Anda di halaman 1dari 4

Keuntungan dan Kerugian Strategi Pemberdayaan

Kelemahan pendekatan collective self-empowerment adalah terlalu menekankan pada aspek


interaksi sosial, sehingga seakan-akan segala sesuatu menjadi beres jika sekat-sekat struktural dalam
masyarakat mampu ditembus dengan kekuatan sosial. Persoalannya adalah kemiskinan struktural
pada akhirnya membentuk budaya atau mentalitas miskin. Friedmann sendiri mengakui tentang
perlunya kesadaran diri (self), tetapi ia tidak terlalu menguraikan bagaimana kesadaran diri itu
terbentuk, sehingga mampu bersama-sama dengan diri yang lain membangun kekuatan sosial untuk
memberantas kemiskinan. Dalam tulisannya yang lain, Friedmann (1988: 250) menganjurkan
pentingnya proses belajar yang tidak secara langsung mengarah pada perbaikan struktur, tetapi
lebih dekat kepada perbaikan kultural untuk memberi pencerahan bahwa kemiskinan itu bukan
takdir yang tidak bisa diubah oleh kekkuatan apa pun selain kekuatan Tuhan. Friedmann
menyatakan bahwa proses belajar berkaitan dengan perjuangan politik sebagai konsekuensi dari
upaya inovasi. Pandangan itu terlalu canggih dan pada puncak hasil belajar. Sedangkan, sebelum
sampai pada prestasi belajar yang tertinggi seperti yang dibayangkan Friedmann itu, kelompok
miskin harus bersabar melalui tahap-tahap awal belajar yang sederhana dan sering membosankan,
seperti belajar bisa membaca. Proses awal yang tampak sederhana ini menjadi krusial dan
menentukan karena menyangkut perubahan kultural.

Keuntungan dan Kerugian Strategi Teknologi Tepat

Keterbatasan pengembangan teknologi tepat guna di negara-negara sedang berkembang adalah (1)
tidak ada institusi yang secara khusus bertugas untuk mengembangkan teknologi tepat guna (2)
selisih harga yang cukup besar antara teknologi impor dengan menciptakan teknologi baru
(teknologi impor lebih murah), dan (3) sistem nilai yang tidak mendukung. Peneliti dan praktisi lebih
suka bekerja dengan teknologi tinggi daripada menggunakan teknologi madya, walaupun teknologi
sederhana mudah diketahui secara luas akan dapat menampung tenaga kerja lebih banyak dan
ramah lingkungan (Herrick dan Kindleberger, 1983-238).

Negara miskin pada umumnya tidak mempunyai institusi yang mengabdi untuk membangkitkan
perusahaan teknologi. Hanya negara-negara kaya saja yang dapat mengorganisasi institusi tersebut
baik di sektor publik, maupun di sektor privat. Motivasi mereka untuk melakukan penelitian dan
pengembangan tekknologi adalah untuk memperoleh keuntungan lebih besar atau untuk berperang.
Banyaknya institusi yang mengabdi untuk perubahan teknologi ini yang membedakan negara kaya
dan negara miskin.

Kenyataan lainnya adalah negara miskin lebih murah mengimpor teknologi daripada harus
menciptakan teknologi sendiri. Impor teknologi itu meskipun dimaksudkan untuk mengganti metode
produksi agar lebih canggih dari sudut pandang ekonomi negara pengimpor. Hal itu menjadi kurang
optimal, karena buruh pada umumnya kurang terampil. Akibatnya, pengangguran teknologi tinggi
malah menyebabkan banyaknya pengangguran.

Dengan demikian, proses impor mesin oleh negara miskin telah sesuai dengan perbedaan harga
antara impor dan menciptakan sendiri. Akan tetapi, kondisi ini menimbulkan menurunnya
penghargaan terhadap inovasi. Teknologi impor itu mungkin saja menghasilkan barang yang lebih
berkualitas, tetapi persoalannya adalah bagaimana menggunakan teknnologi yang lebih banyak
menyerap tenaga kerja. Akhirnya, dengan mesin impor itu akan dapat mengurangi ketergantungan
pada mesin dari luar negeri.

Teknologi tepat guna mampu menyerap buruh yang melimpah. Sementara itu, teknologi maju
banyak menyerap modal, tetapi sedikit buruh yang dipekerjakan. Penggunaan teknologi tepat guna
menjadi dilema terutama dari sudut kepentingan pertumbuhan ekkonomi dan pemerataan, antara
penggunaan teknologi padat karya dan teknologi padat modal. Berikut ini dijelaskan alasan pihak
yang proteknologi padat modal (Jhingan, 1983:797-800).

Alasan pihak yang proteknologi padat karya adalah pertama, negara miskin penuh dengan
penganggur. Dengan teknologi padat karya akan menampung pengangguran. Kedua, teknik padat
karya dapat memeratakan pendapat ke seluruh lapisan masyarakat secara adil. Ketiga, dengan
kelangkaan modal dan sumber wiraswasta, teknologi padat karya dapat menyalurkan hak tersebut
ke jalur yang lebih penting. Keempat, rendah impor, teknik tersebut memerlukan alat dan peralatan
lebih sederhana yang tidak perlu diimpor dari luar sehingga devisa dapat dihemat banyak. Kelima,
teknik padat karya sangat diperlukan untuk melawan tekanan inflasi pada perekonomian sedang
berjalan. Teknik ini dengan cepat meningkatkan penawaran barang-barang yang dapat dikonsumsi
dan karenanya menjadikan bahaya inflasi. Keenam, teknik padat karya biasanya digunakan di desa-
desa dan kota kecil. Hal itu akan meniadakan perlunya pembangunan gedung-gedung dan jaminan
sosial bagi para pekerja, sehingga menghemat pengeluaran masyarakat untuk overhead sosial pada
tahap awal pembangunan, yang dapat dimanfaatkan untuk proyek yang lebih penting. Ketujuh,
metode padat karya menikmati semua keuntungan desentralisasi dan menghindarkan dampak
negatif sistem pabrik. Kedelapan, timbulnya monopoli dapat dihindarkan.

Alasan yang dikemukakan pihak yang proteknologi padat modal adalah pertama, pekerjaan yang
menggunakan padat modal mendatangkan pendapatan yang sebagian besar jatuh ke tangan
pengusaha dan sebagian kecil jatuh pada buruh. Kedua, sebagai akibat wajar dari hal itu, laju
pertumbuhan jauh lebih cepat dibawah teknik padat modal daripada dibawah teknik padat karya,
sehingga dalam jangka panjang akan dapat tersedia lapangan pekerjaan yang lebih banyak kepada
tenaga buruh yang ada, Ketiga, di banyak negara terbelakang, lajuu pertumbuhan penduduk sangat
tinggi dan kalau rasio buruh tidak naik maka output perkepala juga tidak naik. Hal itu cenderung
memperkecil tingkat akumulasi modal. Oleh karena itu, penggunaan teknik padat modal sangat
diperlukan untuk menaikkan tempo pembangunan. Keempat, negara miskin modal sulit untuk tidak
menghamburkan modal lewat penyusutan. Karenanya, negara terbelakang harus memiliki teknik
produksi yang sangat padat modal dan tidak cepat usang. Dengan demikian, hanya sedikit saja
produksi barang modal yang perlu diganti di masa depan untuk pembentukan modal selanjutnya.
Kelima, proses produksi padat modal lebih menguntungkan daripada teknik padat karya karena
dengan teknik tersebut produktivitas baik lebih cepat dibangding biaya. Keenam, dalam kenyataan
penggunaan teknik padat modal menghasilkan produksi barag yang bermutu dan menekan biaya,
sehingga harga rendah dan memberikan dasar bagi kenaikan standar hidup yang cepat di kemudian.
Ketujuh, teknik padat modal mempunyai dampak yang menjangkau ke dalam proses pertumbuhan
ekonomi. Beberapa projek padat modal mempunyai pengaruh total yang lebih besar pada
perekonomian daripada sejumlah proyek padat karya. Kedelapan, teknik padat modal mendorong
mempertinggi keterampilan dan efisiensi serta membantu dalam latihan manajemen. Oleh karena
itu, teknik padat modal mempunyai kasiat ganda, yaitu mempertinggi efisiensi dan meningkatkan
koordinasi. Kesembilan, untuk menyediakan overhead sosial dan ekonomi, investasi modal dalam
jumlah besar adalah penting bagi negara terbelakang.

