indoprogress.com/2007/02/industrialisasi-nasional-dan-cita-cita-kemakmuran/
25 Februari 2007
Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern,
dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif,
negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme.
1/7
Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini – terutama kedaulatan rakyatnya –
berhenti sebatas cita-cita.
Terdapat tiga variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut:
pertama, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi
industri yang ada, sehingga tidak semakin hancur karena kalah bersaing di tingkat global,
regional, maupun lokal (terhadap industri negeri-negeri yang lebih maju); kedua,
mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau
melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi
dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol
negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan
ekonomi); ketiga, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat
menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru. Pada tahap awal
(sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembangkan menurut kebutuhan
memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan
sistem produksi seperti, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak
berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan
kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang
hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa
revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar
belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa
kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal.
Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan
sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun
akumulasi keuntungannya. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang,
sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan
hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa
2/7
negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi
pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini,
selain melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya,
dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang
luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya
dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau
dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi
internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap
hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.
Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor
pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak
memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas.
Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah
teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke
Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin
juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan
memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya
perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco
Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena bangkrut (dibangkrutkan?).
Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor),
sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.
Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi
kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-
an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya
menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun
dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan
infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru,
tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk
memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka
panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb.
Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi sehingga, tidak
membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses
lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan
yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.
3/7
mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan
nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut
data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di
bawah 2 juta rupiah per bulan.
Industri yang bergantung seperti dipaparkan tadi, mulai menerima kehancuran saat
integrasi ke dalam ekonomi global semakin dalam. Banyak tenaga produktif yang tersia-
siakan atau bahkan sengaja dihancurkan. Pabrik-pabrik ditutup, pengangguran
meningkat, lahan pertanian produktif diserahkan/dirampas untuk industri yang sama
sekali tidak menopang pertanian sementara, sektor jasa (terutama pemasaran) merebak
lampaui sektor produksi. Merebaknya industri pemasaran (ritel, mini market, dsb.,) bukan
disebabkan oleh meningkatnya produksi dalam negeri, melainkan dampak dibukanya
keran impor dalam agenda perdagangan bebas.
Peran negeri-negeri dunia ketiga dalam integrasi tersebut, direduksi sekedar sebagai
penyedia buruh murah, bahan mentah (terutama kekayaan hutan dan tambang), serta
pasar bagi produk negeri-negeri induk kapitalisme. Dalam kerangka tiga tujuan pokok itu,
paket liberalisasi ekonomi dijadikan strategi. Sementara instrumennya adalah negara dan
lembaga-lembaga ekonomi internasional (IMF, WB, & WTO).
4/7
Namun harapan itu tidak terwujud karena, kecenderungan global akumulasi modal bukan
dilakukan melalui investasi produksi tapi, melalui spekulasi saham yang jumlahnya
ratusan persen lebih besar dari nilai aset riil. Selain itu, lebih dari 80 persen modal
sebenarnya tetap terkonsentrasi di negeri-negeri maju. Kalaupun modal tersebut keluar,
maka negeri-negeri seperti Cina, India, dan Vietnam yang baru membuka
perekonomiannya lebih menjadi pilihan. Negeri-negeri ini juga menyediakan pasar tenaga
kerja yang murah, dan ditunjang oleh infrastruktur yang lebih memadai.
Langkah-langkah Industrialisasi
Secara garis besar, persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut di atas kurang lebih
dapat diatasi lewat langkah-langkah industrialisasi sebagai berikut:
1. Negara harus menjamin tersedianya sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis
industri. Korporasi-korporasi penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-
alih kepemilikan ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi
dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri seperti Venezuela dan
Iran perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pemboyongan sumber energi ke luar harus
dihentikan atau dibatasi.
3. Negara harus menjamin tersedianya bahan baku yang cukup untuk seluruh jenis
industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, papan). Perlu segera
memperhatikan pengadaan sumber bahan baku yang sampai saat ini masih diimpor,
seperti kapas untuk industri tekstil, dan juga sebagian produk pertanian (mengenai
pertanian terdapat poin tersendiri). Larangan ekspor dikenakan terhadap jenis bahan
baku yang menjadi basis bagi produksi kebutuhan primer masyarakat, sejauh tidak
terdapat surplus yang bisa dipasarkan ke luar negeri.
5. Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi
dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi sejenis, yang diimpor
dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat
diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi.
6. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan
dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi
masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat
miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan
5/7
yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat
diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang
memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan
di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.
8. Ijin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan
sehingga bahan mentah ekstraktif tidak langsung dijual ke luar negeri. Dengan
pengolahan tersebut, selain akan meningkatkan nilai tambah, juga akan meningkatkan
produktivitas masyarakat lewat industri-industri pengolahan yang terbangun. Misalnya;
hasil tambang bauksit yang diolah menjadi alumunium, bijih besi menjadi baja, baja
menjadi mesin, dsb-dst.
9. Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan sarana dan
kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta
jaminan ketersediaan pasar.
Sudah tentu, program industrialisasi akan berhadapan pada masalah modal. Masalah ini
juga merupakan kunci politik bagi berjalannya program industrialisasi, karena sarat
dengan muatan kepentingan kelas elit yang selama ini mengambil untung dari masing-
masing masalah. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan
oleh kemampuan pembiayaan, dukungan sumber daya manusia, serta mobilisasi politik
dan pengembangan budaya produktif sebagai aspek non ekonomis terpenting.
Setidaknya terdapat lima masalah besar sehubungan dengan sumber pembiayaan yang
mesti diatasi, yaitu: utang luar negeri, pengolahan sumber daya alam, dana obligasi
perbankan, persoalan korupsi, serta sistem kredit perbankan. Masalah-masalah tersebut
harus disusun menjadi program-program sebagai berikut: Pertama, mengatasi masalah
utang luar negeri yang total jumlahnya mencapai seribu enam ratus triliun rupiah.
Anggaran negara setiap tahun untuk membayar utang, seperti yang diketahui bersama,
6/7
mencapai separuh dari total anggaran pembiayaan. Jumlah utang yang sangat besar
tersebut, tidak lain merupakan hasil praktek rente bisnis perbankan internasional.
Program kita adalah mengambil sikap tegas dengan menolak pembayaran utang. Atau
pada tingkat yang paling konservatif, menuntut moratorium tanpa bunga selama jangka
waktu tertentu (misalnya; lima belas sampai dua puluh tahun).
Kedua, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus dipastikan pengawasan dan
kontrolnya oleh negara. Langkah nasionalisasi atas industri pertambangan adalah salah
satu opsi meningkatkan penghasilan negara. Bentuk lain yang merupakan capaian
kompromi adalah memperbaharui kontrak karya dengan korporasi-korporasi
pertambangan, yang notabene mayoritas berasal dari luar negeri. Bila ditelusuri jumlah
keuntungan yang dikeruk melalui berbagai industri tambang, sudah lebih dari cukup
untuk membiayai program pendidikan dan kesehatan. Contohnya, Exxon-Mobill Oil, Ltd.
yang setiap tahun mampu membawa pulang puluhan miliar US dollar, hanya dari satu
blok di Cepu. Atau PT. Newmont di NTB yang menurut laporan resmi, membawa pulang
9,1 triliun rupiah setiap tahun.
Ketiga, dana obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah yang dikeluarkan
pemerintah untuk menjamin keberlangsungan bank-bank swasta. Dana ini telah
dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha yang terjerat kredit macet untuk menalangi utang
mereka. Negara dibebani uang puluhan triliun rupiah setiap tahun untuk membayar
bunga obligasi.
Keempat, kebocoran anggaran negara yang sangat besar harus diatasi dengan cara
yang efektif. Kuncinya adalah tidak menggunakan perangkat birokrasi untuk mengatasi
korupsi di jajaran birokrasi. Lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
perlu dibangun sampai ke tingkat lokal, disertai mekanisme transaparansi dan
pertanggungjawaban kepada rakyat.
Kelima, sistem perbankan saat ini lebih memprioritaskan pinjaman kepada sektor
konsumsi. Kredit yang diberikan kepada industri menengah dan kecil sangat minim,
terutama di sektor-sektor yang masih tertinggal. Perubahan kebijakan dapat dimulai
dengan jaminan yang lebih besar oleh negara untuk pengucuran kredit mikro oleh
perbankan.***
Dominggus Oktavianus, Ketua Pengurus Pusat FNPBI, dan Dewan Pimpinan Pusat
PAPERNAS
7/7