Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sektor industri merupakan sektor yang berperan penting bagi perekonomian Indonesia
yang pada tahun 1991 selama pembangunan jangka pendek 1 telah mengalami perubahan
struktur perekonomian yang pada awalnya berbasis sektor pertanian menjadi sektor industri.
Di dalam pelaksanaannya, sektor industri pengolahan memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu nilai kapitalisasi modal yang tertanam
sangat besar, kemampuan menyerap tenaga kerja, dan kemampuan untuk menciptakan nilai
tambah dari setiap input atau bahan dasar yang diolah. Sektor industri pengolahan di
Indonesia di satu pihak memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang
tertinggi, dan nilai investasi yang tertanam cukup besar, namun kontribusi tersebut tidak
sebanding dengan daya serap tenaga kerjanya. Sektor industri yang merupakan penyumbang
terbesar PDB hanya mampu menduduki peringkat ketiga dalam menyerap tenaga kerja
setelah sektor pertanian dan sektor perdagangan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Sejarah dan Klasifikasi Industri Di Indonesia?
2. Apa Saja Makro Ekonomi Sector Industri?
3. Bagaimana Konsentrasi, Daya Saing dan Kebijakan Sector Industri?

C. Tujuan
1. Untuk mengethui Sejarah dan Klasifikasi Industri Di Indonesia
2. Untuk mengethui Makro Ekonomi Sector Industri
3. Untuk mengethui Konsentrasi, Daya Saing dan Kebijakan Sector Industri
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Klasifikasi Industri Di Indonesia


a. Sejarah Industri Di Indonesia
Pada sekitar tahun 1920-an industri-industri moderen di Indonesia hampir semuanya dimiliki
oleh orang asing meskipun jumlahnya relatif sedikit. Industri kecil yang ada pada masa itu
hanya berupa industri-industri rumah tangga seperti penggilingan padi, tekstil dan
sebagainya, yang tidak terkoordinasi. Tenaga kerja terpusat di sektor pertanian dan
perkebunan untuk memenuhi kebutuhan ekspor pemerintah kolonial.

Pada masa Perang Dunia II kondisi industrialisasi cukup baik. Namun keadaanya terbalik
semasa pendudukan Jepang. Hal itu disebabkan adanya larangan impor bahan mentah,
diangkutnya barang-barang kapital ke Jepang dan pemaksaan tenaga kerja (romusha)
sehingga investasi asing pada masa itu praktis nihil. Limabelas tahun kemudian setelah
merdeka, Indonesia menjadi pengimpor besar barang-barang kapital dan teknologi, serta
mulai memprioritaskan pengembangan sektor industri dan menawarkan investasi asing.
Berkat kebijaksanaan itu, penanam modal asing mulai berdatangan meskipun masih dalam
taraf coba-coba.

Pada tahun 1951 pemerintah meluncurkan kebijaksana RUP (Rencana Urgendi


Perekonomia). Program utamanya menumbuhkan dan mendorong industri-industri kecil bagi
pribumi sembari memberlakukan pembatasan-pembatasan industri-indutri besar atau modern
yang banyak dimiliki oleh Eropa dan Cina. Kebijaksanaan RUP ternyata menyebabkan
investasi asing berkurang, apalagi dengan adanya situasi politik yang sedang bergejolak pada
masa itu; namun di lain pihak telah memacu tumbuh suburnya sektor bisnis oleh kalangan
pribumi, kendati masih relatif kecil. Meyadari situasi demikian, pemerintah kemudian beralih
ke pola kebijaksanaan yang menitikberatkan pengembangan indutri-industri yang dijalankan
atau dimiliki oleh pemerintah.

