Anda di halaman 1dari 3

STRATEGI INDUSTRIALISASI: STRATEGI SUBTITUSI IMPOR DAN

PROMOSI IMPOR

Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari proses revolusi
industry pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris dengan penemuan metode baru untuk
pemintalan dan penemuan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi dan peningkatan
produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, terjadi inovasi dan penemuan
baru dalam pengolahan besi dan mesin uap yang mendorong inovasi dalam pembuatan besi baja,
kereta api, kapal tenaga uap, dan sebagainya. Setelah itu, revolusi industry kedua pada akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi.

Kemudian setelah perang dunia II, mulai muncul berbagai teknologi baru, seperti
produksi masal dengan menggunakan assembly line, tenaga listrik, kendaraan motor, penemuan
berbagai barang sintetis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, computer, dan
penggunaan robot. Perkembangan-perkembangan ini semua mengubah pola dan meningkatkan
volume perdagangan dunia dan memacu proses industrialisasi di dunia. ( Pangestu, Mari dan
Haryo Aswicahyono. “Industrialisasi, Keunggulan Bersaing, dan Era Perdagangan Bebas”.
Dalam Pangestu, M., Raymond Atje dan Julius Mulyadi (penyunting). 1996. Transformasi
Industri Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas. Jakarta:CSIS)

Berdasarkan sejarah, tampak bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi


antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antar negara yang pada
akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan mendorong perubahan
struktur ekonomi. Dapat dikaitkan bahwa progress teknologi dan inovasi adalah dua faktor
penting yang merubah struktur ekonomi suatu negara dari sisi penawaran agregat (produksi);
sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi
mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi permintaan agregat.

Dalam melaksanakan industrialisasi, ada dua pilihan strategi, yaitu strategi subtitusi
impor dan strategi promosi ekspor. Strategi pertama sering juga disebut dengan inward-looking,
sedangkan strategi kedua outward-looking. Strategi subtitusi impor lebih menekankan pada
pengembangan industri yang berorientasi kepada pasar domestik. Subtitusi impor adalah industri
domestik yang membuat barang-barang menggantikan impor, sedangkan strategi promosi ekspor
lebih berorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri dalam negeri. Jadi,
berbeda dengan strategi subtitusi impor, dalam promosi ekspor tidak ada diskriminasi dalam
pemberian insentif dan fasilitas-fasilitas kemudahan lainnya dari pemerintah, baik untuk industri
yang berorientasi ke pasar ekspor. Strategi subtitusi impor dilandasi oleh pemikiran bahwa laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industri di dalam
negeri yang memproduksi barang-barang pengganti impor. ( Chenery, Hollis B. “Patterns of
Industrial Growth”. American Economic Review,50 (4), 1960.)

Strategi Subtitusi Impor

Hampir semua negara berkembang memulai industrialisasi dengan strategi subtitusi


impor, terutama Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Ada negara-negara
yang menerapkan strategi hanya pada awal industrialisasi mereka (jangka pendek) dan setelah itu
beralih ke promosi ekspor, misalnya Korea Selatan dan Taiwan. (Little, I.M.D., T. Scitovsky,
dan Maurice F.S. 1970. Industry and Trade in Some Developing Countries: A Comparative
Study. New York: Oxford University Press.)

Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan untuk memilih strategi subtitusi impor:

1. Sumber daya alam dan faktor produksi cukup tersedia dalam negeri sehingga secra
teoritis, biaya produksi unutk intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomitersebut
yang tinggi dapat menjadi rendah.
2. Potensi permintaan di dalam negeri yang menandai.
3. Untuk mendorong perkembangan sektor industri manufaktur di dalam negeri.
4. Dengan berkembangnya industri di dalam negeri, maka kesempatan kerja diharapkan
terbuka lebih luas.
5. Dapat mengurangi ketergsntungsn terhadap impor, yang berarti juga mengurangi
defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.

Dalam strategi subtitusi impor, industri-industri dalam negeri yang dikembangkan adalah
yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya di impor untuk pasaran dalam negeri. Oleh
karena itu impor dikurangi atau dilarang sama sekali. Pelaksanaanya pun terdiri atas dua tahap.
Dalam tahap pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang
konsumsi, walaupun tidak semuanya durable goods (seperti kendaraan bermotor, kulkas, televisi,
dan alat pendingin). Untuk membuat barang-barang tersebut diperlukan barang modal, input
perantara, dan bahan baku yang di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak tersedia
sehingga tetap harus diimpor. Dalam tahap kedua, industri yang dikembangkan adalah industri
hulu (upstream industries).

Strategi Promosi Ekspor

Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi subtitusi impor, badan-badan
dunia (seperti IMF dan World Bank) menganjurkan agar negara-negara berkembang strategi
promosi ekspor. Sesuai dengan teori klasik mengenai perdagangan internasional, outward-
oriented strategy ini melibatkan pembangunan sektor industri manufaktur sesuai keunggulan
komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi subtitusi impor,
strategi ini mempromosikan fleksibelitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada
mengikuti perubahan pola dari keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar
dari strategi promosi ekspor, menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat
promosi perdagangan. Oleh karena itu diskriminasi dalam penggunaan tarif, kuota, lisensi
investasi, subsidi pajak dan kredit, dan instrument-instrumen lainnya yang sering diterapkan
dalam strategi subtitusi impor, tidak cocok digunakan dalam strategi promosi ekspor.

Syarat penerapan strategi promosi ekspor:

1. Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan
kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun pasar input.
2. Tingkat proteksi dari impor harus rendah.
3. Nilai tukar mata uang harus realistik, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang
asing yang bersangkutan.
4. Lebih penting lagi, harus ada inisiatif untuk meningkatkan ekspor.

(Huges, H. dan T. Parry (ed.). 1987. Explaining the success of industrialization in East
Asia. Sydney: Cambridge University Press.)

Menurut strategi ini, paling tidak kesempatan yang sama harus diberikan kepada industri-
industri yang memproduksi untuk pasar dalam negeri dan industri-industri untuk pasar ekspor.
Sedangkan Indonesia sendiri menerapkan strategi subtitusi impor pada sepanjang proses
industrialisasinya. Namun hal ini berubah pada pertengahan decade 1980an yang di gabungkan
dengan strategi promosi ekspor.

Anda mungkin juga menyukai