Puji syukur kami ucapakan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul “Industrialisasi dan
Strateginya”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Erni Febrina
Harahap, S.E, M.Si. yang telah memberikan tugas terhadap kami sehingga kami mendapatkan
pengetahuan baru. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut
membantu dalam pembuatan makalah. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum
sempurna karena adanya keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki.
Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan
senang hati. Kami berharap semoga makalah ini dapat membawa pemahaman dan pengetahuan
bagi kita semua.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari proses revolusi
industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris dengan penemuan metode baru untuk
pemintalan dan penenunan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi dan peningkatan
produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, terjadi inovasi dan penemuan baru
dalam pengolahan besi dan mesin uap yang mendorong inovasi dalam pembuatan besi baja, kereta
api, kapal tenaga uap, dan sebagainya. Setelah itu, revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi.
Kemudian setelah Perang Dunia II, mulai muncul berbagai teknologi baru, seperti produksi
massal dengan menggunakan assembly line, tenaga listrik, kendaraan motor, penemuan berbagai
barang sintetis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, hio, komputer, dan penggunaan
robot. Perkembangan-perkembangan ini semua mengubal. pola dan meningkatkan volume
perdagangan dunia dan memacu proses industria- Isasi di dunia (Pengestu dan Aswicahyono,
1996).
BAB II
PEMBAHASAN
A. INDUSTRIALISASI
Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan
teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antarnegara yang pada akhirnya
sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan mendorong perubahan
struktur ekonomi. Dapat dikatakan bahwa progres teknologi dan inovasi adalah
dua faktor penting yang merubah struktur ekonomi suatu negara dari sisi
penawaran agregat (produksi); sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat
yang mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur
ekonomi dari sisi permintaan agregat.
Industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi bagi
kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, industrialisasi
bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu
strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi.
guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992).
Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periodie industrialisasi
merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini
diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri-
manufaktu dalarn permintaan konsumen, produksi, ekspor, dan kesempatan kerja
(Chenery, 1992.)
B. STRATEGI
Dalam melaksanakan industrialisasi ada dua pilihan strategi yaitu strategi
substitusi impor (SI) atau strategi promosi ekspor (PE), Strategi pertama sering
juga disebut dengan inward- looking sedangkan strategi kedua outwvard-
looking. Strategi SI lebih menekankan pada pengembangan industri yang
berorientasi kepada pasar domestik. SI adalah industri domestic yang membuat
barang-barang yang menggantikan impor, sedangkan strategi PE lebih
berorientasi ke pasar internasional dalam pengembangan industri di dalam
negeri. Jadi, berbeda dengan strategi SI, dalam strategi PE tidak ada diskriminasi
dalam pemberian insentif dan fasilitas-fasilitas pengembangan kemudahan
lainnya dari pemerintah, baik untuk industri yang berorientasi kepada domestik
maupun industri yang berorientasi ke pasar ekspor.
Strategi SI dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi.
yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang
memproduksi barang-barang pengganti impor, Strategi PE dilandasi oleh
pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa
direalisasikan jika produk-produk yang dibuat di dalam negeri dijual di pasar
ekspor.
a. Strategi SI
Hampir semua negara berkembang memulai industrialisasi dengan strategi SI,
terutama di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Ada
negara-negara yang menerapkan strategi hanya pada awal industrialisasi mereka
(jangka waktunya pendek), dan setelah itu beralih ke strategi PE, misalnya Korea
Selatan dan Taiwan. Ada juga negara, seperti Indonesia, yang menerapkannya
sepanjang proses industrialisasinya, walaupun sejak pertengahan dekade 1980-
an strategi tersebut dikombinasikan dengan strategi PE.
Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini
terutama adalah sebagai berikut.
1. Sumber daya alam (Seperti bahan baku) dan faktor produksi (terutama
tenaga kerja) cukup tersedia di dalam negeri sehingga secara teoretis,
biaya produksi untuk intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi
tersebut yang tinggi tinggi dapat menjadi rendah.
