Anda di halaman 1dari 25

KEBIJAKAN PERDAGANGAN NEGARA BERKEMBANG

(TRADE POLICY IN DEVELOPING COUNTRIES)

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Sinta Marito Elisabet 178320174

Humairah Sari Sitepu 178320391

Adella Monica Tarigan 178320186

Fitri Megawati Sihombing 188320216

Wimbi Prima Hadi 188320218

Mora Eksabatana 188320174

Jefri 178320202

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebijakan Perdagangan Negara Berkembang” ini dengan baik.

Di dalam pembuatan makalah ini, kami berusaha menguraikan dan menjelaskan


tentang Kebijakan Perdagangan Negara Berkembang. Dalam kesempatan ini,
dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih kepada ibu
Khairani,M.Si selaku dosen Ekonomi Internasional yang telah memberikan waktu
dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan saran,
kritik dan petunjuk dari berbagai pihak untuk pembuatan makalah ini menjadi
lebih baik dikemudian hari.

Semoga makalah yang telah kami buat ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan
informasi pada masa yang akan datang. Terimakasih.

Medan, 4 Oktober 2019

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3. Tujuan Masalah ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kebijakan Perdagangan .................................................... 3


2.2. Pengertian Negara Berkembang ......................................................... 3
2.3. Strategi Industrialisasi ......................................................................... 4
2.3.1. Industri Substitusi Impor (ISI) ................................................... 5
2.3.2. Argumen Industri Bayi .............................................................. 7
2.3.3. Industri Promosi Ekspor ............................................................ 7
2.3.4. Substitusi Impor Vs Orientasi Ekspor ....................................... 8
2.4. Masalah Dualisme Ekonomi ............................................................... 12
2.5. Geajala-gejala Dualisme Ekonomi ..................................................... 13
2.6. Kebijakan Perdagangan Sebagai Penyebab Dualisme Ekonomi ........ 14
2.7. Kebijakan Perdagangan Dalam HPAEs .............................................. 15
2.8. Kebijakan Perdagangan di Negara Berkembang ................................ 16

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ......................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebanyakan negara berkembang merupakan negara agraris, yang biasanya


berusaha mencari keseimbangan antara sektor pertanian dengan berbagai
subsektornya dan sektor industri. Dengan keadaan demikian, kebijakan strategi
dan rencana pembangunannya merupakan usaha untuk menjamin bahwa kedua
sektor tersebut saling mendukung.

Istilah industrialisasi digunakan dengan berbagai cara yang berbeda dalam


literatur ekonomi. Industrialisasi digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan
output industri yang bersama-sama membentuk sektor industri.

Banyak negara berkembang memandang sektor industri merupakan sarana


pokok kebijakan dan salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan taraf
hidup rakyatnya. Oleh karena itu sektor industri sering dijadikan sebagai objek
pembangunan dan dianggap perlu untuk menopang pertumbuhan ekonomi,
menciptakan kesempatan kerja lebih luas, memenuhi kebutuhan pokok rakyat
serta mengarah ke modernisasi perekonomian negara.

Di sisi lain, sektor perdagangan juga memegang peranan yang tak kalah
penting dalam perekonomian suatu negara. Pada posisi inilah mutu produk suatu
negara akan diuji apakah mampu bersaing dengan produk luar negeri, ataukah
hanya untuk konsumsi dalam negeri saja. Dengan demikian sektor industri dan
perdagangan diyakini akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang
mantap karena kontribusinya yang lebih besar dibandingkan sektor pertanian
terhadap pendapatan nasional.

Atas dasar peranan sektor perdagangan dan sektor industri yang begitu besar
dalam menopang pertumbuhan ekonomi negara serta keterkaitannya kedua sektor
tersebut, maka suatu negara dalam menentukan kebijakan ekonomi global harus
mempertimbangkan peranan kedua sektor tersebut.

1
Kebijakan ekonomi global meliputi di antaranya kebijakan perdagangan.
Kebijakan perdagangan yang dianut suatu negara dapat berdampak besar terhadap
pola dan langkah pembangunan industri. Berbagai peraturan perdagangan yang
diterapkan oleh negara berkembang sangat berbeda-beda bahkan beberapa negara
berkembang sering mengubah-ubah kebijakan perdagangannya termasuk
Indonesia. Perbedaan kebijakan perdagangan ini selanjutnya dapat dikaitkan
dengan hasil yang dicapai dari perdagangan dan industri yang sangat berbeda-
beda.

Kebijakan perdagangan hendaknya dipahami sebagai sarana untuk mencapai


tujuan industrialisasi dan bukan sebagai tujuan itu sendiri. Karenanya pilihan dan
penggunaan berbagai langkah yang berkaitan dengan perdagangan harus
ditetapkan oleh tujuan industrialisasi sebuah negara dan sasaran pembangunan
pada umumnya serta dilaksanakan dalam hubungannya dengan alat kebijakan
lainnya yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.1

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan perdagangan dan negara
berkembang?
2. Apa saja kebijakan perdagangan negara sedang berkembang?
3. Apa saja masalah dan gejala dualisme ekonomi?
4. Bagaimana kebijakan perdagangan di Indonesia?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui pengertian dari kebijakan perdagangan dan negara
berkembang
2. Untuk mengetahui kebijakan perdagangan yang ada di negara
berkembang
3. Untuk mengetahui masalah dan gejala dualisme ekonomi
4. Untuk mengetahui kebijakan perdagangan di Indonesia

