Anda di halaman 1dari 11

PEMBANGUNAN SEKTOR INDUSTRI

2.1 Konsep dan Tahap Industrialisasi

Industrialisasi dalam arti luas adalah sebagai suatu proses yang tidak terelakkan menuju
masyarakat industrial untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki suatu
masyarakat dalam upayanya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari waktu ke
waktu.

Konsep industrialisasi berawal dari proses revolusi industri pada pertengahan abad ke
18 di Inggris dengan penemuan metode baru untuk permintalan dan penemuan kapas yang
menciptakan spesialisasi dalam produksi dan peningkatan produktivitas dari faktor produksi
yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan penemuan baru dalam pengolahan besi dan mesin
uap mendorong inovasi dalam pembuatan, antara lain, besi baja, kereta api, dan kapal tenaga
uap. Setelah Perang Dunia ke dua, mulai muncul berbagai teknologi baru seperti produksi
massal dengan menggunakan assembly line, tenaga listrik kendaraan bermotor, penemuan
barang sintetis, dan revolusi telekomunikasi. Perkembangan ini semua mengubah pola dan
meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses indutrialisasi di dunia.

Kemajuaan teknologi menyebabkan menurunya biaya produksi dan


komunikasi/pemasaran. Perkembangan tersebut telah mendorong perdagangan antar negara
atau proses internasionalisasi produk barang dan jasa serta pemasaran dan penyalurannya.
Perubahan teknologi perancangan dan produksi juga telah menyebabkan siklus produksi
menjadi lebih pendek dan memungkinkan pembuatan lebih banyak jenis produk (product
differentiation).

Jadi industrialisasi merupakan satu proses interaksi antara perkembangan teknologi,


inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antar negara yang pada akhirnya sejalan dengan
meningkatnya pemdapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Dapat
dikatakan bahwa kemajuan teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang merubah
struktur ekonomi satu negara dari sisi produksi (penawaran agregat), sedangkan peningkatan
pendapatan masyarakat mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur
ekonomi dari sisi permintaan.

1
Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil,
industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu
strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna
mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi. Meskipun pelaksanaanya sangat
bervariasi antar negara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses
perubahan struktur ekonomi.

Rute industrialisasi telah menunjukkan bukti-bukti keberhasilan bagi negara-negara


industri maju. Melihat keberhasilan tersebut, banyak negara-negara berkembang termasuk
Indonesia mencoba menggunakan model-model pembangunan yang telah terbukti berhasil
diterapkan di negara-negara maju. Indonesia dikategorikan sebagai negara yang sudah
berada pada tahap industrialisasi. Selain peningkatan peran sektor industri dalam PDB,
menurut jenis industrinya, pola awal industrialisasi juga cenderung untuk mulai dengan
industri-industri tekstil, besi, besi baja, dan mesin perkakas yang menggunakan besi baja.

Tahap-tahap indusri menurut UNIDO (United Nations Industrial Development


Organization) adalah melalui beberapa tahap seperti terlihat pada tabel berikut :

Tahapan Kontribusi Nilai Tambah terhadap


PDB (%) SK (%)
Nonindustrialisasi < 10 <20
Menuju Proses Industrialisasi 10-20 20-40
Semi industrialisasi 20-30 40-60
Industrialisasi Penuh >30 >60
SK = sektor komoditas terdiri atas pertanian, pertambangan, industri, bangunan,
listrik, gas dan air minum
Sumber: Bank Dunia 1988, Seperti pada Hg.Suseno Triyanto Widodo,1996:60.

Dalam literatur dikenal ada empat tahapan industrialisasi. Pertama, tahap awal meliputi
barang konsumsi sehari-hari; nilai tambah rendah, teknologi sederhana. Kedua, tahap madya
merupakan manufacturing bahan bernilai tambah lebih tinggi ketimbang tahap awal. Ketiga,
tahap yang meliputi industri hulu, dasar, dan bernilai tambah tinggi dengan teknologi
mutakhir. Terakhir, tahap teknologi tinggi (high technology) meliputi industri canggih

2
berteknologi tinggi, seperti mikro elektronik, bio genetik, laser, robot, serta telekomunikasi
dan informatika.