2. Potensi permintaan di dalam negeri yang memadai.
3. Untuk mendorong perkembangan sektor industri manufaktur di dalam
negeri.
4. Dengan berkembangnya industry di dalam negeri, maka kesempatan
kerja diharapkan terbuka lebih luas.
5. Dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor, yang berarti juga
mengurangi deficit saldo neraca perdagangan dan menghambat cadangan
devisa.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam strategi SI, industry-
industri dalam negeri yang dikembangkan adalah yang memproduksi
barang-barang yang sebelumnya di impor untuk pasaran dalam negeri.
Oleh karena itu, impor dikurang atau dilarang sama sekali. Pelaksanaan
strategi Sl terdiri atas dua tahap. Dalam tahap pertama, industri yang
dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang konsumsi,
walaupun tidak semuanya durable goods (seperti kendaraan bermotor,
kulkas, televisi, dan alat pendingin). Untuk membuat barang-barang
tersebut diperlukan barang modal, input perantara, dan bahan baku yang
di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak tersedia sehingga
tetap harus impor. Dalam tahap kedua, industri yang dikembangkan
adalah industri hulu (upstream industries).
Perbedaan antara tahap pertama dan tahap kedua adalah bahwa
tahap pertama telah terbukti jauh lebih mudah dilakukan. Akan tetapi,
dalam transisi ke tahap kedua banyak negara menghadapi kesulitan.
Dalam benyak kasus, industri yang dikembangkan itu menjadi high-cost
industry. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Pertama, karena
proses substitusi impor terhadap barang modal dan impor perantara
cenderung lebih padat modal dibandingkan proses substitusti impor
terhadap barang konsumsi. Kedua, proses produksi di industri hulu
mengandung skala ekonomi dan sangat sensitif terhadap faktor efisiensi
di dalam sistem organisasi, penggunaa teknologi, dan metode produksi.
Suatu proses produksi di dalam suatu industri dengan ukuran pabrik yang
efisien relatif lebih besar dibandingkan besarnya pasar dalam negeri. Di
samping itu, organisasi dan teknikal yang tidak efisien akan
menimbulkan biaya tinggi.
Pada waktu yang sama, seperti yang diperlihatkan oleh banyak
studi, cadangan devisa cenderung sedikit karena kebutuhan untuk impor
material dan mesin biasanya lebih besar dibandingkan kebutuhan untuk
impor yang sama dalam tahap pertama dari strategi Sl.
Baik dalam tahap pertama maupun tahap kedua, strategi ini
dilakukan dengan tingkat proteksi yang tinggi terhadap sektor industri
manufaktur dalam negeri pengawasan-pengawasan langsung terhadap
impor (seperti kuota dan skim lisens impor) dan investasi, dan ketentuan-
ketentuan administrasi. Dalam strategi ini, nilai tukar mata uang nasional
terhadap mata uang asing (misalnya dolar AS) cenderung overvalued,
yang tujuannya adalah untuk menurunkan biaya impor bahan baku, mesin
dan input lainnya untuk keperluan produksi di dalam negeri. Diskriminasi
dalam pemakaian tarif, kuota, lisensi investasi, subsidi pajak, dan kredit
juga merupakan karakteristik-karakteristik penting dari strategi SI.
Di antara instrumen-instrumen proteksi tersebut, tarif terhadap
impor merupakan instrumen paling penting dari kebijakan proteksi yang
umum digunakan oleh negara-negara berkembang. " Berapa besar
sebenarnya tingkat proteksi yang diberikan kepada suatu industri dapat
dilihat pada struktur tarif yang menentukan tarif efektifnya. Stuktur tarif
terdiri atas tarif terhadap output, yang disebut tarif nominal, dan tarif
terhadap input-input yang diimpor untuk membuat output tersebut,
seperti bahan baku, barang modal, dan input perantara. Jadi, sebenarnya
proteksi terhadap suatu industri tidak hanya dalam bentuk tarif bea masuk
terhadap barang jadi yang sama dari luar negeri (competing import),
tetapi juga tarif-tarif yang dibebankan pada input-input-nya yang di
impor. Oleh karena itu, tarif efektif atau effective rate of protection (ERP)
tidak sama dengan tarif yang sebenarnya yang dibayar oleh konsumen di
dalam negeri (tarif nominal).