1
Toto Suharto, Kebijakan Ekonomi Global Di Negara Sedang Berkembang, Vol.3 No.1,
2002, hal 91-93.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kebijakan Perdagangan

Kebijakan adalah keputusan yang menggambarkan tujuan, menetapkan


sesuatu yang dapat dijadikan pedoman/acuan, atau sebagai dasar suatu tindakan,
dan tindakan tersebut diambil untuk menerapkan keputusan itu, atau kebijakan
dapat diartikan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
recana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, hasil dari sebuah kepemimpinan dalam
sebuah pemerintahan atau sebuah organisasi.
Sedangkan Susanti mendefinisikan kebijakan sebagai susunan strategi yang
digunakan oleh pemerintah untuk memandu tindakan mereka dalam bidang
tertentu (yang di dalamnya terdapat pelbagai alternatif yang sebelumnya telah
disusun bersama).
Indoputra (2013) menjelaskan, bahwa kebijakan perdagangan sebagai suatu
kebijakan yang dapat menopang percepatan laju pembangunan ekonomi dengan:
a. Memungkinkan negara tebelakang memperoleh bagian lebih besar dari
manfaat perdagangan
b. Meningkatkan laju pembentukan modal
c. Meningkatkatkan industrialisasi
d. Menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
Pendapat yang senada, dikemukakan Ashari, bahwa kebijakan perdagangan
dimungkinkan sebagai landasan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional yang berkesinambungan.2

2.2. Pengertian Negara Berkembang

Suatu Negara digolongkan sebagai negara berkembang jika negara tersebut


belum dapat mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan atau belum

2
Rizka Handayani, “Makalah Kebijakan Perdagangan Negara yang Sedang
Berkembang”, diakses dari
https://www.academia.edu/15786756/Makalah_Kebijakan_Perdagangan_Negara_yang_Sedang_
Berkembang, pada tanggal 4 oktober 2019 pukul 21:30

3
dapat menyeimbangkan pencapaian pembangunan yang telah dilakukan. Negara
Berkembang adalah Negara yang masih terjadi ketidakseimbangan antara jumlah
faktor produksi yang tersedia dengan teknologi yang di terapkan atau di kuasai
sehingga penggunaan modal dan penggunaan tenaga kerja secara penuh belum
maksimal.

2.3. Strategi Industrialisasi

Industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan ekonomi yang


dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.
Industrialisasi merupakan proses perubahan struktur ekonomi dari struktur
ekonomi pertanian atau agraris ke struktur ekonomi industri. Perubahan struktur
ekonomi berujud pergeseran dari struktur agraris ke sektor non agraris.3

Perekonomian yang bersifat industri lebih mampu menyerap banyak


tenaga kerja. Karena itu, sasaran umum kebijakan industri antara lain:

(a) untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduk, terutama dari sektor
pertanian yang jumlahnya semakin banyak, sedangkan kesempatan kerja sangat
terbatas

(b) meningkatkan taraf hidup

(c) untuk memperbaiki situasi neraca pembayaran

(d) untuk meningkatkan prestise suatu bangsa sehingga kerapkali terdapat proyek
yang bersifat mercusuar

Pentingnya Industrialisasi sebagai tahapan untuk mempercepat


perkembangan ekonomi dengan mudah dapat dipahami. Namun untuk
mengembangkannya memerlukan persyaratan yang cukup _berat. Setidaknya
sama dengan usaha mempercepat perkembangan ekonomi pada umumnya, yaitu:
memerlukan modal yang cukup besar, kualitas SDM yang akan terlibat makin
bervariasi, pranata sosial yang memungkinkan dapat mengembangkan daya

3
Toto Suharto, Kebijakan Ekonomi Global Di Negara Sedang Berkembang, Vol.3 No.1,
2002, hal 101.

4
kreatifitas, prasarana transportasi dan komunikasi yang lebih baik, pemasaran
yang dapat diperluas, perbaikan kelembagaan baik birokrasi pemerintah maupun
perbaikan organisasi/manajemen yang didukung oleh lembaga keuangan.

Mengingat betapa rumitnya permasalahan yang harus dihadapi serta


persyaratan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan industrialisasi, maka perlu
sekali ada kejelasan langkah serta pentahapan dalam usaha mengembangkan
industri agar tujuan yang dicita-citakan dapat tercapai. .Melihat gejala yang
dialami negara berkembang adalah sama, yaitu modal kurang, kesiapan SDM
terdidik terbatas, situasi sektor pertanian yang menyedihkan/produktivitas rendah,
pengangguran banyak terjadi, kehidupan petani miskin, prasarana-prasarana
ekonomi terbatas. Karena itu perlu pilihan langkah yang tepat.

Sejarah mengenal ada dua alternatif usaha mengembangkan industri yang


dilakukan oleh negara berkembang. Ada yang langsung memulai dengan usaha
mengembangkan industri promosi ekspor dan ada yang memulai terlebih dahulu
dengan mengembangkan industri substitusi impor. Pilihan tersebut sebenarnya
bukannya terpisah sama sekali, melainkan sangat dipengaruhi oleh situasi negara
berkembang masing-masing.

