelayanan prasarana dasar seperti jalan, pelabuhan, listrik, tele-
komunikasi dan yang lainnya (Odang, 1996, 16-17).

Pada pertengahan 1990-an, manufak-turing berperan sebagai motor pertumbu-


han ekonomi di Indonesia selama lebih dari satu dekade, dengan menyumbangkan
ham-pir sepertiga dari kenaikan PDB dari tahun 1983 sampai 1995 (Emmerson (Ed),
2001, 195).

6
Orde Baru yang dibangun oleh Presi-den Soeharto sejak tahun 1966 telah meng-
hasilkan prestasi yang luar biasa. Pada ta-hun 1996 atau 30 tahun kemudian sebagai
hasil pembangunan, Indonesia mengalami dua kali Quantum Leap, dari negara miskin
ke negara berkembang, dan dari negara berkembang menjadi negara berpendapa-tan
menengah. Pada tahun 1966 tingkat ke-miskinan diperkirakan lebih dari 50%, se-
mentara pada tahun 1996 kurang dari 15%.

Inflasi sekitar 400%pada tahun 1966, sementara tahun 1996 kurang dari 10%.
Bahkan, pendapatan per kapita melonjak dari USD200 pada tahun 1966 menjadi
USD1.200 pada tahun 1996. Selama 25 tahun terakhir sebelum krisis 1997, pertum-
buhan ekonomi Indonesia bergerak di kisaran 6%-8%per tahun (Abimanyu (Ed),
2010, 581-582).

Kebijakan fiskal tahun 1998 sampai 1999 pada awalnya diarahkan untuk ber-
peran sebagai suatu kebijakan campuran (policy mix) dalam rangka membantu
pengendalian laju inflasi dan nilai tukar ru-piah di sektor moneter. Hal ini
ditunjukkan oleh kehati-hatian pemerintah dalam mene-tapkan sasaran defisit APBN
yang disusun pada tanggal 23 Januari 1998, yaitu hanya 1-2%dari PDB. Dalam
perkembangannya, kondisi perekonomian yang mengalami kontraksi dan dampaknya
terhadap masya-rakat yang semakin luas telah memaksa pemerintah untuk mengubah
asumsi yang digunakan dalam penyusunan anggaran, sekaligus mengubah orientasi
kebijakan fiskal. Orientasi kebijakan fiskal kemudian difokuskan pada upaya
peningkatan peranan pemerintah sebagai penggerak roda perekonomian,
menggantikan peranan sektor swasta yang sedang terpuruk serta mengurangi tingkat
pengangguran, sekaligus beban masyarakat miskin. Perubahan orientasi tersebut
tercermin dari peningkatan sasaran defisit APBN menjadi 8,5%dari PDB, jauh lebih
ekspansif daripada sasaran semula. Perubahan yang besar terjadi pada alokasi
pengeluaran sosial, yakni menjadi sekitar 29%dari total anggaran, meliputi
pengeluaran subsidi dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) masing-masing sebesar 6,2
dan 1,9%dari PDB (Bank Indonesia, 1999).

7
Presiden Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei 1998 saat terjadi gejolak sosial,
politik dan ekonomi di Indonesia. Wa-laupun penggantian presiden sudah dilaku-kan,
Indonesia masih terpuruk dalam ke-miskinan yang semakin meluas disertai ke-
tegangan etnis daerah.

2.3 Kepemimpinan B. J. Habibie

Ketiga, Masa Presiden B. J. Habibie. Pengangkatan B.J Habibie menjadi Pre-


siden Indonesia pada 21 Mei 1998 diwar-nai dengan suasana politik dan ekonomi
yang kacau. B.J Habibie merupakan seorang ilmuwan tingkat internasional. Selama
17 bulan masa pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia ketiga, Habibie mem-
perkenalkan reformasi pasca Soeharto. Ketika Habibie mulai memegang kekuasaan
pada tanggal 21 Mei 1998, terdapat lima isu terbesar yang harus dihadapi yaitu, masa
depan reformasi, masa depan ABRI (sekarang TNI), masa depan daerah yang
melepaskan diri dari Indonesia, masa depan Soeharto (Keluarga, kekayaan dan kroni-
kroninya) dan masa depan perekonomian serta kesejahteraan rakyat (Rickles, 2008).
Kabinet Presiden Habibie dibentuk dalam waktu 24 jam, dinamakan Kabinet Re-
formasi Pembangunan.