PENERAPAN STRATEGI-STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL

Pemerintahan Orde Baru yang secara konsisten menerapkan strategi pertumbuhan ternyata
berakhir mengenaskan. Korban terbesar adalah rakyat miskin. Pembangunan ekonomi dengan
tingkat pertumbuhan yang mantap selama 32 tahun ternyata mampu dihapus hanya dalam hitungan
bulan. Ekonomi Indonesia kembali terpuruk seperti pada awal pembangunan dengan tingkat
kemiskinan 65%.
Pembangunan industri merupakan bagian dari rangkaian pembangunan nasional dalam mencapai
sasaran pembangunan jangka panjang yang bertujuan membangun masyarakat industri, sehingga
bangsa Indonesia mampu tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri. Dalam hal ini,
Departemen Perindustrian mengelompokkan industri nasional Indonesia menjadi tiga kelompok
besar yaitu pertama, industri dasar yang meliputi kelompok industri mesin dan logam dasar dan
kelompok industri kimia dasar. Ditinjau dari misinya, industri dasar dimaksudkan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan membantu penjualan struktur industri, dan bersifat
padat modal. Teknologi tepat guna yang digunakan adalah teknologi maju dan teruji, dan tidak padat
karya, namun dapat mendorog terciptanya lapangan kerja baru secara besar sejajar dengan
tumbuhnya industri hilir dan kegiatan ekonomi lainnya.

Kedua, industri kecil yang meliputi antara lain industri pangan, industri sandang dan kulit, industri
kimia dan bahan bangunan, dan industri logam. Kelompok industri kecil tersebut mempunyai misi
melaksanakan pemerataan. Teknologi yang digunakan adalah teknologi menengah atau sederhana
dan padat karya. Pengembangan industri kecil tersebut diharapkan dapat menambah kesempatan
kerja dan meningkatkan nilai tambah dengan memanfaatkan pasar dalam dan luar negeri.

Ketiga, industri hilir, yaitu kelompok aneka industri yang meliputi antara lain, industri yang
mengelola sumber daya hutan, hasil pertambangan, sumber daya pertanian secara luas dan lain-laln.
Kolompok aneka industri mempunyai misi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan atau
pemerataan memperluas kesempatan kerja, tidak padat modal, dan teknologi yang digunakan
adalah teknologi menengah dan atau teknologi maju.

Keanekaragaman sektor industri di Indonesia telah menghadapkan para perencana ekonomi pada
suatu dilema. Bila tujuan yang diutamakan adalah penciptaan lapangan kerja dan penghapusan
kemiskinan, sumber-sumber ekonomi yang tersedia harus disalurkan ke dalam usaha-usaha yang
membantu sektor kerajinan rumah tangga yang tidak produktif dan tidak banyak diketahui. Bila
tujuan yang diutamakan adalah pertumbuhan ekonomi, sumber-sumber tersebut haruslah
diarahkan kepada usaha-usaha industri besar yang padat modal (Arsyad, 1988:175).

Dalam praktik, bila pemerintah Indonesia berhadapan dengan dilema tersebut, pemerintah sering
berpihak pada industri yang mmenggunakan teknologi padat modal. Keberpihakan kepada industri
kecil tampak lemah. Hal itu yang menyebahkan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada kekuatan
ekonomi negara maju. Dalam konteks ini, hipotesis Torado ternyata terbukti kebenarannya. Hal itu
berarti kendala politik, sosial, dan budaya amat besar dalam penerapan teknologi tepat guna di
Indonesia.

Walaupun pemerintah Indonesia juga berusaha secara formal untuk menciptakan pemerataan
dengan strategi redistribusi, hasilnya tidak memuaskan. Misalnya undang-undang pertahanan yang
mengatur pembagian tahah juga tidak dijalankan secara konsisten. Sedangkan, atauran pajak
progrrsif tidak tampak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah
Indonesia memang cukup berhasil dalam melakukan program wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun. Proses pendidikan mengandung kelemahan dengan diterapkannya sistem evaluasi nasional
yang menyebabkan guru-guru mengajar dengan berorientasi pada tes bukan pada tujuan
pendidikan.