Seperti pengalaman di banyak negara berkembang lainnya, pada
awal proses industrialisasi di Indonesia (awal pemerintahan orde baru),
strategi yang diterapkan oleh pemerintah pada waktu itu adalah strategi
SI dengan mengenakan bea atau tarif mastik yang tinggi terhadap barang-
barang impor. Sudah cukup banyak studi mengenai strategi SI atau
kebijakan proteksi di Indonesia.
Tingkat proteksi yang bervariasi antar kelompok industri dapat
dijelaskan dengan sejumlah teori. Basri dan Hill (1996) telah melakukan
suatu survei literatur mengenai teori-teori yang mencoba menerangkan
struktur proteksi. Hasil survei mereka menunjukkan bahwa ada tiga
model yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa tingkat
proteksi berbeda antarkelompok industri, yakni the adding machine
model, the interest group model, dan the national interest model, Model
pertama menjelaskan bahwa pemerintah berusaha memaksimalkan
kemungkinan untuk dipilih kembali. Untuk mencapai tujuan politik
tersebut, pemerintah akan memberi proteksi lebih kuat kepada industri
yang padat karya karena industri tersebut memiliki suatu potensi calon
pemilih yang besar (tentu dengan asumnsi bahwa semua tenaga kerja di
industri itu punya hak pilih). Dasar pemikiran dari model kedua adalah
bahwa besarnya tarif protekei terhadap suat industri adalah hasil dari
tekanan-tekanan kelompok-kelompok tertentu (interest group;, seperti
pemilik industri, distributor pemilik modal, dan pihak-pihak lain yang
sangat berkepentingan agar industri tersebu dapat berkembang atau
survive. Bila permintaan proteksi dikabulkan pemerintah, maka mereka
akan memberi hak pilih miereka yang menguntungkan pemerintah di
dalan pemilihan umum berikutnya. Sedangkan asumsi dari model ketiga
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah mempunyai suatu policy
preference tertentu yang secare normatif konsisten dengan kepentingan
negara/ bangsa, misalnya peningkatan kesempatan kerja, pembangunan
sektor industri manufaktur yang kuat pengembangan teknologi,
peningkatan ekspor nonmigas, dan lain-lain. Preferens kebijakan ini
tercerminkan pada tingkat proteksi yang diberikan kepada industri atau
sektor tertentu.
b. Strategi SI Berhasil di Indonesia?
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menunjukkan bahwa
ternyata sektor industri manufaktur nasional tidak berkembang baik.
Memang, laju pertumbuhan output-nya rata-rata per tahun cukup tinggi,
namun sektor tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya untuk
barang modal, input perantara, dan bahan baku. Padahal, tujuan
kebijakan substitusi impor antara lain untuk mengurangi ketergantungan
terhadap impor barang-barang tersebut. Sementara, ekspor manufaktur
Indonesia belum berkembang baik. Hal ini menimbulkan keraguan
mengenai efektivitas dari strategi SI yang diterapkan pemerintah selama
periode orde baru. Strategi tersebut tentu tidak salah, tetapi
pertanyaannya adalah apakah perlu dengan memproteksi industri dalam
negeri secara berlebihan dan dalam periode yang lama.?