Sebelum krisis ekonomi 1997/1998, Indonesia telah mengalami pertumbuhan


ekonomi yang amat pesat. Selama lima Re-pelita yang pertama di bawah
pemerintahan Soeharto, dari 1969 sampai 1994, PDB meningkat rata-rata
6,8%setahun. Pertum-buhan penduduk rata-rata 2% setahun (Emmerson (Ed), 2001,
192).

Pertengahan 1998, inflasi ditargetkan mencapai angka 80% untuk tahun


berjalan, namun akhirnya target tersebut tidak tercapai. Peristiwa Badai El nino
menjadi-kan panen beras berkurang. Nilai tukar ru-piah berada di bawah Rp
10.000,00 per dollar, bahkan mencapai level Rp 15.000,00 - Rp 17.000,00 dan
diperkira-kan 113 juta orang Indonesia (56% dari jumlah penduduk) berada di bawah

8
garis kemiskinan. Pada akhir Juni 1998, angga-ran negara harus direvisi untuk ketiga
kali-nya karena asumsi-asumsinya tidak relevan. IMF memprediksi bahwa
perekonomian akan menurun sebanyak 10%. B.J. Habibie mundur dari kekuasaan
pada 20 Oktober 1999, digantikan oleh Abdurrahman Wahid.

2.4 Kepemimpinan Abdurah-man Wahid (Gus Dur)

Keempat, Kepemimpinan Abdurah-man Wahid (Gus Dur) (1999-2001). Masa


Kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dimulai pada 20 Oktober 1999.
Gus Dur memliki intelegensia, kekocakan, keterbukaan dan komitmen terhadap
pluralisme serta kebencian terhadap dog-matisme (Rickles, 2008, 655).

Pada tahun 2000 beberapa indikator menunjukkan bahwa proses pemulihan eko-
nomi nampak menguat. Pertumbuhan ekonomi meningkat lebih tinggi dari yang
diprakirakan, yakni menjadi 4,8%. Bebe-rapa faktor seperti membaiknya permintaan
domestik, masih kompetitifnya nilai tukar rupiah, serta situasi ekonomi dunia yang
membaik, telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk sektor usaha ke-
cil dan menengah (UKM), meningkatkan kegiatan usaha mereka, baik untuk memen-
uhi konsumsi domestik maupun ekspor. Beberapa kemajuan juga dicapai, misalnya
dalam proses restrukturisasi perbankan, penjadwalan kembali utang luar negeri pe-
merintah, serta penyelesaian masalah Ban-tuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) an-
tara Bank Indonesia dan Pemerintah. Per-tumbuhan ekonomi didukung oleh nilai
tukar yang kompetitif dan ekspor non migas menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi dan kegiatan investasi semakin meningkat.

Sejalan dengan pertumbuhan ekono-mi yang meningkat, tingkat pengeluaran


konsumsi juga ikut mengalami peningkatan. Ekspor, investasi, dan konsumsi
terhadap pertumbuhan PDB pada tahun 2000 ma-sing-masing mencapai 3,9%, 3,6%,
dan 3,1%. Kuatnya kinerja ekspor dan peran investasi yang meningkat dalam
pemben-tukan PDB mengindikasikan semakin man-tapnya proses pemulihan
ekonomi yang ter-jadi. Di sisi penawaran, semua sektor dalam perekonomian

9
mengalami pertumbuhan. Dengan dorongan permintaan baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri, sektor industri pengolahan, sektor perda-gangan dan sektor
pengangkutan menjadi motor pertumbuhan dengan sumbangan ter-hadap
pertumbuhan PDB masing-masing sebesar 1,6%, 0,9%, dan 0,7%. Sektor in-dustri
pengolahan pada tahun 2000 men-catat pertumbuhan sebesar 6,2%, semen-tara
sektor perdagangan serta sektor pe-ngangkutan masing-masing meningkat se-besar
5,7%dan 9,4%(Bank Indonesia 2000).