2.3.1. Industri Substitusi Impor (ISI)

Salah satu strategi industrialisasi yang dilaksanakan di Negara


berkembang adalah industri substitusi impor. ISI ini diharapkan bisa
menghasilkan barang-barang baru di dalam negeri yang semula diimpor. Setelah
substitusi impor ini berhasil, baru kemudian sebagian hasil produknya diekspor.
Jadi, substitusi impor memegang peranan penting dalam mengenalkan barang-
barang baru yang dulunya diimpor dan kemudian dihasilkan sendiri.4

Pada kenyataannya, banyak masalah yang dihadapi oleh negara


berkembang dalam melaksanakan ISI, yaitu:

(i) kualitas barang yang dihasilkan di dalam negeri sebagai barang


substitusi impor sering jauh lebih rendah daripada hasil produksi luar

4
Ibid, Hal 102

5
negeri. Kualitas barang yang rendah ini akan sulit untuk diekspor,
sehingga menurunkan penerimaan ekspor;

(ii) biaya produksi yang dibutuhkan pada tahap awal industrialisasi


biasanya sangat besar yang digunakan untuk mendidik tenaga kerja,
membeli mesin-mesin dan membeli bahan baku yang diperlukan,
sehingga memerlukan modal yang cukup besar.

Oleh karena negara berkembang umumnya hanya memiliki modal yang


sedikit, maka pada tahap awal industrialisasinya terpaksa mendatangkan modal
dan tenaga kerja dari luar negeri yang berarti akan memperbesar biaya produksi
sehingga melemahkan daya saing dari barang yang dihasilkan tersebut.

Mekanisme pokok dalam pelaksanaan strategi industri substitusi impor


adalah dengan memberlakukan hambatan (barrier) bagi negara lain dalam
beberapa bentuk seperti tarif, non tarif dan kuota Impor.

Pemberlakuan tiga jenis hambatan oleh pemerintah di atas merupakan


suatu kebijakan proteksi (protection policy) dalam upaya melindungi industri
dalam negeri khususnya bagi Industri baru (Infant Industri).

Kebijakan proteksi yang dijalankan pemerintah sebetulnya hanya


merupakan kebijakan sesaat dan sifatnya sementara, namun pada
perkembangannya justru memanjakan industri-industri yang diproteksi bahkan
mereka secara terus-menerus meminta perlindungan dan suntikan dana (subsidi).

Telah diakui oleh sebagian besar pengamat ekonomi seperti Tibor


Scitovskky. Kirk Patrick, Hubert Shnitz bahwa strategi industri substitusi impor
menunjukkan keberhasilannya di sejumlah besar di negara berkembang, namun di
balik keberhasilan itu muncul pula dampak negatif yang tidak diperkirakan
sebelumnya, seperti:5

1. Penyalahgunaan segala proteksi dan kemudahan yang diberikan


pemerintah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan.

5
Toto Suharto, Kebijakan Ekonomi Global Di Negara Sedang Berkembang, Vol.3 No.1,
2002, hal 103.

6
2. Perusahaan-perusahaan asing yang sudah lama beroperasi di negara
berkembang ikut mengambil manfaat dani proses industrialisasi.

3. Strategi Industri substitusi impor hanya mungkin dilaksanakan dengan


adanya impor barang-barang modal dan barang setengah jadi.

4. Meningkatnya tekanan terhadap ekspor komoditi primer dalam rangka


mendorong industri manufaktur domestik melalui impor barang modal dan
barang setengah jadi sehingga pemerintah menetapkan kurs (exchange
rates).

2.3.2. Argumen Industri Bayi (The Infant Industry Argument)

Menurut argumen industri bayi, negara-negara berkembang memiliki potensi


komparatif keunggulan dalam manufaktur, tetapi industri manufaktur baru di
negara-negara berkembang pada awalnya tidak dapat bersaing dengan manufaktur
yang mapan di negara-negara maju. Untuk memungkinkan pabrikan mendapatkan
pijakan, pemerintah harus mendukung industri baru, sampai mereka tumbuh
cukup kuat untuk memenuhi persaingan internasional. Maka, masuk akal, menurut
argumen ini, untuk menggunakan tarif atau kuota impor sebagai langkah untuk
memulai industrialisasi. Ini adalah fakta sejarah bahwa tiga terbesar di
dunia ekonomi pasar semuanya memulai industrialisasi mereka di belakang
hambatan perdagangan: Amerika Serikat dan Jerman memiliki tarif tarif tinggi
untuk manufaktur pada abad ke-19, sementara Jepang memiliki kontrol impor
yang luas hingga tahun 1970-an. 6

2.3.3. Industri Promosi Ekspor (IPE)

Strategi Industrialisasi lain yang dapat dilakukan adalah industri promosi


ekspor, yaitu strategi yang memfokuskan suatu produk yang orientasinya akan
dijual keluar negeri (ekspor). Sehingga dari awal produk yang akan dihasilkan

6
Paul Krugman dan Maurice Obstfeld, International Economics Theory and Policy,
Pearson Education Internasional, Amerika Serikat, 2003, hal. 256.

7
harus mempunyai suatu nilai lebih (comparative advantage) agar laku di pasar
internasional.7

Strategi promosi ekspor didukung oleh kelompok pendukung perdagangan


bebas seperti Deepak Lal, Sarath dan Bhagwati yang berpandangan adanya upaya
promosi ekspor, penghapusan segala bentuk hambatan/barrier perdagangan
Internasional serta pengha pusan distorsi harga sebagai syarat penting demi
terciptanya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor.

Ada empat faktor yang dapat menerangkan mengapa promosi ekspor dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat ketimbang strategi substitusi
impor, yaitu:

(i) Kaitan sektor pertanian dengan sektor industri

(ii) Skala ekonomis

(iii) Dampak persaingan atas prestasi perusahaan

(iv) Dampak kekurangan devisa atas pertumbuhan ekonomi.