2.2 Kebijaksanaan Industrialisasi

Sumitro Djojohadikusumo mengatakan ada tiga konsep pemikiran tentang


industrialisasi yang dilaksanakan di Indonesia. Pertama, industrialisasi yang didasarkan
pada keunggulan kompartif. Kedua, industrialisasi yang didasarkan pada keterikatan angtar
sektor hulu hilir. Ketiga, industrialisasi yang didasarkan pada wahana transformasi
berteknologi tinggi, seperti mikro elektronik, teknologi komputer, laser, robot,
telekomunikasi, dan informatika. Sektor industri menjadi sektor yang penting untuk
dikembangkan karena produk industrial selalu memiliki “dasar tukar” (term of trade) yang
lebih tinggi atau lebih menguntungkan serta memiliki nilai tambah yang lebih besar
disbanding produk sektor lain.

Dewasa ini Indonesia telah memasuki industrialisasi dengan teknologi tinggi. Meskipun
banyak cabang industri yang berkembang atas dasar keunggulan komparatif terhadap luar
negeri atau terhadap daerah lainnya di Indonesia (industrialisasi tahap pertama), dan cabang
industri yan berkembang berdasarkan atas keterkaitan hulu hilir, seperti misalnya industri
yang mengolah hasil-hasil pertanian (industri tahap kedua). Ketiga konsep pemikiran ini
dapat dipadukan untuk meningkatkan daya saing ekspor komoditas manufaktur luar negeri.

2.3 Strategi Pembangunan Sektor Industri


Dalam melaksanakan industrialisasi ada dua pilihan strategi, yakni strategi substitusi
impor dan strategi promosi ekspor (PE). Strategi substitusi impor lebih menekankan pada
pengembangan industri yang berorientasi kepada pasar domestik. Strategi substitusi impor
adalah industri domestik yang membuat barang-barang menggantikan impor. Strategi
promosi ekspor lebih berorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan
industri di dalam negeri. Kecenderungan utama di negara berkembang adalah upaya untuk
mempercepat pergeseran ke sektor industri manufaktur melalui proteksi dan substitusi impor
yang disubsidi. Namun, banyak negara yang menggunakan strategi yang berbeda, yakni

3
dengan mendorong industrinya untuk berdiri dan berkembang. Strategi ini disebut dengan
strategi promosi ekspor.
2.3.1 Strategi Industri Substitusi Impor
Hampir semua negara berkembang memulai industrialisasi dengan strategi
substitusi impor. Pelaksanaan strategi substitusi impor terdiri atas dua tahap. Dalam
tahap pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-
barang konsumsi, walaupun tidak semuanya durable goods (seperti kendaraan
bermotor, kulkas). Dalam tahap kedua, industri yang dikembangkan adalah industri
hulu (upstream industries). Untuk memungkinkan industri tumbuh besar, industri-
industri yang masih bayi (infant industri) ini biasanya sangat dilindungi oleh
pemerintah dari persaingan tak setara dari produk-produk impor.
Strategi yang protektif merupakan proses industrialisasi yang dijalankan melalui
kebijaksanaan proteksi yang berupa tarif dan non tarif untuk membatasi impor agar
industri dalam negeri yang bersaing dengan impor memperoleh perlindungan. Pada
dasarnya, banyak cabang industri yang ada, yakni yang masuk dan yang tidak masuk
pada perdagangan internasional (tradable dan non tradable). Yang termasuk dalam
cakupan strategi yang protektif ini hanyalah barang-barang tradable, dan ini tidak
semuanya, melainkan dipilih satu atau dua komoditas yang sangat penting dan banyak
diperlukan di dalam negeri sehingga memerlukan banyak devisa untuk
mengimpornya. Komoditas tersebut diproduksi di dalam negeri sebagai ganti dari
pada mengimpornya dari luar negeri. Oleh karena itu, strategi yang protektif ini juga
disebut strategi substitusi impor. Agar perusahaan baru dapat berkembang dengan
baik, pemerintah memberikan perlindungan (proteksi) dari persaingan perusahaan
luar negeri melalui tarif impor yang relatif tinggi, pembebasan/keringanan bea masuk
untuk bahan dasar dan barang modal, kemudahan untuk menggunakan tenaga asing,
pembebasan/keringanan pajak perusahaan, dan/atau perlindungan non tarif seperti
pembatasan jumlah barang yang boleh diimpor (kouta) atau pembatasan lainnya.
Alasan untuk memilih strategi industrialisasi yang protektif ialah sangat
diperlukan masyarakat dan membutuhkan devisa yang besar untuk mengimpornya,
adalah untuk menciptakan kesempatan kerja. Dengan memberikan fasilitas pada
perusahaan tertentu, perusahaan tersebut berkembang ke seluruh negeri sehingga