Tekanan kenaikan harga menjadi le-bih besar dengan adanya kebijakan peme-
rintah untuk mengurangi berbagai subsidi guna mendorong pembentukan harga ber-
dasarkan mekanisme pasar serta kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan
pegawai negeri sipil (PNS). Dalam tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan penyesuaian di bidang harga dan pen-dapatan yang antara lain mencakup
peng-urangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif dasar listrik (TDL),
tarif angkutan, cukai rokok, serta kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri, serta upah mini-
mum regional (UMR). Selain itu, tekanan inflasi juga muncul dengan semakin
tinggi-nya ekspektasi peningkatan laju inflasi di ka-langan konsumen dan produsen.
Pening-katan ekspektasi ini mengakibatkan kecen-derungan kenaikan harga-harga
menjadi sulit diredam dengan segera karena cende-rung bersifat menetap
(persistent). Secara keseluruhan, laju inflasi tahun 2000 mencapai 9,53% (year-on-
year), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi tahun 1999 sebesar 2,01% (Bank
Indonesia, 2000).

Kegigihan mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun, keterbatasan dalam


penglihatan pada panca indra, masalah kesehatan, kurangnya pengalaman dalam
masalah pemerintahan, membuat Gus Dur diberhentikan sebagai Presiden pada
tanggal 23 Juli oleh MPR (Rickles, 2008,655).

10
2.5 Kepemimpinan Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)

Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah-masalah yang mendesak


yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan-
kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi antara lain:

a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada


pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara
di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari
intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil
penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud mengambil
jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar hutang
luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena
pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara
menjadi sangat berkurang.

2.6 Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono

Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial


yaitu:
a. Mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.
Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran
subsidi BBM dialihkan ke sector pendidikan dan kesehatan, serta bidang-
bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

b. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial


kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya
menimbulkan berbagai masalah sosial.

11
c. Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan
para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama
untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor,
terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan.

d. Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan


pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih
tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem
Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang
yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-
koruptor tidak akan jera dan banyak yang mengulanginya. Dilihat dari semua
itu Negara dapat dirugikan secara besar-besaran dan sampai saat ini
perekonomian Negara tidak stabil.

e. Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan

f. Kebijakan impor beras, tetapi kebijakan ini membuat para petani menjerit
karena harga gabah menjadi anjlok atau turun drastis.

g. Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF
(International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak
lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam
negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat,
setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya
dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa

12
di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas
pada turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak
dikarenakan sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini.

Tabel 2.1 Presiden, Fokus Kebijakan, Pencapain Dominan, dan Kelemahan Pencapaian

Presiden Fokus Kebijakan Pencapaian yang Kelemahan


Dominan Pencapaian
Soekarno Pasca Stabilisasi kondisi Sistem control
Kemerdekaan, politik dan konflik perekonomian
situasi di dalam dalam negeri lemah sehingga
negeri kuran inflasi tidak
kondusif. Fokus terkendali.
kebijakan adalah
perbaikan pasca
penjajahan
Soeharto Rencana Pembangunan Korupsi, Kolusi
Pembangunan perekonomian yang dan Nepotisme
Lima Tahun berkelanjutan dan menjadi masalah
(REPELITA) I –VI terarah. yang utama dalam
masa Orde Baru

Pembangunan Pembangunan
Jangka Panjang Jangka Panjang
(PJP) I
B.J. Habibie Memperkuat UU Anti monopoli Daya beli
pemulihan dan UU Otonomi masyarakat
ekonomi pasca daerah. menurun tajam dan
Krisis Moneter tingginya resiko
dengan usaha didalam
memulihkan negeri sehingga
kegiatan investasi, pemulihan
perdagangan, kepercayaan
pemulihan kinerja terhadap
sector perbankan perekonomian
dan dunia usaha berjalan lambat
Abdurrahman Penguatan pada Menjalin hubungan Proses pemulihan
Wahid sector Usaha Kecil bilateral dan ekonomi relative

13
Menengah (UKM), multilateral dengan lambat, besarnya
Bantuan Likuidasi beberapa negara beban
Bank Indonesia lain pengeluarana
(BLBI) pemerintah untuk
pembayaran bunga
utang dan subsidi.
Megawati Pengelolaan Laju inflasi mulai Bom Bali,
Hutang Luar menurun, suku Kenaikan Harga
negeri, program bunga menurun Bahan Bakar
UKM, Privatisasi tajam, Minyak
BUMN pertumbuhan
ekonomi
meningkat dan
nilai tukar rupiah
menguat.
Susilo Bambang Bantuan Langsung Ekonomi Indonesia Tingkat
Yudhoyono Tunai (BLT) dan stabil dan inflasi pengangguran
Subsidi BBM, makin terkendali, meningkat dan
Kebijakan berfokus pertumbuhan disribusi
pada sector riil dan permintaan pendapatan
keuangan yang domestic dan timpang
diarahkan untuk penurunan impor
menjaga stabilitas
pada ekonomi
makro

