Anda di halaman 1dari 5

INBIFCO STRATEGY BASED PENTAHELIX SEBAGAI LANGKAH UNTUK

MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAWIT RAKYAT

Oleh: Siswantoro

Indonesia menjadi negara yang menggantungkan perekonomiannya melalui


kelapa sawit. Sebagai salah satu negara tropis terluas, tanah dan iklim Indonesia dinilai
cocok untuk ditanami kelapa sawit. Data dari Direktorat Jenderal Pekerbunan Kelapa
Sawit menyebut pada 2019, luas pekerbunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,68
juta hektare, bertambah 50 kali lipat jika dibandingkan tahun 1980. Menurut data
Kementerian Pertanian, produksi kelapa sawit (minyak sawit dan inti sawit) telah
mencapai 48,68 juta ton pada 2018. Jumlah ini terdiri dari 40,57 juta ton minyak kelapa
sawit (crude palm oil-CPO) dan 8,11 juta ton minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO).
Pekerbunan besar swasta menjadi pemasok produksi kelapa sawit terbesar dengan jumlah
29,39 juta ton (60%), diikuti pekerbunan sawit rakyat 16,8 juta ton (35%) dan pekerbunan
besar negara 2,49 juta ton (5%).
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat sebanyak 70%
produksi kelapa sawit telah diekspor ke pasar global, sementara 30% sisanya menjadi
konsumsi dalam negeri. Dengan didukung oleh potensi yang cukup besar tersebut, tidak
mengherankan jika nilai sumbangan devisa minyak kelapa sawit Indonesia pada 2018
menyentuh angka USD 20,54 milyar atau Rp 289 triliun. Selain menjadi penyumbnag
devisa bagi negara dengan nominal yang sangat besar, industri kelapa sawit juga berhasil
menyediakan lapangan pekerjaan yang luas. Data Kementerian Pertanian pada 2019
menyebutkan bahwa sebanyak 41% jumlah pekerbunan kelapa sawit yang dikelola
masyarakat telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi 2,3 juta orang.
Meski memiliki potensi yang cukup menggiurkan, industri kelapa sawit ternyata
memiliki sejumlah masalah klasik yang belum terpecahkan, salah satunya adalah kualitas
sumber daya petani yang masih rendah. Menurut GAPKI, produktivitas para petani sawit
di Indonesia cenderung masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia
yaitu hanya sekitar 2-3 ton/hektare/tahun. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan kemampuan petani dalam mengelola kebun, padahal petani Indonesia
memiliki kebun yang jauh lebih luas.
Pemerintah sebenarnya sudah menyadari akan permasalahan mengenai rendahnya
produktivitas kelapa sawit petani. Untuk itu, pada 2016 pemerintah di bawah
Kementerian Keuangan membentuk badan independen bernama Badan Pengelola Dana
Pekerbunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa
program BPDPKS yang menjadi fokus lembaga di antaranya adalah pengembangan
sumber daya para petani, penelitian dan pengembangan, hilirisasi industri perkebunan
kelapa sawit dan penyedian dan pemanfaatan bahan bakar nabati. Diharapkan, melalui
program-program ini kuantitas dan kualitas sawit para petani dapat ditingkatkan.
Adanya program-program dari BPDPKS tentunya membawa “angin segar” bagi
para petani sawit, karena akan dapat membantu mereka khususnya dalam hal dana
sehingga memberikan dampak pada peningkatan kuantitas produksi sawit rakyat. Namun,
berbagai program tersebut dinilai kurang efektif karena belum 100% terimplementasi
sepenuhnya. Hal ini dikarenakan rendahnya partisipasi dari pihak lain untuk mewujudkan
program ini sehingga cenderung hanya mengandalkan peran pemerintah. Padahal, segala
program, rencana dan fasilitas yang telah disediakan pemerintah tidak berarti apapun,
apabila seluruh komponen tidak serta merta berkontribusi dalam program-program
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan strategi gotong royong yang tepat untuk menjawab
segala permasalahan yang ada.
INBIFCO (Incubator Big One Integrated Folk Company) Strategy adalah
alternatif solusi yang ditawarkan penulis untuk mengatasi masalah rendahnya
produktivitas sawit rakyat. Sesuai dengan namanya, strategi ini akan memanfaatkan
konsep inkubator sebagai alat dalam menjalankan program. Konsep inkubator sendiri
merupakan mekanisme di mana lembaga atau perusahaan besar membuat sebuah program
binaan kepada para pengusaha pemula dengan tujuan untuk mempercepat pengembangan
bisnis (Budiyanto et al, 2017). Dalam kasus ini, konsep inkubator tidak diterapkan kepada
pengusaha yang baru merintis, melainkan ke para petani sawit yang sejak awal sulit untuk
mengembangkan usahanya. Dalam arti yang lebih sederhana, perusahaan besar (big one)
kelapa sawit di Indonesia didorong untuk menggandeng para petani (folk company) sawit
untuk meluaskan usahanya.
Dalam rangka untuk mempercepat keberhasilan konsep ini, diperlukan adanya
elemen-elemen bisnis lainnya yang seharusnya didukung oleh berbagai pihak. Elemen-
elemen tersebut mencakup permodalan, fasilitas, pelatihan, bimbingan, pengembangan
dan penelitian serta promosi. Untuk meraih berbagai elemen ini, sulit rasanya apabila
hanya membebankan kepada perusahaan besar sebagai pelaksana program inkubator,
sehingga diperlukan berbagai pihak untuk melengkapi elemen-elemen yang lainnya. Atas
dasar alasan inilah, program ini akan diintegrasikan dengan peran serta lima pihak yang
tergabung dalam lingkup pentahelix.
Pentahelix atau bisa disebut juga sebagai multipihak merupakan gabungan dari
lima kekuatan utama yaitu pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat
atau komunitas dan media yang bersatu padu untuk berkoordinasi serta berkomitmen
dalam melaksanakan sebuah program (Yunas, 2019). Dalam kasus ini, pemerintah akan
diwakili oleh Kementerian Pertanian dan BPDPKS sebagai pengatur segala regulasi
terkait kelapa sawit dan penyedia dana. Sementara, perusahaan besar merupakan
representasi dari badan atau pelaku usaha dan petani sawit adalah masyarakat itu sendiri.
Mekanisme strategi INBIFCO berbasis pentahelix digambarkan sebagai berikut:

