FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Pengertian
3. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
MODEL KEMITRAAN USAHA BISNIS
A.
B.
C.
D.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
2. Daftar Pustaka
LATAR BELAKANG
Kemitraan di negara-negara yang telah lebih maju itu adalah karena kemitraan usahanya
terutama didorong oleh adanya kebutuhan dari pihak-pihak yang bermitra itu sendiri, atau
diprakarsai oleh dunia usahanya sendiri sehingga kemitraan dapat berlangsung secara
alamiah. Hal ini dimungkinkan mengingat iklim dan kondisi ekonomi negara mereka seperti
Korea Selatan, Jepang dan Taiwan dan sebagainya telah cukup memberikan rangsangan ke
arah kemitraan yang berjalan sesuai dengan kaidah ekonomi yang berorientasi pasar.
Sebagai suatu strategi pengembangan usaha kecil, kemitraan telah terbukti berhasil
diterapkan di banyak negara, antara lain di Jepang dan empat negara macan Asia, yaitu Korea
Selatan, Taiwan, Jepang, dan sebagainya. Di negara-negara tersebut kemitraan umumnya
dilakukan melalui pola sub kontrak yang memberikan peran kepada industri kecil dan
menengah sebagai pemasok bahan baku dan komponen industri besar.
Oleh karena itu, demi kemajuan suatu kemitraan di Negara Indonesia sendiri, maka makalah
ini dibuat agar dapat memberi kejelasan secara pasti mengenai kemitraan usaha agar dapat
diterapkan secara nyata dan konkret.
yang
bermitra
dan
karenanya
menguntungkan
semua
pihak
yang
bermitra.Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien
dan produktif. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut
mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang
dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan
kelincahan usaha kecil.
Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan
dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep
sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan.
Oleh karena itu, demi kemajuan suatu kemitraan di Negara Indonesia sendiri, maka makalah
ini dibuat agar dapat memberi kejelasan secara pasti mengenai kemitraan usaha agar dapat
diterapkan secara nyata dan konkret.
Implementasi Inti-Plasma
Untuk mewujudkan kemitraan antara pihak inti dan plasma, melalui 5 tahap yaitu tahap
pertama, pembangunan kebun inti beserta fasilitas kantor oleh pihak perusahaan inti. Khusus
di Aceh, PT. Perkebunan Nusantara I Langsa mempunyai kebun inti untuk komoditas karet
dan kelapa sawit. Tahap kedua, membangun kebun plasma. Dalam pembangunan kebun
plasma, pihak perusahaan perkebunan mengunakan petani plasma sebagai tenaga kerja
dimana pada tahap ini proses alih teknologi mulai diperkenalkan. Tahap ketiga, membangun
lahan pangan dimana lahan pangan ini diandalkan sebagai sumber pendapatan sampingan
bagi petani plasma sebelum tanaman utama menghasilkan. Hal ini dilakukan mengingat
tanaman perkebunan mulai menghasilkan tiga tahun setelah tanam. Jadi pada tahap
menunggu tanaman utama menghasilkan petani memperoleh pendapatan dari tanaman
pangan seperti padi dan kacang-kacangan. Tahap keempat, membangun perumahan dan
fasilitas umum. Penyediaan fasilitas tersebut untuk mewujudkan sebuah kawasan dimana
petani plasma dapat hidup dengan layak sebagaimana dialami juga oleh masyakarakat di
perkotaan. Dengan kata lain, pada kawasan pengembangan tersebut dapat menjadi sebuah
kawasan agropolitan (kota pertanian) dengan segala fasilitas yang dimiliki sebagaimana
layaknya fasilitas yang ada di perkotaan. Tahap kelima, pembinaan yaitu kegiatan yang
dilakukan semenjak pembangunan kebun plasma sampai pada tahap kebun di konversikan
kepada petani plasma. Hal ini dilakukan setelah seluruh komponen kredit yang menjadi
kewajiban petani plasma dilunasi. Bentuk konkrit dari keberhasilan pembinaan yang
dilakukan adalah petani plasma telah dapat mengadopsi budaya kebun dengan segala bentuk
manajemen dari perusahaan inti kepada petani plasma. Keuntungan kemitraan inti plasma
yang terpenting adalah adanya kesinambungan usaha baik bagi pihak inti maupun plasma.
Pada satu sisi, petani plasma terus dapat memasok hasil produksi kepada inti yang tentunya
memiliki pabrik pengolahan dengan teknologi canggih dan investasi yang besar yang sukar
dilaksanakan oleh petani plasma.
Pertama, centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana
sponsor membeli produk dari para petani dan kemudian memprosesnya atau
mengemasnya dan memasarkan produknya.
Kedua, nucleus estate model, yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model
ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang biasanya
dekat dengan pabrik pengolahan.