2.7 Kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014 - sekarang)

Dalam Pemilihan Presiden Indonesia 2014, Joko Widodo (Jokowi) terpilih


menjadi Presiden ke-7 Indonesia dan mulai menjabat sejak 20 Oktober 2014.
Kemenangan Jokowi sebagai Presiden menimbulkan optimisme publik, karena
Jokowi dipersepsikan sebagai seorang pemimpin yang reformis dan menjalankan
program kerja yang konkrit menyelesaikan masalah di lapangan, seperti yang terlihat
dari pengalamannya menjadi walikota Solo dan gubernur DKI Jakarta. Jokowi lebih
merupakan tipe pemimpin yang taktis yang menekankan langkah/kerja konkrit dan
cepat di lapangan, ketimbang tipe pemimpin strategis yang berfokus kepada
visi/gambaran besar. Pemerintahan baru Jokowi, yang dijalankan oleh Kabinet Kerja,
sangat diharapkan oleh publik untuk dapat melaksanakan beberapa agenda kebijakan

14
reformasi ekonomi, terutama pada percepatan proyek infrastruktur, pengembangan
sektor maritim, dan program jaminan sosial.

Jokowi menghadapi sejumlah tantangan eksternal maupun internal dalam


mengusahakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
terus melambat dalam empat tahun terakhir, dari 6,8% pada tahun 2010 menjadi
5,0%, yang menandakan daya beli masyarakat yang melemah. Selain itu, kondisi
eksternal juga kurang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang ditandai
dengan perlambatan ekonomi global (terutama resesi di Eropa dan Jepang dan
perlambatan pertumbuhan Tiongkok dan India), likuiditas global yang mengering,
serta jatuhnya harga komoditas ekspor. Dalam situasi demikian, pendekatan Jokowi
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi adalah melalui reformasi ekonomi
domestik yang terutama lebih berfokus pada sisi penawaran (supply-side reforms),
antara lain melalui pengembangan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi.

Salah satu reformasi radikal yang dilakukan Jokowi terjadi kurang dari sebulan
setelah pelantikan, yaitu pemotongan signifikan dari subsidi bahan bakar minyak
(BBM) sebagai usaha untuk mengurangi beban fiskal. Pada tanggal 18 November
2014, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi (Premium) menjadi Rp 8.500 per
liter, dan harga solar bersubsidi menjadi Rp 7.500 per liter. Bahkan, mengambil
momentum dari jatuhnya harga minyak dunia, Jokowi melakukan reformasi lebih
jauh, dengan menghapus subsidi BBM Premium, memberikan subsidi tetap Rp 1.000
per liter untuk solar, dan mengikuti mekanisme pasar dalam penentuan harga.
Langkah reformasi yang berani ini berhasil menciptakan ruang fiskal yang sangat
dibutuhkan untuk membiayai sejumlah agenda pembangunan lainnya, terutama
pembangunan infrastruktur.

Meskipun langkah tersebut sempat menumbuhkan kepercayaan publik akan


komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi ekonomi yang serius, namun hal
ini tidak berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 terus melambat,
hingga mencapai titik terendah 4,7% pada triwulan II. Banyak hal yang

15
mengakibatkan hal tersebut, tetapi setidaknya dua tren utama yang dapat diamati pada
setahun pertama pemerintahan Jokowi adalah. Pertama, belum terdapat perbaikan
iklim investasi yang signifikan hingga pertengahan 2015. Pembangunan infrastruktur
pun berjalan cukup lambat. Nampaknya terdapat ketidaksinambungan antara
pernyataan reformis di tingkat Presiden dan Menteri dengan kenyataan pada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah serta pemerintah daerah. Hal-hal umum seperti
perizinan yang berbelit, memakan waktu dan biaya yang tinggi masih terlihat jelas di
berbagai sektor.

Kedua, rezim perdagangan yang menjadi semakin restriktif, terutama melalui


penggunaan hambatan non-tarif dalam berbagai bentuk regulasi, baik pada sisi impor
maupun ekspor. Sebenarnya, tren proteksionis semacam ini mulai terlihat sejak
periode kedua pemerintahan SBY sejak 2009 dan terus berlanjut setidaknya hingga
pertengahan 2015. Marks (2015), misalnya, menemukan bahwa pada sisi impor,
jumlah hambatan non-tarif naik dari 6.537 pada tahun 2009 menjadi 12.863 pada
2015. Patunru dan Rahardja (2015) menemukan bahwa proteksionisme ini diciptakan
melalui kebijakan seperti hambatan non-tarif (kebanyakan berasal dari peraturan
Menteri Perdagangan) dalam berbagai bentuk, mulai dari persyaratan perizinan,
inspeksi, kebijakan labeling, serta pengetatan regulasi yang sudah ada, serta melalui
kebijakan seperti persyaratan konten lokal dan larangan ekspor (salah satu yang
terbesar adalah larangan ekspor mineral). Tren ini baru mengalami titik balik setelah
dua perubahan besar pada semester kedua 2015, yaitu ketika Thomas Lembong
sebagai Menteri Perdagangan pada Agustus 2015 serta ketika Presiden Jokowi
menyatakan ketertarikan untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP)
pada Oktober 2015.

Sebagai respon dari kondisi demikian, Presiden Jokowi memutuskan untuk


kembali melakukan langkah reformasi ekonomi melalui peluncuran Paket Kebijakan
Ekonomi pada September 2015. Hingga Juni 2016, telah terdapat 12 Paket Kebijakan
Ekonomi (PKE), yang masing-masing berusaha menyelesaikan permasalahan
kebijakan yang berbeda-beda. Kebanyakan dari reformasi yang dilakukan melalui

16
paket kebijakan tersebut berusaha untuk menghilangkan hambatan regulasi maupun
birokrasi yang menghambat sektor swasta untuk melakukan usahanya secara efisien,
serta memberikan insentif investasi bagi pelaku usaha swasta di beberapa sektor
tertentu.

Paket kebijakan pertama (yang paling komprehensif dengan cakupan terluas)


bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, mempercepat proyek
strategis nasional, serta meningkatkan investasi di sektor properti. Dua langkah
penting dalam paket ini adalah deregulasi dan debirokratisasi. Deregulasi dilakukan
dengan melakukan tinjauan regulasi yang komprehensif, serta menghilangkan
regulasi yang berulang, tidak diperlukan, tumpang tindih, atau yang tidak relevan.
Deregulasi juga berusaha untuk meningkatkan koherensi serta konsistensi antar
regulasi, terutama yang terkait dengan sektor ekonomi. Sementara itu, debirokratisasi
mencakup simplifikasi, delegasi otoritas, serta elektronisasi dari berbagi prosedur
untuk mendapatkan perizinan, dalam rangka memfasilitasi pelaku usaha untuk
berinvestasi di Indonesia.

Beberapa pencapaian kunci dalam usaha deregulasi mencakup pendirian


Layanan Perizinan Investasi 3 Jam, simplifikasi perizinan kehutanan, pendirian
sistem pelayanan terpadu kepelabuhanan secara elektronik, serta sejumlah insentif
pajak dan kredit bagi beberapa industri dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah
(UMKM). Institusi yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan pelaksanaan paket
kebijakan ekonomi ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang
juga menyelenggarakan sejumlah pertemuan yang melibatkan beberapa kementerian
teknis yang terkait isu kebijakan tertentu.

Melalui 12 paket kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan untuk


menghasilkan 203 regulasi (terdiri dari 154 Peraturan Menteri dan 49 Peraturan
Presiden) yang menggantikan regulasi yang dianggap bermasalah. Hingga Juni 2016,
kurang lebih 98% dari regulasi yang ditargetkan sudah diselesaikan. Beberapa sektor
strategis yang dicakup deregulasi meliputi pertanian, infrastruktur, properti, maritim,

17
perikanan, kehutanan, pertambangan, dan logistik. Sementara itu, berdasarkan
domain kementerian, tiga kementerian yang paling banyak terlibat dalam deregulasi
adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi & UMKM, serta
Kementerian Keuangan. Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk
memfasilitasi usaha perdagangan dan mengurangi hambatan regulasi yang tidak
perlu, sebagai titik balik dari tren kedua yang dijelaskan di atas.

