Anda di halaman 1dari 51

Bab 2 PERAN, KINERJA DAN PERMASALAHAN

2.1 Peran Strategis

Dari perspektif dunia, diakui bahwa UMKM memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di NSB tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM, UMKM
sangat penting tidak hanya karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja
dibandingkan UB, seperti halnya di NSB, tetapi juga di banyak negara kontribusi dari kelompok usaha ini
terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi
dari UB.
Di NSB di Asia, Afrika dan Amerika Latin, UMKM juga berperan sangat penting, khususnya dari
perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan
pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi perdesaan. Namun, dilihat dari sumbangannya terhadap
pembentukan PDB dan ekspor non-migas, khususnya produk-produk manufaktur, dan inovasi serta
pengembangan teknologi, peran UMKM di NSB masih relatif rendah, dan ini sebenarnya perbedaan yang
paling menyolot dengan UMKM di NM.
UMKM sangat penting karena cici-ciri khas mereka, antara sebagai berikut (Tambunan, 2012, 2016):
1) jumlah perusahaan sangat banyak sekali (jauh melebihi jumlah UB), terutama dari kategori UMI dan UK.
Berbeda dengan UB dan UM, UMI dan UK tersebar di seluruh pelosok perdesaan, termasuk di wilayah-
wilayah yang relatif terisolasi. Oleh karena itu kelompok usaha ini mempunyai suatu signifikansi “lokal”
yang khusus untuk ekonomi perdesaan. Dalam kata lain, kemajuan pembangunan ekonomi perdesaan sangat
ditentukan oleh kemajuan pembangunan UMKM-nya;
2) karena sangat padat karya, yang berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang
sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-
kebijakan nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi
masyarakat miskin. Hal ini juga yang bisa menjelaskan kenapa pertumbuhan UMKM menjadi semakin
penting di perdesaan di NSB. Terutama di daerah-daerah di mana sektor pertanian mengalami stagnasi atau
sudah tidak mampu lagi menyerap pertumbuhan tahunan dari penawaran tenaga kerja di perdesaan. Sesuai
teori dari A. Lewis (suplai tenaga kerja tak terbatas), kondisi kelebihan tenaga kerja di perdesaan akan
menciptakan arus manusia terus menerus dari perdesaan ke perkotaan. Apabila kegiatan-kegiatan ekonomi
perkotaan tidak mampu menyerap pendatang-pendatang tersebut, jumlah pengangguran akan meningkat,
dan akan muncul banyak masalah sosial terkaitnya di perkotaan. Oleh sebab itu, kegiatan-kegiatan non-
pertanian di perdesaan, terutama industri, selalu diharapkan bisa berfungsi sebagai sumber penyerapan
kelebihan penawaran tenaga kerja ke sektor pertanian, sehingga bisa membatasi arus migrasi ke perkotaan;
dan dalam hal ini, UMKM di perdesaan dapat memainkan suatu peran krusial;

1
3) tidak hanya mayoritas dari UMKM, terutama UMI, di NSB berlokasi di perdesaan, kegiatan-kegiatan
produksi dari kelompok usaha ini juga pada umumnya berbasis pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya
pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan suatu cara tak langsung namun efektif untuk
mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi di sektor pertanian;
4) UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” (jika dibandingkan dengan teknologi-teknologi
canggih yang umum dipakai oleh perusahaan-perusahaan modern/UB) terhadap proporsi-proporsi dari
faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di NSB, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja
berpendidikan rendah yang berlimpah (walaupun jumlahnya bervariasi menurut negara atau wilayah di
dalam sebuah negara), tetapi modal serta sumber daya manusia (SDM), atau tenaga kerja berpendidikan
tinggi) yang sangat terbatas;
5) banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan banyak UMKM bisa bertahan pada saat ekonomi Indonesia
dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997/98. Oleh sebab itu, kelompok usaha ini dianggap sebagai
perusahaan-perusahaan yang memiliki fungsi sebagai basis bagi perkembangan usaha lebih besar. Misalnya
UMI bisa menjadi landasan bagi pengembangan UK, sedangkan UK bagi UM, dan UM bagi UB;
6) walaupun pada umumnya masyarakat perdesaan miskin, banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-
orang desa yang miskin bisa menabung, dan mereka mau mengambil resiko dengan melakukan investasi.
Dalam hal ini, UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi tabungan/investasi di perdesaan;
sementara, pada waktu yang sama, kelompok usaha ini dapat berfungsi sebagai tempat pengujian dan
peningkatan kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa;
7) (masih berkaitan dengan butir 6) terbukti bahwa pada umumnya pengusaha-pengusaha UMKM membiayai
sebagian besar dari operasi-operasi bisnis mereka dengan tabungan pribadi, ditambah dengan bantuan atau
pinjaman dari saudara atau kerabat, atau dari pemberi-pemberi kredit informal, pedagang atau pengumpul,
pemasok-pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen-konsumen. Ole karena itu,
kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu sebagai suatu alat untuk
mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan, yang kalau tidak, akan digunakan untuk maksud-maksud
yang tidak produktif. Dalam kata lain, jika kegiatan-kegiatan produktif tidak ada di perdesaan, keluarga-
keluarga perdesaan yang memiliki uang lebih akan menyimpannya di dalam rumah yang tentu tidak akan
menghasilkan nilai tambah dalam bentuk penghasilan dari bunga tabungan karena di banyak desa belum ada
bank, atau menggunakannya untuk tujuan-tujuan konsumtif seperti beli tanah, mobil atau rumah, atau
barang-barang konsumsi mewa lainnya yang sering dilihat oleh warga desa sebagai sesuatu yang prestise;
8) walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk masyarakat kelas menengah dan atas
(untuk yang terakhir ini proporsinya lebih kecil), terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM
adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana dengan harga relatif murah, seperti pakaian jadi dengan
disain sederhana, meubel dari kayu, bambu dan rotan, barang-barang lainnya dari kayu, alas kaki, dan alat-
alat dapur dari aluminium dan plastik. Barang-barang ini memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat

2
miskin atau berpendapatan rendah. Namun demikian, banyak juga UMKM yang membuat barang-barang
non-konsumsi seperti peralatan-peralatan produksi, berbagai macam mesin sederhana dan/atau komponen-
komponennya, bahan-bahan bangunan, dan barang-barang setengah jadi lainnya untuk kebutuhan kegiatan-
kegiatan di banyak sektor seperti industri, konstruksi, pertanian, perdagangan, pariwisata, dan transportasi;
9) sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM (khususnya UK dan UM; sebut saja usaha mikro dan
kecil atau UMK) yang mampu meningkatkan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi;
walaupun negara berbeda mungkin punya pengalaman berbeda dalam hal ini, tergantung pada banyak
faktor. Faktor-faktor tersebut bisa termasuk tingkat pembangunan ekonomi pada umumnya dan
pembangunan sektor terkait pada khususnya; akses ke faktor-faktor penentu produktivitas paling penting,
khususnya modal, teknologi atau pengetahuan dan SDM; dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang
mendukung keterkaitan-keterkaitan produksi antara UMKM dan UB, termasuk dengan perusahaan-
perusahaan asing/berbasis penanaman modal asing);1
10) salah satu keunggulan dari UMKM adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi relatif terhadap pesaingnya
(UB). Jelompok usaha ini dilihat sangat penting di industri-industri yang tidak stabil atau ekonomi-ekonomi
yang menghadapi perubahan-perubahan kondisi pasar yang cepat, seperti krisis ekonomi 1997/98 yang
dialami oleh beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk indonesia.2
Oleh karena itu, dengan menyadari betapa pentingnya UMKM (paling tidak secara potensial) seperti yang
diuraikan di atas tersebut, tidak heran kenapa pemerintah-pemerintah di hampir semua NSB (termasuk
Indonesia) sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skim-skim kredit bersubsidi
sebagai komponen terpenting, untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan UMKM. Tidak hanya itu,
lembaga-lembaga internasional pun seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Organisasi
Dunia untuk Industri dan Pembangunan (the United Nation Industry and Development Organisation/UNIDO)
dan banyak negara-negara donor lewat kerjasama-kerjasama bilateral juga sangat aktif selama ini dalam
upaya-upaya pengembangan (atau capacity building) UMKM di NSB.

2.2 Pola Perkembangan UMKM: Suatu Pembahasan Teori

Ada dua arus pemikiran/teori dalam menjelaskan pola perkembangan UMKM di dalam proses pembangunan
atau pertumbuhan ekonomi. Arus pertama, yang sering disebut sebagai teori "klasik" mengenai perkembangan
UMKM yang memprediksi bahwa jumlah kelompok usaha ini, khususnya UMK, akan semakin berkurang
1
Di NSB, UB mencapai peningkatan produktivitas untuk sebagian besar adalah dari teknologi-teknologi maju yang ada di dunia.
Misalnya dari penanaman modal asing (PMA) dalam bentuk lisensi teknologi dan kerjasama dalam berbagai bentuk seperti joint
ventures dan aliansi strategis. Seperti ini tidak didapat di kebanyakan UMKM (Berry dkk., 2001).
2
Ini kelihatan pada saat krisis ekonomi 1997/98, UMKM bisa menghadapinya lebih baik daripada UB, karena fleksibilitas UMKM
yang lebih besar membuat mereka bisa menyesuaikan proses produksi selama krisis tersebut; walaupun banyak juga UMKM yang
tutup usaha atau mengurangi kegiatan produksi mereka karena terhimbas oleh efek-efek negatif yang muncul dari krisis tersebut.
Banyak berpendapat bahwa tidak terlalu tergantungnya UMKM pada pasar-pasar dan kredit formal membuat kelompok usaha
tersebut merespons lebih cepat dan luwes daripada UB terhadap goncangan-goncangan yang muncul secara mendadak (Berry, dkk.
2001).
3
dengan pertumbuhan ekonomi atau peningkatan pendapatan. Ekonomi akan didominasi oleh UB. Jadi, dalam
teori ini, pertumbuhan UMKM berhubungan negatif dengan pembangunan ekonomi atau laju pertumbuhan
ekonomi. Arus kedua, disebut teori "modern" dari perkembangan UMKM menegaskan bahwa kelompok usaha
ini akan semakin penting di dalam ekonomi. Hipotesa dari arus kedua ini adalah relasi positif antara
pertumbuhan UMKM dengan tingkat pendapatan masyarakat. Kedua arus ini dijelaskan lebih

2.2.1 Hubungan Negatif dengan Pertumbuhan Ekonomi


Ada dua literatur utama dari arus pertama ini, yakni Hoselitz (1959), dan Staley dan Morse (1965). Studi
Hoselitz (1959), yang dikutip dari Tambunan (1994), mengenai industrialisasi di Jerman. Ia menunjukkan
bahwa pada tahap ‘awal’ pembangunan, sektor manufaktur di negara itu didominasi oleh pengrajin-pengrajin
dan banyak dari mereka akhirnya berkembang menjadi usaha-usaha besar; sedangkan yang lainnya gugur atau
kegiatannya mengalami stagnasi. Namun demikian, Hoselitz (1959) tidak menganalisis secara eksplisit sifat
alami dari keterkaitan antara tingkat industrialisasi dan perubahan struktural di dalam sektor manufaktur. Dia
lebih menekankan pada karakteristik dari biaya produksi yang rendah, yang ia simpulkan sebagai kunci
keberhasilan dari UMKM. Rendahnya biaya produksi disebabkan terutama oleh pemakaian anggota-anggota
keluarga sebagai pekerja-pekerja tidak dibayar.
Setelah karya Hoselitz ini dipublikasikan secara luas, banyak peneliti atau pemerhati UMKM lainnya di
dunia, seperti Parker (1979) dan Anderson (1982), yang juga mengembangkan tipologi fase pertumbuhan yang
berbasis pada pengalaman dari NM untuk menjelaskan perubahan struktur skala usaha di sektor industri
menurut wilayah dan waktu di NSB. Menurut pendekatan ini, di dalam proses pembangunan ekonomi,
perubahan, atau bisa juga disebut evolusi, dari komposisi dari kegiatan-kegiatan manufaktur, jika
diklasifikasikan menurut skala, berlangsung melewati tiga fase. Dalam fase pertama, yakni tahap ‘awal’
pembangunan industri (ekonomi masih dicirikan sebagai ekonomi agraris), UMI, disebut juga industri-industri
rumah tangga atau kegiatan-kegiatan pengrajin (tipe paling tradisional dari perusahaan-perusahaan di industri
manufaktur) paling dominan, baik dalam jumlah unit usaha maupun dalam jumlah pekerja, dilihat dari
persentasenya dari jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur. Ini adalah suatu fase dari industrialisasi, di mana
terdapat sejumlah besar UMI (kebanyakan di perdesaan) berdampingan dengan sejumlah kecil UB (kebanyakan
adalah perusahaan asing atau badan usaha milik negara yang berlokasi di perkotaan atau kota-kota besar).
Dalam tahap ini, UMI lebih terkonsentrasi di industri-industri seperti pakaian jadi, pandai besi, alas kaki,
kerajinan, bahan-bahan bangunan sederhana dan makanan dan minuman. Di NSB, kegiatan-kegiatan produksi di
subsektor-subsektor tersebut relatif mudah dilakukan. Khususnya di industri-industri pakaian jadi, makanan dan
minuman, dan kerajinan, kebutuhan modal awal sangat sedikit dan produsen/pengusaha tidak perlu memiliki
pendidikan formal yang tinggi dan tidak perlu ada tempat khusus untuk kegiatan produksi. Mungkin untuk
alasan ini, kegiatan produksi UMI di kelompok-kelompok industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh
perempuan dan anak-anak sebagai suatu kegiatan paro waktu, dan dilakukan di dalam rumah pemilik

4
usaha/pengusaha. Pendapatan dari kegiatan-kegiatan UMI tersebut sangat penting baik sebagai sumber
pendapatan utama atau satu-satunya maupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga. Di banyak negara,
termasuk Indonesia, kebanyakan UMI adalah usaha sendiri tanpa pekerja (di dalam literatur umum disebut self-
employment atau unit usaha satu orang di mana pemilik melakukan semua pekerjaan).
Dalam tahap ini, juga terdapat banyak kegiatan UMI yang erat kaitannya dengan produksi di sektor
pertanian, baik dalam bentuk keterkaitan produksi ke depan, yakni UMI mensuplai berbagai input ke pertanian,
maupun dalam bentuk keterkaitan produksi ke belakang, yakni UMI mengolah output dari pertanian, misalnya
industri-industri makanan dan minuman. Selain itu, keterkaitan dalam kegiatan produksi antara UMI dan
pertanian juga secara tidak langsung lewat keterkaitan konsumsi, yakni UMI menyediakan kebutuhan-
kebutuhan makanan dan non-makanan bagi penduduk perdesaan yang pada umumnya adalah rumah tangga –
rumah tangga petani. .
Dalam fase ke dua, di wilayah-wilayah yang ekonominya lebih berkembang dengan pendapatan per kapita
lebih tinggi, UK dan UM (sebut saja usaha kecil menengah atau UKM) mulai muncul dan tumbuh pesat, dan
secara perlahan kedua subkategori UMKM tersebut menggeser keberadaan UMI di sejumlah kelompok industri.
Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan ekspansi UKM pada fase kedua ini, diantaranya adalah kenaikan
pendapatan masyarakat per kapita yang merubah pola konsumsi masyarakat dari sebelumnya pada saat
pendapatan mereka rendah membeli barang-barang berkualitas rendah (inferior) pindah ke barang-barang
berkualitas tinggi (ferior ), dan di dalam kelompok UMKM, UMI pada umumnya membuat barang-barang
inferior , sedangkan banyak UK, dan terutama UM memproduksi barang-barang berkualitas lebih baik.
Dalam fase ketiga, pada tahap ‘terakhir’ pembangunan, pabrik-pabrik besar (UB) menjadi dominan,
menggantikan UKM (dan juga UMI yang masih ada) di sejumlah industri. Menurut Anderson (1982) fase ini
sebagian adalah suatu produk dari fase kedua, sejak pertumbuhan output dan kesempatan kerja di UB dapat
dibagi ke: (a) perkembangan skala usaha dari yang sebelumnya UKM menjadi UB, dan (b) perluasan skala
produksi dari UB. Namun demikian, ekspansi UB dalam fase ini bisa juga disebabkan sebagian oleh muncuknya
UB baru (yang perkembangannya sejak awal tidak melalui struktur skala), yang tidak diperhitungkan secara
eksplisit dalam analisanya Anderson.
Dalam fase terakhir ini, pemakaian skala ekonomi dalam produksi, manajemen, pemasaran dan distribusi
(tergantung pada tipe produk dan fleksibilitas dalam produksi); keunggulan teknologi; efisiensi manajemen;
koordinasi produktif; akses ke jasa-jasa infrastruktur pendukung serta keuangan eksternal yang lebih baik; dan
pendanaan konkesi dengan insentif investasi, struktur tarif, dan subsidi pemerintah, semuanya adalah penyebab-
penyebab atau merupakan insentif utama bagi perusahaan-perusahaan untuk berkembang menjadi lebih besar.
Dalam kenyataannya, faktor-faktor ini sering kali lebih tersedia atau menguntungkan UB atau usaha modern
daripada UMKM, khususnya UMI, dan hal ini dapat menjelaskan kenapa kinerja UB lebih baik daripada
UMKM dalam fase industrialisasi yang lebih maju.

5
Studi Staley dan Morse (1965) didasarkan pada pengalaman dari NM dan NSB, dan mereka
mengidentifikasi tiga kategori kondisi bagi keberadaan UMKM, yakni lokasi, proses pengolahan, dan pasar atau
tipe dari produk yang dihasilkan. Proses pengolahan suatu bahan baku yang lokasinya tersebar (biasanya
industri-industri perdesaan) dan produk-produk untuk pasar-pasar lokal dengan biaya transportasi yang relatif
tinggi adalah dua kondisi lokasi yang paling penting. Operasi-operasi pengolahan yang terpisah, kerajinan atau
pekerjaan tangan yang sangat membutuhkan presisi, dan proses perakitan, pencampuran, dan penyelesaian akhir
yang sederhana adalah kondisi-kondisi paling penting dari proses pengolahan bagi keberadaan UMKM.
Sedangkan kondisi pasar yang cocok bagi perkembangan UMKM adalah dalam bentuk produk diferensiasi
dengan skala ekonomi yang rendah dan melayani pasar-pasar kecil. Signifikansi dari pengaruh-pengaruh dari
kondisi-kondisi tersebut bisa berbeda untuk UMKM di kelompok-kelompok industri yang berbeda. Misalnya,
hanya melayani pasar-pasar kecil merupakan suatu penentu sangat penting bagi dominasi UMKM di industri-
industri kayu (termasuk mebel), karena jumlah permintaan untuk barang-barang tersebut biasanya terbatas
dibandingkan besarnya permintaan untuk barang-barang konsumsi lainnya. Sedangkan, kondisi dari pabrik-
pabrik yang mengolah bahan-bahan baku yang tersebar lokasinya dianggap sebagai penjelasan yang signifikan
bagi dominasi dari industri-industri makanan skala kecil di perdesaan.
Dari kondisi-kondisi tersebut, Staley dan Morse (1965) berargumen bahwa khususnya kegiatan-kegiatan
pengolahan yang terpisah atau spesifik (misalnya UMKM memproduksi komponen-komponen tertentu untuk
UB) dan produk diferensiasi dengan skala ekonomi yang rendah adalah faktor-faktor paling penting yang
menjelaskan keberadaan UMKM di NSB.
Komposisi output dari UMKM di industri manufaktur juga bergeser dalam proses pembangunan. Saat
pendapatan per kapita meningkat, kegiatan-kegiatan UMKM bergeser dari industri-industri ‘ringan’ dengan
pengolahan sederhana ke industri-industri ‘berat’ yang memproduksi barang-barang antara dan kemudian barang-
barang modal dengan proses yang lebih ruwet. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin
rendah pangsa UMKM di industri-industri ringan and semakin tinggi pangsa dari kelompok usaha ini di industri-
industri berat terutama di industri-industri mesin dan alat-alat transportasi, 3yang diukur dengan suatu persentase
dari total kesempatan kerja di UMKM. Tetapi, tidak hanya antar subsektor manufaktur tetapi di dalam sebuah
kelompok industri suatu pergeseran di dalam UMKM juga terjadi dari membuat barang-barang ‘tradisional’
(yakni jenis kegiatan yang dilakukan umumnya oleh wanita dan anak-anak) ke produksi barang-barang yang
lebih canggih atau modern. Dalam kata lain, dengan berjalannya pembangunan (atau meningkatnya pendapatan
per kapita), pangsa UMKM yang membuat barang-barang tradisional sebagai suatu persentase dari jumlah
kesempatan kerja atau perusahaan di industri-industri terkait berkurang.
Baik Hoselitz (1959) (dikutip oleh Tambunan, 1994) maupun Anderson (1982), berdasarkan
pengamatan/analisa data mereka menegaskan bahwa keunggulan komparatif dari UMKM akan berkurang terus

3
Industri-industri ringan termasuk: makanan , minuman, kayu, mebel, kertas, percetakan dan penerbitan, produk-produk mineral non logam,
tekstil, pakaian jadi, alas kaki, bahan-bahan bangunan, produk-produk logam, dan kulit. Industri-industri berat termasuk antara lain karet, kimia,
minyak, logam dasar, mesin-mesin dan alat-alat transportasi .
6
dan UB akan semakin mendominasi ekonomi dengan semakin majunya pembangunan. Namun demikian,
pengalaman-pengalaman dari banyak negara di Eropa yang menunjukkan munculnya kembali UMKM sebagai
unit-unit bisnis yang kompetitif; semakin pentingnya UMKM di Jepang dan negara-negara industri baru di Asia
Timur di mana kelompok usaha tersebut sangat terintegrasi dengan UB lewat jaringan-jaringan subkontrak.
Sebagai suatu rangkuman, teori “klasik” mengenai evolusi UMKM percaya bahwa dalam perjalanan
pembangunan, porsi “ekonomi” dari UMKM dalam pembentukan atau pertumbuhan PDB, kesempatan kerja,
output sektoral, dan total perusahaan akan terus menurun. Sebaliknya, pangsa UB yang lebih modern tumbuh
dengan laju yang semakin pesat dan akhirnya kelompok usaha ini mendominasi ekonomi

2.2.2 Hubungan Positif dengan Pertumbuhan Ekonomi

Pada dekade 80an, muncul tesis flexible specialisation (FS) dan sejak itu sudah banyak makalah-makalah
seminar, penelitian-penelitian, artikel-artikel di jurnal-jurnal, dan buku-buku yang ditulis mengenai isu baru ini.
Munculnya tesis ini adalah hasil dari suatu perdebatan panjang mengenai bagaimana menginterpretasikan pola
produksi global yang baru akibat tekanan-tekanan globalisasi dan restrukturisasi industri. Perubahan pola
produksi tersebut juga membawa perubahan terhadap cara mengorganisasikan produksi dan tenaga kerja.
Beberapa peneliti berargumen bahwa produksi global sedang mengalami suatu transformasi dari produksi masa
(Fordist) ke produksi dalam volume kecil. FS dikenal sebagai salah satu pola baru tersebut yang menggantikan
pola produksi fordist (Piore dan Sabel, 1983, 1984).
Konsep FS berasosiasi erat dengan buku yang terkenal dari Piore and Sabel (1984) mengenai ‘the second
industrial divide’. Di dalam buku ini mereka mendiskusikan munculnya kembali lokasi-lokasi pengrajin di
sejumlah negara di Eropa Barat, yakni Italia, Austria dan Jerman.4Dalam mempelajari perkembangan dari lokasi-
lokasi pengrajin tersebut, Piore dan Sabel (1984) menegaskan bahwa UMKM di lokasi-lokasi itu telah menjadi
bentuk yang dominan dari organisasi industri. UMKM tersebut dikenal sebagai perusahaan-perusahaan yang
mengerjakan pekerja-pekerja dengan ketrampilan tinggi dan multi, menggunakan mesin-mesin yang ‘fleksibel’
yang mengandung teknologi-teknologi paling akhir dan membuat dalam volume kecil sejumlah produk-produk
khusus yang berbeda untuk pasar global. Sedangkan, Holt (1996) memberi penilaiannya mengenai kualitas dari
UMKM yang membuat kelompok usaha ini menjadi sangat penting di dalam ekonomi: small firms are
supposedly leaner, less bureaucratic, more entrepreneurial and more innovative than large firms and, as a result,
it is supposed that they grow further and faster than established firms. Small firms are thought to be especially
important as wealth creators and job creators, and they are also considered to be more committed to their local
communities than large firms, both in the sense of sourcing and recruiting locally and in the sense of being less
geographically footloose than large companies (halaman 203).
Literatur mengenai tesis FS mengatakan secara eksplisit bahwa teknologi-teknologi baru (seperti komputer

4
Dalam interpretasi mereka, the first industrial divide terjadi selama abad ke 19 dengan munculnya produksi masa, dan the second
industrial divide terjadi pada akhir abad ke 20 dengan munculnya industri-industri kerajinan (Piore dan Sabel, 1994).
7
dan alat-alat monitor dan kontrol mesin pabrik) membuat skala ekonomi menjadi kurang penting, yang
selanjutnya membuat pabrik-pabrik lebih kecil menjadi lebih efisien, dan ini semua mempromosikan kelayakan
relatif dari UMKM di dalam era globalisasi. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan suatu industri untuk
memenuhi perubahan-perubahan pasar yang cepat (khususnya pasar global) dengan tepat waktu, murah, dan
efisien telah menciptakan suatu peran baru bagi UMKM di NM. Jadi, peran baru UMKM ini di dalam ekonomi
bisa digunakan sebagai suatu argumen untuk menentang proposisi dari Anderson, diantara beberapa lainnya,
yang telah dibahas sebelumnya, yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang ekonomi akan dikuasai oleh UB
(dalam output maupun kesempatan kerja).
Ada empat bentuk organisasi yang umum dari FS yang diidentifikasi di dalam bukunya Piore dan Sabel
(1984) tersebut:
1) fleksibel dan spesialisasi: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas dapat menyesuaikan dengan cepat
teknik-teknik produksi mereka terhadap perubahan-perubahan pasar, tetapi tetap berspesialisasi dalam
memproduksi satu tipe barang, misalnya pakaian jadi;
2) masuk terbatas: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas membentuk bagian dari suatu komunitas yang
tertutup dan perusahaan-perusahaan di luar komunitas tidak bisa atau sulit masuk;
3) tingkat inovasi kompetitif yang tinggi: ada tekanan terus menerus terhadap perusahaan-perusahaan di
dalam komunitas untuk mempromosikan inovasi untuk bisa tetap lebih unggul daripada pesaing-pesaing
mereka; dan
4) tingkat kerja sama yang tinggi: ada persaingan terbatas antar sesama perusahaan di dalam komunitas dalam
hal gaji dan kondisi kerja, yang merangsang kerjasama yang lebih besar antar mereka.
Sejak dipublikasi bukunya Piore dan Sabel (1984) tersebut, tidak hanya karakteristik-karakteristik dan
bentuk baru dari organisasi industri tersebut didiskusikan secara luas, tetapi beberapa peneliti juga telah berusaha
mengkaji relevansi dari paradigma FS tersebut terhadap distrik-distrik industri yang didominasi oleh UMKM di
NB. Selain itu, banyak juga peneliti yang telah berusaha mengkaji implikasi dari FS terhadap industri, khususnya
kluster-kluster UMKM, di banyak NSB.5
Juga dalam beberapa tahun belakangan ini, muncul literatur yang hampir serupa dengan tesis FS tetapi secara
eksplisit melihat UMKM atau wirausaha sebagai sumber inovasi. 6Literatur ini menegaskan bahwa UMKM yang
melakukan suatu strategi inovasi adalah UMKM yang akan bisa membuat produk-produk yang kompetitif, yang
berarti juga UMKM yang bisa bertahan terus dan bahkan berkembang pesat. Peran baru UMKM ini juga bisa
dibaca dari salah satu paragraf dari tulisannya Audretsch (2003) sebagai berikut: The empirical evidence has
found that the post-entry growth of firms that survive tends to be spurred by the extent to which there is a gap
between the MES (minimum efficient scale) level of output and the size of the firm. However, the likelihood of any
particular new firm surviving tends to decrease as this gap increases. Such new SMEs (UMKM) deploying a
5
Literatur FS berkembang pesat terutama di dekade 90-an, yang dibahas antara lain di Tambunan (1994).
6
Jadi, selain lebih fleksibel, kultur innovasi yang tinggi juga merupakan ciri dari UMKM modern yang membedakannya dengan UMKM
traditional a’la teori-teori ‘klasik’.
8
strategy of innovation to attain competitiveness are apparently engaged in the selection process. Only those
SMEs offering a viable product that can be produced efficiently will grow and ultimately approach or attain the
MES level of output The remainder will stagnate,.........may ultimately be forced to exit the industry. Thus, in
highly innovative industries, there is a continuing process of the entry of new SMEs into industries. (halaman
2003).
Sebagai suatu rangkuman dari pembahasan di atas tersebut, literatur mengenai tesis FS, yang dapat
diklasifikasikan sebagai teori-teori modern mengenai perkembangan UMKM di dalam ekonomi, menyatakan
bahwa dalam proses pembangunan, pangsa ‘ekonomi’ dari UMKM akan naik, bukan menurun seperti pendapat
dari teori-teori ;klasik; yang telah dibahas sebelumnya; walaupun korelasi positif yang diasumsikan ini akan
bervariasi antar negara karena adanya perbedaan-perbedaan dalam banyak faktor internal termasuk tingkat dan
pola dari proses pembangunan, kemampuan teknologi, dan ketersediaan SDM berkualitas.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan atau pertumbuhan atau pola perkembangan UMKM, diantara
yang terutama adalah tingkat pendapatan riil per kapita dan kepadatan penduduk. Secara teori, kedua faktor ini
mempengaruhi proses transformasi UMKM lewat efek-efek langsungnya secara bersamaan terhadap sisi
permintaan (pasar output) dan sisi penawaran (pasar tenaga kerja) dari UMKM. Efek-efek sisi permintaan dan
sisi penawaran dari perubahan-perubahan dari kedua faktor tersebut terrefleksikan, masing-masing, dalam
perubahan permintaan pasar terhadap produk-produk buatan UMKM dan dalam perubahan penawaran tenaga
kerja ke UMKM (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Dua Faktor Determinan Utama dan Efek-efeknya terhadap Proses Transformasi UMKM

Pendapatan riil per kapita Kepadatan penduduk

Sisi permintaan UMKM Sisi penawaran

- faktor pendapatan -permintaan faktor pendapatan -penawaran–


- faktor populasi-permintaan faktor populasi-penawaran –

Dari sisi permintaan, Perubahan-perubahan secara sistematis dalam tingkat dan pola permintaan
masyarakat terhadap produk-produk UMKM saat pendapatan riil masyarakat per kapita meningkat merupakan
suatu faktor permintaan yang penting yang sering disebut di dalam literatur. Perihal permintaan akhir: saat
pendapatan meningkat permintaan bergeser secara bertahap dari makanan ke non-makanan atau barang-
barang manufaktur (sesuai Hukum Engel), atau dari barang-barang sederhana (tradisional) ke barang-barang
manufaktur yang lebih canggih (modern).

9
Pergeseran struktur di dalam permintaan akhir ini menyebabkan penurunan permintaan pasar terhadap
barang-barang inferior, yang kebanyakan dibuat oleh UMI, dan peningkatan permintaan pasar terhadap barang-
barang dengan elastisitas pendapatan tinggi, yang pada umumnya dihasilkan oleh UB dan sebagian kecil juga
oleh UK atau UM. Dalam kasus permintaan antara, semakin tinggi tingkat pembangunan atau industrialisasi
semakin banyak permintaan industri terhadap produk-produk antara dan barang-barang modal. Semua perubahan
permintaan tersebut mengakibatkan perubahan secara bertahap dalam komposisi subsektor manufaktur dari
UMKM dan dalam distribusi skala usaha dari kelompok perusahaan ini. Dalam kata lain, seperti telah
disinggung sebelumnya, pergeseran permintaan seperti ini dalam pertumbuhan pendapatan per kapita bisa
mempengaruhi UMKM secara negatif, khususnya yang memproduksi barang-barang yang berkorelasi negatif
dengan pendapatan. Namun demikian, seperti yang ditegaskan di dalam literatur mengenai tesis FS, perubahan-
perubahan dalam pola permintaan dunia di tahun 80an, khususnya untuk barang-barang konsumsi, dalam
beberapa kasus lebih menguntungkan pabrik-pabrik kecil yang fleksibel dan bisa beroperasi lebih efisien.
Dari perdebatan antara literatur ‘klasik’ mengenai UMKM di NSB dan tesis FS yang dikembangkan
berdasarkan dinamika UMKM di sejumlah NM, dapat disimpulkan bahwa efek dari pertumbuhan pendapatan
dan pergeseran permintaan terhadap UMKM bisa positif atau negatif. Itu tergantung pada karakteristik dari
perubahan tersebut dan kemampuan atau cara UMKM melakukan penyesuaian. Efeknya bisa positif, sesuai
hipotesanya FS, untuk perusahaan-perusahaan yang lebih kecil tetapi efisien yang mempunyai tiga karakteristik:
(i) menggunakan pekerja-pekerja dengan keahlian khusus yang tinggi; (ii) usahanya terorganisasi dan terkelola
secara baik, termasuk mempunyai pembukuan yang rapi; dan (iii) mengadopsi sistem pembagian kerja sampai
suatu derajat tertentu sesuai kebutuhan. Dibandingkan dengan kebanyakan UMKM di NSB, UMKM di NM lebih
modern yang memenuhi ketiga karakteristik tersebut sehingga memiliki suatu kemampuan yang lebih tinggi
dalam memenuhi perubahan-perubahan pasar yang cepat.
Efeknya bisa negatif, terutama terhadap UMI yang pada umumnya memakai pekerja-pekerja keluarga
berpendidikan rendah tanpa ada sistem pembagian kerja dan tanpa dukungan dari suatu sistem pengelolaan yang
baik. Dalam bentuk jumlah unit usaha dan pekerja, UMKM di NSB, terutama di negara-negara berpendapatan
rendah/miskin, lebih didominasi oleh UMI dan sebagian besar berlokasi di perdesaan. Karena cara mereka yang
primitif dalam melakukan bisnis, UMKM di kebanyakan NSB tidak mampu bersaing dengan UB yang modern
dalam menghadapi perubahan pasar (Saith, 1987).
Mengetahui bahwa sebagian besar dari UMKM di NSB (terutama negara-negara miskin) adalah UMI dan
berlokasi di perdesaan, efek dari peningkatan pendapatan di perdesaan atau modernisasi perekonomian perdesaan
pada permintaan lokal terhadap produk-produk buatan UMI perdesaan menjadi suatu isu penting. Dalam
pembangunan ekonomi di perdesaan dengan masuknya pengaruh kultur dan pola konsumsi dari perkotaan akibat
antara lain perbaikan/pembangunan infrastruktur, fasilitas transportasi dan komunikasi antara perdesaan dan
perkotaan dan di perdesaan itu sendiri, dan biasanya diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita dari
masyarakat perdesaan, selera atau preferensi dari banyak orang di perdesaan berubah yang menguntungkan

10
barang-barang dengan kualitas lebih baik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan modern di perkotaan atau
dari luar negeri (impor). Akibatnya, permintaan lokal terhadap produk-produk buatan perdesaan menurun.
Sekarang pertanyaannya adalah apakah permintaan dari masyarakat perdesaan yang bergeser ke barang-
barang dari perkotaan dipicu sepenuhnya oleh peningkatan pendapatan di perdesaan atau terutama karena
membaiknya infrastruktur dan fasilitas transportasi antara perdesaaan dan perkotaan yang membuat biaya
transportasi menjadi murah yang akhirnya membuat barang-barang dari perkotaan menjadi relatif lebih murah
daripada sebelumnya (walaupun bisa saja tetap lebih mahal daripada harga-harga dari barang-barang serupa
buatan perdesaan)? Pertanyaan ini penting, dan bisa dijelaskan sebagai berikut. Di perdesaan di mana output
pertanian meningkat yang selanjutnya membuat pendapatan perdesaan meningkat, sebagai suatu konsukwensi
langsung, pasar-pasar baru bermunculan untuk barang-barang konsumen dan barang-barang modal seperti mesin-
mesin dan alat-alat produksi untuk pertanian, tetapi tersebar, tidak terpusat di satu atau beberapa lokasi khusus.
Kalau kondisi infrastruktur sangat buruk dan pelayanan transportasi tidak terorganisasikan secara baik, hal ini
membuat masyarakat sulit mencapai pasar-pasar baru tersebut yang tidak terpusat lokasinya, dan kenaikan
permintaan karena kenaikan pendapatan di perdesaan menciptakan suatu pola produksi di perdesaan yang
terfragmentasi. Dalam kondisi seperti itu, industri-industri perdesaan menikmati proteksi alami oleh pasar-pasar
yang secara spasial sangat terfragmentasi. Ketika infrastruktur dan fasilitas transportasi menjadi baik, yang
mengurangi biaya transportasi dan pemasaran, tidak hanya pasar-pasar di perdesaan berkembang tetapi itu juga
memberi keleluasaan bagi produsen-produsen besar di perkotaan yang membuat barang-barang serupa namun
dengan kualitas lebih baik untuk menjualnya ke perdesaan. Pada suatu saat dengan pembangunan di perdesaan
yang terus berlangsung (termasuk perbaikan infrastruktur dan fasilitas transportasi), ongkos pengangkutan dan
pemasaran barang dari perkotaan ke perdesaan dan penyebarannya di perdesaan akan terus menurun dan
mencapai suatu titik terendah di mana industri-industri perdesaan tidak lagi memiliki suatu keunggulan biaya.
Dalam kata lain, perbaikan infrastruktur akan mengurangi atau bahkan menghilangkan rintangan-rintangan alami
bagi industri-industri perkotaan untuk menjual produk-produk mereka ke pasar di perdesaan, dan, dengan
peningkatan pendapatan perdesaan, barang-barang tradisional buatan perdesaan akan diganti secara bertahap oleh
barang-barang lebih canggih walaupun relatif lebih mahal dari perkotaan (Tambunan, 1994).
Namun demikian, perbaikan infrastruktur dan fasilitas transportasi di perdesaan bisa juga menciptakan
pasar baru di perkotaan bagi barang-barang buatan industri perdesaan, dan ini akan menjadi suatu pendorong bagi
pertumbuhan industri perdesaan. Karena infrastruktur dan transportasi yang baik akan mempermudah produsen-
produsen di perdesaan untuk menjual produk-produk mereka ke luar desa, baik dengan bantuan pedagang-
pedagang atau melakukannya sendiri. Perusahaan-perusahaan di desa-desa dekat dengan pusat-pusat bisnis/pasar
di perkotaan akan memproduksi lebih banyak barang untuk pasar perkotaan dan akan memiliki pasar lebih luas
dibandingkan rekan-rekan mereka yang berlokasi di desa-desa yang terisolasi yang hanya melayani masyarakat
lokal dalam volume yang kecil.

11
Jadi, integrasi ekonomi perdesaan–perkotaan tidak harus selalu berarti bahwa semua industri perdesaan
akan mati karena persaingan dari industri-industri perkotaan. Itu tergantung terutama pada bagaimana pengusaha-
pengusaha di perdesaan dapat cepat menyesuaikan diri terhadap suatu situasi yang sedang berubah yang
sebenarnya sedang menciptakan kesempatan-kesempatan pasar baru, misalnya, dengan merubah atau melakukan
diversifikasi produk, meningkatkan kualitas, dan merubah strategi pemasaran mereka,
Kesanggupan sebuah perusahaan untuk menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan pasar tidak hanya
tergantung pada kemampuan dari pemilik/manajer perusahaan, tetapi karakteristik-karakteristik umum dan sikap
yang lebih obyektif dari perusahaan itu sendiri juga memainkan suatu peran sangat penting. Menurut Chuta dan
Liedholm (1979), berdasarkan pada observasi-observasi mereka sendiri, industri-industri perdesaan yang layak
ekonomi (yakni yang mempunyai kesempatan-kesempatan lebih baik untuk tumbuh dalam jangka panjang
dengan proses pembangunan ekonomi perdesaan dan integrasi ekonomi antara perdesaan dan perkotaan)
merefleksikan empat pola umum sebagai berikut:
1) memakai pekerja-pekerja berkualitas baik yang digaji, jadi tidak memakai anggota-anggota keluarga seperti
istri dan anak sebagai pekerja berkualitas rendah yang tidak dibayar;
2) perusahaan berlokasi di wilayah luas yang banyak penduduknya, jadi tidak terisolasi;
3) kegiatan produksi dilakukan di tempat kerja khusus atau pabrik, jadi tidaik bersatu dengan rumah tinggal
pengusaha atau pemilik usaha;
4) membuat produk-produk atau kegiatan-kegiatan usaha yang punya prospek pasar/ekonomi yang lebih baik
seperti misalnya mebel, roti, pakaian jadi, dan bengkel atau reparasi mobil, motor atau barang-barang
elektronik rumah tangga.7
Seperti telah dibahas sebelumnya, peningkatan pendapatan perdesaan sebagian besar berasal dari pening-
katan output dan berarti juga pendapatan di sektor pertanian, yang selanjutnya meningkatkan permintaan untuk
barang-barang non-pertanian. Ini artinya sumber permintaan terhadap produk-produk dari industri-industri
perdesaan sebagian berhubungan dengan pertumbuhan pendapatan di sektor pertanian (Islam, 1987). Namun
demikian, sering dikatakan bahwa peningkatan permintaan tersebut lebih banyak datang dari petani-petani kaya
yang memiliki lahan-lahan pertanian yang luas daripada rumah tangga-rumah tangga petani miskin. Mereka ini
membelanjakan sebagian besar dari penambahan pendapatan mereka untuk makanan, sedangkan petani-petani
kaya lebih banyak membeli produk-produk non-makanan. Implikasi dari struktur konsumsi ini sejauh
menyangkut permintaan konsumsi adalah bahwa tidak hanya tingkat tetapi juga distribusi pendapatan di
pertanian sangat menentukan pertumbuhan permintaan terhadap produk-produk UMKM di perdesaan.
Selanjutnya, peningkatan permintaan di perdesaan terhadap produk-produk non-pertanian dapat dipenuhi oleh
UMKM lokal atau UMKM perkotaan, atau impor. Tergantung apakah produk-produk UMKM perdesaan bisa
bersaing dengan produk-produk dari perkotaan atau impor.

7
Liedholm dan Chuta tidak memberikan suatu penjelasan teorinya lebih lanjut. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa produk-produk atau
jenis-jenis kegiatan usaha tersebut memiliki prospek-prospek ekonomi atau pasar yang lebih baik karena juga diminati oleh golongan masyarakat
berpenghasilan menengah dan tinggi.
12
Walaupun data mengenai pola konsumsi dari rumah tangga-rumah tangga di perdesaan dalam hubungannya
dengan permintaan terhadap produk-produk UMKM perdesaan sangat terbatas dan dalam banyak kasus tidak
terlalu akurat, beberapa penelitian berhasil mengidentifikasi barang-barang yang diproduksi oleh industri-industri
perdesaan and menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan perdesaan dari permintaan terhadap barang-barang
non-makanan lebih besar dari satu. Jadi, bukti ini memberi kesan bahwa tidak semua barang-barang buatan
industri-industri perdesaan adalah inferior. Namun demikian, beberapa peneliti menyatakan bahwa elastisitas
pendapatan di perdesaan untuk barang-barang non-inferior cenderung mengecil secara progresif, sedangkan
untuk konstruksi, rekreasi, trasnportasi dan jasa-jasa, termasuk pendidikan dan pelayanan kesehatan, cenderung
meningkat jika melihat tren jangka panjangnya, dan terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan. Jadi,
kelihatannya ada suatu indikasi bahwa peningkatan konsumsi barang-barang manufaktur di perdesaan cenderung
lebih kecil daripada permintaan untuk konstruki, rekreasi dan lainnya seperti yang disebut di atas saat pendapatan
perdesaan meningkat.
Perubahan pendapatan riil per kapita juga berpengaruh terhadap pola dari perubahan kesempatan kerja di
UMKM lewat sisi penawarannya, yaitu lewat pasar tenaga kerja dalam bentuk perpindahan tenaga kerja ke
(atau keluar dari) UMKM dari (ke) UB atau dari (ke) UMKM di subsektor-subsektor manufaktur atau sektor-
sektor lainnya. Mobilisasi tenaga kerja lintas skala usaha hingga suatu tingkat tertentu disebabkan oleh
perbedaan upah atau pendapatan antar unit.
Asosiasi antara tingkat pendapatan dan tingkat kesempatan kerja (atau relasi antara keduanya dalam
pertumbuhan) di UMKM lewat pasar tenaga kerja bisa positif atau negatif. Asosiasinya positif jika
pendapatan riil per pekerja di, misalnya, sektor pertanian, relatif tinggi atau meningkat, yang merefleksikan
tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi di pertanian, membuat penawaran tenaga kerja dan/atau
wirausaha dari pertanian ke sektor-sektor lain, misalnya UMKM di industri manufaktur juga tinggi atau
meningkat. Dengan pendapatan per jam (atau hari) yang tinggi di pertanian, petani atau buruh tani punya lebih
banyak waktu luang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan atau menginvestasi
kelebihan uangnya di kegiatan-kegiatan di luar pertanian.
Asosiasinya negatif jika pendapatan riil per orang di pertanian tinggi atau meningkat, yang menandakan
relatif lebih baiknya kesempatan kerja (dari sisi pendapatan) di sektor tersebut, membuat penawaran tenaga
kerja dari pertanian ke sektor-sektor lain rendah atau berkurang (pertumbuhan negatif dari penawaran tenaga
kerja).8Jika dilihat dalam perbedaan antar wilayah, perkiraan teorinya adalah bahwa di wilayah-wilayah
dengan pendapatan per kapita yang tinggi, lebih sedikit orang yang terlibat di dalam kegiatan UMKM
dibandingkan di wilayah-wilayah dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah.
Terutama UMI di perdesaan yang pada umumnya dilakukan oleh rumah tangga-rumah tangga petani
miskin atau orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kesempatan kerja di tempat lain (pengangguran)
karena pendidikan mereka yang rendah atau kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Bagi mereka, melakukan
8
Suplai tenaga kerja atau wirausaha/pengusaha berkurang dari pertanian ke UMKM di industri manufaktur atau sebaliknya, banyak
orang yang sebelumnya bekerja di UMKM pindah ke pertanian.
13
kegiatan-kegiatan UMI adalah sebagai suatu cara untuk dapat bertahan hidup. Mereka melakukannya karena
terpaksa, baik sebagai sumber pendapatan utama bagi mereka yang sebelumnya menganggur atau sebagai
sumber pendapatan tambahan, misalnya petani-petani miskin. Ini memberi kesan bahwa di suatu daerah
miskin di mana pendapatan per kapita sangat rendah, pangsa kesempatan kerja dari UMI lebih tinggi
dibandingkan di suatu wilayah dengan penduduknya yang lebih sejahtera. Misalnya, suatu studi dari Weijland
(1992) terhadap industri-industri perdesaan di Indonesia menunjukkan bahwa di pulau-pulau di luar Jawa di
mana penduduknya tidak terlalu miskin dan produktivitas tenaga kerja di pertanian relatif tinggi, jumlah orang
yang bekerja di UMI perdesaan relatif lebih sedikit. Tingkat spesialisasi dari UMI di pulau-pulau lebih
sejahtera lebih rendah, hari kerja per bulan lebih sedikit, dan UMI di pulau-pulau tersebut tidak terlalu
berperan sebagai sumber pendapatan utama dibandingkan di pulau-pulau yang lebih padat penduduknya,
jumlah keluarga miskinnya lebih banyak, dan produktivitas tenaga kerja dan pendapatan riil per pekerja di
pertanian lebih rendah. Dengan penemuan itu, ia menyimpulkan adanya suatu kaitan antara penawaran tenaga
kerja yang tinggi ke UMI dan rendahnya produktivitas tenaga kerja di pertanian yang menandakan buruknya
kesejahteraan di sektor ini.
Asosiasi yang negatif antara pertumbuhan pendapatan dan peningkatan jumlah orang yang bekerja di
UMKM, yang menciptakan pertumbuhan negatif dari penawaran tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan
tersebut, bisa menunjukkan adanya suatu isu lain yang juga penting, yaitu suatu relasi positif antara
pertumbuhan kesempatan kerja di UMKM dan meningkatnya pengangguran atau jumlah orang yang hidup di
bawah garis kemiskinan.9 Ini artinya, semakin tinggi pengangguran atau tingkat kemiskinan semakin
banyak orang yang mencari pekerjaan atau melakukan kegiatan di UMKM.
Dari diskusi di atas, suatu hipotesis teori mengenai relasi antara perubahan pendapatan per kapita dan
perubahan pangsa kesempatan kerja atau output dari UMKM bisa dibuat sebagai berikut. Kenaikan
pendapatan memberi efek positif terhadap UMKM lewat pasar output (efek sisi permintaan positif) dan pasar
tenaga kerja (efek sisi penawaran positif) 10atau negatif lewat pasar tenaga kerja (efek sisi penawaran negatif) 11
dan pasar output (efek sisi permintaan negatif). Dalam kata lain, peningkatan pendapatan menciptakan efek
sisi permintaan maupun efek sisi penawaran dan efek neto-nya bisa negatif atau positif. Apabila efek sisi
penawaran negatif (penawaran tenaga kerja berkurang) dari pertumbuhan pendapatan lebih lemah daripada
efek sisi permintaan positifnya (lebih banyak permintaan), maka efek netonya positif terhadap UMKM.
Dalam hal perbedaan antar wilayah, maka hipotesis teorinya adalah: di suatu wilayah dengan pendapatan per
kapita yang tinggi, permintaan terhadap produk-produk buatan UMKM (dan selanjutnya volume produksi dan
kesempatan kerja di UMKM) di wilayah tersebut akan lebih tinggi dibandingkan di suatu wilayah miskin.

9
Dapat diasumsikan bahwa tingkat kemiskinan berkorelasi negatif dengan tingkat pendapatan per kapita, walaupun kemiskinan juga
tidak lepas dari pengaruh dari distribusi pendapatan. Dalam kata lain, untuk setiap tingkat pendapatan per kapita tertentu, distribusi
pendapatan yang semakin pincang bisa membuat kemiskinan meningkat.
10
Yakni suatu pertumbuhan positif dari penawaran tenaga kerja ke UMKM.
11
Yakni suatu pertumbuhan negatif dari tenaga kerja ke UMKM.
14
Tingkat permintaan perdesaan terhadap produk-produk lokal tidak hanya tergantung pada tingkat
pendapatan riil per kapita (dan faktor-faktor lain), tetapi juga pada besarnya populasi. Di dalam penelitiannya
Weijland (1992) yang menggunakan suatu model ekonometri sederhana mengenai pertumbuhan industri
perdesaan di Indonesia, kepadatan penduduk juga ditemukan sebagai suatu faktor sisi permintaan yang penting.
Seperti harapan teori, di suatu daerah yang padat penduduk, permintaan lokal tehadap produk-produk buatan
UMKM lokal lebih besar daripada di suatu daerah dengan jumlah penduduk yang sedikit.
Perubahan dalam jumlah atau kepadatan penduduk juga mempengaruhi pola dari perubahan kesempatan
kerja di UMKM, lewat efeknya terhadap suplai tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan tersebut. Seperti yang
telah dikatakan sebelumnya, penurunan relatif dari pendapatan riil rata-rata per pekerja di pertanian memaksa
pekerja meninggalkan sektor tersebut dan mencari pekerjaan di tempat lain, termasuk di UMKM di industri
manufaktur. Satu penyebab penting dari rendahnya pendapatan riil rata-rata per pekerja atau produktivitas
tenaga kerja di pertanian adalah tingkat kepadatan penduduk yang tinggi yang disebabkan oleh laju
pertumbuhan penduduk perdesaan rata-rata per tahun yang tinggi. Penduduk yang terlalu banyak di suatu
wilayah dengan sendirinya menciptakan suatu kelebihan penawaran tenaga kerja ke pertanian yang akibatnya
muncul suatu tekanan ke bawah terhadap pendapatan per pekerja di sektor itu. Apabila kapasitas penyerapan
tenaga kerja baru setiap tahun dari pertanian dan UB di sektor-sektor ekonomi lainnya di perdesaan terbatas,
maka pencari-pencari pekerjaan yang tidak tertampung di sektor-sektor tersebut akan mengalir ke UMKM
atau merantau ke kota-kota.
White (1976) membuat suatu perbedaan antara faktor-faktor permintaan dan penawaran dalam
menjelaskan besarnya kesempatan kerja non-pertanian di perdesaan. Menurutnya, kesempatan kerja ini
ditentukan oleh suatu interaksi yang kompleks antara dua kelompok faktor-faktor tersebut, seperti yang
dijelaskan sebagai berikut: There are two quite different types of conditions under which rural labor might
shift out of agriculture: a) when labor is 'pulled' or attracted out of agriculture into better non-agricultural
opportunities (for example, in an expanding manufacturing or industrial sector); or b) when labor is 'pushed'
or forced out of agriculture by declining employment opportunities, into relatively worse non-agricultural
employment conditions (for example, into these marginal occupations whose capacity to absorb large
quantities of labor is only achieved at the cost of extremely low, and possibly declining labor incomes)
(halaman 97).
Singkatnya, relasi antara perubahan kepadatan populasi dan perubahan pangsa tenaga kerja dari UMKM
positif lewat pasar output (efek sisi permintaan positif) dan pasar tenaga kerja (efek sisi penawaran positif).
Dengan pendapatan riil per kapita tetap tidak berubah, peningkatan kepadatan penduduk menciptakan lebih
banyak permintaan terhadap output dari UMKM dan menambah suplai tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan
tersebut. Dilihat dari perbedaan antar wilayah, di suatu daerah yang penduduknya sangat banyak, permintaan
terhadap produk-produk dari dan suplai tenaga kerja ke UMKM lebih banyak dibandingkan di suatu daerah
dengan kepadatan penduduk yang rendah.

15
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa relasi antara perubahan pendapatan per kapita dan perubahan porsi
dari total kesempatan kerja yang bekerja di UMKM bisa negatif, saat pertumbuhan pendapatan yang
merefleksikan kesempatan kerja di sektor-sektor lain lebih baik, yang mengakibatkan suatu pertumbuhan
negatif dari penawaran tenaga kerja ke UMKM. Ini memberi kesan bahwa UMKM berfungsi sebagai
‘penampung terakhir’ (last resort) bagi orang atau keluarga miskin. Kebanyakan orang yang melakukan
UMKM, terutama UMI, di NSB adalah dari kelompok miskin yang berpendidikan rendah (bahkan banyak
tidak menamati sekolah dasar). Karena pendidikan mereka rendah, mereka tidak ada harapan untuk bisa
mendapatkan pekerjaan, terutama di sektor formal, dengan pendapatan yang baik. Jadi, sebagai alternatif satu-
satunya untuk bisa bertahan hidup, mereka terpaksa bekerja di atau membuka UMI. Oleh karena itu tidak
heran apabila UMKM, dan UMI pada khususnya sangat banyak di negara-negara miskin.
Seperti yang di katakan di dalam suatu studi dari Bank Dunia (World Bank, 1980), pertumbuhan jumlah
orang yang bekerja di non-pertanian di perdesaan (termasuk di UMKM di industri manufaktur) bisa
diinterpretasikan sebagai sesuatu yang menggembirakan atau sebaliknya. Jadi, pertanyaannya adalah: apakah
pertumbuhan UMKM (khususnya UMI) perdesaan di NSB merefleksikan suatu pola ‘involutionary’ dari
pembangunan ekonomi perdesaan, yakni karena membesarnya jumlah keluarga miskin yang terpaksa
melakukan berbagai macam kegiatan di luar pertanian semata-mata untuk bisa bertahan hidup, atau itu
merupakan sesuatu yang positif dalam arti pembangunan ekonomi yang menciptakan diversifikasi kegiatan
ekonomi di luar pertanian; atau sebagai suatu tanda kemajuan atau pembangunan, atau suatu tanda
penderitaan atau tekanan hidup?
Komponen yang paling menonjol dari kemiskinan di perdesaan di NSB adalah banyaknya petani tanpa
memiliki lahan sendiri atau punya tetapi sangat kecil (yang umum disebut sebagai petani-petani marjinal atau
gurem), yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada petani-petani yang memiliki lahan sendiri yang luas atau
cukup. Petani-petani gurem tersebut karena kemiskinan mereka terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan
tambahan di luar pertanian untuk bisa bertahan hidup, seperti yang dijelaskan oleh Saith (1991) berikut ini:
Typically, rural households with inadequate access to land seek non-farm employment in the slack agricultural
season. As such, non-farm employment tends to even out the sharp peaks and troughs of the monthly employment
and income generation pattern of rural households (halaman 468)
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan atau tetap banyaknya UMKM, dan khususnya
UMI, di Indonesia bisa menandakan suatu pembangunan yang positif, dalam arti banyak orang memang
tertarik untuk melakukannya karena berbagai alasan seperti ingin mandiri (tidak mau bekerja sebagai
pegawai), ingin mengembangkan kemampuan diri sendiri, dan karena ada prospek pasar yang lebih baik; atau
karena terpaksa seperti dalam kasus petani miskin yang dibahas di atas.

2.3 Kinerja
2.3.1 Jumlah Unit Usaha

16
Menurut data dari Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM) dan Badan Pusat
Statistik (BPS), pada tahun 1997 tercatat ada sekitar 39,765 juta UMKM, atau sekitar 99,8 persen dari total
unit usaha yang ada di Indonesia pada tahun itu. Jumlah UMKM bertambah setiap tahun, terkecuali pada
tahun 1998, saat krisis keuangan Asia yang terjadi selama periode 1997-98 yang melanda Indonesia (Gambar
2.2). Krisis tersebut membuat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar terhadap dollar AS,
dan akibatnya, banyak perusahaan di dalam negeri gulung tikar atau terpaksa mengurangi volume produksi
karena berbagai alasan seperti jumlah hutang luar negeri (dalam dollar AS) yang besar yang mengakibatkan
pembayaran cicilan dan bunganya dalam rupiah menjadi sangat mahal; inflasi di dalam negeri yang tinggi;
suku bunga di pasar uang yang sangat tinggi yang, berbarengan dengan banyak bank di dalam negeri yang
bermasalah (akibat kredit macet dan kerugian dalam perdagangan dollar AS), membuat sulitnya mendapatkan
kredit; dan harga impor bahan baku dan input produksi lainnya dalam rupiah yang sangat mahal. Semua ini
membuat ekonomi nasional mengalami suatu resesi terbesar yang pernah terjadi di dalam sejarah Indonesia
sejak merdeka tahun 1945 (atau bahkan selama periode penjajahan Belanda), dengan laju pertumbuhan PDB
negatif sebesar 13 persen. Waktu itu sesuai data yang ada, jumlah kelompok UMKM berkurang ke sekitar 36,
8 juta unit, atau merosot 7,42 persen (Gambar 2.3). Pada saat itu, Menegkop & UKM memperkirakan hampir
3 juta UMK berhenti berusaha, dan jumlah UM dan UB (usaha besar) yang tutup usaha diperkirakan, masing-
masing, sekitar 14,2 dan 12,7 persen dari jumlah unit dari masing-masing kelompok tersebut (Tambunan,
2012). Namun, pada tahun 1999 seiring dengan ekonomi nasional yang mulai pulih kembali, jumlah UMKM
mulai mengalami pertumbuhan menjadi 37,9 juta unit, atau bertambah 2,98 perse, dan setelah it terus
bertambah12.
Gambar 2.2 Pertumbuhan Jumlah UMKM, 1997-2013

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

12
Sayangnya, tidak ada informasi yang bisa menjawab pertanyaan: apakah penambahan jumlah UM berasal dari UMK atau
memang sejak awal berdirinya sudah UM? Jadi tidak bisa dibuktikan adanya proses transformasi dari UMK ke UM (atau dari UM
menjadi UB).
17
Gambar 2.3 Laju Pertumbuhan Jumlah UMKM, 1998-2013 (%)

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Di dalam kelompok UMKM itu sendiri, jumlah UMI mendominasi dengan pangsanya sekitar 99 persen,
disusul kemudian oleh UK dan paling sedikit jumlahnya UM. Jika dilihat dari jumlah unit usaha dari semua
skala yang ada di Indonesia, dengan sendirinya paling banyak adalah jumlah UMI. Misalnya, pada tahun
2006, pangsa UMI di dalam jumlah semua unit usaha yang ada pada tahun yang sama tercatat sekitar 98,95
persen. Setiap tahun struktur atau distribusi jumlah unit usaha ini relatif tidak banyak berubah. Misalnya, pada
tahun 2013 jumlah UMI tercatat sekitar 98,77 persen dari jumlah perusahaan yang ada. Jumlah paling sedikit
adalah dari kategori UB yang setiap tahunnya tercatat hanya 5000-an atau hanya 0.01 persen dari jumlah unt
usaha di Indonesia. Jadi, baik di dalam kelompok UMKM itu sendiri, maupun secara keseluruan dari jumlah
unit usaha yang ada di Indonesia, struktur menurut subkelompok berbentuk sebuah piramid: jumlah UMI
paling banyak di lapisan paling bawah dari piramid, disusul kemudian oleh jumlah UK di lapiran kedua,
jumlah UM di lapisan ke tiga, dan jumlah UB di ujuang atas piramid13.
Distribusi UMKM menurut subkelompok ini bukanlah ciri khas UMKM Indonesia. Di negara-negara lain
juga demikian, tidak hanya di kelompok NSB tetapi juga di kelompok NM. Sebagai suatu perbandingan,
berdasarkan data dari APEC Secretariat, seperti yang dapat dilihat di Gambar 2.4, di negara-negara anggota

lainnya (yang data tersedia) 14, baik dari kategori sudah maju maupun dari kategori masih berkembang, porsi
dari UMI di dalam UMKM juga besar, di atas 50 persen. Walaupun porsi UMI di dalam total UMKM di
Indonesia adalah yang terbanyak, disusul kemudian oleh Kanada pada posisi kedua (98 persen).
.

13
Data lebih lengkap untuk periode 2005-2013, lihat Tabel 1 di Lampiran I.
14
Negara-negara APEC: Australia (AUS); Brunei Darussalam (BD); Kanada (CDA); Cili (CL); Cina (PRC); Hongkong, China
(HKC); Indonesia (IND), Jepang (JPN), Korea Selatan (RoK); Malaysia (MAS), Meksiko (MEX); New Zealand (NZ); Papua New
Guinea (PNG); Peru (PU); Filipina (PHL);Russia (RUS); Singapura (SIN); Chinese-Taipei (CT); Thailand (THA); Amerika Serikat
(AS); dan Viet Nam (VN)
18
Gambar 2.4 Porsi UMI di Dalam UMKM di Negara-negara Anggota APEC (%)*

Keterangan: * Kode negara-negara, lihat cacatan kaki no.14.


Sumber: dikutip dari Figure 3 di dalam Zhang (2013) dengan sedikit modifikasi (untuk Indonesia, dengan data paling akhir dari
BPS).

2.3.2 Jumlah Kesempatan Kerja


Bukan lagi rahasia umum bahwa UMKM, khususnya UMK, begitu penting bagi penciptaan kesempatan kerja
dan sumber pendapatan, baik sebagai sumber penghasilan utama atau satu-satunya, atau sebagai sumber
penghasilan tambahan. Seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 2.5, pada tahun 1997 jumlah tenaga kerja
(TK) di UMKM sekitar 65,6 juta orang dan terus meningkat setiap tahun, terkecuali tahun 1998 dan tahun
2004. Seperti telah dibahas sebelumnya, pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami sebuah resesi
besar dengan pertumbuhan PDB sekitar minus 13 persen, banyak perusahaan yang tutup atau terpaksa
mengurangi kegiatan mereka. Banyaknya juga UMKM yang juga terpaksa tutup atau mengurangi volume
produksi karena berbagai penyebab diantaranya harga bahan baku dalam rupiah menjadi sangat mahal akibat
melemahnya niai tukar rupiah terhadap dollar AS, sulitnya mendapatkan pinjaman dari bank (atau biayanya
menjadi sangat tidak terjangkau oleh pengusaha di kelompok usaha ini karena tingginya tingkat suku bunga
pinjaman, dan banyaknya UMKM yang tutup karena tidak ada order. Ini membuat jumlah orang yang bekerja
di kelompok usaha tersebut berkurang, yang berdasarkan data pemerintah menjadi 65,3 juta jiwa, atau tumbuh
negatif hampir 2 persen (Gambar 2.6). Namun, sejak tahun 1999 jumlah TK di UMKM meningkat kembali
(4,44 persen) dan terus meningkat setiap tahun, walaupun merosot sedikit pada tahun 2004 (-1,83 persen) .
Pada tahun 2013, jumlahnya sudah mencapai hampir 117,7 juta orang15.
Gambar 2.5 Jumlah TK di UMKM, 1997-2013 (orang)

15
Jumlah TK menurut skala usaha untuk periode 2005-2013, lihat Tabel 2 di Lampiran I.
19
Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Gambar 2.6 Laju Pertumbuhan Jumlah TK di UMKM, 1998-2013 (orang)

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Sesuai distribusi jumlah UMKM menurut sektor ekonomi yang menunjukkan bahwa pertanian (termasuk
peternakan, perikanan, kehutanan, dan perkebunan) merupakan sektor utama, distribusi jumlah TK UMKM
juga terpusat di sektor pertanian. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2.1, persentase distribusi terbesar adalah
di sektor tersebut, walaupun selama periode yang diteliti, cenderung menurun, dari hampir 53 persen pada
tahun 2007 ke hampir 49 persen pada tahun 2011. Sektor terbesar kedua dalam penyerapan TK UMKM
adalah perdagangan, yang sebaliknya cenderung tambah besar pangsanya selama periode yang sama, walupun
laju pertumbuhannya relatif kecil.
Tabel 2.1 Distribusi TK di UMKM Menurut Sektor-sektor Penting, 2007-2011 (% dari jumlah UMKM di
semua sektor)
2007 2008 2009 2010 2011
-Pertanian * 52,6 51,0 50,0 49,6 48,8
-Perdagangan** 27,9 28,8 29,4 29,6 28,8
20
-Jasa 6,0 6,2 6,3 6,4 6,9
-Transportasi 5,5 6,2 6,5 6,5 6,9
-Industri Pengolahan 6,3 6,3 6,2 6,4 6,4
-Lainnya 1,5 1,5 1,6 1,6 2,1
Keterangan: * termasuk kehutanan, peternakan, perkebunan, dan perikanan
** termasuk eceran dan grosir, hotel dan restoran
Sumber: Menegkop & UKM

Berikut di Tabel 2.2 dapat dilihat jumlah TK yang diserap olehUMK di industri pengolahan pada
tahun 2013. Dapat dilihat bahwa sebaran banyaknya TK menurut kelompok industri (KBLI) tidak jauh
berbeda dengan sebaran usahanya. Penyerapan TK didominasi oleh industri makanan (KBLI 10) yang pangsa
TK-nya sebesar 33,89 persen, Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk meubel), dan barang
anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya (KBLI 16) sebesar 16,78 persen, Industri pakaian jadi (KBLI 14)
tercatat sebesar 13,05 persen, dan industri barang galian bukan logam (KBLI 23) mencapai 10,33 persen.
Industri yang menyerap TK paling sedikit adalah industri komputer, barang elektronik dan optik (KBLI 26)
yang hanya 0,03 persen, industri peralatan listrik (KBLI 27) sebesar 0,03 persen, dan industri logam dasar
( KBLI 24) sebesar 0,05 persen.
Tabel 2.2 Penyerapan TK oleh UMK di Industri Pengolahan Menurut Kelompok Industri, 2013 (orang)
KBLI Kelompok industri Jumlah TK % TK tidak dibayar
10 Makanan 3298976 60,9
11 Minuman 90875 74,7
12 Pengolahan tembakau 193945 71,7
13 Tekstil, 625118 60,5
14 Pakaian Jadi 1270336 35,1
15 Kulit, barang-barng dari kulit, dan alas kaki 250606 24,7
16 Kayu dan barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk
meubel), barang Anyaman dari Rotan, Bambu dan
sejenisnya 1633658 71,4
17 Kertas, barang-barang dari kertas dan sejenisnya 30052 46,7
18 Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman 127062 33,9
20 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia 84590 44,7
21 Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 16855 58,8
22 Industri karet, barang dari karet dan plastik 52670 50,9
23 Industri barang galian bukan logam 1005283 46,0
24 Industri logam dasar 5105 40,0
25 Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya 272505 33,7
26 Industri komputer, barang elektronik dan optik 2988 10,0
27 Industri peralatan listrik 3341 26,7
28 Industri mesin dan perlengkapan YTDL (yang tidak
termasuk lainnya) 12731 45,7
29 Industri kendaraan bermotor, trailer dan eemi trailer 18144 15,0
30 Industri alat angkut lainnya 17144 38,8
31 Industri Meubel 457343 33,7
32 Industri pengolahan lainnya 246304 52,2
33 Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 18480 40,5
Total 9734111 54,0
Keterangan: * dibulatkan
Sumber: BPS (2013)..

21
Penyerapan TK oleh UMK pada tahun yang sama menurut provinsi ditunjukkan di Tabel 2.3. Seperti yang
dapat dilihat, penyerapan TK oleh kelompok usaha ini di sektor tersebut masih terkonsentrasi di pulau Jawa,
yaitu provinsi Jawa Tengah yang tercatat sebesar 25,52 persen, selanjutnya provinsi Jawa Timur sebesar 18,44
persen dan provinsi Jawa Barat sebesar 17,24 persen. Sedangkan penyerapan TK terendah terjadi di provinsi
Papua Barat yang hanya sebesar 0,06 persen dan provinsi Maluku Utara sebesar 0,15 persen.
Tabel 2.3 Penyerapan TK oleh UMK di Industri Pengolahan Menurut Provinsi, 2013 (orang)
Provinsi Jumlah TK
Aceh 156844
Sumatera Utara 275291
Sumatera Barat 170355
Riau 41510
Jambi 61223
Sumatera Selatan 214543
Bengkulu 30598
Lampung 276373
Bangka Belitung 32007
Kep. Riau 39784
DKI Jakarta 223697
Jawa Barat 1678359
Jawa Tengah 2484215
D.I.Yogyakarta (DIY) 236017
Jawa Timur 1795305
Banten 184988
Bali 311739
Nusa Tenggara Barat (NTB) 218145
Nusa Tenggara Timur (NTT) 197516
Kalimantan Barat 84959
Kalimantan Tengah 40656
Kalimantan Selatan 132418
Kalimantan Timur 71238
Sulawesi Utara 85357
Sulawesi Tengah 79774
Sulawesi Selatan 242984
Sulawesi Tenggara 165152
Gorontalo 49195
Sulawesi Barat 47784
Maluku 61487
Maluku Utara 14400
Papua Barat 5823
Papua 24375
Indonesia 9734111
Sumber: BPS (2013).

Namun sebenarnya tidak semua orang yang bekerja atau terlibat di dalam kegiatan produksi di UMKM
adalah pekerja yang diberi upah/gaji, layaknya di UB atau sektor formal. Terutama kelompok UMK, yang
sebagian besarnya beroperasi di sektor informal, banyak mengerjakan anggota-anggota keluarga pemilik
usaha seperti anak-anak mereka, istri atau suami pemilik usaha, dan keponakan sebagai pekerja tidak digaji.
Jadi ini berarti bahwa sebenarnya, keberadaan UMK di suatu wilayah tidak selalu menghasilkan penyebaran
atau penciptaan pendapatan secara optimal di wilayah tersebut. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS
mengenai UMK di industri pengolahan, pada tahun 2013 jumlah pekerja yang diserap oleh kelompok usaha

22
itu di sektor tersebut sebanyak 9,734,111 orang, yang terdiri 4.473.957 orang (45,96 persen) pekerja dibayar
dan sebanyak 5.260.154 orang (54,04 persen) pekerja tidak dibayar (Tabel 2.1). Dari pekerja dibayar, sebesar
64,37 persennya merupakan pekerja laki-laki dan 35,63 persen pekerja perempuan. Sedangkan dari pekerja
tidak dibayar, sebesar 46,45 persen adalah pekerja laki-laki dan sebesar 53,55 persen pekerja perempuan.

2.3.3 Produksi dan Sumbangan terhadap PDB


Seperti telah dikatakan sebelumnya, salah satu peran UMKM yang sangat diharapkan di dalam perekonomian
nasional adalah sebagai sumber utama pembentukan atau pertumbuhan PDB, mengingat bahwa jumlah UMKM
jauh lebih banyak daripada jumlah UB. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2.7, nilai tambah (NT) riil (setelah
dikoreksi dari pengaruh inflasi) yang dihasilkan oleh UMKM setiap tahun meningkat. Pada tahun 1997 NT dari
kelompok usaha ini tercatat hampir mencapai Rp 250 triliun (atas harga pasar konstan 2000) pada tahun 1997,
dan pada tahun 2013 sudah mencapai lebih dari Rp 1500 triliun. Dilihat dari persentase pertumbuhan per tahun,
pertumbuhan NT riil UMKM tertinggi terjadi pada tahun 2000 sesaat setelah UMKM kembali pulih dari dampak
krisis keuangan Asia 1997-98 (Gambar 2.8).
Gambar 2.7 NT Riil UMKM 1997-2013 (Rp miliar; harga 2000)

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Gambar 2.8 Laju Pertumbuhan NT Riil UMKM 1998-2013 (%)

23
Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Pada umumnya, peran UMKM di NSB dalam pembentukan total nilai tambah atau PDB selalu lebih kecil
dibandingkan perannya sebagai pencipta kesempatan kerja: lebih dari 90 persen dari jumlah tenaga kerja yang
diserap di dalam ekonomi di NSB bekerja di UMKM, namun sumbangan output yang dihasilkan di UMKM
terhadap pembentukan PDB pada umumnya di bawah 90 persen (walaupun rasionya bervariasi menurut
negara). Ini juga ditunjukkan oleh UMKM Indonesia. Seperti dapat dilihat di Gambar 2.9, secara bersama
UMKM menyumbang lebih dari 50 persen terhadap PDB, yang berarti lebih besar dibandingkan kontribusi
PDB dari UB. Namun, mengingat bahwa jumlah UMKM jauh lebih banyak daripada jumlah UB, maka
sebesanrnya sumbangan riil UMKM di Indonesia terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB nasional
jauh lebih kecil dibandingkan UB. Dalam kelompok UMKM itu sendiri, ada perbedaan: sumbangan UMK
baik terhadap PDB lebih kecil dibandingkan UM, dan kontribusi subkelompok UMKM terakhir ini terhadap
PDB lebih kecil daripada sumbangan UB16.
Gambar 2.9 Pangsa PDB Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (%)

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

16
Lihat Tabel 3 di Lampiran I untuk informasi lebih rincih mengenai sumbangan PDB dari UMKM menurut subkategori.
24
Sebagai suatu perbandingan, Gambar 2.10 memperlihatkan distribusi PDB menurut skala usaha di
wilayah APEC. Dapat dilihat bahwa kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB di Indonesia (IND) paling
besar diantara negara-negara anggota (walaupun berbedaan ini juga disebabkan oleh periode data yang
berbeda antar negara). Pada posisi kedua adalah China (PRC) yang persentasenya sama seperti Indonesia pada
tahun 2012. Sedangkan di negara-negara anggota lainnya seperti Brunei Darussalam (BD) dan Russia (RUS),
berdasarkan data yang ada, sumbangan UMKM terhadap PDB paling kecil. Paling tidak bisa dua
kemungkinan adanya perbedaan antara negara tersebut: bisa karena memang tingkat perkembangan atau
kinerja UMKM berbeda antara negara, atau, masalah data. Tidak semua negara anggota menyediakan data
akurat mengenai perkembangan UMKM-nya.
Gambar 2.10 Sumbangan UMKM terhadap Pembentukan PDB di Negara-negara APEC, (%)**

Keterangan: * perkiraan bahwa untuk VN > 40 persen dan AS > 50 persen; ** kode negara-negara, lihat catatan kaki no.14.
Sumber: dikutip dari Figure 4 di dalam Zhang (2013) dengan sedikit modifikasi (untuk Indonesia, dengan data paling akhir dari
BPS).

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sebagian besar dari jumlah UMKM (terutama UMK) terdapat di
sektor pertanian (termasuk peternakan, perikanan, dan perkebunan) dan sektor perdagangan. Struktur ini juga
dapat dilihat dalam distribusi NT UMKM menurut sektor ekonomi. Tabel 2.4 menunjukkan pangsa PDB
terbesar UMKM adalah di sektor pertanian dan perdangan yang secara total rata-rata per tahun di atas 50
persen. Berbeda dengan UMKM, jumlah unit usaha dari kelmpok UB paling banyak terdapat di sektor industri
manufaktur. Ini menandakan bahwa keunggulan komparatif dari UMKM relatif dibandingkan dengan
keunggulan komparatif dari UB (atau dalam kelompok UMKM: UMK dibandigkan UM) adalah dalam
produksi pertanian dan perdagangan. Sekaligus, strukur perusahaan menurut sektor ini juga menandakan
bahwa UMKM pada umumnya dan UMK pada khususnya di Indonesia masih sangat lemah dalam kegiatan-
kegiatan industri manufaktur, dibandingkan dengan UMKM di negara-negara lain seperti Taiwan, Republik
Korea dan Jepang yang sudah jauh lebih maju di dalam kegiatan industri, termasuk di subsektor elektronika
25
dan subsektor mesin. Di negara-negara tersebut jumlah UMKM yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan
subkontrak dengan UB terutama di industri-industri otomotif, elektronik dan mesin jauh lebih banyak
dibandingkan di Indonesia17.
Tabel 2.4 Distribusi PDB UMKM Menurut Sektor Penting, 2007-2011 (%)
2007 2008 2009 2010 2011
-Pertanian* 24,4 26,1 27,4 27,8 23,5
-Perdagangan** 27,1 25,5 24,2 24,4 26,7
-Jasa 17,9 17,0 16,5 16,4 16,8
-Transportasi 6,4 5,9 5,5 5,5 5,1
-Industri pengolahan 16,2 16,7 16,4 16,4 18,3
-Lainnya 8,0 8,8 9,9 9,6 9,6
Keterangan: * termasuk peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
** termasuk eceran dan grosir, hotel dan restoran
Sumber: Menegkop & UKM

Di industri pengolahan, berdasarkan data paling akhir dari BPS (2016), pertumbuhan produksi UMK pada
tahun 2015 naik sebesar 5,71 persen terhadap produksinya pada tahun 2014. Selama tiga tahun terakhir terjadi
kenaikan pertumbuhan produksi UMK. Pada tahun 2014 pertumbuhan produksi UMK naik sebesar 4,91
persen terhadap tahun 2013, dan tahun 2013 naik sebesar 7,51 persen terhadap tahun 2012. Pertumbuhan
produksi industri kelompok usaha ini pada triwulan IV-2015 naik sebesar 5,79 persen (y-o-y) terhadap
triwulan IV-2014. Kenaikan tersebut terutama disebabkan naiknya produksi UMK di industri bahan kimia dan
barang dari bahan kimia sebesar 18,87 persen, percetakan dan reproduksi media rekaman 13,19 persen, serta
di industri mesin dan perlengkapan (yang tidak termasuk dalam lainnya) sekitar 12,57 persen. Jenis-jenis
industri yang mengalami penurunan produksi UMK adalah industri karet, barang dari karet dan plastik yang
tercatat berkurang 5,57 persen, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan turun 5,05 persen, dan
industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya dengan minus 4,85 persen (Tabel 2.5).
Tabel 2.5 Laju Pertumbuhan Produksi UMK di Industri Pengolahan, 2013-2015 (%)
Tahun (q-to-q) (y-o-y) Tahun
TrwI TriwII Triw.III TriwIV TrwI TriwII Triw.III TriwIV
2013 1,74 6,52 -4,45 1,58 4,84 15,55 4,86 5,18 7,51
2014 0,99 6,17 -3,43 2,39 4,41 4,07 5,18 6,02 4,91
2015 0,64 5,09 -1,31 1,35 5,65 4,57 6,87 5,79 5,71
Sumber: Tabel 4 di BPS (2016)
Pertumbuhan per kuartal (q-to-q) produksi UMK di industri pengolahan pada triwulan IV-2015 tercatat
naik sebesar 1,35 persen terhadap triwulan III-2015. Jenis-jenis industri yang UMK mengalami kenaikan
pertumbuhan kuartalan yang terbesar adalah industri komputer, barang elektronika dan optik naik 5,97 persen,
industri alat angkutan lainnya naik 5,71 persen, dan industri logam dasar naik 4,99 persen. Sedangkan jenis-
jenis industri yang produksi UMK mengalami penurunan adalah industri pengolahan tembakau turun 10,10
persen, industri pengolahan lainnya turun 2,30 persen, dan industri meubel turun 2,21 persen.

17
Di Indonesia, kasus subkontrak antara UMKM dengan UB yang bisa dianggap sebagai cerita keberhasilan dalam melakukan
kemitraan antar kedua kelompok usaha tersebut dalam proses produksi di sektor industri adalah dari PT Astra Internasional di
industri otomotif.
26
Pada tingkat provinsi, pertumbuhan tahunan (y-on-y) produksi UMK di sektor ini yang tertinggi pada
triwulan IV-2015 terjadi di Provinsi Sulawesi Barat naik 21,99 persen, Provinsi Kalimantan Utara naik 21,18
persen, dan Provinsi Maluku naik 19,97 persen. Provinsi-provinsi yang mengalami penurunan pertumbuhan
terbesar adalah Provinsi Sumatera Selatan turun 8,34 persen, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung turun 4,95
persen, dan Provinsi Riau turun 4,61 persen. Sedangkan, dilihat dari pertumbuhan kuartalan (q-to-q) pada
triwulan IV-2015, provinsi dimana produksi UMK mengalami laju pertumbuhan tertinggi adalah Provinsi
Sulawesi Barat dengan 13,35 persen, Provinsi Papua Barat 11,50 persen, dan Provinsi Maluku Utara dengan
7,81 persen. Provinsi-provinsi yang mengalami penurunan pertumbuhan produksi terbesar adalah Provinsi
Jambi turun 4,46 persen, Provinsi Nusa Tenggara Barat turun 2,43 persen, dan Provinsi Sumatera Barat turun
2,36 persen18.

2.3.4 Produktivitas
Seperti telah dibahas, secara relattif peran UMKM yang paling penting yang diharapkan selama ini di dalam
perekonomian nasional belum bisa terrealisasi, yakni sumbangannya terhadap pembentukan PDB masih
rendah; walaupun secara persentase di atas 50 per sen, yang berarti sumbangan PDB dari UB di bawah 50
persen (seperti telah diperlihatkan di Bagian 2.3.3) . Dikatakan relative kecil, karena jumlah unit usaha dari
kelompok UMKM jauh lebih banyak daripada jumlah unit usaha dari kelompok UB. Ini menandakan jelas
bahwa tingkat produktivitas di kelompok UMKM jauh lebih rendah dibandingkan di kelompok UB. Dalam
kata lain, pangsa PDB UMKM lebih besar daripada sumbangan UB terhadap PDB hanya karena jumlah unit
usaha dari kelompok pertama itu yang sangat banyak; bukan karena tingkat produktivitasnya (secara individu
menurut faktor produksi, misalnya produktivitas TK, atau produktivitas faktor total) yang tinggi.
Dalam menghitung tingkat produktivitas sebuah perusahaan bisa dihitung dengan dua pendekatan.
Pertama, tingkat produktivitas dari input atau faktor produksi yang digunakan oleh perusahaan di dalam
proses produksinya, baik secara individu (disebut produktivitas parsial), maupun dari semua input yang
digunakan secara keseluruhan (disebut produktivitas faktor total). Kedua, tingkat produktivitas unit usaha.
Karena data UMKM yang ada dari Menegkop & UKM atau BPS terbatas (hanya ada data output/NT dan
jumlah TK (input)), maka dengan pendekatan pertama tersebut, hanya tingkat produktivitas TK yang bisa
dihitung. Dasar kerangka analisanya adalah sebagai berikut:
fungsi produksi: Q = fQ(TK, input-input lainnya) (2.1), dan
fungsi biaya produksi: C = fC (TK, input-input lainnya) (2.2)
di mana, Q = total nilai output atau NT (dalam rupiah);
C = total biaya (dalam rupiah)
TK = jumlah tenaga kerja (jiwa)
fQ = fungsi yang mencerminkan hubungan teknis antara masing-masing input atau faktor produksi

18
Informasi lebih lengkap, lihat Tabel 3 s/d Tabel 6 di Lampiran I.
27
dengan nilai output atau NT.
f C = fungsi yang mencerminkan hubungan teknis antara masing-masing input atau faktor produksi
dengan total biaya
Dalam fungsi produksi (2.1), hubungan dengan TK adalah sebagai berikut: f 1QTK atau (∂Q/∂TK) >0 (
derivatif pertama yang dapat diartikan sebagai berikut: penambahan 1 orang TK akan menambah 1 atau lebih
unit output (juga berlaku untuk input-input lainnya). Dalam fungsi biaya (2.2), kaitan dengan TK adalah
sebagai berikut: f1CTK atau (∂C/∂TK)>0 (derivatif pertama yang artinya penambahan 1 orang TK akan
menambah 1 atau lebih unit biaya (juga berlaku untuk input-input lainnya).
Berdasarkan rumusan di atas tersebut, maka tingkat produktivitas TK adalah jumlah output atau NT (riil)
yang dihasilkan oleh TK dibagi jumlah TK, atau Q/TK, yang artinya rata-rata satu pekerja menghasilkan
sejumlah output: semakin banyak output yang dihasilkan oleh seorang pekerja, mencerminan semakin tinggi
produktivitas dari pekerja tersebut.
Hasil penghitugan dapat dilihat di Gambar 2.11 yang menunjukkan, seperti yang sudah bisa diduga,
bahwa rasio NT (berdasarkan harga konstan) terhadap jumlah TK di kelompok UB lebih besar dibandingkan
dengan rasio yang sama di kelompok UMKM. Di dalam kelompok UMKM itu sendiri ada perbedaan dalam
produktivitas TK: paling rendah di UMI (yang banyak menggunakan pekerja tidak dibayar), dan paling tinggi
di UM19.
Gambar 2.11 Rasio NT-TK Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (Rp miliar)

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Pendekatan kedua adalah menghitung rasio output atau NT terhadap jumlah perusahaan. Jadi dalam kasus
UMKM, adalah pembagian jumlah NT yang dihasilkan oleh UMKM dengan jumlah unit usaha dari kelompok
ini. Hasil penghitungannya dapat dilihat di Tabel 2.6. Tampak jelas sekali bahwa perbedaan antara UMKM
dan UB dalam produkivitas unit usaha jauh lebih besar daripada perbedaan antara kedua kelompok usaha
tersebut dalam produktivitas TK. Hal ini disebabkan karena jumlah unit usaha dari kelompok UB jauh lebih

19
Hasil penghitungan lebih lengkap mengenai produktivitas TK menurut skala usaha dapat dilihat di Tabel 8 di Lampiran I.
28
sedikit daripada jumlah unit usaha dari kelompok UMKM. Seperti halnya dengan tingkat produktivitas TK,
tingkat produktivitas unit usaha juga bervariasi antar subkelomppok .
Tabel 2.6 Produktivitas Unit Usaha Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (Rp miliar)
Skala Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMKM 0,0211 0,0220 0,0227 0,0230 0,0237 0,0248 0,0861 0,0940
UB 366,3475 390,0738 414,4347 436,2664 465,3608 501,1358 1676,0915 186,2610
Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Rendahnya tingkat produktivitas UMKM di Indonesia bukan merupakan keunikan Indonesia, melainkan
merupakan salah satu ciri khas penting dari kelompok usaha ini di NSB. Bahkan tingkat produktivitas UMKM
di NSB lebih rendah dibandingkan kelompok usaha yang sama di NM. Hal ini bisa dipahami mengingat
bahwa UMKM (khususnya UMK di perdesaan) di Indonesia, seperti pada umumnya di NSB, memiliki
keterbatasan atas sumber-sumber utama pertumbuhan produktivitas seperti modal, khususnya modal investasi
(misalnya untuk membeli teknologi atau mesin-mesin serta alat-alat produksi yang baru/modern, memperluas
pabrik), dan SDM, serta kesulitan dalam pemasaran dan pengadaan bahan baku, keterbatasan informasi, dan
buruknya manajemen dan organisasi di dalam perusahaan.

2.3.5 Investasi
Seperti telah dibahas sebelumnya di atas, banyak faktor yang menyebabkan tingkat produktivitas UMKM jauh
lebih rendah dibandingkan UB, salah satunya adalah modal investasi untuk membeli mesin-mesin baru, untuk
memperluas kapasitas produksi, untuk melakukan penelitian dan pengembangan (R&D) yang menghasilkan
produk-produk inovasi atau pola produksi yang lebih baik, dan sebagainya. Dilihat dari struktur biaya atau
struktur pendanaan/pinjaman UMKM, secara umum, memang menunjukkan bahwa UMKM lebih
memperhatikan modal kerja dibandingkan modal investasi. Padahal, tidak diragukan lagi bahwa volume
produksi (atau produktivitas) berkaitan erat dengan volume investasi, yang digambarkan dalam sebuah fungsi
produksi yang sederhana sebagai berikut:
Q = fQ (I, input-input lainnya) (2.3)
di mana: Q = output atau NT
I = investasi atau pembentukan modal tetap bruto
fQ = fungsi yang mencerminkan hubungan teknis antara masing-masing input atau faktor produksi
dengan volume produksi atau NT.
Dalam fungsi produksi (2.3), hubungan dengan I adalah sebagai berikut: f 1QI atau (∂Q/∂I) >0 (derivatif
pertama: penambahan investasi sebesar, misalnya, 10 persen dari nilai investasi yang sudah ada, akan
menambah output atau NT sebesar, misalnya 20 persen dari jumlah output sebelumnya, jika koefisien antara
perubahan output dengan perubahan investasi (∂Q/∂I) adalah 2. Jadi, dari fungsi produksi (2.3) tersebut, bisa
juga dibuat dalam rumusan lain yang menghubungkan langsung antara produktivitas TK dengan investasi
sebagai berikut:

29
(NT/TK) = f(NT/TK) (I, input-input lainnya) (2.4)
di mana: (NT/TK) = tingkat produktivitas TK
fQ = fungsi yang mencerminkan hubungan teknis antara masing-masing input atau faktor
produksi dengan produktivitas TK.
Dalam fungsi produktivitas (2.4), hubungan dengan I adalah sebagai berikut: f 1(NT/TK) atau
(∂(NT/TK)/∂I) >0 (derivatif pertama: penambahan investasi sebesar, misalnya, 10 persen dari investasi yang
sudah ada, akan menaikan rata-rata output atau NT per satu orang pekerja sebesar, misalnya 30 persen dari
rata-rata sebelum penambahan investasi, jika nilai koefisien antara perubahan output dengan perubahan
investasi (∂(NT/TK)/∂I) diasumsikan 3.
Gambar 2.12 menunjukkan persentase dari total investasi di UMKM sebagai persentase dari total investasi
dari semua skala usaha (termasuk investasi yang dilakukan oleh UB). Jika dilihat, nilai total investasi di
UMKM lebih besar daripada pembentukan modal tetap bruto di UB (terkecuali untuk tahun 2008 hingga
tahun 2011). Bahkan pada tahun 2013, nilai investasi yang dilakukan oleh UMKM meningkat pesat yang
rasionya mencapai sekitar 56 persen. Walaupun di dalam kelompok UMKM itu sendiri ada perbedaan antar
subkelompok dalam investasi20.
Gambar 2.12 Nilai Total Investasi di UMKM sebagai Persentase dari Nilai Total Investasi Semua Unit
Usaha, 2006-2013

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Namun, ini belum berarti bahwa UMKM pada umumnya lebih banyak melakukan investasi dibandingkan
UB. Dalam kata lain, distribusi pembentukan modal tetap bruto menurut skala usaha seperti di Gambar 2.12
bukanlah sebuah perbandingan yang baik. Yang harus dibandingkan adalah nilai investasi rata-rata per unit
usaha. Ini sama dengan pembahasan sebelumnya perihal kontribusi UMKM, relatif dibandingkan UB,
terhadap pembentukan PDB, bahwa yang harus dilihat adalah tingkat produktivitas usaha atau nilai rata-rata
PDB per unit usaha. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2.13, nilai investasi rata-rata di kelompok UMKM
sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai rata-rata penanaman modal yang dilakukan oleh kelompok UB.
20
Data lebih rincih ditunjukkan di Tabel 10 di Lampiran I.
30
Hal ini juga yang menjelaskan kenapa produktivitas (baik TK maupun unit usaha) di UB jauh lebih tinggi
daripada di UKM.

Gambar 2.13 Nilai Total Investasi Rata-rata per Unit Usaha di UMKM dan UB, 2006-2013 (Rp miliar;
harga konstan)

Sumber: Menegkop & UKM/BPS

2.4 Masalah-masalah Utama


Seperti di banyak negara lain, khususnya di NSB, perkembangan atau pertumbuhan UMKM di Indonesia
dihalangi oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda di satu daerah
dengan di daerah lain atau antara perdesaan dan perkotaan, atau antar sektor, atau antar sesama perusahaan di
sektor yang sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UMKM di negara
manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum tersebut termasuk
keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan
bahan baku dan input lainnya, keterbatasan akses ke informasi mengenai peluang pasar dan lainnya,
keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah) dan kemampuan teknologi, biaya
transportasi dan enerji yang tinggi; keterbatasan komunikasi, biaya tinggi akibat prosedur administrasi dan
birokrasi yang kompleks khususnya dalam pengurusan ijin usaha21, dan ketidakpastian akibat peraturan-
peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau tak menentu arahnya22.

21
Informasi lebih luas mengenai macam-macam izin yang harus dimiliki seseorang untuk membuka usaha dapat dilihat di Lampiran
II.
22
Sayangnya, studi-studi yang memberi bukti empiris mengenai problem-problem yang dihadapi oleh UB, yang dapat digunakan
sebagai suatu perbandingan, sangat terbatas, dan tidak ada data BPS mengenai itu. Walaupun beberapa laporan, studi-studi yang
ada, atau berita-berita/tulisan-tulisan di surat-surat kabar mengenai iklim usaha dan persaingan di Indonesia bisa memberi suatu
gambaran aktual mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh UB seperti suku bunga pinjaman yang tinggi atau masih kurang
lancarnya perbankan menyalurkan dananya ke sektor bisnis, harga input seperti bahan baku dan enerji yang terus meningkat,
permasalahan disekitar ketenagakerjaan seperti Undang-undang Perburuhan No.13, distorsi-distorsi pasar baik output maupun input,
birokrasi, sistem perpajakan yang tidak pro bisnis, kondisi infrastruktur yang buruk, banyaknya pungutan-pungutan resmi maupun
liar (khususnya di daerah-daerah), dan banyak lagi.
31
Data BPS mengenai UMK di industri pengolahan untuk beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa
permasalahan utama yang dihadapi oleh sebagian besar dari kelompok usaha ini adalah keterbatasan modal dan
kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden
terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-
lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan
dan dari saudara/kenalan atau dari sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka.
Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus
tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau
mengundurkan diri karena ruwetnya prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan
termasuk penyediaan jaminan seperti sertifikat rumah atau tanah, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari
awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Dalam hal pemasaran, UMKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari,
mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada
mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan
produk-produk mereka, atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi
mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan UB lewat sistem
subcontracting.
Misalnya, berdasarkan data hasil survei BPS tahun 2010 menunjukkan sekitar 78 persen dari seluruh UMK
(atau 2.732.724 unit usaha) di sektor itu mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya. Jenis kesulitan
utama terbesar yaitu kesulitan dalam permodalan, pemasaran, dan bahan baku masing-masing sebanyak
806.758 unit usaha, 495.123 unit usaha, dan 483.468 unit usaha. Industri makanan yang mengalami kesulitan
terbesar sebanyak 745.824 unit usaha (34,96 persen) meliputi: kesulitan modal sebanyak 255.793 unit usaha,
bahan baku sebanyak 206.309 unit usaha, dan kesulitan pemasaran sebanyak 146.185 unit usaha.
Sedangkan data hasil survei BPS tahun 2013 menunjukkan sebagian besar yaitu 75,43 persen UMK di
industri pengolahan mengaku mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya. Tiga jenis kesulitan utama
yaitu kesulitan dalam permodalan 37,13 persen, kesulitan bahan baku 24,42 persen, dan kesulitan pemasaran
20,76 persen. Secara rinci, masalah-masalah yang dihadapi oleh UMK menurut kelompok industri
ditunjukkan di Tabel 2.7. Dapat dilihat bahwa tingkat keseriusan dari delapan (8) masalah, dilihat dari jumlah
UMK yang mengalaminya, bervariasi menurut kelompok industri. Banyak penyebabnya, secara langsung
maupun tidak langsung, termasuk tingkat kesulitan/kompleksitas proses produksi, sifat atau struktur pasar
yang dilayani, ketersediaan atau harga bahan baku, harga enerji, dan ketersediaan pekerja dengan keahlian
yang dibutuhkan; yang semua ini sangat terkait dengan jenis barang yang dibuat.
Tabel 2.7 Jumlah UMK di Industri Pengolahan Menurut Jenis Kesulitan dan Kelompok Industri di Indonesia,
2013
KBLI* Jumlah unit Tidak punya Jenis masalah**
masalah 1 2 3 4 5 6 7 8
10 1 167 541 297 662 250422 161832 301415 25899 19291 11753 5638 93629
32
11 47470 9536 11232 13183 7839 715 1117 391 190 3267
12 63710 9226 3861 14448 10239 3960 32 103 396 21445
13 293039 87812 27362 40138 105565 1314 1341 9896 1452 18159
14 340002 99344 20019 43237 111076 1504 2004 25411 3151 34256
15 40150 7539 7039 6404 11963 423 391 1300 83 5008
16 781916 190036 190689 137602 195122 6030 7776 17078 2417 35166
17 10102 4119 1668 2090 1533 140 - 200 - 352
18 31584 8468 1551 7410 9758 212 164 1332 150 2539
20 24168 3943 9361 4191 5259 22 400 44 66 882
21 6516 2331 862 1496 1321 17 126 30 95 238
22 21998 8909 3602 4225 3674 70 35 322 - 1161
23 265862 49665 41559 41701 83061 2827 2064 7636 2063 35286
24 1390 342 663 101 158 47 - 64 - 15
25 79735 13213 11313 16972 30052 1524 1082 1445 595 3539
26 339 205 20 40 67 - - 7 - -
27 615 107 116 66 303 14 2 - - 7
28 1811 309 118 176 543 22 46 54 - 543
29 3249 342 591 1099 1158 9 - 27 6 17
30 6376 598 1831 984 2592 73 87 157 7 47
31 133831 20794 28852 25201 45390 778 898 3540 1270 7108
32 88794 23201 15648 11377 27163 896 2399 2558 994 4558
33 8168 2202 1163 1203 2088 432 - 70 620 390
Total 3418366 839903 629542 535176 957339 46928 39255 83418 19193 267612
Keterangan: * kelompok-kelompok industri menurut KBLI, lihat Tabel 2.2; ** 1=bahan baku; 2=pemasaran; 3=modal; 4=
BBM/enerji; 5 transportasi; 6=keahlian; 7=upah buruh; 8= lainnya.
Sumber: BPS (2013)
Berikut, Table 2.8 menunjukkan jumlah UMK di industri pengolahan yang mengaku bahwa sulitnya
pengadaan atau mahalnya harga bahan baku merupakan masalah utama dan jumlah UMK yang menghadapi
kendala-kendala lain menurut provinsi. Dapat dilihat, bahwa derajad keseriusan masalah menurut jenisnya
yang dihadapi oleh UMK di sektor tersebut tidak saja berbeda menurut kelompok industri (Tabel 2.7), tetapi
juga menurut provinsi. Perbedaan menurut provinsi ini terkait dengan perbedaan-perbedaan dalam berbagai
macam karakteristik lokal dari masing-masing provinsi seperti ketersediaan infrastruktur (dalam jumlah
maupun kualitas) seperti pelabuhan laut atau udara, jalan raya, lokasi industri beserta komponen-komponen
pendukungnya, fasilitas penerangan dan telekomunikasi, serta fasilitas transportasi; lokasi geografi, terutama
jaraknya dengan kota-kota penting atau pusat-pusat kegiatan ekonomi dan administrasi pemerintah seperti
Jakarta, Surabaya dan Makassar); kebijakan-kebijakan pemerintah daerah (Pemda); dan kondisi pasar lokal
(yang sangat ditentukan oleh jumlah penduduk, pendapatan rata-rata penduduk, lokasi atau akses masyarakat
ke pasar, dan persaingan baik antar sesama UMK maupun antara UMK dengan UMB dan barang-barang
impor).
Tabel 2.8 Jumlah UMK di Industri Pengolahan Menurut Jenis Kesulitan dan Provinsi di Indonesia,
2013
Provinsi Jumlah unit Tidak punya Masalah
masalah Selain bahan baku Bahan baku
Aceh 78568 12749 54412 11407
Sumatera Utara 82888 15626 51436 15826
Sumatera Barat 65994 15660 42827 7507
Riau 17049 3287 11690 2072
Jambi 25100 3113 15735 6252
Sumatera Selatan 71347 12176 49376 9795
Bengkulu 11706 1376 7848 2482
33
Lampung 101619 17814 60641 23164
Bangka Belitung 11415 2965 5954 2496
Kep. Riau 16221 4427 8203 3591
DKI Jakarta 39910 10847 24791 4272
Jawa Barat 489760 99737 292901 97122
Jawa Tengah 810263 235559 420886 153818
D.I.Yogyakarta (DIY) 80760 31708 39087 9965
Jawa Timur 629106 175633 339319 114154
Banten 79160 16890 46855 15415
Bali 105482 25195 54985 25302
Nusa Tenggara Barat (NTB) 101178 18221 66924 16033
Nusa Tenggara Timur (NTT) 104606 12701 77190 14715
Kalimantan Barat 37677 10191 19291 8195
Kalimantan Tengah 18741 3519 10741 4481
Kalimantan Selatan 68390 21531 31104 15755
Kalimantan Timur 24383 5944 13610 4829
Sulawesi Utara 39685 10242 20191 9252
Sulawesi Tengah 33190 6218 20450 6522
Sulawesi Selatan 102486 25672 61530 15284
Sulawesi Tenggara 65044 12772 39019 13253
Gorontalo 22436 4905 15252 2279
Sulawesi Barat 27120 7295 16827 2998
Maluku 35872 10174 18981 6717
Maluku Utara 8433 1974 4509 1950
Papua Barat 2822 498 1696 628
Papua 9955 3284 4660 2011
Indonesia 3418366 839903 1948 921 629542
Sumber: BPS (2013)
Salah satu kendala yang selalu disebut-sebut di media masa dan dialami oleh mayoritas UMKM, khususnya
UMK adalah keterbatasan modal. Sudah merupakan suatu pengetahuan umum bahwa di Indonesia seperti di
NSB pada umumnya (bahkan juga di banyak NM), sebagian besar modal kerja maupun modal investasi di
UMKM adalah dari uang sendiri atau minjam dari sumber-sumber informal. seperti uang tabungan pemilik
usaha, bantuan dari keluarga, pinjaman dari pedagang atau pemasok bahan baku, peminjam-peminjam
informal, atau dari pembeli/konsumen dalam bentuk pembayaran (sebagian atau sepenuhnya) di muka.
Misalnya, hasil survei UMK di industri pengolahan tahun 2010 oleh BPS yang menunjukkan pola yang
sama yakni sumber modal usaha UMK di sektor tersebut pada umumnya berasal dari uang sendiri yaitu
sebesar 79,51 persen. Sedangkan UMK dengan modal sebagian dari pihak lain tercatat sebesar 16,96 persen,
dan UMK yang seluruh modalnya berasal dari pihak lain sebesar 3,53 persen. Menurut kelompok industri,
UMK di industri makanan paling banyak menggunakan modal sendiri, yaitu 767.729 unit usaha, sedangkan
UMKM di industry peralatan listrik paling sedikit menggunakan modal sendiri, yang tercatat hanya 122 unit.
Selanjutnya, berdasarkan data hasil survei BPS tahun 2013, sumber modal UMK di industri pengolahan
pada umumnya adalah uang milik sendiri, yaitu sebesar 74,21 persen, sedangkan UMK dengan modal
sebagian dari pihak lain sebesar 21,26 persen. Sementara itu ada UMK yang seluruh modalnya berasal dari
pihak lain sebesar 4,52. Secara rinci mengenai sumber modal UMK menurut kelompok industri dapat dilihat
di Tabel 2.9. Seperti dalam kasus masalah-masalah yang dihadapi oleh UMK yang telah dibahas sebelumnya,
porsi modal sendiri di dalam total modal yang digunakan ternyata juga bervariasi menurut kelompok

34
industri.Banyak faktor yang menyebabkan adanya perbedaan itu, diantaranya tentu jenis barang yang dibuat
(yang menentukan jenis teknologi/mesin dan bahan baku yang dipakai yang pada gilirannya menentukan
besaran dari modal yang dibutuhkan), volume produksi (yang menentukan total biaya produksi yang harus
ditanggung yang pada gilirannya menentukan besaran dari modal yang dibutuhkan.
Tabel 2.9 Jumlah UMK di Industri Pengolahan Menurut Sumber Modal dan Kelompok Industri, 2013
KBLI* Jumlah unit Sumber modal
100% modal sendiri Sebagian modal sendiri 100% modal luar
10 1 167 541 906266 226579 34696
11 47470 40614 5430 1426
12 63710 36914 20333 6463
13 293039 200371 62812 29856
14 340002 218040 103189 18773
15 40150 19500 19179 1471
16 781916 650897 105980 25039
17 10102 6340 3048 714
18 31584 24410 6204 970
20 24168 14276 8691 1201
21 6516 5462 1001 53
22 21998 15010 4589 2399
23 265862 181578 71592 12692
24 1390 1003 342 45
25 79735 54449 21824 3462
26 339 266 73 -
27 615 389 219 7
28 1811 960 361 490
29 3249 2072 679 498
30 6376 5212 1036 128
31 133831 84642 43604 5585
32 88794 61889 18499 8406
33 8168 6679 1422 67
Total 3418366 2537239 726686 154441
Keterangan: * kelompok-kelompok industri menurut KBLI, lihat Tabel 2.2;
Sumber: BPS (2013)

Juga ada perbedaan sumber modal antar provinsi, seperti yang ditunjukkan di Tabel 2.10. Di hampir
semua provinsi, uang sendiri (dari pemilik usaha) berperan sangat dominan sebagai sumber pembiayaan
kegiatan-kegiatan UMK. Secara teori, ada sejumlah alasan adanya perbedaan dalam diversifikasi sumber
pendanaan antar provinsi tersebut (atau alasan kenapa banyak pemilik UMK yang sangat mengandalkan uang
sendiri atau tidak tergantung sepenuhnya pada sumber-sumber eksternal). Diantaranya adalah besaran modal
yang dibutuhkan (yang ditentukan oleh antara lain volumen kegiatan dan jenis produk yang dibuat), modal
sosial dari masyarakat setempat yang mempengaruhi tingkat kemudahan/kesulitan meminjam uang atau
kerelaan saling meminjamkan uang antar sesama masyarakat.
Tabel 2.10 Jumlah UMK di Industri Pengolahan Menurut Sumber Modal dan Provinsi, 2013
Provinsi Jumlah unit Sumber modal
100% modal sendiri Sebagian modal sendiri 100% modal luar
Aceh 78568 53671 21761 3136
Sumatera Utara 82888 67863 12343 2682
Sumatera Barat 65994 47402 13617 4975
Riau 17049 13808 2690 551
Jambi 25100 21386 2791 923
Sumatera Selatan 71347 54933 11105 5309
35
Bengkulu 11706 8886 2399 421
Lampung 101619 70821 26457 4341
Bangka Belitung 11415 9674 1525 216
Kep. Riau 16221 14168 1401 652
DKI Jakarta 39910 34088 5091 731
Jawa Barat 489760 330324 137611 21825
Jawa Tengah 810263 597131 179749 33383
D.I.Yogyakarta (DIY) 80760 55487 21708 3565
Jawa Timur 629106 472051 129141 27914
Banten 79160 45499 29918 3743
Bali 105482 66419 29683 9380
Nusa Tenggara Barat (NTB) 101178 68893 27250 5035
Nusa Tenggara Timur (NTT) 104606 90172 8417 6017
Kalimantan Barat 37677 34262 2895 520
Kalimantan Tengah 18741 15750 2509 482
Kalimantan Selatan 68390 58248 8428 1714
Kalimantan Timur 24383 18090 4947 1346
Sulawesi Utara 39685 34724 4154 807
Sulawesi Tengah 33190 26150 4884 2156
Sulawesi Selatan 102486 78611 16234 7641
Sulawesi Tenggara 65044 52781 10373 1890
Gorontalo 22436 17738 2734 1964
Sulawesi Barat 27120 24127 2381 612
Maluku 35872 35074 716 82
Maluku Utara 8433 7978 455
Papua Barat 2822 2485 333 4
Papua 9955 8545 986 424
Indonesia 3418366 2537239 726686 154441
Sumber: BPS (2013)
Brikut, Tabel 2.11 dan Tabel 2.12 memperlihatkan seberapa besar peran bank dalam mendanai kegiatan
UMK di industri pengolahan. Dari jumlah UMK yang memanfaatkan pinjaman, tidak semuanya
memanfaatkan fasilitas kredit dari bank; walaupun persentasenya bervariasi, baik menurut kelompok industri
(Tabel 2.11) maupun antar provinsi (Tabel 2.12). Banyak juga yang mendapat pinjaman dari sumber-sumber
lain seperti lembaga keuangan non-bank, koperasi, perorangan, keluarga, atau perusahaan-perusahaan yang
menyediakan modal ventura. Banyak faktor yang membuat adanya variasi tersebut, diantaranya adalah karena
pinjaman yang di dapat dari perbankan jumlahnya tidak selalu mencukupi kebutuhan sebenarnya sehingga
banyak pemilik UMK terpaksa menggunakan sumber-sumber lannya. Misalnya, banyak kalangan
beranggapan bahwa plafon dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak mencukupi, apalagi untuk memperluas
usaha atau untuk menggantikan alat-alat produksi atau untuk membeli mesin. Selain itu, banyak juga
pengusaha UMK yang menganggap bahwa bunga pinjaman dari perbankan relatif mahal selain urusan
administrasinya sangat ruwet dengan berbagai persyaratan yang sering kali sulit untuk dipenuhi (Kusmulyono,
2008; Situmorang, dkk. 2008).
Penyebab-penyebab lainnya adalah diantaranya lokasi UMKM yang jauh atau relatif terpencil (semakin
jauh atau terisolasi dari lokasi bank, semakin sulit mendapatkan kredit bank), kelayakan bisnis UMKM
menurut penilaian bank (yang sangat menentukan kesediaan bank memberikan kredit), dan, juga mungkin
sekali, adanya kemudahan mendapat kredit dari sumber-sumber formal non-bank seperti koperasi dan modal
ventura sehingga tidak perlu minjam uang dari bank.
36
Tabel 2.11 Jumlah UMK di Industri Pengolahan yang Memanfaatkan Fasilitas Kredit Bank Menurut
Kelompok Industri, 2013
KBLI* Jumlah yang minjam uang** Jumlah yang minjam uang dari bank
10 261275 82115
11 6856 2876
12 26796 2636
13 92668 11136
14 121962 35460
15 20650 5096
16 130789 35511
17 3762 590
18 7174 4234
20 9892 4554
21 1054 267
22 6988 1682
23 84284 29825
24 387 113
25 25286 11928
26 73 53
27 226 163
28 851 293
29 1177 643
30 1164 300
31 49189 26333
32 26905 7077
33 1489 1102
Total 880897 263987
Keterangan: * kelompok-kelompok industri menurut KBLI, lihat Tabel 2.2 ** meminjam dari berbagai sumber, selain dari bank,
yakni lembaga keuangan formal non-bank, koperasi, modal ventura, perorangan, keluarga, dan lainnya.
Sumber: BPS (2013)

Tabel 2.12 Jumlah UMK di Industri Pengolahan yang Memanfaatkan Fasilitas Kredit Bank Menurut Provinsi,
2013
Provinsi Jumlah yang minjam uang Jumlah yang minjam uang dari bank

Aceh 24897 2256


Sumatera Utara 15025 7015
Sumatera Barat 18592 5743
Riau 3241 932
Jambi 3714 2168
Sumatera Selatan 16414 4042
Bengkulu 2820 1560
Lampung 30798 8374
Bangka Belitung 1741 662
Kep. Riau 2053 510
DKI Jakarta 5822 2604
Jawa Barat 159436 39879
Jawa Tengah 213132 81623
D.I.Yogyakarta (DIY) 25273 10536
Jawa Timur 157055 43725
Banten 33661 2163
Bali 39063 13238
Nusa Tenggara Barat (NTB) 32027 5339
Nusa Tenggara Timur (NTT) 14434 2822
Kalimantan Barat 3415 1634
Kalimantan Tengah 3019 1364
Kalimantan Selatan 10142 2644
Kalimantan Timur 6293 2595
Sulawesi Utara 4961 1539

37
Sulawesi Tengah 7040 2947
Sulawesi Selatan 23875 7418
Sulawesi Tenggara 12263 4436
Gorontalo 4698 1731
Sulawesi Barat 2993 900
Maluku 798 252
Maluku Utara 455 80
Papua Barat 337 290
Papua 1410 966
Indonesia 880897 263987
Sumber: BPS (2013)

Terakhir, masalah yang juga cukup serius bagi perkembangan UMKM, terutama bagi peningkatan daya
saingnya adalah pendidikan formal pengusaha (selain juga tentu keterampilan pekerjanya). Teorinya adalah
bahwa semakin baik tingkat pendidikan pemilik UMKM, ceteris paribus (faktor-faktor determinan lainnya
tidak berubah), semakin baik kinerja atau perkembangan UMKM. Tabel 2.13 dan Tabel 2.14 memperlihatkan
struktur pendidikan formal dari pengusaha atau pemilik UMK di industri pengolahan, masing-masing,
menurut kelompok industri dan provinsi. Gambaran umumnya adalah bahwa,walaupun cukup banyak
pengusaha/pemilik UMK bergelar sarjana S1 atau lebih tinggi, namun hanya lulusan sekolah dasar (SD)
mendominasi, dan ini sejalan dengan struktur pendidikan masyarakat atau tenaga kerja Indonesia yang secara
umum masih lebih banyak berpendidikan SD dibandingkan berpendidikan universitas.
Tabel 2.13 Jumlah UMK di Industri Pengolahan Menurut Tingkat Pendidikan Formal yang
Ditamatkan Pengusaha/Pemilik dan Kelompok Industri, 201323
KBLI* Tidak tamat SD SD SMP SMA DI/II Sarjana Sarjana (S1,S2,S3)
muda/DIII
10 283826 495534 187734 172835 5076 4495 18041
11 7479 17446 9193 10705 159 413 2075
12 20450 31618 6263 4410 60 36 873
13 94334 113720 44860 34927 585 537 4076
14 22996 121687 86275 95687 1679 3051 8627
15 4837 15490 9441 9309 158 268 647
16 275897 320489 101481 73543 1379 1980 7147

23
Tidak tamat sekolah dasar (SD): mereka yang tidak sekolah/belum pernah sekolah atau mereka yang pernah sekolah/tidak tamat
di sekolah dasar 5/6/7 tahun, sekolah luar biasa tingkat dasar (SLBTD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), sekolah dasar pamong (SDP:
pendidikan anak oleh masyarakat orang tua dan guru), sekolah dasar kecil (SDK), Paket A1 - A100. Mereka yang sekolah dasar
hanya 3 tahun atau sederajat dianggap belum tamat. SD dan sederajat: mereka yang tamat sekolah dasar 5/6/7 tahun, SLBTD, MI,
SDP, SDK, Paket A1 - A100. Sekolah lanjutan tingkat pertama dan sederajat: mereka yang tamat sekolah menengah pertama
(SMP), MULO, HBS 3 tahun, sekolah luar biasa menengah tingkat pertama, Madrasah Tsanawiyah, sekolah kepandaian putri,
SMEP, ST, sekolah kesejahteraan keluarga pertama, sekolah ketrampilan kejuruan 4 tahun, sekolah usaha tani (SUT), sekolah
pertanian menengah pertama, sekolah guru bantu, pendidikan guru agama 4 tahun, kursus pegawai administrasi, kursus karyawan
perusahaan, dan pendidikan pegawai urusan peradilan agama. Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan sederajat: mereka yang
tamat dari SMA, HBS 5 tahun, AMS, Madrasah Aliyah, sekolah menengah pekerjaan sosial, sekolah menengah industri kerajinan,
sekolah menengah seni rupa, sekolah menengah karawitan Indonesia, sekolah menengah musik, sekolah teknologi menengah
pembangunan, sekolah menengah ekonomi atas, sekolah teknologi menengah, sekolah menengah teknologi pertanian, sekolah
menengah teknologi perkapalan, sekolah menengah teknologi pertambangan, dan sekolah menengah teknologi grafika. Diploma I/II
(DI/DII): mereka yang tamat sekolah guru olah raga, sekolah guru pendidikan luar biasa, pendidikan guru sekolah lanjutan pertama,
pendidikan guru agama 6 tahun, sekolah guru taman kanak-kanak, kursus pendidikan guru, sekolah analisis menengah kimia atas,
sekolah asisten apoteker, sekolah bidan, sekolah pengatur rontgen, dan kursus pegawai administrasi atas, DI/DII pada suatu
pendidikan yang khusus diberikan untuk program diploma. Program akta (A) I dan AII termasuk dalam jenjang pendidikan program
DI/DII. Sarjana muda/DIII: mereka yang tamat akademi/DIII/AIII atau yang telah mendapatkan gelar sarjana muda pada suatu
fakultas. Bagi mereka yang telah menempuh pendidikan sampai semester 8/9 dan belum tamat di fakultas yang tidak mengeluarkan
gelar sarjana muda, dinyatakan sebagai tamatan SLTA dan sederajat. DIV, S1 atau lebih: mereka yang tamat program pendidikan
DIV, sarjana (strata-1), magister (strata-2), dan doktor (strata-3).
38
17 1733 2929 2169 3016 52 20 183
18 1023 2323 4622 17032 705 1057 4822
20 5576 9305 4888 3227 993 - 179
21 2228 2210 661 1160 110 - 147
22 2766 9303 4832 4034 56 223 784
23 71891 102459 45646 41232 500 934 3200
24 118 638 301 300 1 - 32
25 11343 23470 16299 24945 375 670 2633
26 22 59 40 48 - - -170
27 164 186 114 65 53 - 33
28 60 176 686 761 6 24 98
29 739 558 384 1562 - 6
30 1480 2983 1160 718 - 35
31 16395 52183 26776 32359 1097 1098 3923
32 13782 38808 17093 16835 393 371 1512
33 424 3062 1309 2962 24 88 299
Total 839563 1366636 572227 551672 13461 15265 59542
Keterangan: * kelompok-kelompok industri menurut KBLI.
Sumber: BPS (2013)

Tabel 2.14 Jumlah UMK di Industri Pengolahan Menurut Tingkat Pendidikan Formal yang
Ditamatkan Pengusaha/Pemilik dan Provinsi Industri, 2013
Provinsi Tidak tamat SD SMP SMA DI/II Sarjana Sarjana (S1,S2,S3)
SD muda/DII
I
Aceh 14627 22198 17669 20157 316 357 3244
Sumatera Utara 13801 22727 19573 24687 263 590 1247
Sumatera Barat 10111 14052 15729 22464 374 829 2435
Riau 3299 4841 3275 5060 198 130 246
Jambi 4012 8722 4902 6612 207 175 470
Sumatera Selatan 11331 33349 13030 11990 335 274 1038
Bengkulu 2231 2869 2499 3559 89 110 349
Lampung 21680 33903 22993 20905 17 237 1884
Bangka Belitung 2125 3689 2087 3095 172 84 163
Kep. Riau 5267 5748 2345 2456 54 120 231
DKI Jakarta 3751 7871 8699 15931 221 934 2503
Jawa Barat 81735 274421 68956 55172 1292 2076 6108
Jawa Tengah 229937 343528 120296 100802 1283 3277 11140
D.I.Yogyakarta (DIY) 17983 20257 16542 20671 420 1402 3485
Jawa Timur 167040 256807 103064 87965 3634 1359 9237
Banten 29310 32830 10250 5431 173 289 877
Bali 23371 30233 19233 26980 1552 481 3632
Nusa Tenggara Barat (NTB) 38158 29517 16886 14008 386 119 2104
Nusa Tenggara Timur (NTT) 37668 41053 13489 11410 27 285 674
Kalimantan Barat 11026 12388 6330 6754 247 189 743
Kalimantan Tengah 2409 6873 4259 4365 224 611
Kalimantan Selatan 19909 26646 11899 9308 138 18 472
Kalimantan Timur 3954 7882 5165 6227 282 144 729
Sulawesi Utara 3677 14573 11060 9383 171 152 669
Sulawesi Tengah 6530 11515 6875 7058 217 110 885
Sulawesi Selatan 32696 37567 15123 14956 440 369 1335
Sulawesi Tenggara 17063 20644 11232 13431 300 579 1795
Gorontalo 8683 8003 2104 3307 100 - 239
Sulawesi Barat 9719 9489 3372 3725 278 104 433
Maluku 3511 1994 8136 8640 189 94 308
Maluku Utara 1182 3538 1836 1714 20 78 65
Papua Barat 549 853 619 726 22 4 49
39
Papua 1218 3056 2700 2723 44 72 142
Indonesia 839563 1366636 572227 551672 13461 15265 59542
Sumber: BPS (2013)

40
Lampiran I: Perkembangan UMKM
Tabel 1: Jumlah Unit Usaha di Indonesia Menurut Skala Usaha, 2005-2013 (unit)
Skala
usaha 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMI 45217567 48512438 49608953 50847771 52176771 53504416 54559969 55856176 57189393
UK 1694008 472602 498565 522124 546643 568397 602195 629418 652222
UM 105487 36763 38282 39717 41336 42008 4428 48997 52106
UB 5022 4577 4463 4650 4676 5150 4952 4968 5066
Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Tabel 2: Jumlah Tenaga Kerja di Indonesia Menurut Skala Usaha, 2005-2013 (orang)
Skala usaha 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMI 69966508 82071144 84452002 87810366 89960695 91729384 94957797 99859517 104624466
UK 9204786 3139711 3278793 3519843 3520497 3768885 3919992 4535970 5570231
UM 4415322 2698743 2761135 2694069 2712431 2740644 2844669 3262023 3949385
UB 2719209 2441181 2535411 2756205 2692374 2753049 2891224 3150645 3537162
Sumber: Menegkop & UKM/BPS

Tabel 2: NT Riil Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (Rp miliar; harga 2000)
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMI 588505,9 620864,0 655703,8 682259,8 719070,2 761228,8 2951120,6 3326564,8
UK 189666,7 204395,4 217130,2 224311,0 239111,4 261315,8 798122,2 876385,3
UMI 257442,6 275411,4 292919,1 306028,5 324390,2 346781,4 1120325,3 1237057,8
UB 734893,0 782878,2 832184,8 876459,2 935375,2 1007784,0 3372296,1 374943,3
Sumber: Menegkop & UKM/BPS

1
Tabel 3: NT UMK di Industri Pengolahan Menurut 2-digit KBLI, 2010-2014 (Rp juta)
  2010 2011 2012 2013 2014
KLBI UMI UK UMI UK UMI UK UMI UK UMI UK
10 28350585 12146385 3846104 4353326 18496373 14109465 23032589 36715970 32108985 18780697
11 432719 72335 129792 59096 1018888 682855 836181 269869 1236243 185040
12 321365 2406477 100402 6269 254943 841621 177325 2223993 2083583 7476410
13 1633356 6248754 548880 724567 1831531 4461187 2759694 5293160 3615576 3453644
14 4420150 8378980 1027527 4985047 7707934 16804637 6421846 28086505 12598258 17558417
15 2544563 1684478 373488 1612380 2214683 2806714 710034 6603584 2051182 4746064
16 6360953 3609340 2627674 1688771 5946435 3417039 10890206 10891696 15310365 7311546
17 357567 88291 21713 32757 63265 986615 131904 280563 173440 306754
18 946914 845997 208489 473500 1404201 2385028 1146832 2602008 1750976 2853794
20 612952 448763 113844 71778 212179 13164 706150 1314803 573139 982746
21 113698 3000 18067 1037 138961 33 89531 192717 197966 53590
22 388009 334835 76515 106635 176415 1109852 404421 581127 535730 1169304
23 4668361 2022032 1526330 1624504 7924742 8266649 6289800 10858809 11522765 7484899
24 161285 104173 5763 23083 32216 9939 204476 64988 94697 99517
25 3547631 4444043 852989 1234407 4746347 3368276 3365009 7560864 6644104 4490811
26 35895 39089 7902 1812 6605 7326 18144 60243 44646 42008
27 4853 24149 6308 1837 25451 43466 21079 2162545 880 152836
28 140451 198915 2835 19833 576966 772565 68110 226504 170374 2013009
29 108890 53122 24156 66461 170375 86496 143908 786834 234586 662375
30 275733 89192 88029 78426 473511 101826 226622 165971 497480 1498865
31 5,782485 2,683329 754061 1088488 4203138 8123142 4458840 6740710 10827285 12977883
32 1,978687 797611 277524 327709 1526103 3947538 1794245 2183533 2595672 2367029
33 123164 55722 68416 46534 179760 227217 375994 221565 648903 14400
Jumlah 63310266 46779013 12706808 18628257 59331022 72572650 64272940 126088561 105516835 96681638
Keterangan: Kode industri, lihat Tabel 2.1 di dalam teks.
Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI

2
Tabel 4: Indeks Produksi Rata-rata per Tahun UMK di Industri Pengolahan Menurut 2-digit KLBI, 2011-2015 (2010=100)
Rata-rata per tahun 2015
Kode
Triwulan
Industri 222011 22012 2013 2014
I
10 105,39 109,52 128,77 138,62 143,61
11 99,45 100,44 112,28 117,56 126,66
12 98,14 99,31 95,05 58,87 27,50
13 103,95 107,02 115,79 120,88 125,43
14 105,61 110,00 119,37 124,14 128,11
15 104,50 113,79 124,40 128,72 125,69
16 100,88 101,52 104,75 103,43 102,75
17 100,19 106,31 108,30 112,59 130,66
18 103,63 109,91 112,21 125,01 128,80
19 - - - - -
20 100,55 102,12 109,08 107,40 114,40
21 110,21 105,19 110,70 100,14 101,74
22 108,22 100,20 106,49 97,53 97,76
23 101,86 104,57 108,79 104,18 100,18
24 105,35 107,09 120,01 123,02 120,84
25 106,11 105,03 100,47 100,64 97,80
26 100,37 108,31 126,27 122,86 118,11
27 95,06 102,47 100,75 118,03 121,76
28 101,72 105,38 101,26 87,83 93,83
29 101,35 106,15 111,19 116,82 122,91
30 101,91 105,14 99,96 94,69 93,30
31 109,21 112,67 113,88 121,06 126,74
32 105,70 105,22 109,14 116,57 116,63
33 100,53 103,86 110,77 118,90 127,35

Jumlah 104,71 108,97 117,15 122,91 125,56

Keterangan: Kode industri, lihat Tabel 2.1 di dalam teks.


Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI

Tabel 5: Pertumbuhan Indeks Produksi Tahunan UMK di Industri Pengolahan Menurut 2-digit KLBI, 2011-2015 (%; 2010=100)
KBLI 2011 2012 2013 2014 2015

3
10 5,39 3,91 17,58 7,65 6,83
11 - 0,55 0,79 11,79 4,70 11,52
12 - 1,86 1,19 - 4,29 - 38,07 7,66
13 3,94 2,96 8,19 4,40 7,62
14 5,61 4,15 8,52 4,00 6,68
15 4,50 8,89 9,32 3,47 3,91
16 0,88 0,63 3,18 - 1,26 -3,73
17 0,19 6,11 1,87 3,96 16,36
18 3,62 6,07 2,09 11,41 8,24
20 - - - - 14,31
21 0,55 1,57 6,82 - 1,55 4,52
22 10,21 - 4,55 5,24 - 9,54 -3,72
23 8,22 - 7,41 6,27 - 8,41 -1,55
24 1,86 2,66 4,04 - 4,24 -0,59
25 5,35 1,65 12,07 2,51 -3,58
26 6,10 - 1,01 - 4,35 0,18 1,02
27 0,37 7,91 16,57 - 2,70 10,14
28 - 4,95 7,80 - 1,67 17,15 12,60
29 1,72 3,59 - 3,91 - 13,27 1,69
30 1,35 4,73 4,75 5,06 -2,76
31 1,91 3,17 - 4,92 - 5,27 6,54
32 9,21 3,16 1,07 6,30 2,52
33 5,70 - 0,46 3,73 6,80 3,26
Indonesia 0,53 3,30 6,66 7,34 5,71
Keterangan: Kode industri, lihat Tabel 2.1 di dalam teks.
Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI, dan BPS (2016).

Tabel 6: Indeks Produksi Rata-rata per Tahun UMK di Industri Pengolahan Menurut Provinsi, 2011-2015 (2010=100)
Provinsi Rata-rata per tahun TrwI-2015
4
2011 2012 2013 2014
Aceh 114,45 116,97 109,49 119,65 120,85
Sumatera Utara 101,82 102,53 106,00 110,89 108,93
Sumatera Barat 108,27 105,11 113,06 110,43 106,28
Riau 101,46 98,22 102,89 108,05 105,19
Jambi 116,21 102,74 102,01 103,56 109,48
Sumatera Selatan 104,28 106,90 108,62 114,87 111,76
Bengkulu 112,96 105,94 102,05 111,42 111,75
Lampung 102,17 106,62 102,87 107,11 115,90
Kep. Bangka Belitung 109,38 110,62 110,09 110,36 106,26
Kepulauan Riau 103,46 100,35 102,17 110,99 125,83
DKI Jakarta 102,43 109,57 124,13 132,64 139,42
Jawa Barat 105,90 107,73 120,14 121,80 122,95
Jawa Tengah 101,48 105,96 117,12 121,11 125,36
DI Yogyakarta 106,56 100,94 113,40 117,89 113,41
Jawa Timur 109,69 114,93 125,25 130,87 131,82
Banten 103,00 114,05 114,68 122,49 127,37
Bali 98,52 96,86 115,16 120,68 132,37
Nusa Tenggara Barat 99,19 104,56 111,33 118,30 115,05
Nusa Tenggara Timur 96,53 101,63 99,85 102,80 109,47
Kalimantan Barat 100,57 107,57 114,07 113,66 118,47
Kalimantan Tengah 111,30 106,48 101,30 106,09 111,69
Kalimantan Selatan 100,02 99,52 108,06 113,36 121,00
Kalimantan Timur 102,50 98,18 108,54 111,46 112,43
Kalimantan Utara  - -  -  -  95,16
Sulawesi Utara 122,95 116,65 117,36 121,56 119,23
Sulawesi Tengah 101,17 110,72 115,33 131,70 137,62
Sulawesi Selatan 100,98 111,49 104,20 116,21 108,60
Sulawesi Tenggara 98,38 106,11 111,57 128,40 132,34
Gorontalo 107,64 104,48 119,74 121,57 132,94
Sulawesi Barat 100,74 105,43 106,78 112,55 125,05
Maluku 107,97 111,11 117,78 126,64 136,88
Maluku Utara 100,98 104,33 123,21 134,69 141,78
Papua Barat 106,61 112,54 106,72 113,24 125,83
Papua 111,57 109,70 106,85 109,03 119,45
Indonesia 104,71 108,97 117,15 122,91 125,56
Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI

Tabel 7: Pertumbuhan Produksi UMK di Industri Pengolahan Menurut Provinsi, 2012-2015 (%)
Provinsi 2012 2013 2014 2015
Aceh 2,20 - 6,39 9,27 3,36

5
Sumatera Utara 0,70 3,38 4,61 6,06
Sumatera Barat - 2,91 7,56 -2,33 1,92
Riau - 3,20 4,76 5,02 -3,14
Jambi - 11,59 - 0,71 1,51 9,21
Sumatera Selatan 2,51 1,61 5,75 -7,81
Bengkulu - 6,22 - 3,67 9,18 8,11
Lampung 4,36 - 3,52 4,13 9,06
Bangka Belitung 1,14 - 0,48 0,25 -4,97
Kep. Riau - 3,01 1,81 8,64 12,85
DKI Jakarta 6,97 13,29 6,86 11,43
Jawa Barat 1,73 11,52 1,38 2,48
Jawa Tengah 4,41 10,53 3,41 6,57
D.I.Yogyakarta (DIY) - 5,27 12,35 3,96 3,83
Jawa Timur 4,77 8,98 4,48 5,79
Banten 10,74 0,55 6,81 2,30
Bali - 1,68 18,89 4,80 13,80
Nusa Tenggara Barat (NTB) 5,42 6,47 6,26 -7,27
Nusa Tenggara Timur (NTT) 5,29 - 1,76 2,96 6,03
Kalimantan Barat 6,96 6,04 -0,36 5,35
Kalimantan Tengah - 4,32 - 4,87 4,74 10,77
Kalimantan Selatan - 0,50 8,58 4,91 8,67
Kalimantan Timur - 4,21 10,56 2,69 2,33
Sulawesi Utara       9,87
Sulawesi Tengah - 5,12 0,61 3,57 4,31
Sulawesi Selatan 9,44 4,16 14,20 6,56
Sulawesi Tenggara 10,41 - 6,54 11,53 2,12
Gorontalo 7,86 5,15 15,08 0,37
Sulawesi Barat - 2,94 14,60 1,53 14
Maluku 4,65 1,29 5,40 14
Maluku Utara 2,92 6,00 7,52 20
Papua Barat 3,33 18,09 9,32 14
Papua 5,56 - 5.17 6,10 16
Indonesia - 1,68 - 2,59 2,03 8
Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI, dan BPS (2016).

Tabel 8: Produktivitas TK Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (Rp miliar)


Skala Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMI 0,0072 0,0074 0,0075 0,0076 0,0078 0,0080 0,0296 0,0318
6
UK 0,0604 0,0623 0,0617 0,0637 0,0634 0,0667 0,1760 0,1573
UMI 0,0954 0,0998 0,1087 0,1128 0,1184 0,1219 0,3435 0,3132
UB 0,3010 0,3088 0,3019 0,3255 0,3398 0,3486 10,704 0,1060
Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI, dan BPS (2016).

Tabel 9: Produktivitas Unit Usaha Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (Rp miliar)

Skala Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMI 24183.668 24717.96363 25322.59512 25971.5137 26619.11244 27130.76529 27761.51889 28410.0313
UK 235.5942173 248.4130543 260.0219124 272.097063 282.7845771 299.4505221 312.832008 324.004968
UMI 1740210.595 1744101.429 1751516.303 1798684.62 1772419.603 178392.6321 568844.1559 554523.133
UB 0.000498504 0.000498256 0.000498008 0.00049776 0.000497512 0.000497265 0.000497018 0.00049677

Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI, dan BPS (2016).

Tabel 10 Nilai Investasi Menurut Skala Usaha, 2006-2013 (Rp miliar)

Skala usaha 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
UMI 30148.8 32486 36890.8 37144.9 42240.1 42351.3 44711.3 42053.3
UK 72734.4 80022.8 83696.9 85714.9 93856.6 94779.4 104726.4 111652.8
UM 78816 86581.1 97533.7 101149 111042.8 123804.1 150738 187635.5
UB 170478600 188221000 219250700 229573900 264108500 270407900 283250700 266537700
Sumber: BPS (Survei Industri Mikro dan Kecil, KLBI, dan BPS (2016).

7
Lampiran II: Perizinan24

1. Dua hal yang perlu diurus terlebih dahulu sebelum mengurus izin usaha:
 1a.   Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian yang dilakukan oleh pemilik lahan atau gedung dan pemilik usaha sebagai penyewa
lahan/gedung, baik berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian lisan harus diperhatikan bahwa objek
dari perjanjian tersebut digunakan sebagai kegiatan usaha. Berdasarkan Pasal 1554 jo Pasal 1560
KUHPer. Pemilik usaha sebagai penyewa wajib untuk menggunakan objek sewa sebagaimana tujuan
sewa yang diberikan oleh si pemberi sewa dan tidak diperkenankan untuk mengubah wujud maupun
tataan objek yang disewa. Apabila pemilik usaha sebagai penyewa tidak menggunakan objek sewa
sesuai dengan perjanjian sewa hingga menerbitkan suatu kerugian kepada pihak pemberi sewa, maka
pemberi sewa dapat meminta pembatalan perjanjian sewa kepada pemilik usaha.
1b. Izin Mendirikan Bangunan ("IMB")
Sebagai bahan perbandingan, apabila bangunan berada di Provinsi Jakarta (DKI), maka berdasarkan
Pasal 2 Kepgub 76/2000, setiap kegiatan yang akan membangun bangunan/bangunan-bangunan wajib
memiliki IMB. Permohonan IMB ini dapat diajukan secara tertulis kepada Gubernur melalui suku
dinas untuk:
-bangunan rumah tinggal;
-bangunan bukan rumah tinggal; dan
-bangunan-bangunan.25
2. Perizinan Kegiatan Usaha
Dengan asumsi bahwa bentuk usaha yang dilakukan adalah perusahaan perorangan, maka berdasarkan
Pasal 1624 KUHPer, persekutuan berlaku sejak adanya perjanjian, jika dalam perjanjian ini tidak
disyaratkan syarat lain. Adapun perjanjian yang dimaksud di sini dapat berupa perjanjian tertulis maupun
perjanjian secara lisan. Sehingga, untuk perusahaan peorangan tidak diperlukan adanya akta perusahaan.
Lebih lanjut terkait perizinan kegiatan usaha, dapat dilengkapi dokumen sebagai berikut :
2a Tanda Daftar Perusahaan  (TDP)
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 3/1982 yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah daftar
catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan atau
peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap
perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan. Adapun
yang dimaksud dengan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha
yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah

24
Dapat juga dilihat di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ec1e7d00cf43/prosedur-perizinan-usaha-kecil.
25
Perlu diperhatikan apakah IMB yang dimiliki oleh pemilik tanah dapat digunakan sebagai tempat usaha atau hanya izin untuk
membangun rumah tinggal. Apabila perjanjian sewa dan IMB yang ada sudah sesuai dengan peruntukan kegiatan usaha, maka
pemilik usaha dapat melaporkan tempat usahanya kepada pihak kelurahan setempat.
1
Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permendag 36/2007, diatur bahwa setiap Perusahaan yang berbentuk :
a. perseroan terbatas (PT);
b. koperasi;
c. persekutuan komanditer (CV);
d. firma (Fa);
e. perorangan;
f. bentuk lainnya; dan
g. perusahaan asing dengan status kantor pusat, kantor tunggal, kantor cabang, kantor pembantu, anak
perusahaan, dan perwakilan perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilyah
Republik Indonesia.
Sebagai asumsi apabila bentuk perusahaan yang ingin dibentuk adalah salah satu dari bentuk usaha
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permendag 37/07, maka daftar perusahaan wajib untuk
dilaksanakan. Apabila bentuk perusahaan yang akan dibentuk adalah perusahaan kecil, maka
berdasarkan Pasal 6 UU 3/1982 jo Pasal 4 Permendag 36/2007 terdapat pengecualian kewajiban untuk
mendaftarkan daftar perusahaan bagi perusahaan kecil, namun apabila perusahaan kecil tetap dapat
memperoleh TDP untuk kepentingan tertentu, apabila perusahaan kecil tersebut menghendaki.
Lebih lanjut yang dimaksud dengan perusahanan kecil adalah:
1. perusahaan yang dijalankan perusahaan yang diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pribadi,
pemiliknya sendiri, atau yang mempekerjakan hanya anggota keluarganya sendiri;
2. perusahaan yang tidak diwajibkan memiliki izin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan
dengan itu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; atau         
3. perusahaan yang benar-benar hanya sekedar untuk memenuhi keperluan nafkah sehari-hari
pemiliknya.
 Apabila perusahaan yang akan dibentuk merupakan perusahaan kecil pada dasarnya tidak diwajibkan
untuk melakukan pendaftaran perusahaan, namun apabila dihendaki untuk kepentingan tertentu, tetap
dapat mengajukan permohonan pendaftaran perusahaan tersebut.
2b Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Setiap perusahaan yang melakukan usaha perdangangan wajib untuk memilki SIUP. Berdasarkan Pasal
4 ayat (1) huruf c Permendag 46/2009, terdapat pengecualian kewajiban memiliki SIUP terhadap
perusahaan perdagangan mikro dengan kriteria:
a. usaha perseorangan atau persekutuan;
b. kegiatan usaha diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota keluarga terdekat; dan
c. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,tidak termasuk tanah dan bangunan.
 Namun, perusahaan perdagangan mikro tetap dapat memperoleh SIUP apabila dikehendaki oleh

2
perusahaan tersebut. Permohonan SIUP ini diajukan kepada Pejabat Penerbit SIUP dengan melampirkan
surat permohonan yang ditandatangani oleh Pemilik/Pengurus Perusahaan di atas materai yang cukup
serta dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam Lampiran II Permendag 36/2007.
2c Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Memiliki NPWP atas nama pemilik/ penanggung jawab perusahaan.
2d Izin Gangguan (IG)
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Permendagri 27/2009, yang dimaksud dengan IG adalah pemberian izin
tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi/badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya,
kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat/kegiatan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat
atau pemerintah daerah.
Berdasarkan Pasal 5 Permendagri 27/2009 dokumen persyaratan IG yaitu sebagai berikut :
a. formulir permohonan, yang sedikitnya memuat :
(i)  nama penanggung jawab usaha/kegiatan;
(ii)  nama perusahaan;
(iii)  alamat perusahaan;
(iv) bidang usaha/kegiatan;
(v)   lokasi kegiatan;
(vi) nomor telepon perusahaan;
(vii)  wakil perusahaan yang dapat dihubungi;\\
(viii) ketersediaan sarana dan prasarana teknis yang diperlukan dalam menjalankan usaha;
(ix)   pernyataan pemohon izin tentang kesanggupan memenuhi ketentuan perundang-undangan
b. foto copy KTP pemohon;
c. foto copy Surat Izin Lokasi/Domisili;
d. foto copy NPWP;
e.  apabila pemohon adalah pemilik tempat usaha, maka dokumen yang wajib dilampirkan adalah:
(i)  foto copy Akta Perusahaan (apabila merupakan badan usaha atau badan hukum);
(ii)  foto copy PBB terakhir;
(iii) foto copy Surat Kepemilikan Tanah; dan
(iv) foto copy IMB/IPB/KRK;
f. apabila pemohon adalah penyewa tempat usaha, maka dokumen yang diwajibkan adalah surat
perjanjian sewa dengan pemilik tempat usaha; dan
g. Surat Persetujuan Tetangga yang diketahui RT/RW setempat.
 IG ini diberikan oleh Bupati/Walikota, khusus untuk DKI Jakarta pemberian izin gangguan merupakan
kewenangan Gubernur. Ketentuan mengenai besarnya retribusi IG yang diterapkan di Provinsi DKI
Jakarta diatur berdasarkan Pasal 13 (a) Perda 1/2006.

3
 
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) (KUHPer);
2. Undang-Undang Gangguan (Hinderordonanntie) S.1926-226;
3. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 46/M-Dag/Per/9/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 36/M-Dag/Per/9/2007 Tahun 2007 tentang
Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (Permendag 46/2009);
4. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 36/M-Dag/Per/9/2007 tentang Penerbitan Surat
Izin Usaha Perdagangan (Permendag 36/2007);
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan
Izin Gangguan Daerah (Permendagri 27/2009);
6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Daerah
(Perda 1/2006); dan
7. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 tahun 2000 tentang Tata Cara
Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan dan Kelayakan Menggunakan
Bangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (KepGub 76/2000).
  

Anda mungkin juga menyukai