Anda di halaman 1dari 6

KETIDAKSIAPAN MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.

0
(esai ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Orientasi Studi dan Pengenalan
Kampus Universitas Mahasaraswati)

oleh :

NAMA : NI MADE SRI SUARTINI


NO ABSEN : 92
GUGUS : EURO

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR
2022
Menghadapi era globalisasi yang kian tidak terbatas serta perkembangan
pembangunan di suatu negara turut semakin terikat dengan dampak kebijakan di
negara lain. Fenomena ini menghadirkan berbagai ketidakpastian dan nyaris tidak
ada lagi negara yang mampu bergerak independen. Untuk itu diperlukan
intervensi pemerintah yang tepat dan akurat serta proprosional (tidak terlalu besar
atau kecil) untuk mengimbangi dinamika global. Mengingat pergerakan
perekonomian global semakin dinamis, kebijakan pemerintah pun hendaknya
mengandung fleksibilitas yang tinggi. Selain itu dibutuhkan momentum yang
tepat agar kebijakannya bisa bertindak secara akurat.

Menurut saya Pemerintah harus dituntut untuk mampu menjalankan tiga


peran sekaligus, yakni tindakan preventif (mencegah), promotif (mengangkat),
dan kuratif (menyembuhkan), yang semuanya tergantung dengan kondisi di dalam
lingkup internalnya (negara). Permasalahan yang ada saat ini sebenarnya tidak
bisa hanya berkutat pada aspek ekonomi, sosial, dan masalah-masalah teknis
lainnya secara parsial. Seiring meningkatnya persaingan dan dinamika pasar, isu-
isu birokrasi turut terseret dalam kubangan yang sama.

Hal ini menandakan betapa pentingnya setiap tantangan dan permasalahan


yang ada untuk dituntaskan secara bersama. Mekanisme pasar membutuhkan
gerak yang harmonis antarlini ekonomi baik secara sektoral maupun secara spasial
(ruang lingkup). Dari sisi pemangku kebijakan pun semakin dituntut untuk
mampu bertindak secara kolaboratif baik dari sisi fiskal maupun moneter.

Semuanya itu yang saat ini dikenal sebagai bauran kebijakan atau policy
mix. Banyak pihak yang menilai bahwa bauran kebijakan sangat penting untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan stabilitas
pembangunan. Mengapa bauran kebijakan itu penting? Pertama, banyak
kebijakan yang memiliki muara yang sama kendati disusun oleh pihak-pihak yang
berbeda. Misalnya target inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter dan pemerintah selaku


otoritas fiskal di Indonesia sama-sama memiliki kepentingan yang identik dalam
hal pengendalian tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Namun keduanya memiliki ranah urusan rumah tangga masing-masing sehingga
sangat rawan memiliki kebijakan yang bertubrukan. Oleh karena itu bauran
kebijakan dibutuhkan untuk menghindari mispersepsi di tengah dinamika
ekonomi. Misalnya di kala perekonomian domestik tengah lesu, biasanya BI dan
pemerintah akan “berduel” untuk mengakomodasi kepentingan utama dari
wewenang yang diembannya.

Pada saat kondisi seperti ini, BI biasanya akan menggenjot tingkat suku
bunganya agar kinerja sektor keuangan bisa tetap progresif melalui kenaikan
cadangan depositonya. Namun konsekuensinya biasanya akan turut berdampak
pada peningkatan suku bunga kredit perbankan. Di sisi yang lain pemerintah
justru ingin bertindak sebaliknya dengan penurunan tingkat suku bunga kredit
agar pengeluaran untuk produksi/konsumsi tidak cukup membebani kantong
keuangan masyarakat. Dengan begitu pasar akan bergerak lebih progresif lagi dan
berpeluang meningkatkan hasil secara makroekonomi.

Nah, bayangkan saja jika BI dan pemerintah tidak duduk dalam satu meja.
Kedua pihak akan menciptakan kebingungan dan kegelisahan bagi masyarakat.
Karena di satu sisi pemerintah ingin masyarakat bisa terus melaju melalui produk
kredit investasi dan konsumsi, tetapi “ditahan” BI yang ingin pasar keuangannya
tetap tumbuh dan mengecilkan risiko krisis keuangan.

Alasan kedua, mengapa bauran kebijakan itu penting, adalah mengingat


semakin banyaknya negara yang ingin memacu produktivitas domestik dan
mengurangi ketergantungan eksternal (dari negara lain). Globalisasi dalam
perspektif tertentu tampaknya “gagal” mengendalikan egosentrisme serta kurang
efektif menjalankan semangat gotong-royong dan sharing the benefits yang
dibangun melalui teori keunggulan komparatif/kompetitif antarnegara. Pandangan
tersebut disadur dari beberapa kejadian terakhir yang sumbernya berasal dari
“ketamakan” sebuah negara untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-
banyaknya, dengan cara apa pun. Semuanya ingin berdiri sebagai penguasa dan
mulai melupakan tujuan untuk dapat maju bersama hingga pada akhirnya
muncullah beberapa episode trade war antarnegara.

Hampir setiap negara menginginkan semua sumber daya ekonomi bisa


disediakan dan dikelola secara mandiri. Pandangan ini secara normatif memang
tidak keliru. Nah, persoalan akan muncul jika kemandirian ini terkesan
dipaksakan dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang kurang berkeadilan
(atau bahkan menindas/memperdaya). Sebagai contoh kebijakan yang dirumuskan
Pemerintah Amerika Serikat yang berusaha melindungi produk lokalnya dengan
menerapkan tarif impor yang tinggi untuk produk-produk sejenis dari China.
Dalam kacamata normatif memang tidak sepenuhnya salah karena ada terselubung
niat untuk menjaga kepentingan domestiknya. Tapi dengan hasil yang kurang
mengenakkan bagi negara lain (tidak hanya China, melainkan negara secara
global), hal itu menandakan bahwa dalam kebijakan tersebut ada unsur yang
“keliru” atau “egois”.

Alhasil kita berulang kali merasakan betapa beratnya berada dalam


ketidakpastian global. Andaikata kebijakan serupa diadopsi banyak negara, apa
yang akan terjadi kemudian? Dunia akan semakin sesak dengan peperangan
(dagang) dan pertumbuhan global akan terus mengalami perlambatan. Akan tetapi
ada hikmah juga di balik itu semua. Kini kita semakin sadar bahwa kemandirian
ekonomi juga penting. Namun silaturahmi antarnegara tetap harus berjalan karena
belum tentu kita bisa menyediakan seluruh kebutuhan domestik dan mengelola
sumber daya ekonomi secara 100%. Jadi simbiosis mutualisme tetap perlu dijaga
baik untuk kepentingan produksi, konsumsi maupun pemasaran. Poin dari alasan
kedua itu adalah munculnya ide untuk meningkatkan kemandirian. Kini setiap
negara berjuang agar pertumbuhannya bisa tetap progresif dan stabil.

Kita sendiri juga perlu memperjuangkan kemandirian agar tidak selalu


menjadi korban ketika pasar global mulai gonjang-ganjing. Caranya adalah
dengan mengoptimalkan potensi yang ada dan merekayasa kebutuhan yang belum
tersedia. Ide substitusi impor turut terkandung di dalamnya mengingat
perekonomian memiliki banyak jenjang di dalam pengelolaannya (mulai
penyediaan bahan baku, produksi hingga pemasaran). Maka secara otomatis perlu
diinventarisasi sektor apa saja yang bisa dilibatkan dan tahap mana yang perlu
kinerjanya ditingkatkan. Semua pihak perlu dikoneksikan menuju kepentingan
yang seragam.

Misalnya untuk kepentingan peningkatan kinerja sektor pertanian, ada


unsur petani, produsen bibit dan sarana produksi, jasa keuangan,
pemasok/penjual, serta masyarakat selaku penampung hasil pertanian (untuk
konsumsi maupun produksi/industri) sebagai pihak-pihak yang akan terlibat di
dalamnya. Kita tinggal mengamati apa saja yang membuat kinerja di sektor
pertanian menjadi lemah. Apakah karena tata niaganya? Ataukah praktik
prinsipal-agen yang cenderung menghapus keberdayaan? Ataukah faktor alam
yang sulit dikendalikan? Atau bahkan karena faktor-faktor kelembagaan lainnya?
Semua itu bisa diatasi jika kita memiliki sederet solusi yang tepat dalam setiap
persoalan.

Kasus-kasus menurunnya kinerja di sektor industri kurang lebih juga


demikian. Banyak kebijakan yang membuat kinerja industri kita tertekan karena
besarnya biaya ekonomi (high cost economy) sehingga daya saing industri kita
tidak cukup tinggi. Selain itu faktor ketergantungan dengan bahan baku/bahan
penolong dari impor yang membuat ketersediaannya relatif kurang stabil dan
terjangkau. Penguatan sektor industri tidak bisa mengandalkan usaha para
industrialis saja, melainkan juga dibutuhkan minimal dukungan dari sektor
pendidikan dan kesehatan selaku penyedia SDM unggulan, sektor infrastruktur
untuk konektivitas dan produktivitas, serta sektor perdagangan sebagai salesman.
Jadi semuanya perlu dikoneksikan pada frame dan policy mix untuk
mencapai goals yang sama.
Untuk menyusun bauran kebijakan yang efektif dan efisien juga dibutuhkan
rumusan kebijakan yang ampuh melalui sumber data dan informasi yang akurat.
Keduanya merupakan faktor penting untuk mendukung kualitas kebijakan.
Kualitas data dan sistem informasi yang tangguh akan menghasilkan
kualitas dan kecepatan suatu kebijakan. Dengan demikian sangat mendesak
kebutuhan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Dalam perkembangannya saat ini, revolusi industri jilid keempat
atau yang kini disebut sebagai revolusi industri 4.0 menunjukkan level yang
seharusnya saat ini kita terapkan dalam seluruh aspek kehidupan, baik apakah itu
dalam aktivitas sosial maupun berekonomi. Akan sangat mudah bagi pemerintah
maupun pihak yang berkepentingan lainnya jika seluruh informasi ada di dalam
satu meja.

Intervensi dapat segera dilakukan saat mulai timbul masalah. Misalnya di


sektor apa saja, wilayah mana saja, yang membutuhkan tindakan segera. Jika
semuanya bisa dirangkum secara terintegrasi, wow bayangkan betapa efisiensinya
kebijakan yang akan dihasilkan. Tinggal kita persiapkan bagaimana cara untuk
mampu menghasilkan itu semua. Semoga.

KOMINFO, P.
KOMINFO, P. (2019). Apa itu Industri 4.0 dan bagaimana Indonesia menyongsongnya.
Retrieved 30 August 2022, from
https://www.kominfo.go.id/content/detail/16505/apa-itu-industri-40-dan-
bagaimana-indonesia-menyongsongnya/0/sorotan_media

Bauran Kebijakan dan Industri 4.0 – Fakultas Ekonomi dan


Bisnis Universitas Brawijaya
Bauran Kebijakan dan Industri 4.0 – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya. (2019). Retrieved 30 August 2022, from https://feb.ub.ac.id/id/bauran-
kebijakan-dan-industri-4-0.html

Ekonomi Digital Tonggak Perekonomian Era 4.0


Ekonomi Digital Tonggak Perekonomian Era 4.0. (2020). Retrieved 30 August 2022,
from https://www.uii.ac.id/ekonomi-digital-tonggak-perekonomian-era-4-0/

Anda mungkin juga menyukai