Anda di halaman 1dari 14

TEORI DAN KEBIJAKAN EKONOMI

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

(EKI315/A)

Kebijakan Perdagangan di Negara


Berkembang

Dosen Pengampu:
Diah Pradnyadewi T., S.E., M.Si

Kelompok 5:

Angelica Olivia Santoso 2007511151


Gabriella Losa Pongtuluran 2107511173

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2023
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya atas Rahmat-Nya-lah kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebijakan Perdagangan di Negara Berkembang” dengan baik dan
tepat waktu.
Dalam kesempatan ini juga kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Diah Pradnyadewi T., S.E., M.Si. selaku dosen pengampu mata
kuliah Ekonomi Mikro Lanjutan yang telah membimbing kami dalam penulisan
makalah ini. Selain itu, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang sebesar -
besarnya kepada seluruh pembaca mengenai topik yang dibahas. Dalam
penyusunannya, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, baik dalam struktur maupun bahasa, oleh karenanya kami
memohon saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sehingga
kedepannya kami dapat menulis makalah lebih baik pada kesempatan
berikutnya.

Jimbaran, 6 Desember
2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….4

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...………4

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………..4

1.3 Tujuan……………………………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..5

2.1 Industrialisasi Substitusi Barang Impor………………………………………..5

2.2 Permasalahan dalam Industrialisasi Substitusi Barang Impor……………...7

2.2.1 Strategi Subtitusi Impor……………………………………………………...8

2.3 Perdagangan Bebas Sejak 1985…………………………………….…………..9

2.4 Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Asia……………………………11

BAB III PENTUTUP……………………………………………………………….13

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan perdagangan memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Dengan membuka pasar internasional, negara dapat
meningkatkan akses terhadap berbagai sumber daya dan meningkatkan efisiensi
ekonomi melalui spesialisasi produksi. Namun, kebijakan perdagangan yang kurang
bijak dapat menyebabkan defisit perdagangan dan kehilangan lapangan kerja.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat dipengaruhi oleh ketentuan perdagangan
internasional, seperti perjanjian dagang dan kebijakan proteksionisme. Perjanjian
dagang dapat mendorong pertumbuhan dengan membuka peluang ekspor, sementara
proteksionisme bisa memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri, tetapi dapat
merugikan pertumbuhan jangka panjang.
Keseimbangan antara pembukaan pasar dan perlindungan industri domestik
menjadi kunci dalam merancang kebijakan perdagangan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana industrialisasi subsitusi barang impor?
2. Apa permasalahan dalam industrialisasi subsitusi barang impor?
3. Bagaimana perdagangan bebas sejak 1985?
4. Bagaimana perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di Asia?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui industrialisasi subsitusi barang impor.
2. Untuk mengetahui permasalahan dalam industrialisasi subsitusi barang impor.
3. Untuk mengetahui perdagangan bebas yang ada sejak 1985.
4. Untuk mengetahui perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di Asia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Industrialisasi Substitusi Barang Impor


Industrialisasi substitusi impor (ISI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi
yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam
negeri. ISI didasarkan pada anggapan bahwa sebuah negara harus mengurangi
ketergantungannya pada negara asing dengan mengembangkan produk industri dalam
negerinya.

Kebijakan ISI diterapkan oleh negara-negara di belahan bumi selatan dengan


tujuan merintis pembangunan dan kemandirian melalui pembentukan pasar dalam
negeri. ISI beroperasi dengan membiarkan negara memimpin pembangunan ekonomi
lewat nasionalisasi, subsidisasi industri penting (termasuk pertanian, pembangkit listrik,
dan lain-lain), kenaikan pajak, dan kebijakan perdagangan yang sangat proteksionis.
Industrialisasi substitusi impor perlahan ditinggalkan oleh negara-negara berkembang
pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai bagian dari program penyesuaian struktural
IMF dan Bank Dunia, kedua institusi tersebut mengupayakan liberalisasi pasar global
di belahan bumi selatan.

Kendati para penganut teori ISI dan strukturalisme Amerika Latin beragam dan
berasal dari berbagai mazhab ekonomi, ISI dan strukturalisme Amerika Latin beserta
para penganut teori yang mengembangkan kerangka ekonominiya sama-sama yakin
bahwa pembangunan ekonomi harus dipimpin negara dan direncanakan secara terpusat.
Dalam hal industrialisasi yang didorong belanja pemerintah atas dasar argumen industri
kecil, pendekatan ISI dan strukturalisme Amerika Latin sangat dipengaruhi oleh aliran
Keynesian, komunitarian, dan sosialis. ISI sering dikaitkan dengan teori
ketergantungan, tetapi teori ketergantungan menggunakan kerangka Marxis yang lebih
luas untuk memahami asal-usul keterbelakangan dengan mengamati dampak sejarah
dari kolonialisme, Eurosentrisme, dan neoliberalisme.

Kebijakan substitusi impor (import substitution) adalah kebijakan memproduksidi


5
dalam negeri terhadap barang-barang yang tadinya diimpor. Kebijakan ini paling sering
ditempuh pada tahap awal pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan industri.
Ada beberapa manfaat positif yang diperoleh dan kebijakan substitusi impor,antara lain:

1. Mengurangi ketergantungan pada impor.

Terutama untuk barang-barangkebutuhan pokok atau yang menghasilkan produk antara.

2. Memperkuat sektor industri.

Pengembangan sektor industri diperlukan untuk memperkuat perekonomian. Salah satu


jalan untuk mempercepat pembangunan industri adalah SI, di mana pemerintah
memberikan fasilitas yang memperbesar minat dan kemampuan swasta u ntuk
berinvestasi. Industri-industri yang dibangun berdasarkan kebijakan SI pada tahap
awaln umumnya adalah yang bersifat padatkarya dan atau berteknologi rendah. Sebab
industri tersebut relatif sesuai dengankualitas SDM di NSB, industri-industri tersebut
dapat menghasilkankeunggulan komparatif.

3. Memperluas kesempatan kerja.

Bertumbuhnya sektor industri juga dapatmemperluas kesempatan kerja, dengan


demikian tenaga kerja yang melimpah disektor pertanian akan diserap oleh sektor
industri tanpa mengurangi output sektor pertanian.

4. . Menghemat devisa.

Penghematan devisa berarti memperbaiki neraca pembayaran, perbaikan neraca


pembayaran umumnya dilihat dan surplus neraca perdagangan atau menurunnya defisit
neraca perdagangan, karena impor makin mengecil atau dapat juga dilihat dalam neraca
modal, dimana modal masuk lebih besar daripada modal keluar. Perbaikan neraca
pembayaran ini akan memberikan efek multiplikasi perekonomian domestik, sekaligus
memperbaiki posisi diperekonomian dunia.

Disamping manfaat-manfaat tersebut, ISI juga memilki keterbatasan-


keterbatasan,antara lain:

6
1.Menguntungkan perusahaan asing .

Perusahaan asing yang menanamkan modal disektor industri substitusi impor akan
memperoleh keuntungan, karena memperoleh proteksi di balik benteng tarif dan
memperoleh fasilitas keringanan pajak, serta insentif penanaman modal.

2. Pasar domestik cepat jenuh.

Titik lemah dari kebijakan SI bukanlah pada aspekpenawaran, melainkan aspek


permintaan, rendahnya pendapatan per kapita penduduk NSB menyebabkan
permintaan domestik akan produk-produk industri amat kecil. Artinya, skala pasar
domestik relatif kecil sehingga cepat jenuh.

3.Memunculkan atau memperkuat gejala monopoli dan atau oligopoli.

Kecilnya skala pasar domestik menyebabkan para investor meminta jaminan kepastian
pasar agar skala jual produksi mereka mencapai tingkat efisiensi ekonomis, bahkan
dapat memberikan keuntungan supernormal ( supernormal profit ). Hal ini menjadi
salah satu alasan mengapa para investor menuntut hak monopoli (legal) atau
pembatasan jumlah produsen berdasarkan ketentuan hukum. Tidak heran bila struktur
industri di NSB umumnya monopoli atau oligopoli yang berdasarkan kekuatan hukum.

4. Ketergantungan yang makin besar terhadap impor.

Yang menjadi persoalan besar dalam kebijakan SI adalah tidak tersedianya industri
pendukung, misalnya yangdapat menyediakan mesin-mesin dan bahan-bahan baku.
Akibatnya kebijakan SI justru menimbulkan ketergantungan baru terhadap impor.
Impor bahan baku dan barang modal justru meningkat jika target pertumbuhan output
industri atauekononii ditingkatkan.

2.2 Permasalahan dalam Industrialisasi Substitusi Barang Impor


Kementerian Perindustrian sedang mempersiapkan peta kebijakan subsitusi impor.
Dalam siaran pers 29 Juli 2020, kementerian ini berencana mengurangi impor dan
menggantinya dengan produk dalam negeri sampai 35 persen di sejumlah sektor
industri pada 2022. Caranya, antara lain, dengan menaikkan tarif impor dan hambatan

7
non-tarif untuk sejumlah komoditas strategis. Berdasarkan temuan sejumlah studi
ekonomi, rencana substitusi impor ini bukan gagasan dan kebijakan yang tepat guna
memperkuat industri dan perekonomian Indonesia.

Strategi substitusi impor itu sendiri bukan hal baru, sejarah perekonomian
(misalnya Patunru, Pangestu, dan Basri, 2018), Indonesia sudah mencoba strategi ini
pada awal 1970-an sampai pertengahan 1980-an, bersamaan dengan melimpahnya
penerimaan ekspor minyak. Krisis 1980-an akibat anjloknya harga minyak sementara
daya saing industri tetap belum memadai memaksa pemerintah berbalik arah,
mengambil langkah deregulasi dan kebijakan promosi ekspor. Pada pertengahan 1990-
an, saat perekonomian sudah membaik, substitusi impor bercampur korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), berkedok nasionalisme ekonomi, kembali merebak. Praktik
inefisiensi ini berperan besar dalam krisis 1997-1998, memaksa pemerintah kembali
melakukan deregulasi untuk kebijakan perdagangan dan industri yang lebih terbuka.
Namun, lagi-lagi setelah ekonomi pulih, sejak 2000-an, proteksionisme kembali
merangkak ke arena kebijakan, terakhir dengan rencana substitusi impor oleh
Kemenperin ini.

2.2.1 Strategi Subtitusi Impor

Pertama, substitusi impor pada praktiknya sulit dilakukan bahkan sejak tahap
desain. Hal ini hampir tak mungkin bisa menentukan berapa kenaikan tarif impor
optimal yang harus dikenakan untuk melindungi industri dalam negeri sampai mampu
bersaing di pasar dunia. Pasalnya, mustahil meramalkan harga barang dalam jangka

8
panjang di masa depan, di pasar dunia yang kian kompetitif, di tengah kemajuan
teknologi yang dengan cepat menurunkan biaya produksi dan sering kali disruptif.

Dengan ini besaran kenaikan tarif impor yang didesain dengan patokan ramalan
harga dunia yang dibuat hari ini tak akan pernah efektif untuk mencapai sasaran tingkat
daya saing yang diharapkan pada waktunya nanti. Industri dalam negeri akan terus
menerus menjadi infant industry, hidupnya bergantung pada proteksi pemerintah.

Kedua, kebijakan substitusi impor didasari pandangan yang mengecilkan peran


impor dalam proses industrialisasi. Bahkan salah satu ekonom dan intelektual
terkemuka telah simpatik dengan peran aktif pemerintah dalam pembangunan, dalam
bukunya yang terkenal, The Strategy of Economic Development (1958), dengan
mengamati pendukung pembatasan impor enggan mengakui peran penting impor untuk
giatkan industrialisasi.

2.3 Perdagangan Bebas Sejak 1985


Pada tahun 1970 indeks keterbukaan Indonesia sebesar 28 meningkat tajam
menjadi 98 pada tahun 1998 (Makin, 2002). Artinya, dalam waktu 28 tahun Indonesia
semakin aktif dalam percaturan ekonomi global. Ini tidak lepas dari strategi
industrialisasi berorientasi ekspor yang dimulai sejak tahun 1985 yang diikuti oleh
meningkatnya impor barang modal dan bahan baku. Keterbukaan dalam periode
tersebut secara implisit mengisyaratkan bahwa Indonesia menjadi tempat relokasi
industri perusahaan-perusahaan asing yang memproduksi barang-barang berorientasi
ekspor, namun sebagian besar bahan baku, barang modal, dan teknologi diimpor.

Sementara negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Jepang ternyata


indeks keterbukaannya relatif rendah, lain kata mereka termasuk negara-negara yang
kurang terbuka. Menariknya Jepang yang pada tahun 1970 indeks keterbukaannya 20,
ternyata pada tahun 1998 tidak banyak perubahan hanya meningkat menjadi 21. Artinya,
aktivitas ekonomi Jepang lebih banyak mengandalkan sumberdaya domestik termasuk
cenderung lebih banyak mengkonsumsi output sendiri. Demikian halnya AS, besarnya
indeks keterbukaan untuk tahun 1998 hanya 26. Fenomena dua perekonomian adidaya

9
seperti ini menggambarkan bahwa perekonomian mereka tidak tergantung pada pihak
luar, dalam arti sebagian besar kinerja makroekonominya bertumpu pada utilisasi
potensi domestik. Namun demikian bukan berarti mereka kurang berperan dalam peta
makroekonomi global, karena secara absolut beberapa jenis output Jepang dan AS
terutama yang bermuatan teknologi, menguasai pasar dunia. Bahkan, kebijakan
makroekonomi mereka secara langsung dapat mempengaruhi fluktuasi output dunia.

Jika ditelusuri ke belakang terkait dengan pemikiran idealisme perdagangan bebas,


pada abad 18 Adam Smith telah menegaskan keunggulan dari perdagangan antar negara
yang bersedia menghilangkan berbagai hambatan baik tarif maupun non tarif. Smith
melansir bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan efisiensi ekonomi dunia dan
kesejahteraan masyarakat dunia, karena keterbukaan mendorong persaingan,
meningkatnya efisiensi produksi, nilai tambah dan rendahnya harga. Dari kemunculan
ide perdagangan bebas Smith ini, dunia telah mengalami fluktuasi implementasi
perdagangan bebas. Pada abad 19 dunia sudah berada dalam rezim perdagangan bebas,
bahkan globalisasi ekonomi. Dunia yang berintegrasi hingga akhir abad 19
menunjukkan kemiripan dengan keadaan dunia saat ini, dimana globalisasi banyak
diperdebatkan. Ahli ekonomi yang telah mencoba untuk menemukan dasar statistik
bagi perbandingan antara era pertama globalisasi dan era masa kini seringkali terkejut
dengan adanya kemiripan ini, bahkan volume arus modal seratus tahun yang lalu relatif
lebih besar dibandingkan saat ini (James, 2000).

Namun dari sejak awal, pertumbuhan integrasi telah menimbulkan kekhawatiran


dan menyebabkan kebutuhan akan kontrol. Ketika negaranegara mulai terbuka,
mereka mulai memperkenalkan kebijakan kesejahteraan yang didisain untuk mengganti
kerugian penduduk yang terkena dampak perubahan. Mulai pada akhir 1870-an
semakin banyak negara yang memberlakukan tarif protektif. Selama dekade akhir abad
itu, perilaku terhadap migrasi menjadi bertambah buruk dan kebijakan semakin ketat
(James, 2000). Masing-masing negara merasa harus melindungi pasarnya, sumberdaya,
dan perekonomiannya.

10
Namun ternyata, ketika efisiensi domestik tercapai dan untuk mencapai skala
ekonomi perlu perluasan pasar, keinginan untuk mengurangi hambatan di setiap negara
menjadi kebutuhan mendesak. Diawali dengan terbentuknya GATT pada tahun 1947
yang terus mengalami perluasan, akhirnya saat ini globalisasi ekonomi dimana aktivitas
terbesar di dalamnya adalah perdagangan bebas merupakan sesuatu yang sedang
dijalani umat manusia di bumi ini. Disadari atau tidak hampir semua masyarakat dunia
terlibat di dalamnya terutama dalam konsumsi produk yang tidak dihasilkannya sendiri.

2.4 Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Asia


Globalisasi hadir membawapeluang sekaligus tantangan bagi
perekonomian di dunia (Fitriani et al., 2021).Di tengah pesatnya kemajuan
pengetahuan dan teknologi yang mendorong sistem perekonomian menjadi
lebih terbuka dan bebas hambatan, seluruh negara saling
berkompetisi demi meraup keuntungan dari liberalisasiperdagangan yang
ada. Dengan perekonomian terbuka, hubungan transaksional antar negara
menjadi lebih mudah sehingga meningkatkan volume perdagangan serta
memperlancar arus barang dan jasa(Wahyudi & Ayunindien, 2022). Melihat
pentingnya liberalisasiperdagangan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi membuat beberapa organisasi ekonomi internasionalseperti
World Trade Organization, International Monetary Fund, dan World
Bank terus mengarahkan percepatan liberalisasiperdagangan khususnya di
negara berkembang (Tahir & Azid, 2015). Bagi beberapa negara hal ini merupakan
peluang besar untuk menguasai perekonomian dunia. Namun bagi negara lainnya hal
ini merupakan tantangan dalam mempertahankan ekonominyadi tengah gempuran
perekonomian internasional.

Liberalisasi perdagangan menggambarkan transaksi ekonomi di lingkup


internasional. OECD (2011)mendefinisikan liberalisasi perdagangan sebagai rasio
perdagangan terhadap GDP yang digunakan untuk mengukur pentingnya
transaksi internasional relatif terhadap transaksi domestik. Secara sederhana liberalisasi
perdagangan dihitung dengan menjumlahkan ekspor dan impor barang jasa relative

11
terhadap GDP. Sebagaimana namanya, liberalisasi perdagangan mengukur tingkat
liberalisasi suatu negara terhadap perdagangan internasional. Teori pertumbuhan
ekonomi modern memandang liberalisasi perdagangan sebagai salah satu faktor
pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.Menurut Zeren & Ari (2013), negara
yang melakukan perdagangan internasional dalam bentuk impor dan ekspor secara
intensif memiliki keunggulan komparatif yang meningkatkan produksi
berkelanjutan. Oleh karena itu berbagai negara membuat kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan transaksi internasional (Diouf & Hai, 2017).

Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran pendapatan nasional yang


diperoleh melalui produksi agregat dan diproksikan dengan Gross Domestic
Product(GDP). Simon Kuznet memaknai pertumbuhan ekonomi sebagai proses
peningkatan kapasitas produksi suatu negara dalam menyediakan berbagai
jenis barang ekonomi dalam jangka panjang(Todaro, 2000). Sedangkan Sukirno
(2013)memandang pertumbuhan ekonomi dalam bentuk perkembangan
kegiatan perekonomian yang meningkatkan produksi barang dan jasa
sekaligus meningkatkan kemakmuran masyarakat. Peningkatan pertumbuhan
ekonomi terjadi dalam hal GDP pada suatu periode lebih besar daripada periode
sebelumnya, dan begitupun sebaliknya. Sebagai salah satu tolok ukur
perekonomian negara, GDP memberikan gambaran atas perekonomian yang
telah dicapai suatu negara sekaligus memberikan prediksi akan perekonomian negara
tersebut di masa depan. Oleh karena itu, setiap negara menghendaki pertumbuhan
ekonomi yang terus meningkat setiap tahunnya. Dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi umumnya digunakan instrumen kebijakan fiskal. Sesuai
dengan teori hubungan pertumbuhan ekonomi dan perpajakan yang dikemukakan oleh
Peacock dan Wiseman (dalam Pratama & Widyastuti, 2022),pertumbuhan ekonomi
akan meningkatkan penerimaan pajak meskipun tarif pajak tidak berubah.Setyowati&
Inriama (2020) mengungkapkan pengaruh positif dan signifikan pertumbuhan
ekonomiterdapat penerimaan perpajakan. Hal ini berarti peningkatan pertumbuhan
ekonomi akan menyebabkan peningkatan penerimaan pajakdan begitupun sebaliknya.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Industrialisasi substitusi impor (ISI) adalah kebijakan perdagangan dan
ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi
dalam negeri. ISI didasarkan pada anggapan bahwa sebuah negara harus mengurangi
ketergantungannya pada negara asing dengan mengembangkan produk industri dalam
negerinya. Strategi substitusi impor itu sendiri bukan hal baru, sejarah perekonomian
(misalnya Patunru, Pangestu, dan Basri, 2018), Indonesia sudah mencoba strategi ini
pada awal 1970-an sampai pertengahan 1980-an, bersamaan dengan melimpahnya
penerimaan ekspor minyak. Krisis 1980-an akibat anjloknya harga minyak sementara
daya saing industri tetap belum memadai memaksa pemerintah berbalik arah,
mengambil langkah deregulasi dan kebijakan promosi ekspor.

Strategi industrialisasi berorientasi ekspor yang dimulai sejak tahun 1985 yang
diikuti oleh meningkatnya impor barang modal dan bahan baku. Keterbukaan dalam
periode tersebut secara implisit mengisyaratkan bahwa Indonesia menjadi tempat
relokasi industri perusahaan-perusahaan asing yang memproduksi barang-barang
berorientasi ekspor, namun sebagian besar bahan baku, barang modal, dan teknologi
diimpor. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran pendapatan nasional
yang diperoleh melalui produksi agregat dan diproksikan dengan Gross
Domestic Product(GDP). Simon Kuznet memaknai pertumbuhan ekonomi
sebagai proses peningkatan kapasitas produksi suatu negara dalam
menyediakan berbagai jenis barang ekonomi dalam jangka
panjang(Todaro, 2000). Sedangkan Sukirno (2013)memandang pertumbuhan
ekonomi dalam bentuk perkembangan kegiatan perekonomian yang
meningkatkan produksi barang dan jasa sekaligus meningkatkan
kemakmuran masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Shidiq,Akhmad Rizal. 2020. Problem Substitusi Impor. Kompas.id


https://www.kompas.id/baca/opini/2020/08/28/problem-substitusi-impor

Dewi, I. R., & Wijaya, S. (2023). Liberalisasi Perdagangan, Penanaman

Modal Asing, Dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak Pada

Emerging Asia Dengan Moderasi Pertumbuhan Ekonomi. Jurnalku, 3(2),

203-221..
https://jurnalku.org/index.php/jurnalku/article/view/467

Dariah, A. R. (2005). Perdagangan Bebas: Idealisme Dan

Realitas. MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 21(1), 115-126.


https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/167

14

Anda mungkin juga menyukai