4
dalam jangka pendek dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, banyak ahli
ekonomi menganggap bahwa strategi semacam ini mengandung banyak kelemahan,
yakni :
1. Berbagai bentuk pengawasan dan proteksi tersebut menimbulkan ketidakwajaran
dalam rangsangan usaha di bidang industri dengan makin besarnya unsur
ketidakpastian, dorongan untuk mengejar keuntungan yang tidak wajar, dan
kecenderungan ke arah investasi yang berlebihan dan kelebihan kapasitas pada
sektor yang diproduksi.
2. Sektor yang dilindungi sering mendapatkan perlindungan yang berlebihan,
sedangkan sektor lainnya meskipun termasuk pada Tradable apalagi non Traded
tidak mendapatkan perlindungan yang sama atau sama sekali tidak
mendapatkannya.
3. Dalam jangka panjang kebijaksanaan yang protektif menambah ketimpangan
pemberian pendapatan. Sektor-sektor yang tidak mendapat proteksi seperti
industri ekspor dan industri non Tradable menanggung biaya produksi yang
tinggi.
4. Meskipun dalam jangka pendek kebijaksanaan proteksi berpengaruh positif
terhadap kesempatan kerja, dalam jangka panjang kebijaksaan proteksi dapat
membuat masalah penciptaan kesempatan kerja yang lebih parah.
5. Karena industri-industri yang dilindungi tidak menghadapi persaingan
internasional maka tingkat efisiensinya menjadi lebih rendah dari tingkat efisiensi
yang seharusnya dapat dicapai.
2.3.2 Strategi Industri Pendorong Ekspor
Strategi pendorong ekspor ialah strategi industrialisasi yang mengutamakan
pengembangan jenis-jenis industri yang menghasilkan produk-produk untuk
diekspor. Pada umumnya negara-negara yang menggunakan strategi ini mengundang
pula perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengembangkan suatu jenis
industri di negara mereka. Strategi pendorong ekspor menghendaki agar pemerintah
pusat memusatkan perhatiannya pada tercipta dan terpeliharanya satu sistem
perekonomian yang stabil, bebas dari hambatan-hambatan dan campur birokrasi, dan
mendorong pertumbuhan industri. Strategi industrialisasi pendorong ekspor ini