Perusahaan
2 5
Besar

INBIFCO STRATEGY 4

1 4
Pemerintah Petani Sawit Akademisi

Media

3
Setiap poin dalam mekanisme INBIFCO strategy dijelaskan sebagai berikut:
1. Kementerian Pertanian dapat menyusun regulasi terkait program inkubator bisnis
yang ditujukan kepada perusahaan besar sebagai pelaksana program inkubator.
2. BPDPKS dapat menganggarkan dana untuk mendukung permodalan petani kelapa
sawit, memberikan insentif harga pupuk yang terjangkau dan fasilitas-fasilitas lainnya
yang dibutuhkan petani.
3. BPDPKS juga dapat mengalokasikan dana yang ditujukan kepada akademisi di
universitas-universitas agar dapat melakukan pengembangan dan penelitian terkait
kelapa sawit.
4. Perusahaan besar dan akademisi melakukan program pendampingan, edukasi dan
pelatihan kepada para petani sawit selama kurang lebih 6 bulan. Dalam langkah ini,
para petani akan mendapatkan ilmu yang lebih baik terkait pengelolaan kebun, inovasi
pengolahan kelapa sawit, pembibitan dan promosi serta penjualan dari perusahaan
besar sehingga diharapkan produktivitas mereka dapat ditingkatkan.
5. Perusahaan besar berkolaborasi dengan akademisi dapat melakukan penelitian dan
pengembangan kelapa sawit. Penelitian dan pengembangan ini penting dilakukan
untuk mengetahui perkembangan industri kelapa sawit dalam beberapa tahun ke
depan baik dari hasil olahan berupa produk atau komposisi kelapa sawit itu sendiri.
6. Media-media di Indonesia dalam berbagai platform seperti media berita online, media
sosial seperti Instagram, Facebook atau bahkan E-commerce dapat berperan serta
dalam mempromosikan produk-produk olahan kelapa sawit para petani di daerah.
Upaya promosi ini penting dilakukan agar kelapa sawit dan produk olahannya dapat
dikenal luas di kalangan masyarakat sehingga penjualan dapat ditingkatkan.
Program ini memiliki kekuatan utama yang membuatnya layak untuk diimplementasikan
ke depan. Kekuatan tersebut berasal dari sisi jumlah perusahaan pekerbunan sawit besar
yang tergolong cukup banyak di Indonesia, bahkan perusahaan perkebunan besar kelapa
sawit menempati posisi pertama dengan jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan
pekerbunan lainnya. Data Badan Pusat Statistik pada 2016 menyebut jumlah perusahaan
pekerbunan kelapa sawit mencapai 1592 perusahaan. Banyaknya jumlah perusahaan
besar kelapa sawit menjadi kekuatan sendiri, karena perusahaan besarlah yang akan
memainkan peran sebagain inkubator kepada para petani sawit.
Sebelum mengimplementasikan program ini, pemerintah perlu melakukan
pertemuan dan diskusi kepada pihak-pihak yang terlibat secara komprehensif. Sosialisasi
terhadap mekanisme program ini perlu dilakukan ke depan untuk membangun koordinasi
yang kuat, memantapkan tujuan serta membangun komitmen atas kepentingan bersama.
Karena untuk mewujudkan berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas sawit rakyat, tidak hanya cukup mengandalkan peran pemerintah saja,
melainkan semua pihak harus turun tangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Daftar Pustaka
Tim Riset dan Publikasi Katadata.co.id. 2019. "Kelapa Sawit Sebagai Penopang
Perekonomian Nasional". Dapat diakses melalui:
https://katadata.co.id/timrisetdanpublikasi/berita/5e9a4e6105c28/kelapa-sawit-
sebagai-penopang-perekonomian-nasional. Diakses pada 12 September 2021
Pukul 10:03 WIB.
Bisnis.com. 2021. “Penyebab Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia Kalah dari
Malaysia”. Dapat diakses melalui:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210129/99/1349409/penyebab-produktivitas-
kelapa-sawit-indonesia-kalah-dari-malaysia. Diakses pada 12 September 2021
Pukul 11:31 WIB.
Budiyanto, H., Suprapto, A., & Poerwoningsih, D. (2017, September). Program
pengembangan kewirausahaan dalam bentuk inkubator bisnis di perguruan tinggi
bagi mahasiswa pemilik usaha pemula. In Seminar Nasional Sistem Informasi
(Senasif) (Vol. 1, No. 1, pp. 385-394).
Yunas, N. S. (2019). Implementasi Konsep Penta Helix dalam Pengembangan Potensi
Desa melalui Model Lumbung Ekonomi Desa di Provinsi Jawa Timur. Matra
Pembaruan: Jurnal Inovasi Kebijakan, 3(1), 37-46.
Badan Pusat Statistik. 2017. Jumlah Perusahaan Perkebunan Besar Menurut Jenis
Tanaman 2015-2016. Dapat diakses di: https://bps.go.id/. Diakses pada 13
September 2021 Pukul 14:51 WIB.

Anda mungkin juga menyukai