Ketiga, multipartite model, yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan
swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani.
pertama tipe kemitraan inti plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra bertindak sebagai plasma inti.
Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal a) penyediaan dan penyiapan
lahan (kandang), b) pemberian saprodi (sapronak), c) pemberian bimbingan teknis
manajemen usaha dan produksi, d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi,
e) pembiayaan, dan f) bantuan lain seperti efisiensi dan produktifitas usaha.
Kedua tipe sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan
perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan
oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
Ketiga tipe dagang umum, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan
perusahaan mitra, dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra
sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Keempat pola kerjasama operasional,
yaitu kelompok mitra menyediakan modal dan atau sarana untuk
mengusahakan/budidaya.
memberikan kesempatan kerja yang lebih baik bagi anggota keluarga dan secara tidak
langsung, pendayagunaan perempuan serta pengembangan dari budaya berniaga yang
berhasil.
Dilihat dari pihak perusahaan, terdapat beberapa manfaat dengan adanya sistem contract
farming dengan peternak kecil. Manfaat yang paling penting adalah mereka memperoleh
akses untuk mendapatkan buruh dan kandang yang lebih murah untuk menumbuhkan produk
peternakan yang bernilai tinggi. Perusahaan dapat ikut serta dalam pasar di mana biasanya
mereka tidak diikutsertakan dan meminimalisir biaya dengan tidak membeli kandang sendiri
atau secara langsung menyewa buruh. Pasokan bahan mentah dapat terjaga dengan batasan
yang rasional dan memiliki kendali terhadap dasar produksi dan perlakuan pasca panen.
Selain itu perusahaan juga memiliki kendali terhadap kualitas produk dan memiliki
kesempatan memperoleh dan memperkenalkan jenis bibit ternak baru serta peningkatan
kemungkinan pemenuhan kebutuhan konsumen secara spesifik.
Patrick dan Daryanto (2004) dalam bukunya Contract Farming in Indonesia: Smallholder and
Agribusiness Working Together memberikan contoh contract farming di bidang peternakan
yang dilakukan oleh PT Charoen Pokphand yang dimulai pada tahun 1998 di Lombok.
Kerjasama dilakukan dengan peternak yang mengusahakan ayam broiler. Pilihan bagi ayam
broiler menjadi sangat menguntungkan bagi peternak dengan penghasilan yang bisa mencapai
lima kali lipat dibandingkan dengan penghasilan peternak bukan kontrak. Biaya untuk
produksi daging ayam sangat tinggi dan peternak menerima uang muka dari perusahaan
untuk membeli pakan dan keperluan lain untuk mengatasi keterbatasan kredit. Resiko dan
rendahnya produksi dan rendahnya harga ditanggung oleh perusahaan. PT Indomilk juga
menjalankan kerjasama dengan tipe inti plasma dimana antara peternak dan industri pengolah
susu berusaha menjaga keseimbangan posisi tawar sehingga kebutuhan akan persediaan susu
segar dapat terpenuhi secara kontinyu.
PERMASALAHAN
Contract farming yang telah berjalan di beberapa daerah umumnya menunjukkan hasil yang
positif, namun demikian beberapa permasalahan sering terjadi baik dari pihak peternak
maupun pihak perusahaan. Terdapat banyak peternak yang belum mampu menghasilkan
produk yang diinginkan perusahaan. Peternak tidak mampu mengembalikan pinjaman input
dan kredit akibat kegagalan produksi, deduksi finansial atau tidak adanya jaminan harga dari
pihak industri pengolahan dan tidak jarang melanggar kontrak dengan menjual hasil
produksinya pada pesaing perusahaan sponsor (inti).
Selain itu terdapat pula keprihatinan bahwa contract farming lebih berminat terhadap
peternak berskala besar sehingga dengan demikian peternal kecil kurang dilibatkan dalam
proses pengembangannya lebih lanjut. Kecemasan-kecemasan lainnya ialah adanya
kemungkinan bahwa peternak kecil akan terperangkap dalam suatu kontrak dan perilaku
negatif perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara berkembang.
Untuk posisi perusahaan, mencari peternak kecil yang layak dan memilih peternak kecil yang
lebih baik memerlukan biaya transaksi yang cukup tinggi. Hal tersebut membatasi perusahaan
untuk terhubung dengan peternak kecil. Perusahaan sulit mempertahankan dan mengawasi
kualitas peternak karena jumlah peternak kecil yang begitu banyak. Kehadiran dari lembagalembaga pelengkap, seperti organisasi peternak kecil, sangat penting sekali sebagai mediasi
antara peternak dengan perusahaan.