5
menghendaki bahwa program-program pemerintah diarahkan pada prasarana industri
dalam bentuk ketrampilan dan kelembagaan yang diperlukan bagi pertumbuhan
industri secara lebih merata agar seluruh sektor industri tumbuh dan berkembang
secara wajar. Falsafah yang mendasari strategi industrialisasi pendorong ekspor ini
adalah pengawasan perkembangan industri yang bersifat tidak langsung,
menekankan tindakan bersifat umum untuk membantu perkembangan industri, dan
mengutamakan penyederhanaan dan pengurangan peraturan serta pengawasan
langsung oleh pemerintah.
2.4 Perkembangan Kebijakan Industrialisasi
Kebijaksanaan industrialisasi sebelum Pelita I. Periode ini meliputi zaman penjajahan
Belanda, di mana perekonomiannya mengikuti sistem di negara induknya yakni
perekonomian bergerak dengan campur tangan pemerintah yang sangat minimum. Pada
sektor industri, tanpa ada campur tangan pemerintah yang berarti, sehingga strategi
pengembangan sektor industri cenderung kearah strategi yang bukan bersifat protektif.
Periode berikutnya adalah pada zaman pemerintahan Sukarno sampai sekitar tahun
1960, pada waktu perekonomian masih mewarisi sistem sebelumnya dengan campur tangan
pemerintah yang minimum dan strategi pengembangan industri yang belum jelas. Walaupun
perekonomian Indonesia pada periode tersebut adalah sosialis, namun situasi poilitik pada
waktu itu memaksa perekonomian tidak berkembang secara sehat termasuk juga sektor
industrinya. Ada beberapa kebijaksanaan pemerintah yang mengindikasikan memiliki tujuan
memajukan industri. Kebijaksanaan tersebut antara lain :
1. Kebijaksanaan mendorong ekspor hasil pertanian untuk meningkatkan penerimaan
devisa. Jumlah devisa yang lebih banyak memungkinkan perkembangan industri
melalui impor bahan baku dan mesin dari luar negeri.
2. Kebijaksanaan pengawasan devisa oleh pemerintah (exchange control) dengan kurs
rendah. Harga devisa yang rendah ini bisa mendorong investor luar negeri untuk
mengembangkan industri di Indonesia
3. Kebijaksanaan Alokasi Devisa Otomatis (ADO) untuk eksportir dan untuk pemerintah
daerah bisa diartikan agar para importer dan daerah menggunakannya untuk membeli
bahan baku dan mesin untuk memajukan industri dalam negeri.

6
Namun semua kebijaksanaan ini lebih bersifat untuk kepentingan perekonomian secara
keseluruhan dibandingkan untuk pengembangan industri. Jadi dalam periode sebelum Pelita
I, pemerintah dapat dikatakan tidak mempunyai kebijaksanaan khusus untuk pengembangan
industri.

Kebijaksanaan industrialisasi setelah pelita I. Periode ini meliputi zaman pemerintahan


Suharto mementingkan perkembangan ekonomi dan memulainya dengan liberalisasi
ekonomi, mengizinkan penanaman modal dalam negeri. Pada buku Repelita I tercantum
bahwa pembangunan industri mengutamakan hal-hal berikut:

1. Industri-industri yang menunjang sektor pertanian dengan memproduksi


sarana-sarana pertanian atau mengolah hasil pertanian;
2. Industri-industri yang menghasilkan devisa atau menghemat devisa dengan
jalan menghasilkan barang-barang pengganti impor;
3. Industri-industri yang mengolah lebih banyak bahan-bahan dalam negeri;
4. Industri-industri yang menggunakan relatif lebih banyak tenaga kerja daripada
modal; dan
5. Industri-industri yang membangkitkan kegiatan pembangunan daerah.

Dari kelima butir ini dapat dikatakan tidak ada satu cabang industri yang tidak
termasuk di dalamnya. Dengan demikian, pemerintah saat itu menggunakan strategi
mendorong, bukan strategi protektif. Namun kenyataan menunjukkan bahwa industri
otomotif, penyosokan beras, tekstil mendapat perlindungan yang lebih besar dari sektor
industri pada umumnya. Jadi, tidak jelas apakah pemerintah menjalankan strategi protektif
atau mendorong pada zaman pemerintahan Suharto yang kemudian diakhiri dengan adanya
krisis ekonomi pada tahun 1998.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia agak berkepanjangan karena bersamaan


dengan pergantian pemerintahan yang menghendaki reformasi di segala bidang. Di antara
reformasi tersebut adalah reformasi menuju pemerintahan yang bersih dan diikuit
pendelegasian banyak wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada
otonomi daerah, kekuasaan mengurus ekonomi daerah termasuk mengatur perkembangan
industri berada di pemerintah daerah. Sementara pada masa reformasi itu perhatian

7
pemerintah terhadap perkembangan industri agak terbengkalai, kecuali terhadap pendidikan
dan pelatihan yang pada akhirnya membantu perkembangan industri.

