Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan nasional merupakan
upaya pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut dalam
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan ditentukan bahwa : “Perbankan Indonesia bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”
Dari ketentuan ini jelaslah bahwa lembaga perbankan mempunyai
peranan penting dan strategis tidak saja dalam menggerakkan roda
perekonomian nasional, tetapi juga diarahkan agar mampu
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Ini berarti bahwa
perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang
senantiasa bergerak cepat dan disertai dengan tantangan yang semakin
luas dan berat, perlu selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional
dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Dengan demikian
perbankan nasional perlu diberi kesempatan untuk memperluas
jangkauan pelayanannya di segala penjuru tanah air, baik pelayanan
sebagai perbankan umum yang menjangkau semua lapisan masyarakat
maupun perbankan perkreditan rakyat yang pelayanannya diperuntukkan bagi
golongan ekonomi atau pengusaha kecil.
Masyarakat perlu melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya demi meningkatkan kesejahteraannya. Dalam kenyataannya
tidak semua masyarakat terutama masyarakat lapisan menengah ke bawah
memiliki modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan

1
usaha dan produktifitasnya, sehingga dalam hal ini masyarakat lapisan
menengah ke bawah tersebut membutuhkan bantuan yang berupa pinjaman
atau kredit yang bisa mereka cari, salah satunya di suatu lembaga perbankan.
Kredit dibutuhkan oleh masyarakat baik oleh perorangan maupun badan
usaha. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki peran yang strategis
bagi kehidupan perekonomian masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari
fungsi utama yang dimiliki oleh bank yaitu sebagai lembaga yang
menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Dari fungsi utama
bank tersebut, bank bisa dikatakan sebagai lembaga intermediasi yaitu
lembaga yang berfungsi sebagai penghubung antara orang yang
memiliki uang dan yang membutuhkan uang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengapa usaha kecil perlu dikembangkan
2. Profil dan sebaran usaha kecil
3. Tantangan dan masalah
4. Mencari strategi pemberdayaan yang tepat
5. Pola dan realitas kemitraan
6. Krdit usaha kecil (KUK)
7. Modal Ventura

1.3 Tujuan Makalah


Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
mengenai Kredit untuk Usaha Kecil. Juga untuk memenuhi tugas yang
diberikan Dosen mata kuliah Manajemen Perbankan.

1.4 Manfaat Makalah


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan
tentang pemahan Kredit untuk Usaha Kecil.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Usaha Kecil untuk dikembangkan


Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai
upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi
perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di
bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi
perusahaan kecil dan menengah, bahkan justru perusahaan besar dan
konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan
bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan
skala kecil, sedang, dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat,
dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai
tambah secara absolute maupun per rata- rata perusahaan (Kuncoro &
Abimanyu, 1995).
Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan industri
kecil dan rumah tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh tiga alasan.
Pertama, IKRT menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menerapkan
banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak IKRT juga intensif dalam
menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di
pedesaan, pertumbuhan IKRT akan menimbulkan dampak positif terhadap
peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan,
pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di
pedesaan (Simatupang, et al., 1994; Kuncoro 1996).
Kedua, IKRT memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang
pada tahun 1990 mencapai US$1.031 juta atau menempati rangking kedua
setelah ekspor dari kelompok aneka industri. Ketiga, adanya urgensi untuk
struktur ekonomi yang berbentuk piramida pada PJPT I menjadi semacam
“gunungan’ pada PJPT II. Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa pada puncak
piramida dipegang oleh usaha skala besar, dengan ciri : beroperasi dalam
struktur pasar quasi- monopoli oligopolistic, hambatan masuk tinggi (adanya

3
bea masuk, nontariff, modal, dll), menikmati margin keuntungan yang tinggi
dan akumulasi modal cepat. Puncak piramida ini (bagian yang diarsir) sejalan
dengan hasil survei Warta Ekonomi (1993) mengenai omzet 200 konglomerat
Indonesia. Pada dasar piramida didominasi oleh usaha skala menengah dan
kecil yang beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif, hambatan masuk
rendah, margin keuntungan rendah, dan tingkat drop-out tinggi. Struktur
ekonomi bentuk piramida terbukti telah mencuatkan isu konsentrasi dan
konglomerasi, serta banyak dituding melestarikan dualisme perekonomian
nasional.

4
2.2 Profil dan sebaran Usaha Kecil
Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi
usaha kecil menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan
maksimal Rp. 1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp. 200 juta (Sudisman & Sari,
1996: 5). Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil
identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS
mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu : industri
rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang, industri kecil dengan pekerja 5-19
orang, industri menengah dengan pekerja 20-99 orang, dan industri besar
dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).
Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha
kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya
pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi.
Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai
pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja
dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil
terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung
menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-
sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.
Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya
status badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahan
kecil sebanyak 124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan
perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan
perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai
badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi).
Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir
sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha
industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok
industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan
industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan

5
rumahtangga (ISIC33) masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari
seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok
usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit sekali
yaitu kurang dari 1%..

2.3 Tantangan dan Masalah


Memang cukup berat tantangan yang dihadapi untuk merubah sruktur
perekonomian nasional. Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha
menengah. Namun disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil
menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, keterampilan,
keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan
keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini
mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan
baik. Secara lebih spesifik, masalah besar yang dihadapi pengusaha kecil
yaitu :
1. Kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa
pasar.
2. Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk
memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan.
3. Kelemahan dibidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia.
4. Keterbatasan jaringan usaha kerjasama sesama pengusaha kecil (sistem
informasi pemasaran).
5. Iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling
mematikan.
6. Pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya
kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.

Secara garis besar, tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi
dalam dua kategori : Pertama, bagi pengusaha kecil dengan omset kurang dari
Rp50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga
kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan
dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal

6
yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar
membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-
BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam –KUD) amat
membantu modal kerja mereka.

Kedua, bagi pengusaha kecil dengan omset antara Rp50 juta hingga Rp1
miliar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka
mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan
pengamatan pusat konsultasi pengusaha kecil UGM, urutan prioritas
permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha kecil jenis ini adalah (Kuncoro,
1997) :
1. Masalah belum dipunyainya system administrasi keuangan dan
manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan.
2. Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan
untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura
karena kebanyakan pengusaha kecil mengeluh berbelitnya prosedur
mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga
dinilai terlalu tinggi.
3. Masalah penyusunan perencanaan bisnis karena persaingan dalam
merebut pasar semakin ketat.
4. Masalah akses terhdapa teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh
perusahaan/group bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah.
5. Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan
yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkualitas
rendah dan tingginya harga bahan baku.
6. Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang
sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat,
pasar dikuasai perusahaan tertentu dan banyak barang pengganti.
7. Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang
terampil.

7
2.4 Mencari strategi pemberdayaan yang tepat
Strategi pemberdayaan yang telah diupayakan selama ini dapat
diklasifikasikan dalam :
1. Aspek manajerial, yang meliputi: peningkatan
produktifitas/omset/tingkat utilisasi/tingkat hunian, menigkatkan
kemampuan pemasaran, dan pengembangan sumberdaya manusia.
2. Aspek pemodalan, yang meliputi: bantual modal (penyisihan 1-5%
keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit bagi usaha
kecil minimum 20% dari portofolio kredit bank) dan kemudahan kredit
(KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, KKU).
3. Mengembangkan program kemitraan dengan besar usaha baik dengan
system Bapak-Anak Angkat, PIR, keterkaitan hulu-hilir (Forward
Linkage), ketertarikan hilir-hulu (back-ward linkage) modal ventura,
atauun subkontrak.
4. Pengembangan sentra industry kecil dala suatu kawasan apakah
berbentuk PIK (Pemukiman Insudtri Kecil), LIK (Lingkungan Industri
Kecil), SIUK (Sarana Usaha Industri Kecil) yang didukung oleh UPT
(Unit Pelayanan Teknis) dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).
5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB
(Kelompok Usaha Bersama), KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan
Kerajinan).

Harus diakui telah cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan


usaha kecil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan
pengembangan usaha kecil (lihat Tabel 1.1). Hanya saja, upaya pembinaan
usaha kecil sering tumpeng tindih dan dilakukan sendiri-sendiri.

8
9
2.5 Pola dan realitas kemitraan
Pola kemitraan di Indonesia hingga detik ini dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu :
1. Pola keterkaitan langsung, meliputi :
a. Pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), di mana Bapak Angkat sebagai
inti sedang petani kecil sebagai plasma.
b. Pola Dagang, dimana Bapak Angkat bertindak sebagai pemasar
produk yang dihasilkan oleh mitra usahanya.
c. Pola Vendor, dimana produk yang dihasilkan oleh anak angkat tidak
memiliki hubungan kaitan ke depan maupun ke belakang dengan
produk yang dihasilkan oleh bapak angkatnya.
d. Pola Subkontrak, dimana produk yang dihasilkan oleh anak angkat
merupakan bagian dari proses produksi usaha yang dilakukan oleh
bapak angkat, selain itu terdapat interaksi antara anak dan bapak
angkat dalam bentuk keterkaitan teknis, keuangan, dan atau informasi.
2. Pola keterkaitan tidak langsung, merupakan Pola pembinaan murni.

10
2.6 Kredit Usaha Kecil (KUK)
KUK adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan
plafon kredit maksimum Rp. 350.000.000,00 untk membiayai usaha yang
produktif, yaitu usaha yang dapat memberikan nilai tambah dalam
menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk pula kredit
yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit sampai
dengan Rp. 25.000.000,00 tanpa melihat jenis penggunaannya untuk kegiatan
produktif atau konsumtif dan kredit yang diberikan untuk pengadaan
perumahan.
KUK dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja. Kredit
Investasi merupakan kredit jangka menengah/panjang untuk membiayai
pembelian barang-barang modal dan jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi,
modernisasi, ekspansi, relokasi, proyek, dan atau pendirian proyek baru,
sedangkan kredit modal kerja merupakan kredit jangka pendek untuk
membiayai kebutuhan modal kerja usaha atau proyek.

A. Ketentuan Batas Minimum KUK


Batas Minimum KUK
Semua bank umum termasuk bank asing dan campuran wajib
memenuhi pemberian KUK minimum sebesar % tertentu dari ekspansi
kredit neto dalam rupiah dan valas. Besar % tertentu tersebut ditetapkan
atas dasar pencapaian rasio KUK total, sesuai dengan rumus yang
berlaku per 31 Maret 2001.
Perhitungan Batas Minimum KUK
Batas minimum pemberian KUK, dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :

Total KUK (Rp + Valas )


Total Kredit (Rp + Valas) − KLBI non KUK − Dana Kelolaan

Di mana :

 Total KUK adalah jumlah baki debit KUK dalam rupiah atau valuta
asing

11
 Total kredit adalah jumlah baki debit dari seluruh kredit yang
diberikan kepada nasabah dalam rupiah dan valuta asing, termasuk
didalamnya adalah surat berharga.
 KLBI bukan KUK adalah KLBI yang ditarik oleh bank dar Bank
Indonesia bukan dalam rangka KUK
 Dana kelolaan adalah dana yang diterima memlalui Bank Indonesia
atau yang diterima langsung dari departemen keuangan untuk
pemberian kredit kepada nasabah dan atas pemberian kredit tersebut
bank menanggung resiko

Ketentuan minimum batas KUK tersebut berlaku bagi sesama bank


kecuali kantor cabang/kantor cabang pembantu/kantir perwakilan dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank campuran ybeang telah
memilih untuk memenuhi kewajiban pemberian kredit ekspor sebesar
50% dari kreditnya.

B. Perkembangan Skema KUK


Kredit Usaha Kecil 1983-1992
Selama dasawarsa 1983-1992 terdapat sejumlah program perkreditan
yang dapat diinventaris, yaitu :
 Program KIK/KMKP
 Program KUK yang dilayani sejumlah bank umum dan bank nasional
di Indonesia (pengganti KIK/KMKP pada tahun 1991)
 Program KUPEDES/SIMPEDES bagi masyarakat pedesaan bersama
program Simpanan Masyarakat Kota (SIMASKOT) yang dilayani
BRI melalui 3200 unit desa (pengggati BIMAS dan Kredit Mini/Midi
pada tahun 1984.)
 Program Pusat Pelayanan Kredit Koprasi Pedesaan (PPKP) yang
dilayani BUKOPIN melalui sekitar 1600 kelompok simpan pinjam.
 Proyek Percontohan Pengemgan Penyempurnaan Kredit Candak
Kulak (P4KCK) yang dilayani KUD atas bimbingan Departemen
Koperasi

12
 Program Pengembangan Hubungan Bank-KSM (PHBK) yang dilayani
oleh BI melalui sekitar 40 Bank pelaksana, 18 lembaga swadaya
masyarakat (LSM)dan sekitar 760 kelompok Usaha
 Program kredit kecamatan yang dilayani dari beberapa Bank Kredit
Kecamatan (BKK, LKPD, KURK, dan lain-lain)

Disamping itu ada pula beberapa program sektoral yang dikenalkan


dalam kerangka kredit kecil, seperti Kredit Usaha Tani (melalui
BULOG/KUD), kredit P4K bagi kelompok tani dan nelayan dari BRI,
serta kredit bagi kelompok keluarga berencana dari BPKKB. Disamping
itu masih ada program-program yang dikembangkan swasta termasuk
LSM antara lain Karya Usaha Mandiri (KUM), bank pasar dan bank
pengawas termasuk Bank PerKreditan Rakyat (BPR) yang berfungsi
secara komersial, baik diwilayah pedesaan maupun perkotaan.
Selanjutnya dikembangkan pula Koprasi Unit Desa (KUD) yang
mempunyai fungsi tabungan dan perkreditan, disamping menjalankan
fungsi produksi dan perdagangan dengan jumlah sekitar 7000 unit.

Karena perkembangan yang begitu pesat, UU yang telah berlaku sejak


1967 harus direvisi dan diganti dengan Undang-Undang yang baru.
Akhirnya diberlakukan UU Nomor & ditingkatkan secara berkelanjutan
dan benar-benar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
pelaksanaan pembangunan nasional.

Kredit Untuk Usaha Kecil, 1992-1996


Pelayanan kredit untuk usaha kecil banyak dilakukan oleh lembaga
keuangan bank. BRI melayani masyarakat pedesaan dengan penyaluran
KUPEDES di tingkat kecamatan, kota, dan desa. Pemanfaatan kedekatan
hubungan dengan usaha nasabahnya juga banyak dilakukan BPR di
daerah pinggiran kota. Proses hubungan itu dibangun melalui proses
interaksi yang intensif, dalam hal ini mekanisme monitoring dilakukan
sampai tingkat rumah atau kios nasabah secara satu persatu. Sayangnya,
margin bunga yang diambil juga masih sangat tinggi dan pelayanan
pendampingan masih terbatas hanya berasal dari LSM. Di sisi lain,

13
profesionalisme perbankan pada kebanyakan LSM masih lemah. Bank
Indonesia berkerja sama dengan GTZ jerman, memperkenalkan Proyek
Kredit Mikro (PKM) PKM disalurkan melalui lembaga-lembaga dana
kredit pedesaan (LDKP).seperti BKK (Badan Kredit Kecamatan), BKD
(Badan Kredit Desa), KURK, LPN, dan sebagainya.
Replikasi model Grameen Bank juga dilakukan di Indonesia yang
dituangkan dalam program Karya Usaha Mandiri (KUM) dalam bentuk
kredit kelompok yang sangat kecil. Kredit ini terlihat mempunyai
harapan dapat membantu kegiatan ekonomi berskala rumah tangga
khususnya yang dikelola oleh perempuan di Pedesaan. Untuk skala usaha
yang produktif kredit ini masih terlalu kecil. Berdasarkan pengalaman
KUM, mekanisme tanggung renteng dalam kredit berkelompok dapat
meningkatkan kedisiplinan kreditur dalam hal pengembalian pinjaman.
Selain itu pengawasan dilaksanakan melalui control sosial dengan
memanfaatkan “budaya malu”. Model ini telah dapat dijangkau oleh
lapisan bawah karena tidak mensyaratkan adanya agunan. Persoalan yang
dihadapi model kelompok semacam ini adalah sangat sulit menilai
kelayakan usaha, selain itu kelangsungan dalam jangka panjang juga
masih perlu di uji karena masih ada unsure subsidi dalam biaya
Overhead.
Percobaan kredit kelompok yang lain dikembangkan oleh BUKOPIN
bekerjasama dengan Rabo Bank Belanda. Kredit ini disalurkan melalui
KUD mandiri. Adanya Kelompok, system tanggung renteng dan
penyaluran yang sangat memperlihatkan kebutuhan pengusaha berhasil
mengurangi masalah resiko kemacetan. Program perduli yang dicoba
dirintis Bank Internasional Indonesia (BII) mencoiba melakukan
pendekatan integrative dengan menciptakan koperasi dan pemberian
kredit dari bank formal untuk memotong jaringan usha daur ulang yang
ada. Mentri keuangan dan Bank Indonesia jugan memperkenalkan Kredit
Kelayakan Usaha (KUU) sebagai bentuk dari KUK yang pada intinya
tetap mensyaratkan kelayakan usaha sebagai agunan pokok, namun tidak
diharuskan menyertakan agunan tambahan.

14
Model lain yang dicoba adalah penyaluran kredit melalui kantor pos di
seluruh Indonesia. Sesuai dengan keputusan dari mentri keuangan, pada
tahun 1996 dimulai proyek kerjasama antara Bank BNI, PT Pos
Indonesia, Kantor Menteri Negara Kependudukan, dan Yayasan
Sejahtera Mandiri dengan sumber dana dari keuntungan
BUMN.pemanfaatan dana keuntungan BUMN 1-5% semacam ini sering
digunakan dalam bentuk kredit bergulir dalam bunga rendah. Dana ini
banyk diminati oleh pengusaha kecil, namun tetap diperlukan
pengawasan agar tidak disalahgunakan untuk usaha-usaha yang lebih
besar atau dipolitisir atau digunakan untuk tujuan promosi. Karena
jumlahnya relative kecil, dampaknya dalam skala nasional masih belum
terasa.
Skim kredit likuiditas dari bank Indonesia yang Nampak telah
menunjukan hasil adalah KUT, KKPA, KKPA PIRTrans, dan KKPK
TKI, selain pendekatan melalui kelompok keterlibatan bapak angkat
sering sangat menentukan keberhasilan pemberian kredit. Untuk itulah
Bank Indonesia juga memperkenalkan pendekatan PKUKT (Proyek
Kemitraan Usaha Kecil Terpadu).

C. Permasalahan dalam Pemberian KUK


Permasalahan yang dihadapi dalam pemberian KUK dari sisi
pengusaha kecil pada umumnya adalah rendahnya tingkat kelayakan
usahanya, karena adanya keterbatasan pada aspek pemasaran, teknis
produksi, manajemen dan organisasi. Selain itu, pada umumnya
pengusaha kecil belum mampu memenuhi persyaratan bank teknis, antara
lain berkaitan dengan penyediaan jaminan dan perizinan. Penyaluran
KUK masih cenderung diberikan kepada sektor perdagangan dan
lainnya, sedangkan kepada sektor industri dan pertanian masih relatif
kecil. Penyaluran KUK di daerah pedesaan masih relatif kecil.
Dari sisi perbankan, beberapa kendala dalam penyaluran KUK adalah
sulitnya memperoleh usaha kecil yang layak, tingginya biaya transaksi,
tingginya resiko, dan terbatasnya sumber daya manusia serta jaringan

15
kantor cabang bank. Sehingga presentase pemberian KUK oleh bank
bank secara keseluruhan cenderung menurun.

D. Strategi Pembiayaan Usaha Kecil


Untuk mengoptimalkan pemberian KUK oleh bank – bank kepada
usaha kecil, Bank Indonesia bersama dengan perbankan selama ini telah
menempuh tiga strategi dasar sebagai berikut : Pertama, penerapan batas
minimum pemberian kredit sebesar 20% dari keseluruhan kredit bagi
semua bank, sesuai dengan ketentuan pakjan 1990 serta penyediaan
fasilitas kredit likuiditas untuk membiayai sektor yang menjadi prioritas
yaitu pengembangan koperasi, pengadaan pangan dan pemilihan rumah
sederhana. Hal ini dilaksanakan dalam pemberian KLBI untuk KUT,
KKUD, KKPA dan Bulog.
Kedua, mengembangkan kelembagaan dengan memperluas jaringan
perbankan, mendorong kerja sama antarbank dalam penyaluran KUK dan
mengembangkan lembaga lembaga keuangan yang sesuai dengan
kebutuhan penduduk berpenghasilan rendah, seperti pendirian BPR dan
BPR Syariah.
Ketiga, pemberian bantuan teknis melalui Proyek Pengembangan
Usaha Kecil (PPUK), Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok
Swadaya Masyarakat (PHBK), dan Proyek Kredit Mikro (PKM). Dengan
PPUK diharapkan dapat mengubah sikap, pendekatan dan ketrampilan
petugas perkreditan bank dalam penanganan kredit usaha kecil. Bantuan
kepada perbankan tersebut berupa identifikasi peluang investasi yang
layak dibiayai dengan KUK atau dibiayai melalui proyek kemitraan
antara usaha besar dan usaha kecil. Tujuan PHBK adalah mengusahakan
tersedianya pelayanan keuangan bagi Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) yang mempunyai kegiatan simpan pinjam dan beranggotakan
petani kecil, serta para penguasaha kecil di sektor informal kegiatan
PHBK berdasarkan prinsip prinsip pokok swadaya, yang antara lain
mempromosikan tabungan dan mengkaitkan tabungan tersebutdengan
pemberian kredit. Dengan demikian maka kredit akan diberikan apabila

16
kelompok tersebut berhasil dalam memobilisasi tabungan anggotanya.
PKM bertujuan mendorong program pemerintah dalam meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan, pengentasan kemiskinan,
dan meningkatkan kemampuan lembaga pedesaan. Sasaran proyek ini
adalah memberikan penyediaan pembiayaan kepada 300.000 pengusaha
mikro di 5 provinsi.

2.7 Modal Ventura


Alternatif pembiayaan usaha kecil selain kredit perbankan adalah modal
ventura. Perusahaan modal ventura di Indonesia sudah mulai berkembang.
Bagi pengusaha yang tertarik untuk mendapatkan modal ventura kiranya
penting untuk mengetahui prosedur mendapatkannya. Perusahaan yang
berminat mau menjalin hubungan dengan pemodal ventura disebut
Perusahaan Pasangan Usaha (PPU).

17

Anda mungkin juga menyukai