Sesudah tahun 1957 sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa
teduh sepanjang tahun 1960-an sektor industri praktis tidak berkembang. Selain akibat situasi
politik yang selalu beergejoak juga disebabkan karena kelangkaan modal dan tenaga ahli
serta terampil. Aliran modal yang masuk mayoritas dari negara sosialis dalam bentuk
pinjaman (hampir setengahnya dari Rusia). Pada masa itu perekonomian dalam keadaan sulit
akibat inflasi yang parah dan berkepanjangan menurunya PDB, kecilnya peran sektor industri
(hanya sekitar 10% dari PDB) dan tingginya angka penganggguran. Sektor industri
didominasi oleh industri-industri berat seperti pabrik baja di Cilegon dan pabrik super Fosfat
di Cilacap. Keadaan ini terwariskan kepemerintahan orba. Pemerintah Orde Baru melakukan
perubahan-perubahan besar dalam kebijakan perindustrian. Keadaan semakin baik dengan
berhasilnya kebijakan stabilitas di tingkat makro dan dilaksanakannya kebijakan diberbagai
bidang.
b. Klasifikasi Industri Di Indonesia
Indonesia industri digolongkan berdasarkan kelompok komoditas, skala usaha,dan hubungan
arus produknya. Penggolongan yang paling unversal ialah berdasarkan ”baku internasional
klasifikasi industri/Internasional Standard Of Industrial Classification (ISIC)”.

Penggolongan ISIC didasarkan atas pendekatan kelompok komoditas. Klasifikasi Baku


Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) merupakan klasifikasi baku mengenai kegiatan ekonomi
yang terdapat di Indonesia. KBLI disusun dengan maksud untuk menyediakan satu set
klasifikasi kegiatan ekonomi di Indonesia agar dapat digunakan untuk penyeragaman
pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data masing-masing kegiatan ekonomi, serta untuk
digunakan mempelajari keadaan atau perilaku ekonomi menurut masing-masing kegiatan
ekonomi. Dengan penyeragaman tersebut, keterbandingan data kegiatan ekonomi antar
waktu, antar wilayah, dan keterbandingan dengan data internasional dapat dilakukan. Sampai
saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) telah berhasil menerbitkan lima versi klasifikasi lapagan
usaha. 

Tiga versi pertama adalah Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) yang diterbitkan
berturut-turut pada tahun 1977, 1983, dan 1990, disusun berdasarkan Internasional
Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) revisi 2, tahun 1968.
Dua versi berikutnya adalah Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang
diterbitkan berturut-turut pada tahun 1997 dan 2000, disusun berdasarkan Internasional
Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) revisi 3, tahun 1990. 

B. Makro Ekonomi Sector Industri


Kondisi ekonomi makro Indonesia yang relatif baik akhir-akhir ini, tidak lantas
mengurangi kewaspadaan pemerintah. Menurut Menteri Keuangan Bambang P.S.
Brodjonegoro, kondisi perekonomian Indonesia tetap perlu dicermati dengan seksama dan
berkesinambungan, khususnya terkait potensi dampak dari ketidakstabilan dalam
perekonomian-global. 

“Pemerintah telah menyiapkan dan menerapkan kebijakan jangka panjang dan strategi jangka
pendek untuk mengantisipasi berbagai tantangan yang ada,” kata Menkeu dalam keynote
speech-nya di acara Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah di Universitas Brawijaya,
Malang,Selasa(3/11).

Untuk strategi jangka panjang, lanjutnya, pemerintah berupaya mengalihkan dan


mengoptimalkan sumber pertumbuhan. “Perekonomian Indonesia saat ini masih bergantung
kepada sektor komoditas, khususnya sumber daya alam. Mengingat harga komoditas yang
terus mengalami penurunan dan ketersediaannya dalam jangka panjang yang semakin
menipis, pemerintah saat ini sedang menata kembali perekonomian Indonesia dengan
mendukung apa yang dinamakan Resource-Based Manufacturing,” urainya. 