Alternatif penyediaan dana pinjaman bagi sektor pertanian, dapat digunakan model Koperasi
pertanian, dimana koperasi ini menyediakan fasilitas Simpan Pinjam yang berbasis usaha
tani, serta koperasi bersangkutan menyediakan pula sarana produksi pertanian dan sekaligus
sebagai pasar hasil produksi pertanian. Diharapkan melalui koperasi pertanian hambatan
pendanaan bagi proses produksi, hambatan kekurangan sarana produksi dan hambatan
kemacetan distribusi sarana produksi (pupuk dll), dan distribusi hasil produksi dapat
dipecahkan secara menyeluruh.
Koperasi pertanian dalam operasionalnya harus bekerjasama dengan lembaga keuangan yang
menyediakan dana pinjaman murah, dan/atau melakukan hubungan langsung dengan Bank
Indonesia dalam upaya penyaluran kredit program usaha tani, demikian pula koperasi
pertanian harus melakukan hubungan langsung dengan perusahaan yang memproduksi sarana
produksi (baik peralatan pertanian, perlengkapan usaha tani, benih, pupuk dan lainnya) dan
dengan perusahaan yang memerlukan hasil produksi pertanian sebagai bahan baku
industrinya, serta koperasi berfungsi sebagai pemasok hasil produksi ke pasar tradisional
maupun pasar modern.
Koperasi pertanian yang kokoh dan didukung dengan kebijakan pemerintah yang konsisten,
akan meningkatkan kesejahteraan petani disamping akan memperbaiki perekonomian bangsa
secara keseluruhan, disamping akan menghilangkan panjangnya distribusi sarana produksi
pertanian maupun distribusi hasil produksi pertanian.
tentang
pengembangan
Perkebunan
Melalui
Program
bagi
petani
plasma
kelapa
sawit.
Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang di lakukan oleh perusahaan
baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan
mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan. Seolah olah petani plasma sebagai
Bos.
Tetapi jika di kaji lebih jauh pola manajemen satu atap tidak memberikan kesejahteraan bagi
petani plasma. Pola manajemen satu atap di mana kebun plasma di kelola seluruhnya oleh
perusahaan inti, tidak memberdayakan petani kelapa sawit hingga pada pengaturan skema
kredit yang mahal.
Alih-alih
petani
menjadi
Bos
malah
semakin
melarat.
Lebih jauh, pola kehidupan petani serta merta berubah menjadi individualistis tidak ada
lagi yang katanya gotong-royong yang menjadi ciri masyarakat kita. Sebelumnya dengan pola
kemitraan antara inti dan plasma yang dinaugi koperasi petani selalu bergotong-royong dalam
pekerjaan mulai dari merawat, memanen dan mengambil hasil sehingga pola kekerabatan
petani semakin erat. Prinsip serta peran Koperasi serta merta dinililkan oleh pengusaha. Kita
sering mendengar slogan dari anggota untuk anggota, sekarang telah berubah menjadi
dari
anggota
(petani)
untuk
pengusaha
ironis
bukan?
Para petani yang ingin menambah penghasilannya terkadang harus rela menjadi kuli di
tanah sendiri dengan upah harian berdasarkan hari kerja sanggat kontra dengan UndangUndang Tenaga Kerja seperti diatur dalam Undang Undang Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003
Pasal 88.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kemitraan merupakan salah satu instrumen yang strategis bagi pengembangan usaha kecil,
tetapi ini tidak berarti bahwa semua usaha kecil bisa segera secara efektif dikembangkan
melalui kemitraan. Bagi pengusaha informal atau yang sangat kecil skala usahanya dan
belum memiliki dasar kewirausahaan yang memadai, kemitraan dengan usaha besar belum
tentu efektif karena belum tercipta kondisi saling membutuhkan. Yang terjadi adalah usaha
kecil membutuhkan usaha besar sedangkan usaha besar tidak merasa membutuhkan usaha
kecil. Usaha kecil yang demikian barangkali perlu dipersiapkan terlebih dahulu, misalnya
dengan memperkuat posisi transaksi melalui wadah koperasi atau kelompok usaha bersama
(prakoperasi) dan pembinaan kewirausahaan.
Dengan memahami berbagai aspek kewirausahaan dan bergabung dalam wadah koperasi,
usaha-usaha yang sangat kecil atau informal tersebut secara bersama-sama akan memiliki
kedudukan dan posisi transaksi yang cukup kuat untuk menjalin kemitraan yang sejajar,
saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dengan usaha besar
mitra usahanya.
Daftar Pustaka
http://pusatkajian.blogspot.co.id/2011/06/manajemen-satu-atap-produktivitas.html
https://ariefdaryanto.wordpress.com/2007/09/23/contract-farming-sebagai-sumberpertumbuhan-baru-dalam-bidang-peternakan/