2.3.4. Substitusi Impor Versus Orientasi Ekspor

Pembangunan Berdasarkan Substitusi Impor versus Ekspor

Selama tahun-tahun pada dekade 1950-an, 1960-an dan juga 1970-an,


sebagian besar negara berkembang secara sengaja telah memilih upaya untuk
mengindustrialisasikan diri dengan memusatkan pengerahan segenap sumber
dayanya pada produksi komoditi-komoditi manufaktur yang semula di impornya.
Pilihan ini menggusur strategi peningkatan produksi dan ekspor komoditi primer
(bahan pangan, bahan mentah dan bahan tambang) yang sejak beberapa lama telah
menjadi sumber andalan pendapatan devisa mereka, sebagaimana yang dianjurkan
oleh teori perdagangan internasional.

7
Toto Suharto, Kebijakan Ekonomi Global Di Negara Sedang Berkembang, Vol.3 No.1,
2002, hal 103.

8
Pada dasarnya, hampir semua negara yang sedang berkembang ingin melakukan
industrialisasi dengan tujuan:8

1. Memacu kemajuan teknologi, khususnya teknologi produksi yang relevan


dengan usaha-usaha pembangunan secara umum.
2. Menciptakan lapangan kerja berpenghasilan tinggi guna mengatasi
masalah pengangguran, baik yang terbuka, semi-pengangguran, maupun
pengangguran terselubung, yang dihadapi oleh hampir semua negara
berkembang.
3. Menciptakan efek penggandaan dan akselerasi (tor) yang lebih tinggi
melalui penciptaan keterkaitan ke depan (forward linkages) dan
kebelakang (backward linkages) dalam proses produksi secara
keseluruhan.
4. Memperbaiki nilai tukar perdagangan serta untuk mendapatkan harga-
harga dan pendapatan ekspor yang lebih stabil.
5. Mengatasi berbagai kesulitan yang melilit neraca pembayaran (balance of
payments) akibat tingginya permintaan negara-negara berkembang
terhadap produk manufaktur yang seringkali melampaui pendapatan
ekspor mereka.

Di samping alasan-alasan tersebut, pada hakikatnya keinginan negara-


negara berkembang untuk mengadakan industrialisasi itu merupakan suatu hal
yang sepenuhnya wajar mengingat negara-negara yang kini maju sebelumnya juga
merupakan masyarakat yang agraris yang miskin.

Begitu memutuskan untuk melakukan industrialisasi, setiap pemerintah


negara berkembang langsung saja dihadapkan pada pilihan berikutnya antara
industrialisasi melalui substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi
ekspor. Meskipun kini orientasi ekspor dianggap lebih baik, kedua kebijakan ini
sesungguhnya sama-sama mengandung sejumlah kelemahan dan

8
Haris Munandar, Ekonomi Internasional, Erlangga, Jakarta, 1997, hal 440

9
kekuatan/keunggulan. Pada dasarnya Industrialisasi Substitusi Impor (ISI, Import
Substitution Industrialization) mengandung tiga keunggulan, yakni:9

1. Pasar untuk menampung produk-produk industry tersebut telah tersedia di


dalam negeri, karena produk tadi akan menggantikan produk-produk yang
semula diimpor sehingga risiko pemasaran dapat ditekan serendah
mungkin.
2. Adalah jauh lebih mudah bagi sebuah negara berkembang untuk
memproteksi pasar domestiknya sendiri ketimbang menembus pasar di
negara lain atau menghadapi tekanan persaingan dari produk-produk
impor yang sejenis.
3. Perusahaan-perusahaan asing akan terdorong untuk menanamkan
modalnya di negara yang bersangkutan agar mereka terhindar dari tarif
yang sengaja akan dipasang oleh pemerintah negara berkembang itu demi
mencegah masuknya produk impor sejenis dari negara-negara lain.

Selanjutnya kelemahan-kelemahan pokok yang melilit strategi


industrialisasi substitusi impor tersebut antara lain:

1. Para pengusaha lokal di sektor-sektor industri dalam negeri yang


diproteksi, agar terhindar dari tekanan-tekanan persaingan produk asing,
biasanya menjadi manja dan tidak terdorong untuk segera meningkatkan
kualitas diri dan menjadi lebih efisien.
2. Meskipun faktor diatas tidak terjadi, kebijakan industrialisasi substitusi
impor tetap cenderung melahirkan industri-industri yang tidak efisien
karena terbatasnya pasar domestik di sebagian besar negara berkembang
sehingga tidak memungkinkan industri-industri domestik itu meraih
keuntungan yang berarti (skala ekonomisnya memang relatif terbatas).
3. Kecuali untuk produk-produk manufaktur impor yang paling sederhana,
substitusi impor kian lama akan kian sulit dilakukan dan juga kian mahal
(ini akan menuntut proteksi yang lebih banyak lagi sehingga melahirkan
inefisiensi yang lebih parah) mengingat semakin tingginya persyaratan

9
Ibid, Hal 441

10
modal dan teknologi yang harus dipenuhi agar program industrialisasi
tersebut dapat terus dilanjutkan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, strategi industrialisasi yang


berorientasi pada ekspor juga diliputi oleh sejumlah keunggulan dan keterbatasan.
Ada pun keunggulan utama dari strategi tersebut:10