Selain itu, pertumbuhan ekonomi di Tiongkok juga turut berpengaruh.  Ia menjelaskan bahwa
saat ini, terjadi pergeseran sumber pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. “Masyarakat
Tiongkok terkenal dengan saving yang baik. Ketika pertumbuhan bertumpu pada investasi,
kalau saving tinggi, pas ekonomi jalan bagus. Namun, yang terjadi akhir-akhir ini adalah
investasi sudah mulai jenuh, sehingga pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat. Maka
pemerintah China sedang mendorong konsumsi. Dan itu terjadi, berhasil. Sekarang
pertumbuhan ekonomi didorong dengan konsumsinya,” paparnya.

Berkurangnya investasi dan meningkatnya konsumsi di Tiongkok tersebut akan berpengaruh


terhadap ekspor di Indonesia. “Dulu, Indonesia banyak mengekspor batu bara ke Tiongkok.
Namun, dengan peningkatan pola konsumsi tadi, ekspor tersebut menurun. Maka, pola ekspor
dan manufaktur harus didorong supaya barang konsumsi lebih banyak, dan ekspor ke China
dialihkan dari batu bara ke barang manufaktur,” katanya.

C. Konsentrasi, Daya Saing dan Kebijakan Sector Industri

Sektor industri di Indonesia dinilai mempunyai daya saing yang kuat dengan berbagai
produknya yang kompetitif terhadap barang impor. Hal ini tidak terlepas dari peran
pemerintah yang mendorong penggunaan teknologi digital sesuai implementasi peta jalan
Making Indonesia 4.0.

“Strategi dan kebijakan Kementerian Perindustrian dalam meningkatkan daya saing sektor


manufaktur nasional, di antaranya adalah melalui akselerasi pada penerapan industri 4.0,”
kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII)
Dody Widodo di Jakarta, Rabu (11/11).

Dirjen KPAII menjelaskan, pemanfaatan teknologi modern di sektor industri diyakini


dapat menurunkan biaya faktor produksi, mendorong penggunaan produksi dalam negeri,
meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM industri, serta memperbaiki standar kualitas
produk-produk industri kecil menengah (IKM). “Hal ini yang membawa dampak
terdongkraknya daya saing industri di Indonesia,” ujarnya.

Dody mengemukakan, berdasarkan Industrial Development Report  2020 yang dirilis


UNIDO, bahwa Indonesia berada di urutan ke-38 dari total 150 negara dalam
peringkat Competitive Industrial Performance (CIP) Index pada
tahun 2019. Artinya, posisi Indonesia berhasil naik dibanding tahun 2018 yang
menempati peringkat ke-39.

“Terkait hal tersebut, Indonesia masuk ke dalam kategori Upper Middle Quintile dan


memiliki peringkat lebih tinggi daripada India (peringkat ke-39), Filipina (peringkat ke-41),
dan Vietnam (peringkat ke-43),” ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjut Dody, pihaknya aktif memfasilitasi perluasan pasar industri nasional
di kancah internasional melalui kerangka kerja sama yang komprehensif dengan negara-
negara potensial. “Upaya peningkatan daya saing industri kita salah satunya dapat dilakukan
melalui pemanfaatan kerja sama internasional baik bilateral maupun multilateral,
termasuk juga kerja sama Indonesia dengan UNIDO,” tandasnya.
Saat ini, kerja sama Indonesia-UNIDO yang diterapkan melalui dokumen Indonesia-UNIDO
Country Programme 2016-2020 telah membantu Indonesia dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional serta perkembangan industri dalam negeri. “Proyek-proyek
kerja sama baik itu yang telah selesai maupun sedang berjalan, mampu memberikan dampak
positif bagi industri di tanah air untuk mencapai kegiatan produksi yang lebih efisien dan
berkelanjutan,” tegas Dody.

Selanjutnya, proyek-proyek kerja sama yang mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan


industri dalam negeri tersebut membantu peningkatan kualitas dan kapasitas produksi
sehingga daya saingnya semakin meningkat. “Salah satu proyek kerja sama Indonesia-
UNIDO yang kami nilai cukup berhasil adalah program SMART Fish yang saat ini sedang
dilanjutkan kepada tahap kedua,” sebut Dody.