Banyak studi yang berpendapat bahwa strategi SI memberi lebih
banyak efek negatif daripada efek positif terhadap negara yang
menerapkannya, walaupun diakui bahwa strategi tersebut berhasil dalam
mengakselerasi proses industrialisasi. Pokok pokok utama dari kritik
mengenai strategi SI adalah bahwa porteksi yang diberikan terlalu
berlebihan (tarif yang dikenakan terhadap competing imported goods
terlalu tinggi dan jangka waktunya terlalu lama). Proteksi, di satu pihak,
memang diperlukan pada tahap awal. proses pengembangan industri
dalam negeri. Argumen yang sering ditonjolkan untuk memperkenankan
proteksi adalah infant industry argument. perlindungan terhadap industri
dalam negeri yang baru tumbuh. Akan tetapi, proteksi yang tinggi tidak
hanya mengakibatkan alokasi dari sumber daya-sumber daya produksi
tidak efisien karena distorsi yang ditimbulkan di pasar output dan pasar
input, tetapi juga dapat membuat industri yang dilindungi menjadi tidak
efisien dan pada akhirnya tingkat daya saing globalnya, baik di pasar
ekspor mupun pasar domestik, terhadap produk-produk impor rendah.
Seperti juga di banyak negara berkembang lainnya, pengalaman
Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan proteksi yang berlebihan,
terutama pada dekade 1970-an hingga awal dekade 1980-an, telah
mengakibatkan high cost economy. Konsekuensi dari ini adalah bahwa
banyak industri yang tidak efisien beroperasi di negara-negara yang
menerapkan strategi tersebut, termasuk Indonesia, dan industri-industri
tersebut cenderung memakai kapital dan devisa berlebihan yang
sebenarnya sudah sangat langka di negara-negara tersebut.
Lebih penting lagi, karena teknologi yang digunakan relatif lebih padat
modal, maka kontribusi dari tipe industrialisasi ini terhadap pertumbuhan
kesempatan kerja tetap kecil. Hal ini tentu menimbulkan suatu masalah
pengangguran yang besar di negara-negara dengan laju pertumbuhan
populasi yang tinggi.
Strategi SI juga lebih mendepankan pengembangan industri-
industri skala besar yang padat modal, kebanyakan dalam bentuk joint
venture dengan perusahaan-perusahaan besar asing. Pola industrialisasi
seperti ini menimbulkan atau memperbesar ketimpangan dalam distribusi
pendapatan dan ketidakseimbangan pembangunan ekonomi antara
daerah perkotaan dan daerah pedesaan dalam proses pembangunan.
Pengalaman di banyak negara berkembang menunjukkan bahwa strategi
SI sangat berdampak negatif terhadap neraca pembayaran karena
industri-industri substitusi impor di dalan negeri sangat tergantung pada
impor bahan baku, barang modal, input perantara, dan material lainnya.
Sebelumnya telah dibahas beberapa pertimbangan yang lazim digunakan
dalam memilih strategi SI. Akan tetapi, dibalik pertimbangan-
pertimbangan tersebut ada sejumlah kelemahan, dan mungkin ini dapat
menjelaskan kegagalan strategi tersebut di Indonesia. Hasibuan (1993)
mencoba menjelaskannya sebagai berikut.
1. Bahan baku dan tenaga kerja yang tersedia bukan yang siap
digunakan. Hal ini dapat menimbulkan eksternal diseconomies.
Sumber-sumber ekonomi tersebut belum tentu memiliki kualitas
yang baik. Sebagai contoh, Indonesia dengan jumlah penduduk lebih
dari 200 juta jiwa tentu secara potensial dapat menyediakan tenaga
kerja dalam jumlah yang besar (berbeda dengan misalnya Singapura
atau Taiwan); Akan tetapi, data BPS terakhir menunjukkan bahwa
sebagian besar angkatan/ tenaga kerja di Indonesia masih
berpendidikan rendah. Oleh karena itu, kualitas tenaga kerja perlu
ditingkatkan terlebih dahulu dan ini memerlukan biaya yang tidak
kecil dan strategi tersendiri. Tidak semua negara berkembang,
termasuk Indonesia, sanggup menangani masalah ini. Terbukti,
sistem pendidikan di tanah air hingga saat ini belum mampu
memenuhi kebutuhan dunia usaha akan tenaga-tenaga ahli tertentu.
2. Karena pasar yang dilayani oleh produsen dalam negeri adalah
domestik tanpa ada persaingan dari barang-barang impor, maka
setiap produk yang dihasilkan tidak dikaitkan dengan kemampuan
bersaing di pasar internasional. Tidak mengherankan kalau tingkat
daya saing global dari barang-barang Indonesia masih sangat rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara
yang menerapkan strategi PE sejak lama, seperti NICs.
3. Belum tentu tingkat ketergantungan terhadap impor menjadi rendah
dengan penerapan strategi SI. Pengalaman di Indonesia menunjukkan
bahwa untuk membuat barang-barang konsumsi memerlukan
komponen, spare parts, bahan baku, mesin, dan alat-alat produksi
yang semuanya masih harus diimpor, sementara kebutuhan untuk
mengimpor barang-barang konsumsi tidak akan segera dihapuskan
atau dihilangkan sama sekali. Akibatnya, selama dekade 1970-an
hingga krisis ekonomi terjadi, impor Indonesia tidak pernah
menunjukkan growth trend yang negatif, melainkan terus bertambah
setiap tahun yang membuat Indonesia selalu kekurangan cadangan
devisa. Di sisi lain, hasil dari ekspor belum bisa diandalkan sebagai
sumber utama pemasukan devisa karena kinerjanya belum begitu
baik.
4. Diharapkan kesempatan kerja akan berkembang dengan luas. Akan
tetapi, ini tentu tergantung pada teknologi yang digunakan dalam
proses produksi. Kalau teknologi padat karya yang dipilih, harus
diperhatikan jangan sampai mengorbankan tingkat efisiensi,
produktivitas, dan daya saing.
5. Nilai tambah pada umumnya dapat ditingkatkan, tetapi di pihak lain
beberapa industri dapat mempunyai nilai tambah yang negatif bila
dibandingkan dengan nilai tambah dari industri yang sama di pasar
internasional.
6. Tingkat proteksi yang tinggi cenderung membentuk sikap
keangkuhan produsen dalam negeri. Artinya, struktur pasar
didominasi oleh produsen (seller's market).
7. Walaupun potensi permintaan di pasar dalam negeri cukup besar,
tetapi masih ada hal-hal lain yang lebih menentukan apakah potensi
tersebut dapat terealisasi, yakni jenis barang apa dan berapa
jumlahnya yang diperlukan oleh konsumen dan dapat dibuat di dalam
negeri, dengan teknologi yang bagaimana yang dipakai untuk
memproduksi, untuk siapa, dan dengan politik harga yang
bagaimana.
c. Strategi PE
Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi SI,
badan-badan dunia (seperti IMF dan Bank Dunia) menganjurkan agar
negara-negara berkembang menerapkan strategi PE. Sesuai dengan teori
klasik mengenai perdagangan internasional, outward-oriented strategy
ini melibatkan pembangunan sektor industri manufaktur sesuai
keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan Dibandingkan
dengan strategi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam
pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola
dari keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar dari
strategi PE, menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia
lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam
penggunaan tarif, kuota, lisensi investasi, subsidi pajak dan kredit, dan
instrumen-instrumen lainnya yang sering diterapkan dalam strategi SI,
tidak cocok, digunakan dalam strategi PE. Ini tidak mengatakan bahwa
dalam strategi PE sama sekali tidak ada intervensi pemerintah. Dalam
prakteknya, banyak negara menerapkan strategi PE dengan
menghilangkan beberapa rintangan terhadap ekspor.
Keberhasilan strategi PE sering diilustrasikan dengan
pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara (seperti
Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong) hingga tingkat lebih
rendah, yakni pengalaman dari negara-negara di Amerika Latin (seperti
Brasil, Argentina, dan Meksiko).
Dari banyak studi mengenai keberhasilan dari negara-negara
tersebut, beberapa syarat penting yang diberikan agar penerapan strategi
tersebut membawa hasil yang baik adalah sebagai berikut.
1. Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang
sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang
bersangkutan, baik di pasar output maupun pasar input.
2. Tingkat proteksi dari impor harus rendah
3. Nilai tukar mata uang harus realistik, sepenuhnya merefleksikan
keterbatasan uang asing yang bersangkutan.
4. Lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan ekspor.