INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
MATERIINDUSTRIALISASI DI INDONESIA
6 Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan
dalam faktor pendukung Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang
yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang
yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-
O, dikenal sebagai Paradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang
menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif
dibanding memiliki kecukupan modal.Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang
lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek.Faktor
spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti
modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada
peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut
akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik
berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi
untuk pengendalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi
pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal.
Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi
tidak untuk menentukan pola pedagangan.
8 Gejala Deindustrialisasi
Perkembangan industri manufaktur di Indonesia juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap
produk domestik bruto atau PDB. Bahkan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006, banyak
pengamat ekonomi yang mengkhawatirkan terjadinya de-industrialisasi di Indonesia akibat
pertumbuhan sektor industri manufaktur yang terus merosot.Deindustrialisasi merupakan gejala
menurunnya sektor industri yang ditandai dengan merosotnya pertumbuhan industri manufaktur
yang berlangsung secara terus menerus. Melorotnya perkembangan sektor industri manufaktur saat
itu mirip dengan gejala yang terjadi menjelang ambruknya rezim orde baru pada krisis global yang
terjadi pada tahun Selain menurunkan sumbangannya terhadap produk domestik bruto, merosotnya
pertumbuhan industri manufaktur juga menurunkan kemampuannya dalam penyerapan tenaga
kerja.Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa pada triwulan pertama tahun 2005,
pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia sebenarnya masih cukup tinggi, yaitu mencapai 7,1
persen. Namun memasuki triwulan kedua tahun 2005 perkembangannya terus merosot. Bahkan
pada akhir tahun 2005, perkembangan industri manufaktur kita hanya mencapai 2,9 persen. Kondisi
ini semakin parah setelah memasuki triwulan pertama tahun 2006 karena pertumbuhannya hanya
sebesar 2,0 persen.