Pada akhir masa pemerintahan Orde Baru juga dikampanyekan program pemberdayaan masyarakat
miskin. Program yang terkenal adalah Inpres Desa tertinggal. Legitimasi dan keberhasilan
pembangunan desa yang berkelanjutan di negara-negara berkembang, menurut Boyer dan Man
Ahn, bergantung pada faktor desentralisasi, jaminan situsional, pendekatan bawah ke atas,
menekankan pada program nyata, dan dukungan pemerintah pusat yang memadai. Sumawinata
(1992 : 55) menyatakan perlunya perubahan radikal dalam pembangunan industri desa yang
berdasar atas nilai demokrasi populisme, dan keadilan sosial. Industrialisasi desa harus dilakukan
secara besar-besaran dan menjadi titik sentral pembangunan di Indonesia. Cara yang ditempuh
adalah membaangun infrastruktur pedesaaan, membuka investasi di desa secara besar-besaran,
membangun lembaga-lembaga sosial politik pedesaan, mekanisasi pertanian, membangun industri
manufaktur untuk mengolah hasil-hasil desa, dan membuka pasaran kota dalam dan luar negeri.

Desentralisasi berarti pemberian wewenang dan tanggung jawab secara riil kepada pemerintah
daerah. Pendapat itu menarik karena sesuai dengan pengalaman Indonesia. Karakteristik umum
struktur organisasi daerah menurut UU No. 5/1974 adalah dominasi pemerintahan pusat tampak
kuat (samego, 1998). Hal itu tampak pada dua asas dari tiga asas pemerintahan daerah yakni
desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas perbantuan. Secara empiris, asas desentralisasi kurang
berjalan karena tidak didukung oleh pendanaan yang memadai dan daerah dianggap kurang mampu
( Menteri Dalam Negeri, 1998). Penyebab utamanya adalah pemerintahan pusat belum rela
menyerahkan kekuasaannya kepada daerah (Zuhro, 1983).

Sedangkan, faktor jaminan situsional mengarah kepada komitmen pemerintah pusat yang kuat
untuk mendukung pembangunan pedesaan. Komitmen itu memberikan situasi yang mendukung
bagi gerakan pembangunan desa. Dalam kasus Indonesia, program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
misalnya memebri kesan yang mendalam, bukan pada keberhasilannnya, tetapi pengalaman untuk
belajar memberdayakan masyarakat desa. Stituasi itu cenderung berdampak pada perbaikan-
perbaikan program pembangunan pedesaaan pada kesempatan lain.

Pembangunan pedesaan tidak bisa menggunakan pendekatan atas-bawah, artinya harus


menggunakan pendekatan bawah-atas. Pendekatan itu sejalan dengan konsep partisipasi. Logikanya,
pihak yang paling tahu terhadap kelemahan dan potensi pembangunan adalah pihak bawah.
Sedangkan, pihak yang atas biasanya memiliki pengetahuan generatif terhadap masalah dan potensi
pembangunan. Oelh karena itu, pendekatan dari atas cenderung salah, tidak sesuai dengan kondisi
setempat.

Ffaktor lain yang menentukan keberhasilan pembangunan pedesaan adalah penekanan pada
program nyata, bukan program yang seragam secara naisonal. Program pembangunan pedesaan
didasarkan permasalahan setempat sehingga lebih realistis. Program yang demikian itu
diselenggarakan secara partisipatif dengan mellibatkan sumber daya manusia di pedesaan dalam
memobilisasi sumber daya alam dan teknologi yang dimiliki. Program yang seragam secara nasional
yang diorganisasikan secara hierarkis cenderung gagal. Pengalamam Korea menunjukkan bahwa
program Gerakan Masyarakat Baru yang diorganisasikan secara sentralistik banyak mengallami
kendala. Pengalaman Indonesia juga serupa. Bahkan, Indonesia lebih hiterogen daripada Korea,
sehingga pembangunan pedesaan di Indonesia amat mustahil bila dilakukan secara sentralistik.

Anda mungkin juga menyukai