Meskipun demikian, reformasi ekonomi yang dilakukan melalui peluncuran


paket kebijakan ini masih memiliki masalah dalam efektivitas implementasi serta
dalam usaha pemantauan dan evaluasi. Terkadang, sebuah paket kebijakan yang baru
sudah diumumkan, tanpa evaluasi yang menyeluruh pada paket sebelumnya. Baru
pada 31 Mei 2016 pemerintah secara resmi membentuk empat gugus tugas (task
forces) yang bertanggung jawab memantau pelaksanaan paket kebijakan ekonomi.
Gugus tugas ini bertanggung jawab untuk memantau dan memastikan bahwa paket
kebijakan ekonomi ini betul-betul dilaksanakan dengan baik, hingga ke tingkat
daerah, serta memformulasikan langkah aksi untuk mengatasi hambatan spesifik
dalam pelaksanaan.

Sebagai kesimpulan, dalam periode ini, pemerintah Jokowi tidak lagi bisa
mengandalkan ekspor sebagai sumber pertumbuhan karena ekonomi global yang
melambat serta harga komoditas yang masih rendah. Belanja pemerintah pun juga
kurang bisa diandalkan, mengingat penerimaan pajak yang sangat rendah dalam
beberapa tahun terakhir (tax ratio Indonesia hanya sekitar 10-11% dari PDB). Oleh
karena itu, upaya Presiden Jokowi untuk menekankan reformasi ekonomi dari sisi
penawaran sebenarnya sudah tepat. Namun demikian, dalam kenyataannya,
pelaksanaan reformasi ini masih kurang efektif. Beberapa pernyataan reformis dari
Presiden dan sejumlah Menteri bahwa Indonesia terbuka terhadap investasi, masih
gagal diterjemahkan dalam kebijakan yang ramah investasi (misalnya kecenderungan
proteksionis di atas, serta perubahan konkrit pada iklim investasi di lapangan
setidaknya hingga pertengahan 2015). Hal ini mengirimkan sinyal bahwa pemerintah
nampak setengah hati dalam menggandeng sektor swasta, termasuk PMA, sebagai

18
lokomotif pembangunan ekonomi yang tengah lesu ini. Oleh karena itu, presiden
reformis seperti Jokowi pun masih perlu didukung dengan mekanisme koordinasi dan
implementasi kebijakan yang baik, serta dukungan politik yang memadai.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setiap pemimpin dalam suatu negara memiliki ciri khas kepemimpinan yang
akan mempengaruhi semua sektor yang terdapat di bawahnya. Pertumbuhan ekonomi
pada awal kemerdekaan tidak berjalan dengan baik. Ketika pembenahan di sektor
eko-nomi semakin dilakukan pada masa peme-rintahan Soeharto, perekonomian
mening-kat dengan pesat. Selama pemerintahan Soeharto peningkatan terjadi dalam
sektor pembangunan fisik. Pemerintahan selama 32 tahun ini menjadi semakin rapuh
ketika dalam pemerintahan Soeharto terdapat KKN, diperparah oleh krisis moneter
pada 1997-1998 hingga pertumbuhan ekonomi adalah minus 13,12%di tahun 1998.
Sejak peristiwa tersebut, kondisi perekonomian Indonesia mengalami perbaikan dan
kem-bali meningkat di masa pemerintahan me-gawati hingga masuk pada
pemerintahan SBY.

Peranan presiden di sebuah negara menjadi penting karena presiden adalah pe-
mimpin di dalam negeri dan menjadi wakil bangsa saat kunjungan ke luar negeri.
Oleh karena itu, Presiden haruslah memiliki ke-cerdasan, sifat kepemimpinan yang
mampu mengayomi rakyatnya, peka terhadap masalah-masalah baik masalah dalam
negeri maupun masalah global dan mampu bertindak untuk menanggulangi dampak
yang akan masuk serta antisipasi terhadap apapun yang dapat mengancam rakyatnya

20
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/32819389/PERBANDINGAN_PEREKONOMIAN_DAR
I_MASA_SOEKARNO_HINGGA_SUSILO_BAMBANG_YUDHOYONO

https://www.csis.or.id/uploaded_file/publications/perjalanan_reformasi_ekonomi_ind
onesia_1997-2016.pdf

https://annisasavira.files.wordpress.com/2018/03/perekonomian-indonesia-
perkembangan-eko-dr-orde-lama-sampai-orde-baru.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai