Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor
yang mempunyai peranan yang penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya
berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional
maupun modern. Peranan UKM tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap
perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu Departemen
Perindustrian dan Perdagangan serta Departemen Koperasi dan UKM.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang
mengacu pada jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Usaha tersebut berdiri
sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI No. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah
Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas
merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha
yang tidak sehat.
Kegiatan UKM sudah menjamur di kota maupun pedesaan. Namun demikian, usaha
pengembangan yang dilakukan masih belum memuaskan hasilnya, karena pada kenyataanya
kemajuan UKM sangat kecil dibandingkan kemajuan yang dicapai oleh usaha besar. Hal ini
disebabkan oleh berbagai permasalahan yang muncul dalam UKM tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana sifat permasalahan yang dihadapi oleh UKM?
2. Apa sajakah macam permasalahan yang dihadapi oleh UKM?
3. Bagaimanakah bentuk kelembagaan untuk perumusan dan implementasi
kebijaksanaan UKM?
4. Bagaimanakah petunjuk teknis perkuatan Business Development Services dalam
pengembangan sentra usaha kecil dan menengah?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dari
makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui sifat permasalahan yang dihadapi oleh UKM.
2. Untuk mengetahui macam-macam permasalahan yang dihadapi oleh UKM.
3. Untuk mengetahui bentuk kelembagaan untuk perumusan dan implementasi
kebijaksanaan UKM.
4. Untuk mengetahui petunjuk teknis perkuatan Business Development Services
dalam pengembangan sentra usaha kecil dan menengah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sifat Permasalahan
Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah. Tingkat
intensitas dan sifat dari masalah masalah tersebut bisa berbeda tidak hanya menurut jenis
produk atau pasar yang dilayani. Tetapi juga berbeda antar wilayah / lokasi, antarsentra, antar
sektor atau subsektor atau jenis kegiatan, dan antarunit usaha dalam kegiatan / sektor yang sama.
Namun demikian, ada beberapa masalah yang umum dihadapi oleh pengusaha kecil dan
menengah seperti keterbatasan modal kerja dan / atau modal investasi, kesulitan mendapatkan
bahan baku dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi, SDM
dengan kualitas yang baik (terutama manajemen dan teknisi produksi), informasi khususnya
mengenai pasar, dan kesulitan dalam pemasaran (termasuk manajemen dan teknisi distribusi).
Dengan perkataan lain, masalah masalah yang dihadapi banyak pengusaha kecil dan menengah
bersifat mulidismensi. Selain itu, secara alami ada beberapa permasalahan yang bersifat lebih
intern (sumbernya di dalam perusahaan), sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal (sumbernya
di luar perusahaan, atau di luar pengaruh perusahaan), sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal
(sumbernya di luar perusahaan, atau di luar pengaruh perusahaan). Dua masalah eksternal yang
oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggap paling serius adalah keterbatasan akses ke
bank dan distorsi pasar (output maupun input) yang disebabkan oleh kebijaksanaan
kebijaksanaan atau peraturan peraturan pemerintah yang tidak kondusif, yang disengaja
maupun tidak disengaja lebih menguntungkan pengusaha besar, termasuk investor asing (PMA).
Masalah masalah tersebut di atas semakin terasa bagi pengusaha pengusaha yang
melayani pasar terbuka atau ekspor, lain halnya dengan pengusaha pengusaha yang hanya
melayani pasar lokal di daerah yang relatif terisolasi. Oleh karena itu, di pasar terbuka mereka
berhadapan dengan produk produk serupa dari pengusaha pengusaha besar yang lebih unggul
dalam banyak hal, majupun persaingan dari barang barang impor. Bahkan di pasar ekspor,
pengusaha pengusaha kecil maupun menengah Indonesia harus berhadapan dengan mitra
mereka juga dari skala usaha yang sama dan lebih maju dari Negara Negara lain. Dalam
kondisi pasar seperti ini, faktor faktor seperti penguasaan teknologi dan informasi, modal yang
cukup, termasuk untuk melakukan inovasi dalam produk dan proses produksi, pembaharuan
mesin dan alat alat produksi dan untuk melakukan kegiatan promosi yang luas dan agresif,
pekerja dnegan keterampilan yang tinggi, dan manajer dengan etrepreneurship dan tingkat
keterampilan yang tinggi dalam business management serta memiliki wawasan yang luas
menjadi faktor faktor yang sangat penting, untuk paling tidak mempertahankan tingkat daya
saing global.

Kasus IK dan IRT


Sebagai suatu kasus mengenai masaah masalah yang dihadapi UKM, hasil survei BPS
terhadap industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) tahun 1993 menunjukkan bahwa
ada lima (5) masalah utama yang dihadapi kelompok industri tersebut. Masalah masalah ini
dapat dikatakan umum dihadapi oleh pengusaha pengusaha IK dan IRT, terutama mereka yang
berlokasi di daerah pedalaman yang relatif terisolasi dari pusat pusat administrasi pemerintah
dan kegiatan ekonomi dan keuangan. Bisa dilihat bahwa di antara problem problem tersebut,
yang paling sering disebut adalah keterbatasan modal, disusul kemudian dengan kesulitan dalam
pemasaran sebagai masalah besar kedua yang dihadapi oleh sebagian besar dari pengusaha
pengusaha yang masuk di dalam sampel survei. Hanya persentase kecil dari responden yang
mengaku mempunyai kesulitan besar yang berkaitan dengan bahan baku. Biasanya masalah
bahan baku dalam bentuk harga yang terlalu mahal, tempat mendaftarkannya terlalu jauh dari
lokasi mereka, biaya penyimpanan stok terlalu mahal, atau kualitas bahan baku yang didapat
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Yang cukup menarik dari hasil survei BPS tersebut adalah
bahwa jumlah pengusaha yang mengatakan keterbatasan SDM merupakan suatu masalah serius
ternyata tidak banyak, baik yang berlokasi di daerah pedesaan maupun di perkotaan.

Pembahasan lebih dalam tentang permasalahan UKM.


Kesulitan Pemasaran
Dalam literatur, pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi
perkembangan UKM. Hasil dari suatu studi lintas Negara yang dilakukan oleh James dan
Akrasanee (1998) di sejumlah Negara ASEAN menunjukkan bahwa pemasaran adalah termasuk
growth constraint yang dihadapi oleh banyak pengusaha kecil dan menengah (masalah ini
dijumpai tidak terlalu serius di Singapura). Studi ini menyimpulkan bahwa jika UKM tidak
melakukan perbaikan yang cukup di semua aspek aspek yang terkait dengan pemasaran seperti
kualitas produk dan kegiatan promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat turut
berpartisipasi dalam era promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat turut berpartisipasi
dalam era perdagangan bebas.
Hasil studi mereka itu menunjukkan bahwa salah satu aspek yang terkait dengan masalah
pemasaran yang umum dihadapi oleh UKM adalah tekanan tekanan persaingan, baik di pasar
domestik dari produk produk serupa buatan UB dan impor, maupun di pasar ekspor. Saat ini, di
Negara Negara Asia yang terkena krisis keuangan seperti Indonesia, Filipina, dan Korea
Selatan, masalah pemasaran bisa menjadi lebih serius, karena sebagai salah satu efek dari krisis
tersebut akses ke kredit bank menjadi sulit (kalau tidak dapat dikatakan tertutup sama sekali),
ditambah lagi dengan mahalnya bahan baku yang pada umumnya diimpor, dan permintaan pasar
dalam negeri yang menurun karena merosotnya tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita.
Akibatnya dapat di duga bahwa banyak UKM tidak memiliki sumber daya produksi yang cukup
untuk paling tidak mempertahankan volume produksi dan memperbaiki kualitas dari produk
produk mereka, dan ini berarti mereka semakin sulit untuk meningkatkan atau bahkan
mempertahankan tingkat daya saing mereka di pasar domestis maupun pasar internasional.

Keterbatasan Finansial
UKM, khususnya UK di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial
: mobilisasi modal awal (star up capital) dan akses ke modal kerja dan finansial jangka
panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi pertumbuhan output jangka panjang. Walau
pada umumnya modal awal bersumber dari modal (tabungan) sendiri atau sumber sumber
informal, namun sumber sumber permodalan ini sering tidak cukup untuk kegiatan produksi,
apa lagi untuk investasi (perluasan kapasitas produksi atau menggantikan mesin mesin tua).
Sementara, mengharapkan sisa dari kebutuhan finansial sepenuhnya dibiayai oleh dana dari
perbankan jauh dari realitas. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika hingga saat ini walaupun
begitu banyak skim skim kredit dari perbankan dan dari bantuan BUMN, sumber sumber
pendanaan dari sector informal masih tetap dominan dalam pembiayaan kegiatan UKM, terutama
usaha mikro / rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh pengusaha yang tinggal di daerah yang
relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu bertele tele dan kurang
informasi mengenai skim skim perkreditan yang ada dan prosedurnya (Tambunan, 1994 dan
2000).
Dalam hal jenis kepemilikan modal, baik di kelompok IK maupun IRT jumlah pengusaha
yang membiayai usahanya sepenuhnya dengan uang sendiri atau dengan modal sendiri dan
pinjaman, lebih banyak daripada jumlah pengusaha yang menggunakan 100 persen modal dari
pihak lain. Walaupun komposisinya bervariasi menurut golongan besar industri, baik di IK
maupun di IRT sebagian besar dari jumlah pengusaha dengan 100 persen modal sendiri terdapat
di industri makanan, minuman dan tembakau, industri kulilt, tekstil dan produk produknya, dan
industri kayu, bambu dan rotan serta produk produknya.

Keterbatasan SDM
Keterbatasan SDM juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak UKM di
Indonesia, terutama dalam aspek aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produksi, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data
processing, teknik pemasaran, dan penelitian pasar. Sedangkan semua keahlian ini sangat
dibutuhkan untuk mempertahankan atau memperbaiki kualitas produk, meningkatkan efisiensi
dan produktivitas dalam produksi, memperluas pangsa pasar dan menembus pasar baru.
Sayangnya tidak ada data mengenai tingkat pendidikan di UKM, yang ada hanya data
mengenai tingkat pendidikan pengusaha dan pekerja di IK dan IRT. Seperti yang dapat dilihat di
Tabel 4.14, data BPS Tahun 1998 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen dari jumlah
pengusaha IK dan IRT hanya.
Jumlah Pengusaha IK dan IRT Menurut Kategori Pendidikan, Tahun 1998
IK IRT
Jumlah % Jumlah %
Pendidikan Primer 108.495 55,76 1.659.826 82,89
Pendidikan Sekunder 80.069 41,15 334.8501 16,72
Pendidikan Tersier 6.000 3,08 7.708 0,39

Jumlah 194.564 100,00 2.002.335 100,00

Sering dikatakan bahwa untuk menanggulangi masalah SDM ini, memberikan pelatihan
langsung kepada pengusaha sangat penting dan ini khususnya usaha mikro, tidak sanggung
menanggung sendiri biaya pelatihan, oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam
menyelenggarakan program program pendidikan / pelatihan bagi pengusaha maupun tenaga
kerja di UKM. Memang selama ini sudah banyak pelatihan dan penyuluhan yang dari Menegkop
dan PKM, depperdag, dan Depnaker. Hanya saja efektivitasnya masih diragukan. Karena banyak
pengusaha yang pernah menguikuti pelatihan pelatihan dari pemerintah mengeluh bahwa
pelatihan pelatihan sering terlalu teoritis, waktunya terlalu singkat, tidak ada tindak lanjut
(misalnya beberapa saat setelah pelatihan selesai, pihak pemberi pelatihan mengunjungi kembali
pengusaha untuk melihat sejauh mana pelatihan tersebut diterapkan dalam kegiatan usahanya)
dan sering kali tidak cocok dengan kebutuhan mereka sebenarnya.
Keterbatasan SDM merupakan salah satu ancaman serius bagi UKM Indonesia untuk
dapat bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional di dalam era perdagangan
bebas anti, bahkan di masa itu SDM bersama sama dengan teknologi akan menjadi jauh lebih
penting dibandingkan modal sebagai faktor penentu utama kemampuan UKM untuk
meningkatkan daya saing globalnya.

Masalah Bahan Baku


Keterbatasan bahan baku (dan input input lainnya) juga sering menjadi salah satu
kendala serius lagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi banyak UKM di
Indonesia. Terutama selama masa krisis, banyak sentra sentra IKM di sejumlah subsektor
industri manufaktur seperti sepatu dan produk produk tekstil yang mengalami kesulitan
mendapatkan bahan baku atau input lainnya, atau karena harganya dalam rupiah menjadi sangat
mahal akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Tidak sedikit dari mereka terpaksa
menghentikan usaha dan berpindah profesi ke kegiatan kegiatan ekonomi lainnya, misalnya
menjadi pedagang. Beberapa contoh kasus, misalnya tahun 1998 sekitar 200 pengusaha tempe di
Banjarnegara dekat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah terpaksa menghentikan kegiatan
produksi mereka karena harga kedelai yang diimpor ternyata menjadi sangat mahal. Banyak
pengusaha rokok kretek di Jawa Tengah juga terpaksa menghentikan produksi mereka karena
naiknya harga bahan baku. Demikian juga, banyak pengusaha batik tradisional di Pekalongan
(Jawa Tengah), dan ratusan pengusaha kecil sepatu di sejumlah sentra sentra di Jakarta (PIK),
Cibaduyut (Bandung), dan Medan terpaksa gulung tikar dan berubah profesi menjadi pedagang
kecil atau kerja di sektor transportasi atau menjadi buruh bangunan.

Keterbatasan Teknologi
Berbeda dengan Negara Negara maju, UKM di Indonesia umumnya masih
menggunakan teknologi lama / tradisional dalam bentuk mesin mesin tua atau alat alat
produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya
total faktor productivity dan efisiensi di dalam proses produksi, tetapi juga rendahnya kualitas
produk yang dibuat. Keterbatasan teknologi khususnya usaha usaha rumah tangga (mikro),
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin
mesin baru atau untuk menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai
perkembangan teknologi atau mesin mesin dan alat alat produksi baru, dan keterbatasan
SDM yang dapat mengoperasikan mesin mesin baru atau melakukan inovasi inovasi dalam
produk maupun proses produksi. Rendahnya pemilikan / pengusaha teknologi modern juga
merupakan suatu dalam era pasar bebas nanti. Padahal, di era tersebut, berbeda dengan 20 atau
30 tahun lalu, faktor teknologi bersama sama dengan faktor SDM akan menjadi komparatif
yang dimiliki Indonesia atau UKM pada khususnya selama ini, yaitu ketersediaan berbagai
ragam bahan baku dalam jumlah yang berlimpah dan upah tenaga kerja yang murah akan
semakin tidak penting di masa mendatang, diganti oleh dua faktor keunggulan kompetitif
tersebut (teknologi dan SDM).[1]

B. Bentuk Kelembagaan untuk Perumusan dan Implementasi Kebijaksanaan UKM.


Arah Kebijaksanaan UKM
Pada masa lampau, selama tahun 1970an hingga pertengahan dekade 1980an, perhatian
pemerintah Indonesia ditujukan hanya kepada perkembangan UK (termasuk usaha mikro), tidak
ada perhatian secara eksplisit diberikan kepada perkembangan UM. Pada waktu itu,
kebijaksanaan UK dianggap sebagai satu bagian penting dari kebijaksanaan kebijaksanaan
yang menyangkut penciptaan kesempatan kerja dan pendapatan, penanggulangan kemiskman
dan pembangunan ekonomi pedesaan. Akan tetapi, akhir akhir ini, khususnya dalam
menghadapi era perdagangan bebas yang mengharuskan adanya upaya upaya peningkatan daya
saing dan perekonomian nasional dan pemerintah menyadari bahwa di Indonesia jumlah UB
tidak banyak. Sedangkan jumlah UK sangat besar tetapi tidak ada UM dalam yang besar dan
kuat yang secara potensial dapat berfungsi sebagai penghubung antara UK dan UB (misalnya
lewat subcontracting), pemerintah muiai punya kebijaksanaan UKM. Pernah sekali, seorang
mantan Menteri Koperasi mengalakan sebagai berikut: "Kita harus punya suatu kebijaksanaan
UKM yang bagus untuk memberdayakan UKM di dalam negeri yang secara potensial dapat
memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan eskpor kita. Di
antara UK, perhatian kita harus difokuskan kepada unit unit usaha yang modern, sedangkan
usaha usaha mikro menjadi tanggung jawab dari Departemen Sosial yang dikaitkan dengan
kebijaksanaan pengurangan kemiskman di tanah air". Menurut mantan Menteri tersebut, tujuan
utama dan kebijaksanaan UKM adalah untuk menciptakan suatu lingkungan usaha yang kondusif
untuk pembangunan dan peningkatan daya saing UKM dengan cara menghilangkan semua
distorsi distorsi pasar melalui deregulasi deregulasi dan pengurangan beban beban
birokrasi.
Arab kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di
dalam Garis garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 2004. Pedoman kebijaksanaan
negara ini menggaris bawahi 28 butir mengenai arah kebijaksanaan pembangunan ekonomi
nasional untuk periode tahun 1999 2004. Kerangka kerja kebijaksanaan terdiri dari tiga
kebijaksanaan utama (Menegkop & UKM, 2000), yaitu:
(1) Sistem ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan
yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas pada sosial), kualitas
hidup, lingkkungan dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini menjamin kesempatan
kesempatan bisnis dan kesempatan kerja yang sama, perlindungan konsumen dan perlakuan yang
adil terhadap masyarakat. Di bawah kerangka kerja kebijaksanaan ini, memberdayakan KUKM
rneniadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha usaha mengembangkan
sistem ekonomi kerakyatan dapat ditunjukkan dengan : (a) adanya suatu sistern persaingan yang
adil yang menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, (b) peranan pemerintah yang efektif
dalam menyempurnakan sistem pasar termasuk pengurangan pajak, (c) kebijaksanaan ekonomi
yang menciptakan kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) suatu pertumbuhan kemitraan usaha
antar pengusaha UKM, dan (e) meningkatkan penerimaan positif dari masyarakat dalam bisnis
dan peningkatan dalam penerimaan dari masyarakat.
(2) Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat
keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain pemain bisnis
lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan kebijaksanaan lainnya
dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama sama
memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.
(3) Kebijaksanaan peningkatan kapasitas KUKM yang bertujuan untuk membuat KUKM mampu
bersaing di pasar bebas dengan pelaku pelaku bisnis lainnya. Pada dasarnya, kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menghilangkan segala kendala yang dihadapi KUKM, seperti keterbatasan
modal pasar dan input input untuk berproduksi, kekurangan dalam kapabilitas manajemen,
kekurangan pekerja dengan keahlian keahlian teknis, bisnis, teknologi, dan keterbatasan akses
ke informasi dan mitra usaha. GBHN tahun 1999 menekankan bahwa dukungan dari pemerintah
terhadap penguatan KUKM harus dilaksanakan secara selektif dalam bentuk perlindungan
terhadap persaingan yang tidak adil, peagembaagan DM lewat pendidikan dan pelatihan,
diseminasi informasi mengenai bisnis dan teknologi, penyediaan finansial, lokasi usaha dan
kemitraan usaha dengan BUMN dan perusahaan perusahaan besar swasta, penyediaan fasilitas
fasilitas untuk agribisnis, IK dan IRT (handicrafts), penyempurnaan dan pembangunan
kapasitas dari lembaga lembaga lokal dan utilisasi SDA.

Namun demikian, dalam realitas, kebijaksanaan UKM (terutama UK masih lebih


berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan. Kebijaksanaan UKM belum
sepenuhnya terintegrasi dalam kebijaksanaan ekonomi umum / makro di Indonesia.
Konsekuensinya, kebijaksanaan UKM di Indonesia tidak (belum) berfungsi sebagai elemen
elemen komplemen dan sektoral dari kebijaksanaan ekonomi seperti yang diharapkan. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan apabila sampai saat ini masih saja terjadi tumpang tindih antara
kerja, pembangunan ekonomi dan masyarakat pedesaan, pemberdayaan perempuan dan
pengurangan kemiskinan. Bahkan, di dalam Strategi Industri Nasional yang dirumuskan oleh
Depperindag semasa pemerintahan Presiden Gus Dur, pentingnya dan peranan dari IKM dalam
pembangunan atau usaha usaha penyempurnaan daya saing dari industri nasional tidak
dinyatakan secara eksplisit, tidak ada peranan spesifik yang diberikan kepada IKM, misalnya
sebagai industri industri pendukung yang memproduksi komponen komponen, spare parts,
mesin mesin atau input input lainnya untuk IB.

Walaupun dalam GHBN 1999, dinyatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan didasarkan
pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan pertumbuhan
ekonomi, sistem ini masih lebih terfokus pada isu isu seperti untuk menjamin kesempatan
bisnis dan kerja yang sama, perlindungan konsumen, dan suatu perlakuan yang adil terhadap
masyarakat". Tidak dikatakan secara eksplisit di dalam GBHN tersebut misalnya seperti ini :
"dalam menghadapi era perdagangan bebas dan globalisasi, ekonomi nasional harus
diberdayakan atau daya saing dari ekonomi Indonesia harus ditingkatkan, dan untuk mencapai
tujuan tersebut, UKM di dalam negeri harus diberdayakan atau dimodernisasikan dan
produktivitas, efisiensi dan daya saingnya harus ditingkatkan". Oleh karena itu, penekanan
utamanya harus pada pertanyaan bagaimana menyiapkan UKM di Indonesia dalam menghadapi
era perdagangan bebas, dan sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai
sumber utama kesempatan berusaha bagi masyarakat.

Struktur Pemerintahan
Pada tingkat nasional
Di bawah Konstitusi 1945, Indonesia dipimpin oieh seorang presiden yang dipilih sekali
lima tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang termasuk parlemen dan otoritas
tertinggi negara. Presiden dapat menunjuk anggota anggota MPR dan membentuk kabinet dan
sejumlah menteri yang terdiri dan beberapa menteri Negara (non departemen) dan menteri
menteri yang mengepalai departemen departemen. Pelaksana pemerintah adalah Presiden dan
kabinetnya sedangkan kekuasaan legislatif di Indonesia adalah di tangan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
Berdasarkan undang undang yang berlaku, fungsi fungsi utama dari MPR adalah
memilih presides dan wakilnya, dan menetapkan konstitusi dan garis garis besar dari
kebijaksanaan pemerintah dan negara. Sedangkan fungsi fungsi utama dari badan legislatif
(DPR) adalah membuat, merubah, menyempurnakan atau menyetujui usulan peraturan
peraturan atau undang undang, termasuk UU APBN berdasarkan usulan RAPBN dari Menteri
Keuangan yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
lewat Presiden dan membantu pelaksanaan dari undang undang dan realisasi dari APBN dam
kebijaksanaan pemerintah (lihat gambar .1) untuk memperlancar tugas tugas tersebut, DPR
membentuk 9 komisi adalah termasuk persiapaan, diskusi, dan penyempurnaan dari undang
undang yang diusulkan dalam bidangnya masing masing, diskusi dan penyempumaan rencana
APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh pemerintah (kabinet), dan melakukan monitor dan
evaluasi. Komisi komisi ini secara rutin melakukan dengar pendapat / dialog dengan
departemen departemen maupun organisasi organisasi non pemerintah seperti Kamar Dagang
dan Industri (KADIN), asosiasi asosiasi bisnis dan lain Iain mengenai berbagai macam isu
isu aktual.
Kesembilan komisi komisi tersebut, masing masing dengan bidang / sektornya adalah
sebagai berikut :
Komisi 1 : Pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri dan informasi
Komisi 2 : Hukum, hak asasi manusia (HAM), dan masalah masalah dalam negeri.
Komisi 3 : Pertanian, kehutanan, dan kelautan (termasuk perikanan)
Komisi 4 : Transportasi, pemukiman dan infrastruktur daerah
Komisi 5 : Industri, perdagangan, koperasi, turisme
Komisi 6 : Agama dan pendidikan
Komisi 7 : Kesehatan dan kesejahteraan sosial
Komisi 8 : Energi, sumber daya mineral, penelitian dan teknologi, dan lingkungan
Komisi 9 : Keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan

Dalam hal eksekutif, struktur pemerintah secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga
elemen utama : pembuatan kebijaksanaan dan koordinasi, manajemen dan pelaksanaan fungsi
fungsi oleh departemen departemen perwakilan perwakilan kunci yang bertanggung jawab
untuk setiap elemen adalah sebagai berikut :
a. Pembuat kebijaksanaan dan koordinasi
Kabinet terdiri dari sejumlah menteri yang memiliki kontrol secara keseluruhan dari pemerintah,
memimpin dan mengkoordinasi departemen departemen dan badan badan dan menentukan
kebijaksanaan kebijaksaan pemerintah.
b.Manajemen
Menten keuangan adalah manajemen kunci dari pemerintah dan bertanggung jawab atas
perumusan strategi ekonomi, kebijaksanaan fiskal (pendapatan pemerintah), anggaran nasionanl
(APBN), manajemen BUMN. dan pengembangan lembaga lembaga keuangan. Seperti di
Negara Negara lain. Kekuasaan atas sumber daya finansial yang dimiliki oleh Menteri
Keuangan membuatnya sebagai menteri yang paling berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1997,
bank sentral dari Indonesia (Bank Indonesia, BI) dibuat independen dari pemerintah, jadi posisi
BI adalah di luar kabinet. BI mempunyai tanggung jawab terhadap kebijaksanaan moneter,
termasuk kebijaksanaan nilai tukar rupiah, dan pencapaian target target inflasi yang ditetapkan
oleh BI sendiri.
c. Departemen departemen
Departemen departemen pemerintah (umum disebut departemen teknis) secara tradisional
adalah motor utama untuk membuat menjalankan dan mengefektifkan kebijaksanaan pemerintah
dan dibiayai oleh Menteri Keuangan, atas persetujuan oleh Parlemen (DPR). Departemen
departemen biasanya punya satu hierarki pimpinan, dan dikepalai oleh seorang menteri yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
d. Menteri menteri Negara
Kementrian kementrian non departemen yang dikenal dengan sebutan Menteri Negara tidak
mengepalai suatu departemen. Mereka adalah asisten asisten dari Presiden yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas utama mereka adalah untuk membantu
Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan kebijaksanaan di bidang bidang tertentu kegiatan
kegiatan pemerintahan negara.
e. Badan badan pelaksana
Seperti di banyak Negara Negara lain, badan badan pelaksana dibentuk untuk mematahkan
struktur pemerintah yang kaku, yang susah digunakan, ke dalam unit unit yang berdiri bebas
dan lebih fleksibel, dan untuk memisahkan pemberian layanan dan implementasi fungsi fungsi
dari departemen departemen dan tanggung jawab tanggung jawab utama dari pembuatan
kebijaksanaan dan strategi. Badan badan tersebut adalah seperti BAPPENAS, BPS (Biro Pusat
Statistik), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), dan LAN (Lembaga Administrasi
Negara).

Pada Tingkat Regional


Indonesia dibagi dalam lebih dari 30 propinsi, dan setiap propinsi dikelola oleh seorang
Gubernur dan suatu badan pembuat undang undang di tingkat regional, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang mana anggota anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum, yang memilih gubernur atas persetujuan presiden. Di antara propinsi propinsi, ada lebih
dan 200 kabupaten dan lebih dari 55 kotamadya atau kota, dikepalai masing masing oleh
Bupati. Dan walikota. Pada tingkat lebih rendah, ada banyak kecamatan dan desa. Setiap
pemerintah pemerintah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengelola urusan urusan
keperintahan mereka sesuai prinsip prinsip dari otonomi. Gubernur, Bupati, dan Walikota
dipilih secara demokrasi.
Dalam hal legislatif, berdasarkan UU No. 22/1999, Bupati / Walikota ditentukan oleh
DPRD Kabupaten / kota dan harus disetujui oleh Presiden, Bupati / Walikota bertanggung jawab
kepada DPRD : Setiap macam kebijaksanaan daerah yang dikeluarkan oleh Bupati / walikota
harus disetujui oleh DPRD. Oleh karena itu, peranan DPRD adalah untuk mengawasi
pelaksanaan dari undang undang / peraturan peraturan daerah yang disetujuinya.[2]
C. Petunjuk Teknis Perkuatan Business Development Service Dalam Pengembangan Sentra
Usaha Kecil Menengah.
PERATURAN
MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 02/Per/M.KUKM/I/20082007
TENTANG
PEDOMAN
PEMBERDAYAAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES-PROVIDER (BDS-P)
UNTUK PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
(KUKM)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
aturan ini yang dimaksud dengan :
1. Business Development Services/Layanan Pengembangan Bisnis (BDS/LPB) adalah kegiatan
pemberian layanan (jasa) pengembangan bisnis, untuk meningkatkan kinerja KUKM.
2. Business Development ServicesProvider (BDS-P) adalah lembaga yang memiliki kompetensi
dan kemampuan untuk melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis KUKM.
3. Business Development Services-Provider Unggulan (BDS-P Unggulan) adalah BDS-P yang
dinilai memiliki kinerja (prestasi) lebih menonjol dalam pengembangan bisnis KUKM.
4. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria
sebagaimana diatur menurut undang-undang tentang Usaha Kecil.
5. Usaha Menengah adalah kegiatan ekonomi yang berskala menengah dan memenuhi kriteria
sebagaimana diatur menurut Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.
6. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang/seorang atau badan hukum Koperasi
yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi, sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan, sebagaimana diatur menurut Undang-
undang tentang Perkoperasian.
7. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil
mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri,
sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
8. Pembinaan dan Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan Usaha Kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri,
sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
9. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha sebagaimana diatur menurut
Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.
10. Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang
menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta
memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik
masuk (entry point) dari upaya pengembangan klaster.
1. Konsultan KUKM adalah seorang tenaga profesional yang menyediakan jasa nasehat ahli, dalam
bidang keahlian tertentu menurut fungsi dan/atau bidang/sektor usaha tertentu, misal akuntansi,
hukum, usaha perikanan, peternakan, manufakturing, dll.
2. Pendamping KUKM adalah orang/lembaga yang menjalin relasi dengan KUKM dalam rangka
memperkuat dukungan, memotivasi, memfasilitasi dan menjembatani kebutuhan untuk
pemberdayaan KUKM.
3. Standar Kompetensi Kerja adalah alat ukur minimal yang harus dimiliki oleh seorang
pendamping/penyuluh/konsultan untuk menganalisa uraian tugasnya dalam rangka membina dan
mengembangkan usaha KUKM.
4. Sertifikasi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis
dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia dan/atau internasional.
5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah.
6. Kelompok Kerja (Pokja) pemberdayaan BDS-P adalah organisasi ex-officio di tingkat pusat dan
daerah, untuk melakukan tugas dan tanggung jawab khusus dalam penyelenggaraan
pemberdayaan BDS-P bagi Pengembangan KUKM, yang organisasi dan tugasnya diatur dalam
peraturan ini.
7. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah.

Bagian Kedua
Tujuan dan Sasaran
Pasal 2
(1) Tujuan Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatkan kemampuan BDS-P dalam melakukan layanan pengembangan bisnis sesuai
kebutuhan KUKM;
b. meningkatkan kinerja bisnis KUKM yang memperoleh layanan pengembangan bisnis.
(2) Sasaran Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatnya jumlah dan kualitas BDS-P yang profesional dan BDS-P unggulan;
b. meningkatnya jumlah dan kualitas tenaga konsultan/pendamping KUKM pada BDS-P;
c. meningkatnya jumlah dan kinerja bisnis KUKM, termasuk penumbuhan usaha baru;
d. meningkatnya peran aktif Pemerintah, Pemerintah Provinsi/DI, Pemerintah Kabupaten/Kota,
Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam memberdayakan BDS-P
untuk pengembangan KUKM di daerah.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Tugas Pokok BDS-P
Pasal 3
(1) BDS-P berfungsi sebagai lembaga penyedia layanan pengembangan bisnis sesuai dengan
kebutuhan KUKM.
(2) BDS-P mempunyai tugas pokok :
a. bimbingan-konsultasi layanan pengembangan bisnis;
b. pendampingan bisnis;
c. memfasilitasi akses terhadap sumber daya produktif antara lain: modal, pasar, teknologi,
manajemen dan informasi.
(3) Pemberian layanan pengembangan bisnis kepada KUKM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilakukan sesuai dengan kebutuhan, dan dapat berupa antara lain, identifikasi potensi dan
permasalahan bisnis, bimbingan pengembangan rencana bisnis, kemitraan dan kebutuhan
pengembangan bisnis lainnya.

Bagian Keempat
Kelembagaan BDS-P
Pasal 4
Pelaksanaan fungsi dan tugas layanan pengembangan bisnis KUKM sebagaimana dimaksud pada
pasal 3, dapat dilaksanakan oleh :
a perorangan oleh tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUKM secara perseorangan
dalam wadah BDS-P;
b lembaga BDS-P dalam bentuk antara lain, yayasan, perseroan terbatas, koperasi, perguruan
tinggi dan organisasi kemasyarakatan.

BAB II
Bagian Kesatu
Kegiatan Pemberdayaan BDS-P
Pasal 5
Kegiatan pemberdayaan BDS-P meliputi :
a. penciptaan iklim usaha antara lain, koordinasi dan pengembangan kebijakan di bidang layanan
pengembangan bisnis;
b. pembinaan dan pengembangan antara lain, pengembangan standar kompetensi, sertifikasi,
peningkatan kualitas tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUKM, dukungan
insentif, serta monitoring dan evaluasi;
Bagian Kedua
Pengembangan BDS-P Unggulan
Pasal 6
(1) Secara selektif BDS-P diarahkan untuk tumbuh menjadi BDS-P unggulan, yang mampu
mendorong pengembangan UKM sentra dan/atau UKM lainnya.
(2) BDS-P unggulan memiliki kriteria umum yaitu profesional, mandiri dan memiliki jaringan
kerjasama usaha.
(3) BDS-P unggulan didorong dan difasilitasi untuk mampu melakukan layanan pengembangan
bisnis secara produktif bagi kemanfaatan KUKM, dan dapat menjadi penghela bagi BDS-P
lainnya.

Bagian ketiga
Fasilitasi Program
Pasal 7
(1) BDS-P yang aktif melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis dan kinerjanya dinilai
baik, dapat memperoleh dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan
Tinggi dan Dunia Usaha.
(2) Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari APBN/APBD
dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan kewajaran, kepatutan dan
kemampuan keuangan negara.
(3) BDS-P dapat memperoleh pendapatan (fee) jasa layanan pengembangan bisnis dari KUKM
yang dibina.

BAB III
ORGANISASI PELAKSANAAN
Organisasi Penyelenggara
Pasal 8
(1) Organsiasi penyelenggara pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUKM terdiri dari :
a. organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Negara Koperasi dan
UKM, dilaksanakan oleh Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi
Usaha;
b. organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Daerah Cq. Dinas/Badan yang membidangi
Koperasi dan UKM Provinsi/Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka koordinasi Pemberdayaan BDS-P, dapat dibentuk :
a. Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat pusat, beranggotakan unsur Kementerian Negara Koperasi
dan UKM dan instansi pemerintah terkait, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan/atau Deputi Menteri Negara Bidang
Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, dengan tugas antara lain :
1) merumuskan kebijakan pemberdayaan BDS-P tingkat nasional
2) melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pusat dan Daerah;
3) melakukan pengembangan parameter-parameter standar bagi peningkatan kemampuan BDS-P,
sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberdayaan BDS-P;
4) menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P, kepada Menteri
Negara Koperasi dan UKM,
b. Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Daerah beranggotakan unsur Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan Organisasi Kemasyarakatan, ditetapkan berdasarkan
Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, dengan tugas antara lain :
1) merumuskan kebijakan dan program pemberdayaan BDS-P di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota;
2) melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan
Perguruan Tinggi;
3) mendorong Perguruan Tinggi berperan antara lain, mengembangkan inovasi, perluasan akses
Teknologi Tepat Guna, pengembangan modul dan perangkat lunak layanan pengembangan bisnis
bagi KUKM;
4) mendorong Dunia Usaha berperan antara lain, memfasilitasi perluasan jaringan usaha dan
kemitraan.
5) melakukan sosialisasi, pembinaan-pengembangan, monitoring dan evaluasi kinerja BDS-P;
6) menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P kepada Gubernur,
Bupati/Walikota.

BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 9
Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan
KUKM, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik sebagai berikut :
a. BDS-P menyampaikan laporan perkembangan layanan bisnis kepada Dinas/Badan yang
membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota, Provinsi, berisi :
1) perkembangan organisasi dan kelembagaan;
2) pelaksanaan kegiatan layanan pengembangan bisnis kepada UKM;
3) perkembangan kinerja UKM binaan BDS-P.
b. Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi menyampaikan laporan
perkembangan BDS-P kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM Cq. Deputi Menteri
Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;

c. Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha menyampaikan


laporan perkembangan BDS-P kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM. [3]

[1]Drs. Sudrajad, MM.,Modul 5 : Pembinaan dan Pengembangan UKM, Universitas


Mercubuana di http://kk.mercubuana.ac.id diakses tanggal 18 desember 2012 pukul 12:30 WIB
[2] Drs. Sudrajad, MM.,Modul 6 : Pembinaan Kewirausahaan, Universitas Mercubuana di
http://kk.mercubuana.ac.id diakses tanggal 18 desember 2012 pukul 12:30 WIB.

[3] Fatwa Mahkamah konstitusi tahun 2008

Anda mungkin juga menyukai