1. Strategi ekspor akan dapat mengatasi masalah terbatasnya pasar domestik


(dengan mencakup pasar-pasar di negara lain) dan memungkinka negara
yang bersangkutan mengejar keuntungan yang bersumber dari skala
ekonomis. Hal ini sangatlah penting untuk diperhatikan, mengingat daya
beli masyarakat di sebagian besar negara berkembang itu kecil, dan daya
serap pasarnya pun relative terbatas.
2. Produksi barang-barang manufaktur untuk ekspor akan menuntut dan
merangsang efisiensi di seluruh aspek perekonomian yang bersangkutan.
Ini mudah dipahami, karena untuk menciptakan barang-barang yang laku
dijual di pasaran internasional, maka kualitasnya harus diupayakan
setinggi mungkin dan harganya harus ditekan serendah mungkin.
Sedangkan harga yang murah dan kualitas yang tinggi tersebut hanya
dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi di segala bidang.
Pertimbangan ini menjadi lebih penting apabila output industri tersebut
merupakan produk antara (intermediate products) yang menjadi input atau
bahan baku bagi kegiatan produksi di sektor industry lainnya.
3. Ekspansi atau pengembangan ekspor produk manufaktur tidak akan
dibatasi oleh daya serap pasar domestic yang terbatas itu (seperti yang
terjadi dalam kasus substitusi impor). Artinya, selama kualitas dan
harganya memenuhi syarat, maka produk manufaktur tersebut akan dapat
diekspor dalam jumlah berapa pun. Sebaliknya, meskipun harganya murah
dan kualitasnya memuaskan, kalau tidak diekspor ke berbagai pasar di luar
negeri, maka tingkat produksinya harus diturunkan mengingat daya serap
atau permintaan pasar domestik terhadap produk itu sangat terbatas (pada
titik tertentu pasar domestik segera jenuh).

10
Ibid, Hal 442

11
Di sisi lain, strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor (export-
oriented industrialization) tersebut diliputi oleh kendala. Dua diantaranya yang
paling serius adalah:11

1. Negara-negara berkembang yang ingin melakukan strategi industrialisasi


yang berorientasi ekspor dituntut untuk berjuang habis-habisan,
karena sejak awal ia sudah menghadapi produk sejenis dari negara lain, terutama
negara-negara maju yang segala sesuatunya sudah lebih mapan dan efisien.
2. Dalam kenyataannya, negara-negara maju masih memasang proteksi yang cukup
tinggi melalui berbagai bentuk hambatan perdagangan (tariff maupun non-tarif)
demi melindungi industry mereka sendiri. Proteksi itu bahkan juga diberikan
kepada sektor-sektor yang menghasilkan komoditi-komoditi manufaktur
sederhana yang padat karya, yang merupakan pangsa industri yang paling mudah
dimasuki oleh negara-negara berkembang. Itu berarti negara berkembang juga
harus menghadapi hambatan yang dipasang secara sengaja oleh negara-negara
berkembang juga harus menghadapi hambatan yang dipasang secara sengaja oleh
negara-negara maju sejak awal ia melakukan industrialisasi yang berorientasi
ekspor itu.

2.4. Masalah Dualisme Ekonomi

Sementara kebijakan perdagangan negara yang kurang berkembang adalah


sebagian respon terhadap keterbelakangan relatif mereka dibandingkan dengan
negara maju, juga merupakan respon terhadap perkembangan yang tidak merata di
dalam negeri. Seringkali yang relatif modern, modal-intensif, sektor industri upah
tinggi ada di negara yang sama sebagai sektor pertanian tradisional yang sangat
miskin. Pembagian ekonomi tunggal menjadi dua sektor yang tampaknya pada
tingkat yang sangat berbeda dari pembangunan disebut sebagai dualisme
ekonomi, dan ekonomi yang terlihat seperti ini disebut sebagai ekonomi ganda. 12

Mengapa dualisme ada hubungannya dengan kebijakan perdagangan? Satu


jawaban adalah bahwa dualisme mungkin merupakan tanda pasar bekerja buruk:

11
Haris Munandar, Ekonomi Internasional, Erlangga, Jakarta, 1997, hal 440
12
Paul Krugman dan Maurice Obstfeld, International Economics Theory and Policy,
Pearson Education Internasional, Amerika Serikat, 2003, hal. 263.

12
dalam perekonomian yang efisien, misalnya, pekerja tidak akan mendapatkan
upah sangat berbeda di sektor yang berbeda. Setiap kali pasar bekerja buruk,
mungkin ada kasus kegagalan pasar untuk menyimpang dari perdagangan bebas.
Kehadiran dualisme ekonomi sering digunakan untuk membenarkan tarif yang
melindungi sektor manufaktur yang tampaknya lebih efisien. Alasan kedua untuk
menghubungkan dualisme dengan kebijakan perdagangan adalah bahwa kebijakan
perdagangan mungkin sendiri memiliki banyak hubungannya dengan dualisme.
Sebagai pengganti impor industrialisasi telah diserang, beberapa ekonom
berpendapat bahwa kebijakan substitusi impor sebenarnya telah membantu untuk
menciptakan ekonomi ganda atau setidaknya memperburuk beberapa gejala.