Akhirnya pada pemerintahan SBY, pemerintah membetikan lebih banyak perhatian


terhadap sektor industri dengan menetapkan pedoman dalam pengembangan industri
nasional dan sebagai bahan dasar pemberian fasilitas pemerintah dengan Peraturan Presiden
nomor 28 tahun 2008. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa akan disusun peta
panduan (Road Map) pengembangan klaster industri prioritas yang mencakup basis industri
manufaktur, industri berbasis agro, industri alat angkut, industri elektronika dan telematika,
industri penunjang, industri kreatif dan industri kreatif tertentu, serta industri industri kecil
dan menengah tertentu untuk dalam jangka panjang (tahun 2025) dicapai sektor industri
yang tangguh, kelas dunia dan sebagai motor penggerak perekonomian. Pemerintah dapat
memberikan fasilitas berupa insentif fiscal, insentif non-fiskal, dan kemudahan lainnya yang
akan ditinjau tiap dua tahun sekali.

Pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa fiscal, non fiscal dan fasilitas lainnya
kepada berbagai jenis industri dan telah tersedianya berbagai fasilitas pendidikan dan
pelatihan industri, maka dapat disimpulkan bahwa strategi yang dipakai pemerintah pada
periode setelah Pelita I ini adalah strategi mendorong, bukan strategi protektif.

2.5 Peran Teknologi dan Dampak Industri terhadap Pengangguran


2.5.1 Konsep Dasar Teknologi

Konsep dasar pemilihan teknologi yang sangat luas dalam literatur ekonomi
memakai model insentif harga, biasanya untuk harga modal dan harga tenaga kerja
untuk mencapai biaya minimum bagi satu perusahaan untuk memproduksi sejumlah
barang dan jasa tertentu. Menurut prinsip ekonomi, para pengusaha (produsen)
diasumsikan menghadapi seperangkat harga relatif faktor produksi (modal dan tenaga
kerja) dan menggunakan kombinasi modal dan tenaga kerja yang meminimumkan
biaya dalam memproduksi jumlah output yang dikehendaki. Produsen juga
diilustrasikan mampu berproduksi dengan menggunakan berbagai macam teknologi
dalam proses produksinya dari teknologi yang sangat padat karya hingga metode-
metode yang sangat padat modal. Misalnya pada awal 1970an semua produsen beras
di Indonesia diilustrasikan mampu menghasilkan beras (yang diumpamakan

8
homogen) dengan menumbuk (hand poundling), menggunakan teknologi mesin
penyosokan beras sederhana, menggunakan mesin penyosokan beras yang lebih
canggih sampai yang paling canggih yang bersifat padat modal. Oleh karena itu harga
modal sangat mahal dibandingkan harga tenaga kerja, maka proses produksi yang
padat karya akan dipilih. Sebaliknya, jika harga tenaga kerja lebih mahal, maka
perusahaan memilih untuk menggunakan metode produksi yang lebih bersifat padat
modal. Perusahaan akan menghemat penggunaan faktor produksi yang lebih mahal,
yang dalam hal terakhir ini adalah tenaga kerja.

2.5.2 Distorsi Harga Faktor dan Pengangguran

Secara teoritis semua pengusaha di setiap kegiatan ekonomi akan berusaha


meminimalkan biaya perusahaannya dengan memberikan tanggapan rasional terhadap
struktur sinyal harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi dan hasil
produksinya. Apabila harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi
menunjukkan kelangkaan relatif antar faktor, maka biaya produksi barang dan jasa
yang dihasilkan pengusaha akan menunjukkan nilai sesungguhnya dari pengorbanan
faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkannya. Pengusaha akan
meminimalkan biaya produsinya dengan cara memilih teknik yang paling efisien
(teknik produksi yang tepat), yang ditentukan oleh harga relatif faktor produksi.
Teknik produksi yang tepat ini adalah teknik produksi yang menggunakan lebih
banyak faktor produksi yang harganya relatif lebih murah dengan
mengombinasikannya lebih sedikit faktor produksi yang jarang (dan oleh karenanya
harga mahal). Kalau semua harga-harga menunjukkan harga relatif kelangkaanya,
maka semua faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang ada akan terserap
seluruhnya dengan penggunaan penuh (full employment) dan pendapatan dari pemilik
faktor produksi mampu untuk menyerap semua faktor produksi barang dan jasa di
pasar tenpa adanya tekanan inflasi.