Program SMART Fish 2 tersebut fokus pada penguatan standarisasi produk perikanan serta


rumput laut. Seperti yang diketahui, produk perikanan dan rumput laut merupakan
basis bahan baku bagi industri makanan, minuman, kosmetik dan farmasi. “Melalui
program SMART Fish, kekhawatiran akan kurangnya suplai dan kekhawatiran terhadap
kualitas bahan baku dapat diatasi di masa yang akan datang,” imbuhnya.

Dirjen KPAII berharap, keberhasilan program kerja sama Indonesia-UNIDO dapat segera


diikuti oleh basis input industri lain seperti sektor kehutanan, tambang, dan peternakan,
termasuk basis sektor jasa yang dapat mendukung proses industrialisasi dan penguatan
ekspor.

“Dokumen Indonesia - UNIDO Country Programme 2016-2020 akan berakhir bulan


Desember ini. Hal ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk menyusun proyek-proyek
yang lebih strategis, tepat sasaran, dan bermanfaat bagi industri dan perekonomian
Indonesia,” tutur Dody.

Apalagi, seiring perkembangan revolusi industri 4.0, Indonesia akan membutuhkan proyek-


proyek kerja sama yang dapat mengakselerasi penerapan teknologi industri 4.0. Selain itu,
sesuai dengan strategi dan kebijakan Kemenperin, proyek-proyek tersebut diharapkan dapat
berfokus pada pengembangan kualitas sektor IKM agar dapat menghasilkan produk berdaya
saing tinggi sesuai kebutuhan di era industri 4.0.

“Kerja sama Indonesia-UNIDO bisa menjadi sarana industri dalam negeri untuk dapat


mengakselerasi implementasi Industri 4.0. Oleh karena itu, sangat penting untuk kita,
pemerintah, asosiasi, akademisi serta kalangan industri merumuskan bersama kebutuhan dan
kepentingan industri untuk kemudian dapat diterapkan melalui proyek kerja sama Indonesia-
UNIDO yang nantinya dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri,” pungkasnya.
Kebijakan Pemerintah di Bidang Industri
1. Pembangunan industri diarahkan pada industri-industri yang berbasis pertanian
dan pertambangan, dan kelautan yang mampu memberikan nilaitambah yang tinggi
dan mampu bersaing dalam pasar lokal, regionalnasional, global dan mampu
menghasilkan nilai tambah tinggi.
 
2. Pengembangan IKM dan Industri Mikro (Industri Rumah Tangga), perludidorong dan
dibina, menjadi usaha yang makin berkembang danmaju,sehingga mampu mandiri
dan dapat meningkatkan pendapatanmasyarakat, memperluas lapangan kerja dan
kesempatan berusaha.
 
3. Menggalakkan iklim yang sehat dalam berusaha bagi pelaku ekonomi(koperasi, usaha
negara, usaha swasta) untuk menumbuhkan kegiatanusaha yang mampu menjadi
penggerak utama pembangunan ekonomi.
 
4. Meningkatkan pertumbuhan usaha kecil informal menjadi pengusaha kecilformal
yang tangguh dan mandiri melalui bantuan pembangunaninfrastruktur, perijinan dan
bantuan teknis.
 
5. Meningkatkan dan mengoptimalkan perolehan devisa ekspor produk industri
kehutanan, pertambangan, pertanian, dalam arti luas berikutindustri turunannya.

Kebijakan Pemerintah mengembangkan perekonomian di


Indonesia berorientasi global membangun keunggulan kompetitif dengan mengedepan
kankebijakan industri, perdagangan dan investasi dalam meningkatkan daya
saingdengan membuka akses yang sama terhadap kesempatan berusaha
dankesempatan kerja bagi segenap rakyat dari seluruh daerah dengan
menghapuskanseluruh perlakuan diskriminatif dan hambatan. Pengembangan sektor
industri pengolahan mengacu kepada arahan pembangunan ekonomi, khususnya yang 
berkaitan dengan pembangunan sektor industri dan perdagangan.

Anda mungkin juga menyukai