2.5. Gejala-Gejala Dualisme Ekonomi

Tidak ada definisi yang tepat dari ekonomi ganda, tetapi secara umum
ekonomi ganda adalah salah satu yang ada sektor "modern" (biasanya
memproduksi barang manufaktur yang dilindungi dari kompetisi impor) yang
kontras tajam dengan sisa ekonomi dalam jumlah cara:13

1. Nilai output per pekerja jauh lebih tinggi di sektor modern daripada di
seluruh perekonomian. Di sebagian besar negara berkembang, barang yang
diproduksi oleh seorang pekerja di sektor manufaktur membawa harga
beberapa kali dari barang yang diproduksi oleh seorang pekerja pertanian.
Kadang perbedaan ini berjalan setinggi 15 sampai 1.
2. Menyertai nilai tinggi dari output per pekerja adalah tingkat upah yang
lebih tinggi. Pekerja industri dapat memperoleh sepuluh kali pekerja
pertanian apa yang membuat (meskipun upah mereka masih tampak
rendah dibandingkan dengan Amerika Utara, Eropa Barat, atau Jepang).
3. Meskipun upah tinggi di sektor manufaktur, namun, pengembalian modal
belum tentu lebih tinggi. Pada kenyataannya, sering tampaknya menjadi
kasus bahwa modal memperoleh keuntungan yang lebih rendah di sektor
industri.

13
Paul Krugman dan Maurice Obstfeld, International Economics Theory and Policy,
Pearson Education Internasional, Amerika Serikat, 2003, hal. 263.

13
4. Nilai tinggi dari output per pekerja di sektor modern setidaknya sebagian
karena intensitas modal yang lebih tinggi dari produksi. Manufaktur di
negara yang kurang berkembang biasanya memiliki intensitas modal yang
jauh lebih tinggi daripada pertanian (ini tidak benar negara maju, di mana
pertanian cukup padat modal). Di negara berkembang, pekerja pertanian
sering bekerja dengan alat primitif, sementara fasilitas industri tidak jauh
berbeda dengan negara maju.
5. Banyak negara yang kurang berkembang memiliki masalah pengangguran
yang gigih. Terutama di daerah perkotaan, ada sejumlah besar orang baik
tanpa pekerjaan atau dengan hanya sesekali, sangat rendah upah pekerjaan.
Pengangguran perkotaan ini hidup berdampingan dengan pekerja industri
perkotaan yang relatif baik.

2.6. Kebijakan Perdagangan Sebagai Penyebab Dualisme Ekonomi

Kebijakan perdagangan dituduh memperluas perbedaan upah antara


manufaktur dan pertanian dan mendorong intensitas modal yang berlebihan.
Alasan upah yang besar perbedaan antara pertanian dan industri tidak dipahami
dengan baik. Beberapa ekonom percaya perbedaan ini adalah respons pasar alami.
Perusahaan, demikian argumennya, menawarkan upah tinggi untuk memastikan
turnover rendah dan upaya kerja tinggi di negara-negara yang tidak terbiasa
dengan disiplin kerja industri. Namun para ekonom lain berpendapat bahwa
perbedaan upah juga mencerminkan kekuatan monopoli serikat pekerja yang
industrinya dilindungi oleh kuota impor dari asing persaingan. Dengan
perdagangan yang lebih bebas, mereka berpendapat, upah industri akan lebih
rendah dan pertanian upah lebih tinggi. Jika demikian, dualism dan pengangguran
dapat diperburuk oleh pembatasan impor, terutama yang dilakukan atas nama
substitusi impor. 14

14
Paul Krugman dan Maurice Obstfeld, International Economics Theory and Policy,
Pearson Education Internasional, Amerika Serikat, 2003, hal. 267.

14
Modal yang berlebihan intensitas dari manufaktur sebagian disebabkan
oleh upah yang relatif tinggi, yang memberi perusahaan insentif untuk mengganti
modal dengan tenaga kerja. Sejauh pembatasan perdagangan bertanggung jawab
atas upah tinggi ini, mereka harus disalahkan. Juga, di beberapa negara sistem
perbankan yang terkendali berlaku memberikan kredit bersubsidi kepada
perusahaan industri, membuat substitusi modal-tenaga kerja menjadi
murah. Saluran yang paling langsung, bagaimanapun, telah melalui kontrol impor
selektif. Dalam banyak kasus, impor barang modal masuk tanpa tarif atau
pembatasan lain, dan kadang-kadang dengan de facto subsidi impor. Kebijakan ini
lebih lanjut mendorong penggunaan teknik intensif modal.

2.7. Kebijakan Perdagangan dalam HPAEs

Beberapa ekonom telah mencoba untuk menceritakan sebuah kisah


sederhana yang menghubungkan keberhasilan ekonomi Asia Timur dengan
kebijakan perdagangan yang "berorientasi ke luar". Dalam pandangan ini,
tingginya rasio ekspor dan impor terhadap PDB di negara-negara Asia adalah

konsekuensi dari kebijakan perdagangan, walaupun mereka mungkin tidak sesuai


dengan perdagangan bebas, namun menjadikan perdagangannya lebih bebas
daripada negara-negara berkembang yang telah mencoba berkembang melalui
substitusi impor. Dan tingkat pertumbuhan yang tinggi adalah hasil dari rezim
perdagangan yang relatif terbuka ini.

HPAEs kurang proteksionis daripada negara-negara berkembang yang


kurang berhasil, meskipun mereka sama tidak sekali mengikuti kebijakan
perdagangan bebas sepenuhnya. Walaupun demikian, kebijakan perdagangan
telah berkontribusi pada keterbukaan HPAEs, namun sebagian besar ekonom yang
telah mempelajari ekonomi-ekonomi ini percaya bahwa rasio perdagangan mereka
yang tinggi sama-sama berpengaruh sebagai penyebab keberhasilan ekonomi
mereka. 15

15
Ibid, Hal 269

15
Misalnya, baik ekspor maupun impor Thailand melonjak pada 1990-an.
Mengapa? Karena negara itu menjadi tempat produksi favorit bagi perusahaan
multinasional. Perusahaan-perusahaan ini secara langsung menghasilkan sebagian
besar ekspor baru, dan impor bahan baku mereka juga menyumbang banyak
lonjakan impor; sisanya dicatat oleh pendapatan meningkatnya populasi Thailand.
Jadi, Thailand memiliki impor dan ekspor yang besar karena baik-baik saja, bukan
sebaliknya.

Kesimpulan ini berarti bahwa meskipun ada korelasi antara pertumbuhan


cepat dalam ekspor dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang cepat,
korelasi tersebut tidak selalu menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan bebas
telah menjadi alasan utama untuk pertumbuhan tinggi.

Sebaliknya, sebagian besar ekonom yang telah mempelajari masalah ini


sekarang percaya bahwa sementara tingkat relatif rendah perlindungan yang di
HPAEs membantu mereka untuk tumbuh, mereka hanya sebagian penjelasan dari
"keajaiban".

2.8. Kebijakan Perdagangan di Negara Berkembang

1) Kebijakan Perdagangan di Indonesia

Paket kebijakan Ekonomi XVI 2018 diluncurkan di Kompleks Istana


Kepresidenan Jakarta. Peluncuran paket kebijakan ekonomi itu dilakukan oleh
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, didamping oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hingga Menteri Perindustrian
Airlangga Hartato. Selain itu hadir pula Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo
dan Wakil Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida.

Berikut ini daftar lengkap paket kebijakan ekonomi I hingga XVI, seperti
dirangkum Okezone, Jumat (16/11/2016):

16
Paket Kebijakan Jilid I

Memiliki tiga fokus, pertama mendorong daya saing industri nasional melalui
deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Kedua,
mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai
hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis
nasional, dan yang ketiga meningkatkan investasi di sektor properti.

Paket Kebijakan Jilid II

Berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi,


baik PMDN maupun PMA. Seperti kemudahan lahayan investasi 3 jam, tax
allowance dan tax holiday lebih cepat, pembebasan PPN untuk alat transportasi,
insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak
bunga deposito, perampingan izin sektor kehutanan.

Paket Kebijakan Jilid III

Isinya melengkapi paket kebijakan I dan II. Namun paket ini mencakup
penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kedua, perluasan penerima
KUR. Ketiga, penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.

Paket Kebijakan Jilid IV

Mengatur mengenai penetapan formulasi penetapan UMP yang bertujuan untuk


membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Paket Kebijakan Jilid V

Berisi mengenai revaluasi aset untuk perusahaan BUMN serta individu. Selain itu
juga menghilangkan pajak berganda untuk REIT.

17
Paket Kebijakan Jilid VI

Memuat soal insentif untuk kawasan ekonomi khusus (KEK), pengelolaan sumber
daya air dan penyederhanaan izin impor bahan baku obat dan makanan oleh
BPOM.

Paket Kebijakan Jilid VII

Mengatur soal kemudahan mendapatkan izin investasi, keringanan pajak untuk


pegawai industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah.

Paket Kebijakan Jilid VIII

Mencakup 3 paket, yang pertama one map policy, kedua mempercepat


pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan produksi kilang nasional, yang
ketiga adalah pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat.

Paket Kebijakan Jilid IX

Mengatur soal percepatan pembangunan infrastruktur tenaga listrik, stabilisasi


harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota.

Paket Kebijakan Jilid X

Terdapat 10 poin penting yang diharapkan mampu memperbaiki peringkat


kemudahan berbisnis Indonesia (EODB). Pertama kemudahan dalam memulai
usaha, kemudahan pendirian bangunan, ketiga pendaftaran properti, keempat
pembayaran pajak, kelima akses perkreditan, keenam penegakan kontrak dengan
mengatur penyelesaian gugatan sederhana, ketujuh penyambungan listrik,
kedelapan perdagangan lintas negara, kesembilan penyelesaian permasalahan
kepailitan, dan 10 perlindungan terhadap investor minoritas.

18
Paket Kebijakan Jilid XI

Mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan dana investasi real estate,
prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling time) dan
pengembangan industri farmasi serta alat kesehatan.

Paket Kebijakan Jilid XII

Mengatur soal mendorong pertumbuhan UKM dengan memberikan kemudahan


memulai usaha.

Paket Kebijakan Jilid XIII

Menitik beratkan pada mempercepat penyediaan rumah untuk masyarakat


berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau. Caranya dengan
menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya pengembangan untuk
membangun rumah.

Paket Kebijakan XIV

Mengenai peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan berbasis elektronik (e-


commerce). Roadmap ini diterbitkan guna mencapai tujuan sebagai negara digital
ekonomi terbesar di Asia Tenggara di 2020. Ada delapan aspek pengaturan
mengenai roadmap e-commerce meliputi pendanaan, perpajakan, perlindungan
konsumen, pendidikan dan SDM, logistik, infrastruktur komunikasi, kemanan
siber dan pembentukan manajemen pelaksana.

Paket Kebijakan XV

Pemberian Kesempatan Meningkatkan Peran dan Skala Usaha, dengan kebijakan


yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan asuransi nasional dalam
mengangkut barang ekspor impor, serta meningkatkan usaha galangan
kapal/pemeliharaan kapal di dalam negeri.

Kemudahan Berusaha dan Pengurangan Beban Biaya bagi Usaha Penyedia Jasa
Logistik Nasional, dengan kebijakan antara lain mengurangi biaya operasional

19
jasa transportasi, menghilangkan persyaratan perizinan angkutan barang,
meringankan biaya investasi usaha kepelabuhanan, standarisasi dokumen arus
barang dalam negeri, mengembangkan pusat distribusi regional, kemudahan
pengadaan kapal tertentu dan mekanisme pengembalian biaya jaminan peti kemas.

Paket Kebijakan Ekonomi XVI

Ada tiga poin dalam paket terbaru ini, yakni memperluas Fasilitas Pengurangan
Pajak Penghasilan Badan (tax holiday), relaksasi daftar negatif investasi, dan
memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian insentif perpajakan.

2) Kebijakan Perdagangan di Malaysia

Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak mulai mengambil sikap
menanggapi pelemahan ekonomi dan nilai tukar mata uang negaranya. Salah satu
kebijakan konkret Najib adalah, pemerintah Malaysia akan menyuntik dana USD
4,6 miliar pada perusahaan investasi ekuitas pemerintah.

Dilansir dari CNBC, Najib akan menambah modal ke perusahaan ValueCap dan
perusahaan ini akan berinvestasi kembali di perusahaan-perusahaan Malaysia
yang sahamnya telah anjlok beberapa waktu ini.

Menurut Najib, langkah ini diperlukan untuk menopang pasar saham negaranya
yang melambat dan mendukung perekonomian secara umum.

Tidak hanya itu, untuk mendongkrak perekonomian, Najib akan membebaskan


bea masuk impor bagi industri hingga ekonominya kembali pulih. Namun Najib
belum merinci sektor apa saja yang akan mendapat pembebasan bea masuk impor.

Nilai tukar Ringgit Malaysia anjlok parah terhadap dolar Amerika (USD) atau
hampir 19 persen sepanjang tahun ini. Pasar saham Malaysia juga anjlok 8,95
persen dalam periode yang sama.

20
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kebijakan perdagangan Negara berkembang adalah suatu kebijakan yang


dapat menopang percepatan laju pembangunan ekonomi negara-negara yang
masih terjadi ketidakseimbangan antara jumlah factor produksi yang tersedia
dengan teknologi yang di terapkan atau di kuasai sehingga penggunaan modal dan
penggunaan tenaga kerja secara penuh belum maksimal.

Suatu negara memiliki kondisi sosial ekonomi yang berbeda-beda. Ada


yang masih bergantung pada negara lain, ada yang sebatas mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri, dan ada yang telah mampu memberi bantuan kepada negara
lain. Perbedaan kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pengelompokan-
pengelompokan negara berdasarkan kondisi sosial ekonominya.

Dalam mengarungi perekonomian global yang bersifat terbuka saat ini,


negara berkembang harus mampu menyusun strategi pembangunan yang tepat
agar mampu bersaing dengan negara maju yang notabene memiliki kemampuan
yang relatif lebih tinggi. Terdapat dua strategi umum yang diterapkan oleh negara
berkembang, yang pertama adalah kebijakan industri-substitusi impor dan yang
kedua adalah industri orientasi ekspor. Kebijakan industri substitusi impor adalah
yang paling sering digunakan oleh negara berkembang. Kebijakan ini
dilaksanakan dengan membatasi impor produk manufaktur untuk merangsang
pertumbuhan sektor manufaktur di industri domestik.

Kebijakan ini kerap diterapkan, sebab industri manufaktur di negara


berkembang belum mampu berkompetisi dengan industri manufaktur dari negara
maju yang telah berdiri dengan mapan. Alasan Kebijakan Perdagangan Dalam
Mengembangkan Industri Manufaktur oleh Negara berkembang adalah karena
pada umumnya Negara berkembang memiliki Sumber Daya Alam dan Sumber
Daya Manusia yang memadai sehingga dengan industri manufaktur dapat
meningkatkan ekonomi Negara.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, Mohamad. 1997. Teori Perdagangan Baru dan Implikasinya terhadap Strategi
Perdagangan Indonesia. Jurnal Ekonomi, XLV(2), ___.

Kenen, Peter dan Raymond Lubitz. 1982. Ekonomi Internasional. Pustaka


Universitas: Jakarta.

Krugman, Paul dan Maurice Obstfel. 2003. International Economics Theory and Policy.
Pearson Education Internasional: Amerika Serikat.

Munandar, Haris (Penterjemah). 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga: Jakarta.

Nopirin, 2018. Ekonomi Internasional. BPFE: Yogyakarta.

Reno Satria, Gabema, dkk. 2014. Kebijakan Perdagangan di Negara Sedang


Berkembang. Makalah.

Rizka Handayani. 2014. Kebijakan Perdagangan Negara yang Sedang Berkembang.


Makalah.

Sitompul, Rudy (Penterjemah). 1983. Ekonomi Internasional. Erlangga: Jakarta.

Suharto, Toto. _____. Kebijakan Ekonomi Global Di Negara Sedag Berkembang. Jurnal
Ekonomi, 3(1), 91-110.

Yolamalinda, Hayu Yolanda Utami, Dina Amaluis. 2016. Analisis Pemasaran dan
Kebijakan Perdagangan Internasional di Sumatera Barat. Jurnal Ekonomi, 4(2), 269-287.

22

Anda mungkin juga menyukai