Namun keadaan seperti yang digambarkan diatas tidak pernah terjadi dalam
kenyataan. Pemerintah setiap negara mengenakan pajak baik terhadap barang akhir
(konsumsi) maupun terhadap bahan baku dan barang modal. Untuk Indonesia hal yang

9
demikian ini ditambah lagi dengan pungutan-pungutan tidak resmi sehingga dikatakan
sebagai ekonomi biaya tinggi. Akibat dari semuanya adalah bahwa harga-harga barang
dan jasa di pasar tidak menunjukkan biaya pengorbanan pemakaian faktor produksi
untuk menghasilkannya. Keadaan yang demikian ini dikenal dengan adanya distorsi
harga barang dan jasa. Distorsi harga juga terjadi pada pasar faktor produksi. Dari dulu
sampai sekarang kita sering mendengar bahwa pemerintah Indonesia sangat
membutuhkan pengusaha dan oleh karenanya memberikan berbagai fasilitas. Salah
satu fasilitas adalah adanya bunga modal yang lebih murah untuk investasi
dibandingkan untuk tujuan lain (konsumsi). Malah, kalau diperhitungkan tingkat
inflasi yang terjadi, maka tingkat bunga yang efektif mungkin negatif (tingkat bunga
modal lebih rendah dari tingkat inflasi). Pemerintah juga memberikan kemudahan
untuk memasukkan barang modal, seperti bebas bea masuk (atau bea masuk yang
rendah) untuk barang modal. Untuk menarik investor pemerintah juga sering
memberikan bebas pajak (tax holiday). Pada masa pemerintahan Orde Lama,
pemerintah menentukan nilai rupiah terlalu mahal dengan melaksanakan pengawasan
terhadap harga devisa. Akibat dari semua kebijaksanaan ini adalah bahwa hargs modal
tertekan turun, menjadi lebih murah dari semestinya. Di lain pihak, pemerintah selalu
menentukan upah minimum (regional/nasional), yang mengakibatkan upah buruh lebih
mahal dari seharusnya. Jadi harga untuk modal terlalu murah dan harga tenaga kerja
terlalu mahal di pasar, sehingga tanggapan rasional dari pengusaha akan struktur harga
pasar yang berlaku adalah memilih teknik produksi yang padat modal.

Jika dari kenyataan maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki tenaga
kerja yang melimpah dan hanya memiliki modal finansial atau modal fisik yang sangat
terbatas, maka wajar saja kalau berpikir bahwa teknik produksi yang akan digunakan
bersifat padat karya. Hasil neto dari distorsi harga faktor adalah adanya dorongan
penggunaan teknik produksi padat modal yang sangat mekanis yang tidak layak di
sektor pertanian maupun sektor manufaktur. Traktor-traktor besar dan mesin-mesin
pemanen mewarnai pemandangan pedesaan di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan pulau
lainnya, sementara banyak orang tidak mempunyai kerja dan hanya menonton
produksi yang mekanis berlangsung. Pabrik-pabrik baru yang dihiasi dengan mesin-
mesin dan perlengkapan yang paling modern dan canggih merupakan ciri-ciri yang

10
umum ditemui pada industri-industri di perkotaan, dan sementar itu penganggur
berkerumun di luar gedung pabrik. Pemandangan banyaknya para pencari kerja
(pengangur) di Indonesia bukanlah disebabkan oleh kurangnya rasionalitas ekonomi
dari para pengusaha, Kebijaksanaan pemerintah yang dirancang untuk memberian
harga yang benar (menghilangkan distorsi harga faktor) akan menghasilkan
kesempatan kerja yang lebih luas dan juga penggunaan yang lebih baik atas modal
yang langka melalui pemilihan teknik produksi yang lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi


Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Irawan dan Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Mahmud, Amir. 2016. Perekonomian Indonesia Pasca Orde Reformasi. Jakarta:
Erlangga.
Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press.
Tambunan, Tulus T.H. 2015. Perekonomian Indonesia: kajian teoritis dan analisis
empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai