Anda di halaman 1dari 28

Bab 4.

KEMITRAAN DAN PENGEMBANGAN KLASTER


4.1 Latar Belakang
Belakangan ini di Indonesia muncul suatu perdebatan yang penting tidak saja diantara para peneliti/pemerhati
UMKM, tetapi juga diantara pembuat-pembuat kebijakan, khususnya kebijakan UMKM (terutama di kalangan
Kementerian Koperasi dan UKM), yakni pertanyaan apakah UMKM di Indonesia mampu menghadapi
persaingan yang cenderung semakin sengit di dalam era liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi
sekarang ini. Pertanyaan ini semakin penting saat ini dengan dimulainya era Masyarakat Ekonomi ASEAN,
yakni era pasar tunggal ASEAN, yang berarti tidak ada hambatan impor maupun ekspor dan arus investasi,
modal, serta arus manusia antar negara anggota.
Beberapa kontributor di dalam perdebatan akademis sedikit ragu terhadap kemampuan UMKM lokal
bersaing atau bahkan bertahan terhadap masuknya barang-barang impor dan penanaman modal asing (PMA)1.
Oleh karena itu, banyak berpendapat bahwa selain UMKM harus serius mengembangkan kapasitasnya untuk
mampu menghasilkan produk-produk berdaya saing tinggi (seperti meningkatkan kualitas SDM-nya,
memanfaatkan teknologi-teknologi modern namun tepat guna, meningkatkan efisiensi dalam proses produksi,
melakukan secara kontinu inovasi, dan menyempurnahkan sistem organisasi usaha), UMKM sebaiknya bermitra
baik antar sesama mereka maupun dengan UB; termasuk dengan PMA.
Dalam kata lain, melakukan kemitraan harus dianggap sebagai salah satu strategi bisnis yang baik untuk
meningkatkan kemampuan bersaing. Dan, salah satu cara yang efektif dan efisien dalam melakukan kemitraan
adalah dengan membentuk sebuah klaster.

4.2 Kemitraan
Pentingnya UMKM melakukan kemitraan juga tercantum dalam Bab III di dalam UU No.20 Tahun 2008
mengenai UMKM2. Di Pasal 25 ditegaskan bahwa pemerintah, khususnya pemerintah daerah (Pemda) 3,
bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat harus memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan
kemitraan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah, yang memang dicantumkan secara tegas di Pasal 25
tersebut adalah memberikan insentif bagi UB dengan tujuan agar UB mau bermitra dengan UMKM. Bahkan,
sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhiono, UB wajib bermitra dengan UMKM. Hal ini ditandai oleh
penandatanganan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan UU No.20 tersebut.
Secara rinci, PP tersebut berisi 64 pasal ini mengatur tentang pengembangan UMKM, kemitraan, perizinan,
koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM, dan ketentuan peralihan. Pasal 10 sampai Pasal 28 PP
inimengatur secara khusus masalah kemitraan antara UMKM dengan UB. Pasal 12 PP ini menegaskan, UB
dilarang memiliki UMKM mitra usahanya. Sedang Pasal 13 Ayat 1,2 menegaskan bahwa dalam kemitraan, UB

1
Lihat misalnya Kaplinsky dkk. (2002) dan Humphrey (2003).
2
Lihat Lampiran di Bab 1.
3
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka peran pemda menjadi jauh lebih penting dalam mendukung perkembangan dan
pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat lokal, termasuk UMKM-nya. Hal ini berbeda dengan era Suharto ('Orde Baru')
dulu, yang semua kebijakan datang dari pemerintah pusat, termasuk proses penyediaan fasiitas-fasilitas di daerah dirumuskan di pusat.
Pemda sepenuhnya tinggal menunggu perintah dari pusat.
berkedudukan sebagai inti, sedangkan UMKM berkedudukan sebagai plasma; atau UM berkududukan sebagai
inti, sementara UMK sebagai plasma (http://jaringnews.com/ekonomi/umum/36741/kini-usaha-besar-wajib-
bermitra-dengan-umkm).

4.2.1 Pola-pola Kemitraan


Menurut UU No.20 Tahun 2008, atau PP No.17 Tahun 2014, kemitraan dilaksanakan dengan pola-pola sebagai
berikut:
1) Inti-plasma
Pola kemitraan ini pada umumnya merupakan hubungan antara petani, secara individual atau kelompok,
sebagai plasma dengan perusahaan inti, sebagai pemilik pabrik pengolahan, yang bermitra usaha (Gambar
4.1). Perusahaan inti menyediakan lahan dan sarana produksi; memberikan bimbingan teknis dan
manajemen; dan, sebagai tugas akhirnya, menampung komoditas yang dipasok oleh plasmanya,
mengolahnya dan memasarkan hasil produksi akhir. Sedangkan pihak plasma berkewajiban memenuhi
kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama (Taufiq, 2011).
Gambar 4.1 Sistem Kemitraan Inti-Plasma
Plasma 1

Plasma 2 Pasok komoditas Pabrik pengolahan Jual Pasar


komoditas pertanian
.
.
.
Plasma n

Pola kemitraan inti-plasma diperkenalkan pertama kali oleh Bank Dunia pada70-an yang diterapkan di sektor
pertanian, termasuk perkebunan, perikanan, dan peternakan. Tujuan utama dari penerapan pola inti-plasma
adalah untuk mengganti, misalnya di perkebunan, model perkebunan skala besar, atau untuk memberikan
kesempatan bagi petani-petani kecil untuk berkembang. Sejak saat itu, banyak negara, khususnya yang
pertaniannya sebagai sebagai sektor utama, termasuk Indonesia, menerapkan sistim ini (Damanik, 2008;
dikutip oleh Taufiq, 2011).
Di Indonesia pola kemitraan ini telah lama dipraktekkan terutama di sektor perkebunan, dimana intinya
adalah pabrik pembuat produk setengah jadi atau jadi dari komoditas perkebunan, yang pada umumnya
adalah dari kategori UB, dan plasmanya yang adalah pemilik-pemilik perkebunan; walaupun pola kemitraan
ini juga bisa diterapkan di sektor-sektor lain, termasuk di industri pengolahan. Misalnya di industri sepatu,
yakni kemitraan antara pabrik pembuat sepatu kulit (inti) dan peternak-peternak kambing atau sapi (plasma)
yang memasok kulit ke pabrik tersebut. Untuk mendukung penerapan sistem kemitraan ini di sektor
perkebunan, pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden (KP) serta peraturan
terkait lainnya untuk melembagakan pertanian kontrak inti-plasma sebagai satu-satunya pola kerjasama yang
diijinkan pemerintah untuk kegiatan agroproduksi komersial, termasuk tebu, tanaman perdagangan (seperti
teh, kelapa sawit, dan kelapa), produksi susu, unggas dan telur, serta tambak udang (Damanik, 2008; dikutip
oleh Taufiq, 2011).
Sejarah mencatat, praktek kemitraan berbasis inti plasma yang cukup populer yaitu Pola Perkebunan Inti
Rakyat (Nucleus Estate and Smallhorders), atau disingkat PIR. Di Indonesia, pola PIR ini pertama sekali
dipraktekkan di dua lokasi yaitu di Alue Ie Mirah (Aceh) dan Tabenan (Sumatera Selatan) pada tahun 1977
dimana yang bertindak selaku pihak inti adalah PTP/PNP V dan petani plasma berasal dari peserta
transmigrasi dan petani lokal dengan sumber pendanaan berasal dari Bank Dunia. Proyek tersebut merupakan
pola pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan
membimbing perkebunan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem yang saling menguntungkan,
utuh dan berkesinambungan. Perusahaan yang bertindak sebagai inti memiliki permodalan yang kuat,
teknologi yang tinggi serta manajemen kebun yang profesional sebagai bekal untuk mentransfer budaya inti
kepada petani plasma yang tidak berbudaya modern serta minim modal dan teknologi (Gani, 2008).
Dalam pelaksanaan pola inti plasma tersebut melibatkan tiga pihak, diluar petani plasma: (i) pelaksana yakni
perusahaan milik negara (BUMN) atau swasta (BUMS) atau koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Pertanian; (ii) pembina perkebunan yaitu Dirjen Perkebunan untuk mengatur kebijaksanaan teknis
operasional pelaksanaan program inti plasma; dan (iii) pembina petani plasma yaitu departemen transmigrasi
(hal ini karena pada era Orde Baru program PIR dikaitkan dengan program transmigrasi dimana petani
plasma didatangkan dari luar provinsi). Departemen tersebut bertanggungjawab mulai dari membangun
pemukiman, membina usahatani pekarangan sampai pembinaan masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai
melalui program inti plasma yaitu alih teknologi dari inti ke plasma. Hal tersebut cukup beralasan mengingat
rendahnya produktivitas hasil produksi dan manajemen pengelolaan kebun. Pada gilirannya, diharapkan
petani plasma dapat mengadopsi model pengelolaan perkebunan berbasis padat modal dan padat teknologi
yang akan bermuara pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani serta pertumbuhan ekonomi
wilayah akan berkembang (Gani, 2008) 4.
Bahkan boleh dikatakan bahwa sistem kontrak paling berkembang atau maju di Indonesia adalah di
perkebunan kelapa sawit. Menurut Moidady (2010), kemajuan sistem kontrak perkebunan kelapa sawit
tersebut merupakan buah dari proses evolusi pertumbuhan industri kelapa sawit sejak Orde Baru dari industri
yang berbasis pada perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) menuju industri yang sepenuhnya dikuasai

4
Menurut Gani (2008), kemitraan antara pihak inti dan plasma dilaksanakan melalui 5 tahap: (i) pembangunan kebun inti beserta
fasilitas kantor oleh pihak perusahaan inti. Di Aceh, misalnya, PT. Perkebunan Nusantara I Langsa mempunyai kebun inti untuk
komoditas karet dan kelapa sawit; (ii) membangun kebun plasma: pihak perusahaan perkebunan mengunakan petani plasma sebagai
tenaga kerja dimana pada tahap ini proses alih teknologi mulai diperkenalkan; (iii) membangun lahan pangan dimana lahan pangan ini
diandalkan sebagai sumber pendapatan sampingan bagi petani plasma sebelum tanaman utama menghasilkan (karena tanaman
perkebunan mulai menghasilkan tiga tahun setelah tanam. Jadi pada tahap menunggu tanaman utama menghasilkan petani
memperoleh pendapatan dari tanaman pangan seperti padi dan kacang-kacangan); (iv) membangun perumahan dan fasilitas umum.
Penyediaan fasilitas tersebut untuk mewujudkan sebuah kawasan dimana petani plasma dapat hidup dengan layak sebagaimana
dialami juga oleh masyakarakat di perkotaan (Dengan kata lain, pada kawasan pengembangan tersebut dapat menjadi sebuah kawasan
agropolitan (kota pertanian) dengan segala fasilitas yang dimiliki sebagaimana layaknya fasilitas yang ada di perkotaan; dan (v)
pembinaan yaitu kegiatan yang dilakukan semenjak pembangunan kebun plasma sampai pada tahap kebun di konversikan kepada
petani plasma. Hal ini dilakukan setelah seluruh komponen kredit yang menjadi kewajiban petani plasma dilunasi.
oleh perusahaan-perusahaan swasta (BUMS) yang pada umumnya dari kategori UB 5. Moidady (2010)
memberikan satu contoh penerapan inti-plasma di Sulawesi Tengah, di mana perusahaan-perusahaan
perkebunan sawit membangun hubungan inti plasma dengan dua model. Pertama, kebun sawit, biasanya
seluas antara 1 atau 2 hektar, diserahkan hak kepemilikan dan pengelolaan kepada petani peserta plasma
setelah masa produksi dimulai. Para petani dengan demikian memiliki hak atas tanah dan kebun sawit
diatasnya berdasarkan sertifikat hak milik (SHM), di samping mengelola kebun sawit milik mereka secara
otonom, mulai dari perawatan, pemupukan hingga panen. Tetapi, para petani harus menjual hasil produksi
sawit mereka kepada perusahaan inti, meraih pendapatan bulanan setelah dipotong cicilan kredit minimal 20
persen hingga lunas, sesuai skema kredit lunak jangka panjang (13 tahun) untuk golongan ekonomi lemah.
Praktik ini yang terjadi di PT. TGK Morowali, Sulawesi Tengah.
Kedua, kebun sawit seluas 1 atau 2 hektar diserahkan hak kepemilikkan kepada petani, namum
pengelolaannya tetap dipegang secara terpusat oleh perusahaan. Para petani memperoleh pendapatan bulanan
dari hasil penjualan buah sawit setelah dipotong kredit investasi dan ongkos produksi. Jika bekerja pada
perusahaan, maka para petani itu akan dihargai sebagai buruh dengan upah yang umum berlaku di
perusahaan. Praktik seperti ini berlangsung di PT.HIP Buol, Sulawesi Tengah 6.
Berbeda dengan bukti penerapan sistem kontrak inti-plasma dari Moidady (2010), Amri (2014) memberikan
bukti keberhasilan program inti-plasma di perkebunan sawit yang dilakukan oleh PT Hindoli, yang tidak saja
meningkatkan kesejahteraanya para petani plasmanya (yang jumlahnya mencapai 10.000 orang dengan luas
lahan 20.000 hektar) tetapi juga membuat mereka sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Seperti yang
dikutip oleh Amir (2014), Anthony Yeow, Presiden Direktur PT Hindoli, mengatakan bahwa perusahaan
berupaya menumbuhkan kemitraan lewat jalinan hubungan yang baik dengan para petani plasmanya. Ia
menegaskan bahwa sifat hubungan kemitraan dengan petani ini harus berdasarkan pada
kepentingan/keuntungan bersama. Selain itu, perusahaannya membantu para petani mitranya supaya
produktivitas dan pendapatan mereka dapat meningkat, yang berarti kemitraannya juga memberi efek positif

5
Seperti ditnjukan oleh Larson (1996), yang dikutip oleh Moidady, 2010), sampai dengan tahun 1992, produksi kelapa sawit di
Indonesia didominasi oleh BUMN. Tetapi, setelah itu BUMS mendominasi. Angka statistik BPS yang digunakan oleh Moidady
(2010) menunjukan bahwa pada tahun 1980, luas perkebunan rakyat seluas 6.370 hektar dan perkebunan swasta 83. 963 hektar, luas
perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh BUMN mencapai 199.194 hektar. Tetapi, pada tahun 2006, dengan penerapan sistem
kontrak inti-plasma, luas perkebunan rakyat mencapai 2.120.338 hektar dan perkebunan milik BUMS tercatat mencapai 3.141.802
hektar, dan perkebunan milik BUMN hanya 696.699 hektar.
6
Namun, hasil pengamatannya menunjukkan ada sejumlah masalah yang muncul berkenaan dengan petani plasma tersebut. Pertama,
terjadinya konsentrasi kepemilikan kebun plasma di tangan sebagian para petani plasma sendiri, dimana mereka menjadi tuan tanah
baru dengan memiliki kebun plasma hingga diatas 10 hektar, yang memungkinkan mereka mengakumulasi lahan persawahan yang
luas, dan bahkan kebun sawit di wilayah perkebunan sawit lain yang juga menerapkan pola plasma. Munculnya kelas tuan tanah baru
ini juga ditandai dengan kedatangan penduduk, terutama pedagang dengan membeli kebun-kebun plasma milik para petani plasma.
Kedua, muncul keresahan dikalangan petani terutama berkenaan dengan ketidak jelasan perusahaan untuk peremajaan kelapa sawit, di
mana isu mengenai menurunnya produksi kelapa sawit yang telah mencapai usaha lebih tua. Seperti diketahui usia produktif kelapa
sawit adalah antara 25 sampai 30 tahun. Fakta ini menunjukan tingginya kontrol perusahaan kepada petani, melengkapi penguasaan
mereka dalam pemasaran, dimana para petani tidak punya pilihan bebas untuk menjual hasil panen dan dalam penentuan harga.
Ketiga, menyebarnya ketidak puasan antara sesama petani di pedesaan, karena sebagian terpilih sebagai petani plasma dan lainnya
tidak atau memperoleh lahan kebun yang lebih sedikit. Dalam kasus PT. TGK di Morowali, ketimpangan kepemilikan lahan kebun
sawit menimbulkan kecemburuan beralaskan suku, dimana kategori penduduk pendatang (Lombok, Flores, Jawa, Bali, dan Bugis) dan
penduduk asli menjadi isu yang tumbuh di permukaan (Moidady, 2010).
bagi para petani plasma. Mereka juga diajarkan cara pengelolaan kebun yang sesuai dengan praktek-praktek
manajemen terbauk, misalya perawatan tanaman, pemupukan, dan pengendalian hama7. 
Menurut Gani (2008), keuntungan kemitraan inti plasma yang terpenting adalah adanya kesinambungan
usaha baik bagi pihak inti maupun plasma. Pada satu sisi, petani plasma terus dapat memasok hasil produksi
kepada inti yang tentunya memiliki pabrik pengolahan dengan teknologi canggih dan investasi yang besar
yang sukar dilaksanakan oleh petani plasma. Pads sisi lain, pihak perusahaan dengan adanya kesinambungan
produksi akan memberi jaminan sumber bahan baku untuk menghasilkan berbagai macam produk olahan
dari komoditi kelapa sawit dalam rangka memenuhi permintaan yang terus mengalami peningkatan dari
waktu ke waktu mengikuti pergerakan permintaan kelapa sawit dunia.
2) Subkontrak
Subkontrak telah memainkan suatu peran penting dalam pengintegrasian UMKM ke dalam sektor industri
pengolahan di banyak negara seperti Korea Selatan dan Jepang (Diswandi, ?). Bahkan di Jepang, sistem ini
sudah diterapkan sebelum perang dunia kedua, khususnya di industri otomotif. Sekarang ini di Japang sistem
keterkaitan produksi ini antara perusahaan-perusahaan perakit otomotif, seperti Toyota dan merek-merek
mobil Japang lainnya, dengan mitra-mitranya (pelaksana subkontrak) yang memproduksi berbagai macam
komponen dan spareparts sudah sangat maju yang terdiri lebih dari satu lapis subkontrak yang membentuk
sebuah piramida (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Sistem Subkontrak di Industri Otomotif di Jepang

Perusahaan
Toyota

Sisi vertikal Subkontrak lapis 1

Subkontrak lapis 2

Subkontrak lapis...

Subkontrak lapis n

Sisi horisotal Perusahaan Subkontrak Subkontrak …………… Subkontrak


Toyota 1 2 n

Di Indonesia, pola kemitraan ini populer diterapkan di industri otomotif, seperti yang dilakukan oleh PT
Astra Internasional8yang melakukan subkontrak dengan banyak UMKM, khususnya UKM, untuk membuat
7
Pada Agustus 2010, petani-petani plasma PT Hindoli menjadi kelompok petani pertama di Indonesia yang menerima sertifikat RSPO.
Lalu berlanjut dengan diberikannnya, sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) kepada KUD Mukti Jaya
(salah satu koperasi yang didirikan oleh para petani plasma dengan dukungan dari PT Hindoli) pada Juni 2012. Alhasil, semenjak
tahun 2012 mereka telah menerima harga premium dari penjualan minyak sawit bersertifikat atau CSPO. Pada Januari 2012, harga
premium yang diterima para petani plasma mencapai Rp 1,2 miliar, berlanjut pada Mei 2012 sebesar Rp 716 juta, dan September 2012
sebanyak Rp 2,3 miliar. Pada Februari 2013, petani memperoleh lagi harga premium sebesar Rp 701 juta. Di bulan yang sama, untuk
pertama kalinya petani menerima harga premium dari penjualan minyak sawit bersertifikat ISCC sebesar Rp 580 juta (Amri, 2014).
8
.PT Astra International merupakan sebuah perusahaan multinasional yang memproduksi otomotif yang bermarkas di Jakarta.
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1957 dengan nama PT Astra International Incorporated. Pada tahun 1990, perseroan mengubah
berbagai macam komponen dan spare parts kendaraan bermotor. Selain itu, lewat yayasan yang khusus
dibentuk, yakni Yayasan Dharma Bakti (YDB), PT Astra Internatonal juga melakukan pembinaan terhadap
banyakUMKM, dan sebagian dari mereka pada akhirnya menjadi pemasok-pemasok komponen dan spare
parts ke perusahaan multinasional otomotif ini. Hingga per Desember 2015, YDB telah membina 8.646
UMKM (http://www.ydba.astra.co.id/mainnews/13/rayakan-35-tahun-ydba-luncurkan-logo-baru).
Kasus subkontrak lainnya di Indonesia yang juga populer adalah mengenai sentra industri mebel di Jepara
(Jawa Tengah), yang sebagian besar berorientasi ekspor. Banyak studi seperti dari Supratikno (1998), Berry,
dkk. (2001, 2002), Sandee, dkk. (2000, 2002), Sato (1998, 2000a,b), dan Tambunan dan Sugarda (2009).
Hasil dari studi-studi tersebut menegaskan pentingnya melakukan subkontrak bagi UMKM terutama yang
melakukan ekspor dengan pesanan yang berfluktuasi, dan resiko yang berhubungan dengan ekspor dan
investasi. Lewat sistem kemitraan ini, biaya-biaya yang lebih rendah bisa dicapai baik oleh UMKM (sebagai
subkontraktor) maupun UB (sebagai pemberi kontrak). Studi Supratikno (1998), misalya, fokus pada
pengaturan subkontrak di tiga perusahaan, dan menemukan bahwa UB akan mengontrak ke UMKM
beberapa item yang mempunyai nilai tambah rendah, yang memerlukan banyak input tenaga kerja, dan tidak
begitu penting terhadap keseluruhan proses produksi. Sedangkan Sato (1998, 2000a,b) meneliti sentra
industri pengecoran logam di desa Ceper Klaten (provinsi Jawa Tengah), dimana terdapat 300 pengecoran
logam dalam bermacam-macam ukuran. Sato menemukan satu hal menarik, yakni bahwa di sentra tersebut,
sistem subkontrak dan sistem putting-out diterapkan pada waktu bersamaan. Dia juga menemukan bahwa
hubungan subkontrak antara UB yang membuat mesin-mesin modern yang berlokasi di kota dengan
perusahaan-perusahaan perakit (juga dari kategori UB) pada puncak kulminasinya sudah mencapai lapisan
bagian atas perusahaan di dalam sentra tersebut.
Beberapa keuntungan dari subkontrak dikemukakan oleh beberapa pemilik/manajer UMKM yang melakukan
sistem kemitraan ini yang dia survei, antara lain adalah resiko bisnis rendah. Transaksi yang berkelanjutan
dalam kaitan dengan pembeli dan produk mengurangi total risiko bisnis dalam jangka panjang, dibandingkan
keuntungan yang rendah dalam tiap pesanan. Menurut mereka, rata-rata margin keuntungan dalam pesanan
subkontrak adalah antara 10 hingga 17,5 persen. Walaupun dalam sistem non subkontrak seperti pesanan
insidental bisa diperoleh keuntungan yang lebih besar yang bisa mencapai 30 hingga 60 persen, namun
dengan resiko yang juga besar karena sering bertolak belakang dengan biaya-biaya dalam pembuatan cetakan
yang hanya untuk penggunaan sementara, dan oleh kerugian dari ketidakberlanjutan yang tak diduga dari
transaksi itu.
Keuntungan subkontrak yang kedua yang dilaporkan oleh Sato (2000a) adalah kemajuan teknologi. Seperti
yang dia jelaskan dalam laporannya, melalui suatu hubungan subkontrak yang berlanjut, UMKM terkait

namanya menjadi PT Astra International Tbk. Perusahaan ini telah tercatat di Bursa Efek Jakarta sejak tanggal 4 April 1990. Saat ini
mayoritas kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Jardine Cycle & Carriage's sebesar 50,1 persen. PT Astra Internasional memiliki
banyak divisi dan anak perusahaan, termasuk di non-otomotif seperti perkebunan, finansial, dan industri alat-alat berat. Di industri
otomotif itu sendiri, divisi dan anak perusahaannya adalah sebagai berikut: PT Toyota Astra Motor (Toyota dan Lexus), PT Toyota
Auto2000 (Auto 2000), PT Astra Daihatsu Motor (Daihatsu), PT Isuzu Astra Motor Indonesia (Isuzu), PT Astra Nissan Diesel
Indonesia (Truk Nissan Diesel), PT Tjahja Sakti Motor (BMW dan Peugeot), PT Serasi Autoraya (TRAC), PT Serasi Auto Raya
(Mobil 88), PT Astra Honda Motor (Honda), PT Astra Otoparts Tbk, dan PT Tunas Mobilindo Perkasa (Daihatsu).
dapat membuat suatu rencana untuk meningkatkan kemampuan teknologi mereka. Usaha untuk peningkatan
teknologi juga dirangsang oleh transaksi dengan pihak perusahaan perakitan (UB), terutama dengan cara
magang di perusahaan perakitan tersebut yang dilakukan oleh beberapa karyawan dan dengan pengiriman
ahli mekanik oleh perusahaa perakitan ke perusahaan-perusahaan mereka.
Di Pasal 28 dalam UU No.20 Tahun 2008 ditegaskan bahwa untuk memproduksi barang dan/atau jasa dalam
subkontrak antara UMKM dengan UB, kelompok usaha terkahir ini memberikan dukungan berupa: (a)
kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya; (b) kesempatan memperoleh
bahan baku yang diproduksi secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar; (c) bimbingan
dan kemampuan teknis produksi atau manajemen; (d) perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi
yang diperlukan; (e) pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah satu pihak;
dan (f) upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan sepihak.
3) Waralaba
Banyak tulisan yang menjelaskan pengertian atau definisi waralaba. Widiastuti (2014), misalnya,
mendefinisikan waralaba sebagai hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Dia juga
memberikan definisi waralaba dari sejumlah pihak. Misalnya, menurut pemerintah Indonesia, waralaba
adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan/atau menggunakan hak
dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau
penjualan barang dan jasa. Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia (AFI)9, waralaba adalah suatu
sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor)
memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem,
prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
Jadi, dalam sistem kemitraan waralaba, ada dua pihak terlibat, yakni (i) pemberi waralaba (franchisor):
badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan HAKI atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya, dan (ii) penerima waralaba
(franchisee): badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan
HAKI atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.
Di Indonesia sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan
bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan
dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga
memiliki hak untuk memproduksi produknya (Widiastuti, 2014). Awal tahun 1980 bisnis dengan sistem
waralaba mulai banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan di banyak sektor, seperti makanan, fotografi,
properti, dan pendidikan. Paling tidak terdapat enam perusahaan besar di Indonesia yang menggunakan
sistem ini sebagai strategi bisnisnya, diantaranya adalah CFC, Es Teller 77, Ny.Tanzil Fried Chicken, Oxford

9
Di Indonesia selain AFI, ada beberapa asosiasi waralaba lainnya, diantaranya adalah Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia
(APWINDO) dan Waralaba & License Indonesia (WALI ). Selain itu, ada beberapa konsultan waralaba, diantaranya IFBM, The
Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain.
Course, SS Photo, dan Homes 21 Realty (http://bisnisfranchiseindonesia.com/sejarah-bisnis-waralaba-di-
indonesia)10. Munculnya perusahaan-perusahaan bisnis waralaba lokal tersebut mengawali pergeseran dari
perusahaan-perusahaan waralaba asing yang mendominasi bisnis waralaba di tanah air hingga tahun 1990-an
dengan maraknya waralaba makanan cepat saji, ke pelaku-pelaku waralaba lokal dengan produk yang
semakin bervariasi, mulai dari produk makanan bayi, makanan cepat saji, makanan dari bahan organik,
produk kesehatan, lembaga pendidikan dan kursus, properti, perbengkelan, dealer mobil dan motor, dan
sebagainya. Modal yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan penerima waralaba juga bervariasi. Jika
dulu pada dekade 90-an hanya perusahaan waralaba besar dengan modal besar, kini ada banyak perusahaan
waralaba dengan modal kecil mulai dari Rp 5 juta saja (http://bisnisfranchiseindonesia.com/sejarah-bisnis-
waralaba-di-indonesia/).
Perkembangan bisnis waralaba yang mulai pesat di Indonesia sejak dekade 80-an bisa dilihat bukan saja dari
jumlah perusahaan waralaba tetapi juga banyaknya pameran waralaba yang secara berkala mengadakan
roadshow diberbagai daerah dan jangkauannya nasional, yaitu antara lain International Franchise and
Business Concept Expo, Franchise License Expo Indonesia, dan Info Franchise Expo, dan juga ada Majalah
Franchise Indonesia. Meurut Anang Sukandar, Ketua Umum AFI, jumlah waralaba di Indonesia pada tahun
2010 sudah mencapai 1.300 merek dengan tidak kurang dari 3.000 unit gerai. Dari jumlah ini perputaran
uang yang ada diperkirakan sekitar Rp 114 triliun. Angka itu meningkat secara signifikan pada tahun 2011
dengan 1.700 merek, 36.000 gerai, dan perputaran uang Rp. 214 triliun (http://www.ciputraentrepreneurship.
com/studi-kasus/inilah-prospek-dan-perkembangan-bisnis-waralaba-di-indonesia).
Untuk mendukung perkembangan bisnis waralaba di tanah air, pada tahun 1997 pemerintah Indonesia
mengeluarkan PP RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, dan 10 tahun kemudian diganti dengan PP no 42
tahun 2007 tentang Waralaba. PP sangat penting karena memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan
bisnis waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan lain yang juga mendukung
kepastian hukum dalam format bisnis waralaba di Indonesia adalah antara lain: Undang-undang (UU) No. 14
Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan UU No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang. Selain itu, Kementerian Perindustrian R.I juga mengeluarkan sejumlah
keputusan/peraturan, diantaranya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha
Waralaba, dan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Waralaba (Widiastuti, 2014).
Pesatnya perkembangan waralaba di Indonesia sejak dimulainya era reformasi juga menjadi alasan kuat bagi
pemerintah untuk menghimbau atau mendukung UMKM memanfaatkan sistem kemitraan tersebut sebagai
salah satu motor pendorong perkembangan/pertumbuhan bisnis mereka. Untuk maksud ini, di Pasal 29 dalam

10
Pada tahun 1991 Es Teller 77, Widyaloka, Nilasari, Homes 21, dan Trim Mustika Citra sepakat untuk mendirikan sebuah oragnisasi
yang mewadahi pelaku bisnis waralaba, yaitu Asosiasi Franchise Indonesia (AFI). Tujuan dibentuknya AFI ini antara lain sebagai
wadah pengusaha dan peminat bisnis waralaba, sumber informasi seputar bisnis waralaba, mitra bagi pemerintah, pembinaan usaha
waralaba dengan kegiatan pelatihan dan konsultasi, dan juga sosialisasi bisnis waralaba melalui kegiatan diskusi, seminar, dan
pameran waralaba agar lebih dikenal masyarakat luas (http://bisnisfranchiseindonesia.com/sejarah-bisnis-waralaba-di-indonesia).
UU No.20 Tahun 2008, ditegaskan bahwa (i) UB yang memperluas usahanya dengan cara waralaba
memberikan kesempatan dan mendahulukan UMKM yang memiliki kemampuan; (ii) pemberi waralaba dan
penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang
memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba;
dan (iii) pemberi waralaba (UB) wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan
operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara
berkesinambungan.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan PP No.17 Tahun 2013 yang mengatur pola kemitraan waralaba
antara UMKM dengan UB, dimana UB berkedudukan sebagai pemberi waralaba, sementara UMKM
berkedudukan sebagai penerima waralaba. Itu juga berlaku bagi UM yang memberikan waralaba kepada
UMK. Di Pasal 16 di PP ini, dikatakan bahwa UB yang memperluas usahanya dengan cara waralaba
memberikan kesempatan dan mendahulukan UMKM yang memiliki kemampuan
(http://jaringnews.com/ekonomi/umum/36741/kini-usaha-besar-wajib-bermitra-dengan-umkm).
Seperti yang dijelaskan oleh Widiastuti (2014) di blog pribadinya, ada perbedaan antara waralaba industri
dan waralaba komersial. Menurutnya, waralaba industri adalah suatu bentuk kerjasama wirausaha antar
sesama pengusaha industri.Misalnya, sebuah perusahaan yang membuat barang "X" (pemilik merek (HAKI)
atau pemilik sistem pembuatan barang itu) memberikan pengusaha industri lainnya hak memproduksi barang
tersebut atau menggunakan sistem pembuatan barang tersebut di wilayah yang terbatas. Karena dengan
semua sarana yang dimiliki akan memungkinkan penerima HAKI melakukan bisnis usaha yang sama dengan
pemberi HAKI, yaitu dengan mengkopi formula dan metodologi yang ditransferkan, maka oleh karena itu,
pemilik HAKI tidak menyerahkan kepada penerima integralitas dari prosedur produksi melainkan  hanya
sebagian.
Sedangkan waralaba komersial, terdiri dari dua kategori, yakni: (i) waralaba distribusi produk: penerima
HAKI bertujuan mengkomersialisasi satu atau beberapa produk, yang biasanya diproduksi oleh pemberi
HAKI atau didistribusikan oleh pemberi HAKI secara eksklusif; dan (ii) waralaba distribusi jasa: obyek
perusahaan terdiri dari satu atau kesatuan dari jasa, yang dikomersialisasikan oleh penerima HAKI,
berdasarkan metodologi yang dia terima dari pemberi HAKI. Jenis waralaba ini membutuhkan kontrol yang
cukup ketat dari franchisor supaya kualitas servis yang memuaskan tercapai (Widiastuti (2014).
Bidang-bidang usaha waralaba yang memiliki potensi besar untuk perkembangan UMKM adalah sebagai
berikut (Widiastuti, 2014):
(i) waralaba usaha makanan, yang selama ini menjadi penyumbang terbesar dalam perputaran omzet bisnis
waralaba di Indonesia. Pasalnya, kebutuhan akan makanan dan minuman menjadi harga mati setiap orang,
dan akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan
masyarakat; ditambah lagi dengan kebiasaan banyak orang Indonesia jajan atau makan dan minum di luar
rumah. Jenis-jenis makanan dan minuman yang punya potensi berkembang pesat, selain rumah makan-
rumah makan (RM) tradisional seperti RM Padang, adalah termasuk es krim, yoghurt, makanan cepat saji,
atau makanan kecil seperti donat;
(ii) waralaba usaha ritel. Kontribusi dari usaha ritel dalam perputaran bisnis waralaba di Indonesia
menduduki peringkat kedua. Salah satu jenis usaha dari kategori ini yang punya potensi besar untuk terus
berkembang adalah minimarket seperti Indomaret dan Alfamaret. Pasalnya, kebutuhan masyarakat akan
berbagai macam barang sehari hari akan terus meningkat karena penambahan jumlah penduduk dan
peningkatan pendapatan masyarakat;
(iii) waralaba usaha jasa. Jenis usaha waralaba ini juga pesat perkembangannya dalam beberapa tahun
belakangan ini. Jenis usaha yang berpotensi berkembang pesat adalah misalnya bisnis jasa pencucian
mobil dan motor, termasuk di antaranya jasa cuci helm. Prospek pertumbuhan usaha waralaba ini juga
didorong oleh pertumbuhan otomotif di Indonesia; dan
(iv) waralaba usaha farmasi. Terutama bisnis apotek berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.
Hal ini dipicuh antara lain oleh kebijakan pemerintah yang menghapus ketentuan mengenai jarak antar
apotek yang minimal 500 meter. Pemilik jaringan waralaba apotek K-24, Gideon Hartono mengatakan
bahwa setiap gerai waralabanya tumbuh antara 15 hingga 60 persen per tahun. Selain penghapusan
peraturan pemerintah tersebut, faktor lainnya yang mendorong pertumbuhan waralaba selama ini adalah
semakin besarnya ketergantungan masyarakat terhadap obat-obatan dan vitamin, seiring dengan
penambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, dan yang terakhir ini turut
mempengaruhi pola hidup dan sikap masyarakat terhadap kesehatan.
4) Perdagangan umum;
Perdagangan umum adalah hubungan kemitraan antar perusahaan, yang di Indonesia pada umumnya adalah
antara UMK dengan UM atau UB11. Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara UMK
dengan UM atau UB berlangsung dalam tiga bentuk kerjasama. Pertama, kerjasama pemasaran produk yakni
UM atau UB memasarkan produk-produk UMK ke konsumen. Kedua, kerjasama penyediaan lokasi usaha
(seperti yang dilakukan oleh misalnya Carrefour yang menyediakan lokasi khusus di pasar swalayannya
khusus untuk menjual barang-barang UMKM). Ketiga, kerjasama penerimaan pasokan dari UMK untuk UM
atau UB (http://lalightsman. blogspot.co.id/2013/02/pola-pola-kemitraan-dalam-pengembangan.html).
Sistem kemitraan ini banyak diterapkan di sektor pertanian, dimana kelompok tani hortikultura bergabung
dalam sebuah koperasi yang kemudian bermitra dengan sebuah atau kelompok pasar swalayan, seperti yang
umum diterapkan oleh pasar-pasar swalayan besar seperti PT Matahari, PT Ramayana, Carrefour, Hero,
Hipermarket, dan Lotte. Para petani memiliki kewajiban untuk memasok barang-barang sesuai dengan
persyaratan dan kualitas produk yang telah disepakati bersama. Sistem kemitraan ini menguntungkan
kelompok mitra karena tidak perlu bersusah payah memasarkan hasil produknya sampai ke tangan
konsumen. Namun ada kelemahannya, terutama menyangkut harga dan volume produk yang sering
11
Mengenai pola kemitraan ini, Pasal 19 dalam PP No.17 Tahun 2013 mengenai pelaksanaan waralaba menyebutkan bahwa UB
berkedudukan sebagai penerima barang, UMKM berkedudukan sebagai pemasok barang. Begitu juga UM sebagai penerima barang,
UMK berkedudukan sebagai pemasok yang memproduksi barang atau jasa bagi mitra dagangnya ( http://jaringnews.com/ekonomi/
umum/36741/kini-usaha-besar-wajib-bermitra-dengan-umkm).
ditentukan sepihak oleh pengusaha mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra (http://lalightsman.
blogspot.co.id/2013/02/ pola-pola-kemitraan-dalam-pengembangan.html).
Untuk memudahkan UMKM melakukan kemitraan dengan pola ini dna memberikan keuntungan yang nyata
bagi, di Pasal 30 dalam UU No.20 Tahun 2008 berbunyi sebagai berikut: (i) pelaksanaan kemitraan dengan
pola perdagangan umum dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau
penerimaan pasokan dari UMKM oleh UB yang dilakukan secara terbuka; (ii) pemenuhan kebutuhan barang
dan jasa yang diperlukan oleh UB dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi UMKM
sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan; dan (iii) pengaturan sistem pembayaran
dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
5) Distribusi dan keagenan. Pola ini adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya UMK diberi hak khusus
untuk memasarkan barang dan jasa UM atau UB sebagai mitranya (Putri dan Rosidah, 2013). Jadi, dalam
pola ini, UM atau UB adalah pihak prinsipal yang memproduksi atau memiliki sesuatu, dan UMK sebagai
pihak agen yang bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang
bersangkutan langsung dengan pihak ketiga (konsumen) (http://lalightsman.blogspot.co.id/2013/02/pola-
pola-kemitraan-dalam-pengembangan. html)12.
Di Pasal 31 dalam UU No.20 Tahun 2008 mengenai UMKM dikatakan bahwa dalam pelaksanaan kemitraan
dengan pola distribusi dan keagenan UB dan/atau UM memberikan hak khusus untuk memasarkan barang
dan jasa kepada UMK.
6) Kerjasama operasional
Pola kemitraan kerjasama operasional adalah pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra
dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga
kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi
lainnya. Perusahaan mitra juga sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui
pengolahan dan pengemasan. Pola ini sering diterapkan pada usaha perkebunan tebu, tembakau, sayuran dan
pertambakan. Dalam pola ini telah diatur tentang kesepakan pembagian hasil dan resiko (http://lalightsman.
blogspot.co.id/2013/02/pola-pola-kemitraan-dalam-pengembangan.html).
7) Bagi hasil
Adapun dalam pola kemitraan bagi hasil, UMKM berkedudukan sebagai pelaksana atau menjalankan usaha
yang dibiayai atau dimiliki oleh UB; atau UMK berkedudukan sebagai pelaksana yang menjalankan usaha
yang dibiayai atau dimiliki oleh UM. Seperti bunyi Pasal 23 Ayat (1) dalam PP No.17 Tahun 2013, "Masing-
masing pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil memberikan kontribusi sesuai dengan pola bagi hasil
memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki, serta disepakati kedua
belah pihak yang bermitra” (http://jaringnews.com/ekonomi/umum/36741/kini-usaha-besar-wajib-bermitra-
dengan-umkm#sthash.IEwlvwXM.dpuf).
12
. Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik pola kemitraan ini. Prinsip utama dari teori ini menyatakan adanya
hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi)
yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama (http://lalightsman.blogspot.co.id/2013/02/pola-pola-kemitraan-dalam-
pengembangan. html).
8) Usaha patungan
Usaha patungan atau yang umum disebut joint venture (atau JV) adalah suatu pengertian yang luas. Pola
kemitraa ini tidak saja mencakup suatu kerja sama di mana masing-masing pihak melakukan penyertaan
modal (atau barang), tetapi juga bisa dalam bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang lebih longgar, atau tidak
permanen sifatnya serta tidak harus melibatkan partisipasi modal13. Kerjasama dengan penyertaan modal
mengarah pada terbentuknya suatu badan hukum atau entitas legal (perusahaan baru yang disebut perusahaan
JV, dan salah satu pihak ditunjuk sebagai pimpinan usaha JV yang disebut managing partner) untuk
menyelenggarakan aktivitas ekonomi bersama. Jadi, selain masing-masing pihak menyetor modal, mereka
juga berbagi risiko dan keuntungan14atau kerugian, serta kendali atas entitas tersebut. Sedangkan bentuk
kerjasama yang kedua tersebut perwujudannya tampak dalam berbagai bentuk kontrak kerjasama, misalnya
dalam bidang manajemen, pemberian lisensi, bantuan teknik dan keahlian, dan lainnya. JV bisa dibentuk
hanya untuk satu projek tertentu, lalu dibubarkan, atau bisa saja dibentuk untuk hubungan bisnis yang
berkelanjutan15. Dalam kasus UMKM, melakukan JV dengan UB diharapkan dapat membantu UMKM
dalam misalnya pengadaan teknologi produksi, peningkatan keahlian pemilik usaha dan pekerjanya, dan
pemasaran hasil-hasil produksi.
Seperti yang dijelaskan dalam Firdaus (2012), ada sejumlah alasan pembentukan pola kerjasama ini, dan
alasan-alasan itu dalam dikelompokkan kedalam dua kategori menurut sumbernya, yakni alasan-alasan
internal dan alasan-alasan eksternal. Alasan-alasan internal adalah seperti: membangun kekuatan perusahaan,
menyebarkan biaya dan resiko, menambah akses ke sumber daya keuangan, ekonomi skala dan keuntungan
atau kekuatan, akses ke teknologi dan pelanggan baru, dan akses ke praktek manajer inovatif. Sedangkan
alasan eksternal adalah terutama perubahan pasar atau akibat persaingan semakin ketat.
9) Penyumberluaran (outsourcing)
Pengertian outsourcing adalah penggunaan tenaga kerja dari luar perusahaan sendiri untuk melaksanakan

13
Proses pembentukan sebuah JV melibatkan beberapa langkah, mulai dari melakukan riset pasar, mencari mitra yang tepat,
menetapkan pilihan dan mengevaluasi di antara mitra-mitra alternatif, melakukan negosiasi dengan mitra yang terpilih, melakukan
penilaian bisnis, melakukan perencanaan bisnis, dan juga melakukan due diligence. Langkah-langkah ini semua diambil oleh masing-
masing pihak. Ada juga prosedur hukum yang terlibat seperti kesepakatan JV, perjanjian tambahan, dan persetujuan peraturan.Setelah
proses ini selesai, maka dibentuk sebuah perusahaan JV dan sebagai prosedur akhir dibentuk manajemen nya (Firdaus, 2012).
14
Sebelum keuntungan dibagi diperhitungkan dahulu bunga modal, komisi,bonus dan lain-lain untuk pihak-pihak yang telah berjasa.
Ini merupakan salah satu ciri penting dari JV (Firdaus, 2012).
15
Beberapa contoh JV. Misalnya di Taiwan antara dua perusahaan perangkat keras, yaitu Gigabyte dan ASUS. Meningkatnya
persaingan bisnis di bidang perangkat keras untuk produk-produk komputer, mendorong beberapa perusahaan untuk melakukan
kerjasama guna mempertahankan posisinya di antara para pesaingnya. Hal ini juga dilakukan oleh kedua perusahaan besar tersebut,
yang selama ini berkompetisi ketat di kategori produk motherboard, graphics card, dan beberapa komponen lain. Kedua perusahaan
tersebut pada tahun 2007 melakukan kerja samauntuk membuat strategi baru dalam pembuatan dan pemasaran produk motherboard
dan graphics card, dan beberapa komponen lain. Produk-produk hasil kerja sama ini menyandang nama Gigabyte. Contoh lainnya
adalah sebuah JV internasional antara PT Indofood Sukses Makmur Tbk di Indonesia dengan Nestle S.A di Switzerland. Kedua
perusahaan papan atas tersebut melakukan strategi ini untuk memantapkan penetrasi pasar di industri barang-barang konsumen,
dengan membentuk sebuah perusahaan patungan, yang diberi nama PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia. Perusahaan JV itu fokus
di bisnis kuliner (bumbu penyedap makanan). Menurut CEO PT Indofood Anthoni Salim, pendirian usaha patungan baru ini akan
menciptakan peluang memperbesar pangsa pasar.Sebab, dua perusahaan besar ini akan saling memanfaatkan dan mengembangkan
kekuatan yang dimiliki (Firdaus, 2012).
tugas atau pekerjaan tertentu yang spesifik16. Dari pengertian tersebut, didapat minimal dua hal yang penting
untuk dipahami, yaitu perusahaan outsourcing dan jenis pekerjaan yang umum di serahkan kepada tenaga
dari luar tersebut. Pada dasarnya, semua jenis pekerjaan yang tidak menyangkut pengambilan keputusan
yang mempengaruhi kebijakan perusahaan bisa di-outsourcing-kan. Yang paling umum diterapkan di
Indonesia adalah untuk pengamanan (satpam), kebersihan (cleaning service atau office boy), operator mesin
atau alat tertentu, memasukin data, dan lain-lain (http://dee-belajar.blogspot.co.id/2014/08/pengertian-
outsourcing. html)17.

4.2.2 Keuntungan bagi UMKM


Paling tidak secara teori, ada banyak keuntungan bagi UMKM apabila melakukan kemitraan, khususnya
dengan UB yang memiliki segala sumber daya, yakni sebagai berikut:
(i) dalam pola-pola kemitraann inti-plasma, subkontrak, atau waralaba, keuntungannya adalah pasar yang
terjamin;
(ii) membantu UMKM melakukan inovasi dan pengembangan produk, dan ini sangat diperlukan UMKM untuk
bisa paling tidak bertahan dengan semakin ramenya barang-barang impor, dan terutama sangat penting bagi
UMKM yang ingin/akan melakukan ekspor;
(iii) memberikan bimbingan atau pelatihan teknis produksi dan manajemen usaha sehingga terjadi proses
peralihan teknologi dan pengetahuan mengenai metode produksi yang tepat (efisien dan efektif) dan
manajemen serta sistem organisasi yang baik yang harus diterapkan demi meningkatkan efisiensi usaha.
Selain itu, UB juga bisa memberikan pengetahuan-pengetahuan lain yang sangat diperlukan oleh pemilik
UMKM seperti bagaimana membaca dinamika pasar (melihat peluang), melakukan promosi yang efisien
dan efektif, menggunakan e-dagang, dan lainnya yang menambah wawasan usaha bagi pemilik-pemilik
UMKM;
(iv) dalam pola kemitraan inti-plasma di sektor perkebunan atau pertanian, salah satu keuntungan bagi UMKM
adalah UB menyediakan dan menyiapkan lahan dan sarana produksi;
(v) pembiayaan UMKM, yang bisa bersumber dari UB atau dari bank dan UB sebagai penjamin; dan
(vi) membantu UMKM dalam pemasaran, termasuk memberikan fasilitas promosi atau keikutsertaan dalam
pameran-pameran.

16
Di Indonesia, ada undang-undang yang mengatur mengenai bentuk kerjasama ini, yaitu UU No. 13 Tahun 2003. Namun, UU ini
tidak memakai istilah outsourcing, tetapi memakai istilah pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh (http://dee-
belajar.blogspot.co.id/2014/08/pengertian-outsourcing.html).
17
Berikut adalah pendapat dari beberapa ahli mengenai outsourcing yang dikutip dari internet
(http://dee-belajar.blogspot.co.id/2014/08/pengertian-outsourcing.html): Michael F, Corbett (pendiri dari The Outsourcing Institute
dan Presiden Direktur dari Michael F, Corbett & Associates Consulting Firm F: outsourcing telah menjadi alat manajemen yang
bukan hanya untuk menyelesaikan masalah tetapi juga bisa mendukung tujuan dan sasaran kegiatan bisnis perusahaan; Maurice F
Greaver II: outsourcing sebagai “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and
resources”;
Maurice Greaver: outsourcing adalah tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya
kepada pihak lain, dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama; dan Muzni Tambusai (Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi): outsourcing sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa
bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.
4.3 Perkembangan Klaster
4.3.1 Konsep dan Definisi
Fenomena klaster telah menarik perhatian para ekonom untuk melakukan studi-studi mengenai masalah lokasi
untuk kegiatan-kegiatan ekonomi, khususnya industri, sehingga memunculkan paradigma baru yang disebut
geografi ekonomi baru.18Studi-studi mengenai klaster semakin berkembang dengan datangnya Michael Porter
(1990, 1998) dengan idenya bahwa pengklasteran adalah bagian dari model baru persaingan bisnis di dunia
(“model berlian”-nya). Hanya saja ada bedanya antara klaster-nya Porter dengan klaster industri. Definisi
kluster menurut Porter adalah konsentrasi geografi dari perusahaan-perusahaan independens dan institusi-
institusi yang berbeda yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu, misalnya negara. Sedangkan klaster
industri pada dasarnya adalah kelompok industri/perusahaan yang terkonsentrasi secara spasial, misalnya
Cilegon, Tangerang, dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri/produk utama saja. Di
Indonesia, sebutan lain yang lebih umum digunakan adalah sentra.
Di dalam ilmu ekonomi regional, klaster merupakan suatu pengertian yang lazim digunakan untuk
mendefinisikan pengelompokan industri sejenis dalam suatu kawasan dan ketika kegiatan industri itu
bermacam-macam maka disebut aglomerasi (Richardson, 1971, dikutip dari Soetrisno,199?). Dalam perkem-
banganya ketika klaster menghasilkan praktek terbaik pengembangan industri di dunia, seperti yang terjadi pada
klaster tertua industri galangan kapal di Norwegia, maka klaster juga diterima sebagai pengertian pendekatan
pengembangan industri (UNCTAD, 2001, dikutip dari Soetrisno,199?).
Di Indonesia, strategi pembangunan industri nasional, termasuk UMKM dengan pendekatan klaster sudah
diterapkan sejak era Orde Baru. Sasaran utama pengembangan klaster di Indonesia adalah untuk meningkatkan
dan mengembangkan nilai tambah sejak dari kegiatan paling hulu sampai kegiatan paling hilir, baik produk
manufaktur maupun jasa. Oleh karena itu, konsep klaster, khususnya di sektor industri, adalah menitik beratkan
pada integrasi yang penuh dari seluruh kegiatan sepanjang mata rantai nilai. Rantai nilai adalah diantara lima
elemen kunci dari konsep klaster. Empat elemen lainnya adalah aglomerasi, nilai tambah, jaringan pemasok,
dan infrastruktur ekonomi.
Mungkin dapat dikatakan bahwa United Nation Industry and Development Organization (UNIDO) adalah
satu-satunya lembaga dunia khusus soal pembangunan sektor industri yang mempelopori pendekatan klaster
sebagai suatu strategi pengembangan industri,termasuk UMKM, di negara-negara berkembang. UNIDO
mempercayai bahwa pendekatan klaster sebagai strategi paling ampuh dalam mendorong perkembangan
UMKM terutama didasarkan pada pengalaman panjang dalam perkembangan UMKM di negara-negara Eropa,
seperti yang dinyatakan oleh Richard (1996) berikut ini: The European experience seems to suggest that SMEs
might not be at a disadvantage at all compared to larger firms, as long as they were able to benefit from the
advantages of clustering (halaman 4). Alasannya sederhana, yakni UMKM di dalam klaster-klaster lebih

18
Lihat, misalnya, Lucas (1988), Humphrey dan Schmitz (1995), Krugman (1995), Baptista dan Swann (1998), Ceglie dan Dini
(1999), Schmitz dan Nadvi (1999), Hoen (2001), Linde (2003), Cainelli dan Zoboli (2004), dan di Indonesia, misalnya, Kuncoro
(2002).
mudah baik dalam menanggulangi segala persoalan bisnis maupun dalam meningkatkan efisiensi, tingkat daya
saing dan produksi.19
UNIDO mendefinisikan sebuah klaster sebagai suatu konsentrasi aglomorasi lokal dari sejumlah perusahaan
yang memproduksi dan menjual sejumlah barang yang saling terkait atau komplementer di dalam suatu
kelompok industri (UNIDO, 2004). Jadi, misalnya klaster industri otomotif yang mencakup mulai dari produksi
mobil hingga komponen-komponennya.
Dalam SK Menteri Negara Koperasi dan UKM No: 32/Kep/M.KUKM/IV/2002, Tanggal 17 April 2002
tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra UMKM, ada perbedaan antara klaster dan sentra.
Menurut SK tersebut, sentra adalah pusat kegiatan di kawasan/lokasi tertentu (misalnya desa) dimana terdapat
UMKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama dan menghasilkan produk yang sama/sejenis.
Sedangkan klaster adalah pusat kegiatan UMKM pada sentra yang telah berkembang, atau hasil dari
perkembangan sebuah sentra atau sentra-sentra, yang ditandai oleh munculnya pengusaha pengusaha yang lebih
maju, terjadi spesialisasi proses produksi pada masing-masing UMKM dan kegiatan ekonominya saling terkait
dan saling mendukung. Dari definisi ini, tampak bahwa klaster adalah bentuk lain dari sentra yang telah
berkembang dan maju (SMECDA, 199?).
Hubungan maupun perbedaan antara sebuah sentra dan sebuah klaster juga dapat dikutip dari Amnur (199?),
Secara harfiah pengertian Klaster (cluster ) adalah pengelompokan suatu kegiatan yang sejenis dalam lingkup
wilayah tertentu. Dalam pengertian yang lebih sempit, klaster diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia
sebagai sentra industri, yang merupakan aglomerasi kegiatan industri sejenis. Sejalan dengan perubahan
lingkungan global, maka pengertian konsep klaster menjadi berkembang dan makin luas lingkupnya. Sehingga
klaster industri tidak dapat lagi dipandang sebagai sentra industri, yang menekankan pada lokalisasi atau
status demografi. Sedangkan klaster industri lebih memberikan penekanan pada aglomerasi perusahaan yang
membentuk kerjasama strategis dan komplementer serta memiliki hubungan yang intensif (halaman 2).
Menurut Kementerian Perindustrian yang dinyatakan didalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional, klaster industri adalah sekelompok industri inti yang
terkonsentrasi secara regional maupun global yang saling berhubungan atau berinteraksi sosial secara dinamis,
baik dengan industri terkait, industri pendukung maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga
terkait dalam meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi
sehingga tercipta keunggulan kompetitif. Pengertian industri inti di sini adalah industri yang menjadi basis
dalam pengembangan klaster industri nasional. Sedangkan industri penunjang adalah industri yang berperan
sebagai pendukung serta penunjang dalam pengembangan industri inti secara integratif dan komprehensif (DI,
2008).
Sedangkan menurut Djamhari (2006), salah satu staf dari Kementerian Koperasi & UKM yang menangani
pengembangan klaster UMKM selama ini mendefinisikan klaster sebagai berikut: klaster adalah konsentrasi
geografis antara perusahaan-perusahaan yang saling terkait dan bekerjasama, diantaranya melibatkan
19
Lihat antara lain, Humphrey dan Schmitz (1995), Weijland (1999), Muizer dan Hospers (2000), dan Tambunan (1997, 2005,
2007a.b).
pemasok barang, penyedia jasa, industri yang terkait, serta sejumlah lembaga yang secara khusus berfungsi
sebagai penunjang dan atau pelengkap (halaman 83). Selanjutnya, menurutnya, hubungan antar perusahaan
dalam klaster dapat bersifat horisontal atau vertikal. Bersifat horisontal melalui mekanisme produk jasa
komplementer, penggunaan berbagai input khusus, teknologi atau institusi. Sedangkan sifat vertikalnya
dilakukan melalui rantai pembelian dan penjualan.
Dari uraian di atas, ada dua hal yang jelas. Pertama, di dalam klaster harus ada interaksi atau kerjasama antar
perusahaan, baik secara horisontal (baik antar sesama pengusaha di dalam kelompok industri yang sama
maupun dengan pemberi jasa-jasa dan pemberi input khusus) maupun vertikal (antar kelompok industri berbeda
namun komplementer dan dengan sektor perdagangan). Jadi, yang namanya klaster adalah interaksi antar
perusahaan tidak hanya dari kelompok industri yang sama (yang membuat produk yang sama) tetapi juga antar
perusahaan dari kelompok industri berbeda, namun komplementer di suatu wilayah. Masing-masing perusahaan
memiliki sumber daya dan kompetensi yang berbeda, namun lewat interaksi maka semua sumber daya dan
kompetensi masing-masing dikombinasikan hingga membuat kinerja mereka lebih baik dibandingkan jika
beroperasi secara sendiri-sendiri. Seperti pernyataan dari SMECDA berikut ini, Klaster terdiri dari kelompok
perusahaan-perusahaan yang memiliki kompetensi yang berbeda namun berhubungan berlokasi dalam sebuah
wilayah tertentu, dimana melalui sebuah bentuk interaksi tertentu diantara mereka dan melalui sebuah
“institusi bentukan” bersama, yang mungkin juga dibentuk bersama organisasi lain, meningkatkan daya saing,
spesialisasi dan identitas mereka dalam perekonomian global (199?, halaman 165).20
Interaksi atau kerjasama horisontal bisa bersifat informal maupun formal. Interaksi informal misalnya,
pengusaha A selalu berkomunikasi dengan rekannya pengusaha B untuk membicarakan hal-hal penting yang
mempengaruhi bisnis mereka, misalnya, soal harga, tarif listrik, dll. Interaksi formal misalnya kerjasama dalam
pengadaan bahan baku atau produksi berdasarkan kesepakatan resmi. Sedangkan, kerjasama vertikal, bisa ke
atas, misalnya UMKM bermitra dengan UB dalam produksi lewat sistem subkontrak, atau dengan perusahaan
eksportir atau importir di luar negeri, dan bisa ke bawah, dengan pemasok bahan baku,misalnya.
Kedua, setiap kluster terdiri dari paling tidak satu sentra. Namun suatu sentra UMKM belum tentu merupa-
kan klaster UMKM. Di Indonesia terdapat begitu banyak sentra UMKM; disemua provinsi ada sentra UMKM.
Namun banyak dari mereka yang sebenarnya mengalami stagnasi, yang artinya tidak berkembang. Sentra-sentra
yang tidak berkembang akan sangat sulit atau bahkan mustahil bisa menciptakan klaster-klaster. Salah satu
yang menyebabkan banyak sentra-sentra tidak berkembang adalah tidak adanya kerjasama antar sesama
UMKM di sentra-sentra tersebut. Pada hal, interaksi antar perusahaan merupakan salah satu karakteristik dari
sebuah klaster.

20
Pengertian wilayah di sini bisa desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, kawasan, misalnya Indonesia bagian Timur atau ASEAN, atau
bahkan benua. Klaster juga bisa mencakup sejumlah kota seperti Greater Jakarta (Jabodetabek) di Indonesia, Greater Bangkok di
Thailand, greater Tokyo, atau lebih luas lagi, Tokyo-Yokohama-Nagoya-Osaka-Kobe-Kyoto Shinkansen Corridor di Jepang, Mumbai-
Pune Corridor di India, Metro Manila di Filipina, Greater Karachi di Pakistan, Greater Dhaka di Bangladesh, Pearl River Delta City
Cluster di China, dan banyak lagi. Kota-kota saling berhubungan (klaster kota) karena kegiatan-kegiatan ekonomi/industri di masing-
masing kota saling berkaitan dalam proses-proses produksi. Laporan mengenai perkembangan klaster-klaster kota dapat dilihat antara
lain di Choe dan Laquian (2008).
Pada prinsipnya, pengertian klaster berbeda dengan pengertian one village one product (OVOP). Penekanan
dari OVOP adalah bahwa suatu wilayah mengembangkan produk yang mana wilayah tersebut memiliki
keunggulan dibandingkan wilayah-wilayah lainnya. Jadi, produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah harus
merupakan keunggulan atau kompetensi inti dari wilayah tersebut. Tetapi penerapan klaster bisa sejalan dengan
penerapan OVOP, dalam arti untuk mencapai tujuan OVOP, pendekatan klaster adalah yang paling baik karena
menghasilkan tingkat efisiensi dan berarti juga daya saing tertinggi yang bisa dicapai. Namun di sisi lain,
penerapan klaster tidak harus hanya pada produk-produk unggulan saja, melainkan bisa pada semua kegiatan
ekonomi di suatu wilayah. Misalnya, suatu wilayah menghasilkan dua jenis produk, yakni A dan B. Wilayah
tersebut mempunyai keunggulan inti untuk A tetapi tidak untuk B (wilayah lain yang mempunyai keunggulan
inti untuk B). Contohnya, Indonesia ekspor pakaian jadi. Namun pada tingkat global pakaian jadi bukan
merupakan keunggulan inti dari Indonesia, karena masih banyak negara lain yang memiliki pangsa pasar dunia
untuk pakaian jadi yang lebih besar dari Indonesia, seperti negara Cina.
Lagipula, OVOP bisa diterapkan pada semua tahapan dari suatu proses produksi (atau rantai nilai). Misalnya,
wilayah A mengekspor kelapa sawit (tidak diolah) ke wilayah B. Bagi wilayah A, kelapa sawit bisa merupakan
produk unggulannya atau OVOP-nya. Di wilayah B, kelapa sawit yang dibeli dari wilayah A diolah menjadi
minyak kelapa sawit karena sumber daya dan fasilitas produksi tersedia,dan ini bisa merupakan OVOP-nya
wilayah B. Dilihat dari sifat produk, produksi kelapa sawit di wilayah A adalah produksi paling hulu, sedangkan
di wilayah B adalah produksi hilir. Semakin kehulu, tingkat kebutuhan akan klaster semakin rendah, 21dan
semakin ke hilir,tingkat kebutuhan klaster semakin besar, karena makin banyak industri-industri dan sektor-
sektor lainnya yang diperlukan untuk mendukung produksi minyak kelapa sawit.
Sedangkan pengertian klaster lebih dekat dengan pengertian integrated farming (IF), karena klaster pada
prinsipnya adalah sebuah kegiatan ekonomi yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Namun demikian, ada
perbedaan mendasar antara klaster dan IF. Seperti telah dibahas sebelumnya, inti klaster adalah keterkaitan
antar perusahaan independens yang berlokasi di suatu wilayah yang sama. Sedangkan, IF bisa dilakukan oleh
satu perusahaan yang terdiri dari sejumlah pabrik (yang sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan makanan
multinasional), atau proses integrasinya dari hulu hingga hilir bisa mencakup lebih dari satu wilayah. Misalnya,
bahan bakunya di Sumatera, pengolahan awal di Singapura, pengolahan akhir di Cina, dan pemasaran di Eropa,
yang semuanya dilakukan dibawah satu bendera perusahaan.

4.3.2 Proses Terjadinya Klaster


Dari uraian di atas, bisa diketahui bahwa proses terbentuknya sebuah klaster industri adalah diawali dengan
sebuah atau beberapa sentra di suatu lokasi. Sentra adalah suatu lokasi dimana terdapat sejumlah unit usaha di
kelompok industri yang sama (membuat barang yang sama). Di Indonesia banyak sentra-sentra UMKM yang
keberadaannya sudah cukup lama, bahkan sejak masa penjajahan. Hampir semua kelompok industri/jenis

21
Walaupun ini juga sangat tergantung dari jenis komoditi yang menentukan tingkat keruwetan produksi hulunya.
produk yang banyak UMKM-nya punya sentra-sentra UMKM, walaupun jumlahnya bervariasi menurut
provinsi (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Sebaran Sentra UMKM di Indonesia Menurut Wilayah, 2005 (unit)

Sumber: Menegkop & UKM (www.depkop.go.id).

Sandee dan ter Wingel (2002) pernah mengkaji kinerja dari sentra-sentra UMKM di Indonesia, dan hasilnya
menunjukkan ada empat macam sentra berdasarkan tingkat pembangun- atau kemajuannya. Semakin tinggi
tingkat pembangunan atau kemajuan suatu sentra, dilihat dari antara lain kualitas dari produk-produk yang
dihasilkan oleh unit-unit usaha di dalam sentra tersebut dan tngkat kompleksitas dari proses pembuatannya, dan
orientasi pasar (lebih luas atau melayani pasar ekspor), sentra tersebut cenderung berubah menjadi sebuah
klasternya (misalnya muncul di dalam sentra tersebut perusahaan pemasok bahan baku, bengkel untuk
membetulkan mesin atau alat-alat produksi, dan perusahaan perdagangan (eksportir) lengkap dengan show
room-nya yang memamerkan produk-produk yang dihasilkan di sentra tersebut). Dalam kata lain, sentra-sentra
yang masih sangat terbelakang (Tipe 1), sama sekali belum membentuk klaster-klaster (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Tipe-tipe Sentra UMKM menurut Tingkat Klaster di Indonesia
No Tipe Tingkat Sifat
Klaster
1 Artisinal -umumnya usaha mikro (UMI) tanpa menggunakan pekerja bayaran dan tanpa sistem
(pengrajin) Nol manajemen dan organisasi modern;
-tidak ada (atau sangat rendah tingkat) interaksi antar sesama pengrajin;
-tidak ada spesialisasi;
-tidak ada (atau sangat rendah tingkat) kegiatan subkontrak;
-tidak ada (atau sangat rendah tingkat) jaringan kerja eksternal dengan pihak di luar sentra;
-produktivitas dan upah sangat rendah;
-stagnasi (tidak ada ekspansi pasar, peningkatan investasi dan penambahan produksi;
-menerapkan metode produksi tradisional dan memakai alat -alat produksi primitif
(rekayasa sendiri);
-tidak ada pengembangan produksi:
-sangat beorientasi pasar dan konsumen berpenghasilan rendah;
-pengrajin berpendidikan rendah dan banyak yang buta huruf;
-sangat pasif dalam pemasaran, dan peran pedagang keliling/pengumpul sangat dominan
2 “Aktif” rendah -banyak usaha dari kategori usaha kecil (UK) yang lebih modern dengan memakai
pekerja-pekerja terdidik/ahli dan teknologi yang lebih baik;
- berorientasi pasar nasional atau/dan ekspor;
-aktif dalam pemasaran;
-derajad dari jaringan-jaringan kerja internal dan eksternal tinggi
3 “Dinamis” menengah -UMI hampir tidak ada.
jaringan-jaringan kerja perdagangan luar negeri sangat ekstensif;
-perbedaan internal di dalam klaster dalam bentuk skala usaha, teknologi yang digunakan,
dan orientasi pasar lebih nyata;
-ada perusahaan di dalam klaster sebagai pemimpin yang sangat berperan dalam
pengembangan klaster, termasuk kemampuan melakukan inovasi
“Maju” Tinggi -kebanyakan adalah UK dan UM (usaha menengah)
4 -derajad dari spesialisasi dan kerjasama antar perusahaan tinggi sangat tinggi;
-kemampuan melakukan inovasi sangat besar;
-kerjasama antara perusahaan dengan pemasok, penyedia jasa-jasa usaha, pedagang,
distributor, bank, pemerintah, perguruan tinggi, lembaga litbang, dll sangat berkembang;
Sumber: Sandee dan ter Wingel (2002)

Berdasarkan survei literatur mengenai klaster, proses terbentuknya sebuah klaster adalah melalui tahapan-
tahapan berikut ini: 22
Tahap 1: aglomerasi/pengelompokan spasial. Suatu daerah yang memiliki sejumlah perusahaan yang sejenis
dan beberapa pemain lainnya yang bersifat mendukung/komplementer. Adanya konsentrasi seperti
ini biasanya terjadi secara alamiah (sudah berpuluh-puluh tahun) atau karena ingin memanfaatkan
keuntungan pemusatan usaha (keuntungan kolektif) dari adanya infrastruktur yang baik, mudah
mencari pekerja, image lokasi yang mendukung (positif), mudah pemasaran karena konsentrasi
penduduk, dan adanya ketersediaan bahan baku (input). Dengan adanya kedekatan lokasi, masing-
masing perusahaan yang memiliki keterkaitan, misalnya, komponen produksinya akan memulai
kerjasama (hubungan komplementer) satu sama lainnya. Disini aktor kunci adalah industri inti.
Tahap 2: interaksi antar pelaku/pengusaha (awal klaster). Pada tahap ini sentra tersebut sudah menjadi embrio
dari terbetuknya sebuah klaster, dengan mulai munculnya kerjasama antar perusahaan di dalam sentra
tersebut pada aktivitas-aktivitas inti atau produk sentra, dan mulai merealisasikan beberapa peluang
yang diperoleh secara bersama melalui kerjasama mereka. Untuk itu, kadang pengusaha perlu
membentuk satu atau lebih institusi bersama, misalnya lewat pembentukan koperasi atau
asosiasi.Tahap ini dikenal sebagai awal mulai tumbuhnya sebuah klaster sesungguhnya,karena
adanya indikasi pertalian usaha satu sama lainnya. Kerjasama usaha tersebut terus berkembang
menghubungkan keseluruhan unit-unit usaha dalam satu wilayah klaster. Disini pelaku-pelaku paling
penting selain industri inti adalah pemerintah, asosiasi dan jasa konsultasi/pendamping.
Tahap 3: pembangunan/pengembangan suatu klaster. Kerjasama yang menguntungkan selanjutnya mendorong
timbulnya unit-unit usaha baru di wilayah klaster tersebut, yang selanjutnya semakin melengkapi
unit-unit usaha yang sudah ada sebelumnya. Pada tahap ini, interaksi antar pengusaha diikuti dengan
kemauan mengkombinasikan sumberdaya dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing
pengusaha. Pelaku-pelaku lainnya yang perannya juga sangat penting pada tahap ini adalah perguruan
tinggi, lembaga keuangan, lembaga pelatihan teknis, dan lembaga litbang.
Tahap 4: perkembangan klaster yang sudah matang. Pada tahap ini juga mulai ditandai dengan kejenuhan usaha
yang ada, Jika kondisi permintaan pasar yang tidak bertambah, maka bisa terjadi degradasi unit-unit
usaha yang ada. Pada tahap ini pelaku-pelaku yang sangat penting sama seperti di tahap 3 tersebut.
Tahap 5: transformasi. Tahap ini terjadi utamanya didorong adanya spesialisasi kegiatan usaha pada kelompok-
kelompok kecil di dalam klaster. Dalam kata lain, pengusaha-pengusaha yang terlibat dalam interaksi
akan melakukan spesialisasi pada mata rantai produksi yang paling dikuasai kompetensinya.

22
Misalnya, SMECDA (199?) dan Handayani (2010).
Spesialisasi-spesialisasi dari pengusaha-pengusaha yang berhubungan ini dapat mengarahkan produk
sentra pada peningkatan daya saing, jika spesialisasi yang dilakukan membuat biaya produksi produk
sentra menjadi lebih rendah atau kualitas produk lebih tinggi dibanding daerah lain. Jika daya saing
dapat dipertahankan maka identitas produk sentra akan muncul. Di sisi lain, spesialisasi-spesialisasi
yang berbeda tersebut antar pengusaha atau subkelompok pengusaha di dalam klaster bisa
menyebabkan pemisahahan kelompok terspesialisasi tersebut membentuk kelompok klaster baru
dengan produk yang lebih khusus. Selanjutnya, kelompok kecil pertalian usaha ini dapat kembali
pada tahap 1 tersebut di atas. Keseluruhan proses ini merupakan siklus perkembangan klaster
usaha.Pada tahap terakhir ini, pelaku-pelaku tersebut pada tahap-tahap sebelumnya juga sangat
berperan.
Contoh-contoh dari proses transisi dari sebuah sentra menjadi sebuah klaster di Indonesia adalah antara lain
sentra kelinci di Batu Jawa Timur. Setelah bertahun-tahun melakukan budidaya kelinci anakan (untuk dijual
sebagai kelinci hias/peliharaan) sentra mulai memasuki tahapan menuju sebuah klaster. Perkembangan ini
tercermin dari pangsa pasarnya dan margin keuntungannya yang terus meningkat. Pada saat ini, sentra tersebut
sudah mulai berevolusi untuk menjajagi menjadi penyedia indukan, pakan, dan juga pengolahan kerajinan kulit
kelinci dan industri pengolahan daging kelinci. Saat ini di sentra tersebut juga telah mulai muncul unit-unit
usaha yang mengolah daging kelinci apkir menjadi abon atau unit usaha yang mengolah kulit kelinci apkir
untuk menjadi kerajinan tangan. Perkembangan ini jika terus berlangsung akan menjadi cikal klaster budidaya
kelinci di masa depan (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Perkembangan Sentra Kelinci menuju Klaster, Batu (Jawa Timur)

Sumber: dikutip dari Gambar 50 di SMECDA (199?).

Contoh lain adalah sentra rumput laut di Jeneponto Sulawesi Selatan (Gambar 4.5). Kondisi pantai
Jeneponto memungkinkan penanaman rumput laut dengan metode yang sederhana dan murah. Saat ini hampir
seluruh garis pantai Jeneponto telah digunakan untuk budidaya rumput laut. Sentra ini sudah ada sejak sekitar
15 tahun lalu, dan pangsa pasarnya terus meningkat. Untuk pemasaran, petani rumput laut membentuk
kelompok dan kelompok itu selanjutnya membentuk koperasi. Penjualan hanya dilakukan melalui kelompok,
dan kelompok yang menjadi anggota koperasi akan menjual melalui koperasi. Untuk menangani pembelian dan
penjualan rumput laut anggota ini, koperasi kemudian membuat gudang dan unit sortir di dalamnya. Unit sortir
adalah penduduk sentra, biasanya ibu-ibu, yang diminta menyortir rumput laut kering yang diperoleh dari
kelompok petani. Sejak beberapa tahun lalu, pasar meminta sentra tersebut untuk mengirim rumput laut dalam
bentuk yang sudah matang, namun tetap masih setengah jadi. Untuk itu, dengan bantuan dari Kementerian
Koperasi dan UKM dan Pemerintah Kabupaten Jeneponto, dibangun sebuah pabrik pemasakan dan
pembersihan rumput laut. Dengan adanya pabrik tersebut, sentra tersebut sempat mengekspor rumput laut
matang setengah jadi olahannya ke China. Sayangnya, khabar terakhir menunjukkan bahwa pabriknya sudah
berhenti beroperasi karena adanya masalah keuangan (SMECDA,199?).
Gambar 4.5 Perkembangan Sentra Rumput Laut menuju Klaster, Jeneponto Sulawesi Selatan

Sumber: dikutip dari Gambar 50 di SMECDA (199?).


Satu lagi contoh, yakni sentra industri keramik Kasongan di desa wisata di Kabupaten Bantul, DIY (Gambar
4.6). Sentra ini, yang didominasi oleh UMI dan UK, umurnya boleh dikatakan cukup tua, yang merupakan
kegiatan tradisional dari masyarakat di desa tersebut. Sentra ini sangat penting karena kontribusinya yang cukup
besar baik dari segi finansial, unit usaha, dan penyerapan tenaga kerja terhadap Kabupaten Bantul. Menurut
hasil penelitian Kuncoro dan Supomo (2003), dari tahun 1996 sampai tahun 2000 sentra tersebut menunjukkan
hal yang meningkat dalam beberapa sisi. Pertama, jumlah unit usaha meningkat dari 322 unit menjadi 358 unit;
kedua, penyerapan tenaga kerja menaik dari 1200 orang menjadi 1600; ketiga, omset memperlihatkan trend
yang menaik dari Rp 1,9 milyar pada tahun 1996 menjadi Rp 8,6 milyar; dan ekspor meningkat dari US$ 196
ribu menjadi US$ 385 ribu. Karena kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian Kabupaten Bantul,
industri kerajinan keramik di Kasongan menjadi salah satu komoditi unggulan. Ada dua hal lain yang menarik
dari hasil penelitian mereka mengenai sentra ini. Pertama, di sentra itu terdapat dua tipe unit produksi. Yang
pertama adalah unit produksi yang memang dimiliki oleh pengusaha toko. Sedangkan yang kedua adalah unit
produksi independen yang menyetor produknya ke toko-toko di Kasongan. Tipe yang kedua ini dapat juga
berupa subkontrak yang menerima pesanan dari toko. Kedua, pengusaha-pengusaha keramik di sentra itu juga
mengadakan kerjasama dengan sentra industri keramik di Pundong (masih dalam wilayah Kabupaten Bantul).
Jadi para pengusaha tersebut memandang industri keramik di Pundong bukan sebagai rival bisnis, melainkan
sebagai mitra usaha kerja. Hal-hal lain yang membuat sentra tersebut cenderung menjadi sebuah klaster adalah
sebagai berikut. Pertama, walaupun mereka saling bersaing, interaksi antar sesama pengusaha relatif kuat.
Kedua, kontrak dan komitmen antara mereka dengan penyedia bahan baku relatif kuat. Ketiga, kerjasama antara
mereka dengan pengusaha di luar sentra relatif kuat.
Gambar 4.6 Perkembangan Sentra Keramik Kasongan menuju Klaster, Kabupaten Bantul, DIY

Sumber: dikutip dari Gambar 3 di Kuncoro dan Supomo (2003).

4.3.3 Beberapa Contoh Klaster


Di Indonesia

1. Klaster batik di Simbang Kulon, Mbuaran Kab. Pekalongan (Solichedi, 2008). Ini merupakan industri
rumahan, yang mana tempat produksi 90 persen menjadi satu dengan tempat tinggal. Ada dua jenis
pengrajin: (1) pengrajin dengan modal sendiri dan memiliki merk, dan (2) pengrajin penerima order tidak
memiliki merek. Rata-rata penghasilan pengrajin per bulan antara Rp 800 ribu hingga Rp1,2 juta rupiah.
Jenis batik yang dibuat bervariasi, mulai dari batik tulis, batik cap hingga batik printing/sablon. Total
produksi rata-rata per hari antara 20 sampai dengan 120 kodi. Unsur-unsur utama pendukung adalah
pemasok bahan baku, pemasaran dan asosiasi.
2. Klaster keramik di Plered, Purwakarta (Jawa Barat); klaster industri barang-barang dari logam di Sukabumi
(Jawa Barat); klaster pengrajin rotan di Cirebon (Jawa Barat); klaster industri tekstil di Pekalongan (Jawa
Tengah) dengan PT Pismatex sebagai salah satu perusahaan pemimpin; klaster industri mebel di Jepara
(Jawa Tengah) (Gambar 4.7) dengan Duta Jepara, Grista Mulya, dan Satin Abadi termasuk sejumlah
perusahaan kunci; klaster industri genteng di Boyolali dan Kebumen (Jawa Tengah) dengan perusahaan-
perusahaan pemimpin antara lain Mas Sokka; dan klaster industri sepatu di Kabupaten Bogor (Jawa Barat).
Ini adalah sejumlah contoh dari klaster-klaster UMKM (di industri manufaktur) yang sangat dinamis
terutama pada era pemerintahan Orde Baru. Faktor-faktor penunjang utamanya adalah keterkaitan yang erat
dengan pasar, seperti grosir dan pedagang keliling dan juga turis asing dan importir dari sejumlah negera,
serta pemasok bahan baku. Juga seperti di Jepara pemdanya sangat aktif membantu perkembangan industri
mebel di sana. Juga interaksi atau kerjasama antar sesama produsen di dalam klaster-klaster tersebut sangat
erat yang dilandasi oleh kepercayaan yang kuat antar sesama mereka. Misalnya, mereka sering melakukan
pertemuan-pertemuan untuk membicarakan berbagai hal yang mempengaruhi bisnis/klaster mereka (Sandee,
dkk. 2000, 2002).
Gambar 4.7 Pengembangan Klaster Industri Mebel (Keunggulan Inti Daerah/OVOP) di Jepara
UB Lembaga Keuangan
Sektor-transportasi.

Sentra Produsen Mebel


Sektor-jasa
UMKMA
UMKMB Interaksi eksternal Pemasok
Interaksi internal/
Departemen horisontal
Lembaga R&D

Lembaga pendidi-
kan/pelatihan Lainnya universitas

3. Lainnya adalah seperti klaster pembuatan rambut palsu dan aksesoris-aksesoris rambut di Purbalingga (Jawa
Tengah) dengan PT. Royal Korindah dan PT. Indo Kores sebagai perusahaan-perusahaan pemimpin; dan
klaster kerajinan di Kasongan dan Sleman (DI Yogyakarta) dengan PT Out of Asia sebagai perusahaan
pemimpin (Supratikno, 2002a).
4. Greater Jakarta, atau Jabodetabek, dan Batam export processing zone.

Di luar negeri
1. Klaster otomotif di Bangkok dan sekitarnya, Thailand. Klaster ini sangat luas, terdiri sejumlah lokasi sub-
klaster atau sentra dan sejumlah perusahaan perakitan dari beberapa merek dunia dan perusahaan perusahaan
pemasok berbagai komponen dalam jumlah yang besar. Sub-sub klasternya adalah Bangkok (3 perakitan
dan 232 pemasok), Samut Sakhon (1 perakitan), Pathum Thani (1 perakitan dan 39 pemasok), Ayutthaya (1
perakitan), Samut Prakan (10 perakitan dan 158 pemasok), Chachoengsao (2 perakitan),
Chon Buri (55 pemasok), dan Rayong (5 perakitan dan 41 pemasok) (Abonyi, 2007).
2. Klaster industri elektronik di Penang, Malaysia,yang berdiri sejak tahun 1970-an. Pada tahun 2007 tercatat
sebanyak hampir 100 ribu orang bekerja di klaster tersebut, yang membuat berbagai produk mulai dari
barang-barang elektronik rumah tangga, alat-alat pendukung mesin, dan komponen-komponen dari
komputer. Satu faktor yang sangat mendorong perkembangan klaster ini adalah kehadiran perusahaan-
perusahaan asing (PMA). Kehadiran mereka itu juga menbuat klaster tersebut terlibat dalam rantai nilai
global dari pembuatan komputer (UNESCAP, 2007).
3. Special economic zones, export processing zones, free trade zones, technology parks, industrial parks,
bonded areas, dll. di banyak negara di dunia.

4.4 Manfaat Pengembangan Klaster Bagi Pembangunan Daerah


Seiring dengan penerapan otonomi daerah, paradigma pembangunan daerah harus juga berubah dari berbasis
hanya pada sumberdaya alam (SDA) dan jumlah tenaga kerja sebagai keunggulan komparatif, yang berakibat
pada eksploitasi SDA dan terbukti tidak berkelanjutan dan beresiko pada rendahnya daya dukung sumberdaya
lingkungan, ke pembangunan berbasis pada kombinasi antara keunggulan kompetitif yang ada dan
pengembangan keunggulan kompetitif dengan faktor kunci yakni sumberdaya manusia (SDM). Kombinasi
antara faktor-faktor keunggulan komparatif dan faktor-faktor keunggulan kompetitif menghasilkan keunggulan
inti daerah yang tidak lain adalah kompetensi inti daerah. Kompetensi atau keunggulan inti daerah
mencerminkan potensi daerah.
Salah satu pendekatan pengembangan potensi atau kompetensi inti daerah adalah lewat yang dikenal dengan
“Satu Desa Satu Produk” (OVOP). Desa disini tidak harus berarti satu desa tetapi juga bisa pada tingkat
kelurahan, atau kecamatan, atau kabupaten,atau bahkan provinsi. Jadi, apabila suatu wilayah, sebut saja Jepara
di Jawa Tengah memiliki potensi untuk mengembangkan industri mebel, karena wilayah tersebut memiliki
keunggulan komparatif (misalnya persediaan kayu, bambu atau rotan sangat banyak) maupun kompeititf
(misalnya, masyarakatnya sudah sangat ahli membuat mebel) untuk mengembangkan sektor tersebut, maka
dapat dikatakan produk mebel adalah produk utama Jepara (keunggulan intinya).
Namun untuk bisa menghasilkan produk-produk mebel berkualitas internasional atau berdaya saing global,
pembangunan industri mebel di Jepara harus dengan pendekatan klaster dengan jaringan-jaringan kerja yang
kuat tidak saja antar sesama produsen mebel tetapi juga antara produsen mebel dengan pemasok bahan baku
kayu, rotan atau bambu, lembaga keuangan, perusahaan eksportir/pemasaran, lembaga litbang, universitas,
lembaga-lembaga pelatihan, transportasi, pemda, dan banyak lagi, yang semua ini membentuk klaster. Dalam
kata lain, pembangunan keunggulan inti daerah, atau OVOP dengan pendekatan klaster adalah suatu strategis
yang paling tepat.

4.5 Faktor-faktor Kunci Penentu Keberhasilan Perkembangan Klaster


Untuk melihat keefektifan klaster sebagai sebuah pendekatan dalam pembangunan UMKM, Bank Indonesia
(BI) bekerjasama dengan PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil) melakukan suatu kajian
untuk memetakan program klaster yang dikembangkan oleh BI dan mitra-mitranya, mengidentifikasi faktor
kunci dan indikator keberhasilan klaster sesuai dengan metode analisis yang ditetapkan, merekomendasikan
aspek/kategorisasi untuk pemberian penghargaan klaster dan panduan/tahapan proses pengembangan klaster
(BI, 2015).
Obyek kajian adalah 15 klaster dan dikelompokkan pada 5 subsektor pertanian, yakni subsektor tanaman
pangan, subsektor hortikultura, subsektor peternakan, subsektor perkebunan, dan subsektor perikanan budidaya,
serta 1 sektor yakni industri pengolahan, dengan rincian sebagai berikut:
(1) klaster cabai merah, Maros (Sulawesi Selatan)
(2) klaster bawang merah, Cirebon (Jawa Barat)
(3) klaster bawang putih, Sembalun (Nusa Tenggara Barat)
(4) klaster paprika, Bandung Barat (Jawa Barat)
(5) klaster padi organic, Oku Timur (Sumatera Selatan)
(6) klaster padi lokal, Barito Kuala (Kalimantan Selatan)
(7) klaster jagung, Timor Timur Utara (NusaTenggara Timur)
(8) klaster kopi, Bondowoso (Jawa Timur)
(9) klaster kakao, Ende (Nusa Tenggara Timur
(10) klaster domba juhut, Pandeglang (Banten)
(11) klaster sapi potong, Semarang (Jateng)
(12) klaster lele, Medan (Sumatera Utara)
(13) klaster rumput laut, Nunukan (Kalimantan Timur)
(14) klaster rotan, Sukoharjo (Jawa Tengah)
(15) klaster komponen kapal, Tegal (Jawa Tengah).
Berdasarkan literatur mengenai perkembangan klaster dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (secara
langsung dan tidak langsung), secara agregat, selain faktor pemerintah (kebijakan), terdapat 16 faktor
keberhasilan dalam pengembangan sebuah klaster. Dalam proses kajian tersebut, ke 16 faktor ini
dikonfirmasikan kepada para responden di ke 15 klaster tersebut, dan Tabel 4.2 menunjukkan rata-rata persepsi
responden terhadap masing-masing faktor tersebut. Dapat dilihat bahwa bagi responden, akses ke pasar output
dan adanya jaringan kerja dan kemitraan, tidak saja antar sesama pelaku usaha di dalam klaster tetapi juga
antara mereka dengan pihak-pihak di luar klaster adalah dua faktor yang paling penting. Memang, terlepas dari
apakah berlokasi di dalam sebuah klaster atau tidak, bagi setiap perusahaan atau unit bisnis, akses ke pasar
(dalam arti ada pembelinya) merupakan faktor terpenting. Tanpa ada akses pasar, walaupun sebuah perusahaan
memiliki segala sumber daya, atau mendapat dukungan/fasilitas dari pemerintah akan tidak ada artinya sama
sekali. Dengan adanya akses pasar, maka adanya jaringan kerja atau kemitraan dalam bentuk apa saja antar
sesama pelaku bisnis di dalam sebuah klaster merupakan kunci utama keberhasilan sebuah klaster. Apa gunanya
membentuk sebuah sentra atau klaster, jika semua pelaku usaha jalan sendiri-sendiri.
Tabel 4.2 Persepsi Responden terhadap 16 Faktor Keberhasilan Pembangunan Klaster
No Faktor Rata-rata persepsi responden
1 Akses pasar 5,5
2 Terdapat jaringan kerja dan kemitraan 5,5
3 Akses informasi (pasar, teknologi) 5,3
4 Terdapat modal sosial yang kuat 5,3
5 Kedekatan dengan pemasok 5,1
6 Terdapat basis inovasi yang kuat (R&D tinggi) 5,1
7 Infrastruktur memadai 5
8 Spesialisasi 5
9 Terdapat kompetensi/keahlian yang kuat 5
10 Kepemimpinan dan visi bersama 5
11 Akses sumber keuangan 4.9
12 Akses jasa pendukung bisnis 4.8
13 Persaingan 4.7
14 Budaya kewirausahaan yang kuat 4.7
15 Akses jasa spesialisasi 4,4
16 Terdapat UB 3,9
Sumber: BI (2015).
Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian BI yang ditunjukkan di Tabel 4.2 tersebut dan ditambah dengan
pentingnya peran pemerintah, khususnya dari aspek kebijakan dan aspek penyediaan infrastuktur, terbentuk
sebuah konsep klaster berkelanjutan, yang terditi atas empat (4) pilar, yaotu prasarana bisnis, SDM klaster,
kelembagaan klaster dan peran pemerintah (Gambar 4.8).
Gambar 4.8 Empat Pilar Klaster Berkelanjutan

Klaster yang
berkembang &
KELEMBAGAAN KLASTER: berkelanjutan SDM KLASTER:
-Modal sosial
-Jaringan kerja & kemitraan -Kompetensi & keahlian yang kuat
-Kepemimpinan & visi bersama -Basis inovasi yang kuat
-Budaya kewirausahaan yang kuat
-Persaingan PRASARANA BISNIS:
-Spesialisasi -Akses pasar
-Akses informasi
-Akses jasa spesialis
-Kedekatan dengan pemasok
-Akses jasa pendukung bisnis
-Akses sumber keuangan
-Terdapat UB

DUKUNGAN PEMERINTAH

Infrastruktur Kebijakan

Sumber: BI (2015).
Lampiran

Program Pengembangan Sektor Riil dan UMKM Melalui Pola Klaster23

Untuk memajukan sektor riil dan UMKM, pemerintah bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) selama
melakukan program pemberdayaan sektor riil dan UMKM melalui pendekatan klaster yang merupakan upaya
untuk mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung dan terkait, jasa
penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, infrastruktur informasi, teknologi, SDA,
serta lembaga terkait. Tujuan dari program ini adalah agar perusahaan-perusahaan, termasuk UMKM, di sektor
riil, khususnya industri pengolahan akan memperoleh manfaat sinergi dan efisiensi yang tinggi dibandingkan
jika bekerja sendiri. Adapun komoditas-komoditas yang dipilih antara lain didasarkan pada kriteria komoditas-
komoditas yang menjadi sumber tekanan inflasi, komoditas-komoditas yang berorientasi ekspor, dan
komoditas-komoditas unggulan daerah ("OVOP"). Program tersebut terdiri dari sejumlah kegiatan konkrit
seperti membantu meningkatkan pasokan, memperbaiki jalur distribusi, mendukung penciptaan iklim usaha
yang kondusif.
Sejak tahun 2007 hingga tahun 2014 BI sendiri sudah membantu 134 klaster di seluruh kantor perwakilan BI di
semua wilayah di tanah air dengan memberikan berbagai macam fasilitasi, termasuk bentuk bantuan teknis.
Komoditas yang didukung meliputi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan serta industri
pengolahan. Kriteria pemilihan klaster berdasarkan komoditas yang menjadi sumber tekanan inflasi maupun
komoditas unggulan di masing-masing wilayah.
Berikut ini beberapa klaster UMKM binaan BI dan pemerintah di beberapa provinsi di Indonesia:

1. Klaster Opak Ubi Kayu di Kabupaten Serdang Bedagai - Provinsi Sumatera Utara
2. Klaster Emping Melinjo di Kabupaten Pandeglang - Provinsi Banten
3. Klaster Paprika di Kabupaten Bandung - Provinsi Jawa Barat
4. Klaster Mebel Rotan di Kabupaten Sukoharjo - Provinsi Jawa Tengah
5. Klaster Alas Kaki di Kabupaten Mojokerto - Provinsi Jawa Timur
6. Klaster Rumput Laut di Kabupaten Lombok Tengah - Provinsi Nusa Tenggara Barat
7. Klaster Jamur Merang di Kabupaten Bantul - D. I. Yogyakarta
8. Klaster Rumput Laut di Kabupaten Bangka Selatan - Provinsi Sumatera Selatan
9. Klaster Emping Melinjo di Kabupaten Pidie - Provinsi Aceh
10. Klaster Sapi Potong di Kabupaten Langkat - Provinsi Sumatera Utara
11. Klaster Bordir dan Konveksi di Kabupaten Pedurenan - Provinsi Jawa Tengah
12. Klaster Kacang Tanah - Provinsi Nusa Tenggara Barat
13. Klaster Budidaya Tanaman Tomeo - Provinsi Nusa Tenggara Barat
14. Klaster Pengolahan Ikan Cakalang Fufu - Provinsi Sumatera Utara
15. Klaster Industri Kelapa - Provinsi Sumatera Utara
16. Klaster Bordir Tasikmalaya - Provinsi Jawa Barat
17. Klaster Rumput Laut di Kabupaten Sumba Timur, Kupang
18. Klaster Jagung dan Kapas, Kupang
19. Klaster Penggemukan Sapi, Kupang
20. Klaster Rumput Laut, Surabaya
21. Klaster Rumput Laut, Samarinda
22. Klaster Kelapa Olahan, Kendari

23
Http://www.bi.go.id/id/umkm/klaster/pengembangan/Contents/Default.aspx.
23. Klaster Rumput Laut, Kendari
24. Klaster Penyulingan Minyak Cengkeh, Kendari
25. Klaster Ikan Mas, Medan
26. Klaster Kepiting Lunak, Medan
27. Klaster Jagung, Medan
28. Klaster Jeruk Siam Patola, Banjarmasin
29. Klaster Pengembangan Minyak Atsiri di Kabupaten Banyumas, Purwokerto
30. Klaster Peternakan Sapi, Kulon Progo, Yogyakarta
31. Klaster Kambing Bligon, Yogyakarta
32. Klaster Batik Donggala, Palu
33. Klaster Karet, Jambi
34. Klaster Pengolahan Ikan teri Kering, Bandar Lampung
35. Klaster Meubel Klender, Jakarta Timur
36. Klaster Tanaman Obat - Provinsi Jawa Tengah
37. Klaster Cabai Merah - Provinsi Jawa Barat
38. Klaster Tas Bordir Motif Aceh - Lhokseumawe
39. Klaster Sayuran Batam - Provinsi Kepulauan Riau
40. Klaster Cabe Merah, Bandar Lampung
41. Klaster Jagung Pipilan, Provinsi Aceh
42. Klaster Ikan Bandeng, Papua
43. Klaster Bahan Olahan Karet, Provinsi Jambi
44. Klaster Sapi Perah, Semarang
45. Klaster Ayam Ras, Tasikmalaya
46. Klaster Bokar, Banjarmasin
47. Klaster Sayuran Pakcoy, Cirebon
48. Klaster Campuran, Medan

Anda mungkin juga menyukai