Anda di halaman 1dari 3

Pertumbuhan ekonomi sering digadang-gadang sebagai senjata ampuh untuk meningkatkan kesejahteraan, termasuk

menghapuskan kemiskinan. Tak mengherankan, bila pemimpin daerah dari propinsi hingga kabupaten kota di seluruh
negeri ini umumnya fasih dengan istilah laju pertumbuhan ekonomi (LPE). Inilah jargon ekonomi yang begitu populer di
daerah. Kesuksesan pembangunan daerah umumnya diukur dengan pencapaian LPE yang tinggi.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan kepentingan “orang kebanyakan” karena dua
hal berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi tinggi mencerminkan tumbuhnya balas jasa faktor produksi yang
tidak mengenal lokasi. Misalnya, tingginya balas jasa kepemilikan hotel dan restoran di Kota Bandung belum
tentu mengalir ke penduduk kota Bandung. Kedua, pertumbuhan ekonomi adalah indikator rata-rata, bukan
indikator kebanyakan. Artinya, kenaikan pendapatan segelintir orang secara ekstrim walaupun merugikan orang
kebanyakan akan tetap meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jadi jelas, kecenderungan pemimipin daerah yang
terlalu bernafsu menggenjot semata-mata pertumbuhan ekonomi adalah bentuk pengkhianatan amanat politik
terhadap konstituen-nya.

Memang, argumen yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk mengurangi kemiskinan 
didukung oleh banyak bukti empiris. Tapi, ada dua hal yang sering dilupakan. Pertama, kecenderungan tersebut
tidak selalu berlaku. Sangat mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi tapi dibarengi dengan peningkatan angka
kemiskinan. Ini yang disebut dalam literatur sebagai ciri pertumbuhan yang menyengsarakan (immiserizing
growth). Kedua, kekuatan hubungan diantara keduanya sangat bervariasi. Ada yang hubungannya kuat, ada
yang tidak. Banyak faktor lain yang bermain.

Immizerising growth tercipta karena berbagai sebab. Antara lain:

1. Kesalahan kebijakan struktural yang berlangsung sejak lama membuat ekonomi Indonesia mengalami
de-industrialisasi. Ekspor Indonesia relatif masih bergantung pada beberapa komoditas, kalau tak boleh
dibilang hanya dua: sawit dan batu bara. Distribusi nilai tambah di sektor ini terpusat pada pemilik
modal dengan daya ungkit yang kecil bagi masyarakat sekitar.
2. Kekeliruan kebijakan ini terjadi karena tidak ada konsistensi kebijakan yang baik dan benar dalam
jangka panjang. Harus diakui, kebijakan restrukturisasi ekonomi yang baik dan perlu efeknya baru
terasa pada jangka panjang. Yang selalu terjadi di Indonesia, sebelum efek ini terasa, sudah ada
pergantian kebijakan karena perubahan pemerintahan maupun karena tekanan kelompok-kelompok
kepentingan, apakah itu kepentingan politik dan ideologis maupun kepentingan ekonomi kroni.
3. Sementara itu, pertumbuhan di sektor agrikultur tertinggal. Padahal di sinilah sebagian besar masyarakat
bekerja. Data terakhir menunjukkan 31.86% pekerja atau 39,68 juta orang mencari nafkah di sektor
pertanian.Kemudian disusul oleh sektor perdagangan, sektor jasa kemasyarakatan, dan sektor industri
yang masing-masing sebesar 23,37%,16,82% dan 13,31%. Dalam tiga tahun terakhir, situasi menjadi
semakin parah karena kebijakan yang keliru di sektor pertanian berfokus pada pemenuhan swasembada
yang tidak masuk akal sehat secara ekonomi serta tidak efisien. Harga pangan tetap tinggi sementara
nilai tukar petani justru stagnan kalau tak bisa dibilang menurun.
4. Ekonomi Indonesia juga langsung melompat ke sektor jasa yang nilai tambahnya lebih banyak mengalir
ke kelompok menengah atas. Investasi besar tidak lagi masuk ke manufaktur yang lebih besar rantai
pasokan maupun leverage-nya, sehingga lebih berkualitas. Pekerja di sektor jasa menikmati upah lebih
baik, namun mereka harus berpendidikan. Sedangkan peluang untuk kelas buruh, yang berpendidikan
rendah, tidak banyak karena lapangan kerja di bidang industri semakin sempit. Karena kelompok yang
bawah tidak mendapat peluang yang cukup, pertumbuhan cepat di sektor jasa memperlebar kesenjangan
karena yang lebih menikmati nilai tambah kelompok menengah atas.
5. Sektor jasa di Indonesia sangat terproteksi dan membuat pengusaha lebih terdorong berinvestasi di sana.
Ada excess demand yang besar sehingga sensitifitas permintaan terhadap harga sangat kecil yang juga
berarti potensi keuntungan yang besar. Sektor jasa umumnya juga bersifat non-tradeable sehingga
pertumbuhan yang muncul tidak menciptakan gain from trade. Selama ini, negara-negara yang
menikmati pertumbuhan kesejahteraan sangat pesat adalah negara yang dapat menikmati nilai tambah
dari perdagangan internasional yang besar. Sayangnya ekonomi Indonesia justru semakin tertutup dan
semakin terjerat semangat nasionalisme sempit.
6. Regulasi ketenagakerjaan memperburuk situasi karena pasar tenaga kerja menjadi tidak efisien. Situasi
sekarang adalah situasi lose-lose, baik buruh maupun pengusaha sama-sama tidak senang dan merasa
dirugikan. Penciptaan lapangan kerja terhambat karena regulasi yang sangat kaku membuat penguasa
enggan melakukan rekrutmen. Proteksi yang berlebihan pada buruh yang sudah bekerja membuat tenaga
kerja baru yang belum bekerja menjadi tersandera. Sementara, ketiadaan lapangan kerja adalah salah
satu sebab utama kemiskinan.
7. Pada saat yang sama peran ekonomi kroni justru semakin besar. Ekonomi kroni semakin memusatkan
distribusi nilai tambah pada sekelompok kecil orang yang dekat dengan penguasa. Posisi Indonesia
memburuk berdasarkan indeks ekonomi kroni yang dibuat TheDiskusi Ketimpangan 2 of 5

Economist. Ekonomi kroni adalah kegiatan usaha yang bergantung pada perizinan dan konsesi dari penguasa
seperti pertambangan, perkebunan besar, properti, perdagangan dengan tata niaga, dsb.

8. Pemerintah juga semakin memusatkan kegiatan ekonomi pada BUMN yang semakin dominan. Bahkan
BUMN juga merambah ke bidang-bidang usaha yang semestinya tidak perlu dimasuki negara.
Kesempatan bagi dunia usaha swasta semakin sempit. Kebijakan ini juga semakin memusatkan
distribusi pendapatan pada kelompok tertentu, yang tak lepas dari praktek kroni.
9. Data juga menunjukkan betapa pengeluaran sosial Pemerintah masih kecil secara relatif terhadap PDB.
Bahkan dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, pengeluaran untuk program-program sosial di
Indonesia jauh lebih kecil.
10. Selain jumlahnya kecil, masih banyak pengeluaran sosial yang tidak tepat sasaran. Subsidi pupuk
misalnya, yang hanya sebagian kecil menyentuh petani miskin. Atau dana desa yang secara proporsional
sangat tidak adil bagi orang miskin yang tinggal di kawasan padat Jawa.

Kita menghadapi sumber daya yang terbatas. Tidak semua barang dapat diproduksi menggunakan sumber daya
yang ada.

Berapa banyak produk yang dapat kita hasilkan? Itu tergantung pada:

 Kuantitas dan kualitas sumber daya yang tersedia


 Pengetahuan atau kemampuan teknis produksi (teknologi)

Untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya, kita harus memilih produk apa yang harus kita hasilkan.
Berapa banyak produk yang dapat kita hasilkan secara efisien? Untuk menjawab ini, para ekonom memodelkan
dalam kurva kemungkinan produksi. Kurva menggambarkan kombinasi dari dua output yang dapat kita
hasilkan pada kapasitas penuh.

Kurva di atas mengasumsikan kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada dan teknik produksi konstan. Jadi,
untuk mencapai titik X, kita dapat melakukannya dengan:

 Meningkatkan kuantitas sumber daya, misalnya membeli lebih banyak mesin produksi. Dengan
melakukannya, kita dapat menghasilkan lebih banyak output.
 Meningkatkan kualitas sumber daya seperti dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui
pembagian kerja.
 Meningkatkan teknologi. Dengan mesin yang lebih canggih, kita dapat mencapai lebih banyak
kombinasi output, menggunakan sumber daya yang tersedia. Mesin yang lebih maju secara teknologi
memungkinkan pekerja menjadi lebih produktif daripada menggunakan teknologi lama.

Mengapa Anda harus memahami kurva kemungkinan produksi


Kurva memberikan wawasan tentang efisiensi sistem produksi ketika dua produk diproduksi bersama. Anda
dapat menggunakan kurva ini untuk memutuskan rasio ideal unit yang akan diproduksi, untuk meminimalkan
biaya sambil memaksimalkan keuntungan.

Kurva menunjukkan output maksimum dari berbagai barang yang dapat diproduksi perusahaan ketika semua
sumber dayanya digunakan sepenuhnya. Misalnya, sebuah perusahaan dapat mengoperasikan jalur produksi
yang mampu memproduksi mobil penumpang dan truk. Memproduksi lebih banyak mobil penumpang berarti
mengorbankan biaya peluang karena harus memproduksi lebih sedikit truk.

Anda mungkin juga menyukai