Anda di halaman 1dari 13

KELOMPOK I

PEMBANGUNAN PERTANIAN

“KEMITRAAN PIR (PERUSAHAAN INTI RAKYAT)

DAN PERUSAHAAN INTI PLASMA”

Disusun Oleh :
HABIBURRAHMAN D1B017142
MELISA HERLINA PUTRI D1B018068
MALA SARI D1B018070
SILFIA FEBRIANI D1B018072
FIRNA AMIN SUSANTI D1B018076
FRISKA MARISI BR HUTASOIT D1B018078

Dosen Pengampu :
Dr. Ir. SAAD MURDY, M.Si.

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmatnya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.

Terimakasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang besifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… 10

DAFTAR ISI …………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang …………………………………………………………… 1
2.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………... 2
2.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kemitraan dan Plasma …………………………………………………..... 3
2.2 Perkebunan Inti Plasma …………………………………………………... 4
2.3 Konsep serta Hak PIR dan Plasma ……………………………………….. 5
2.4 Sejarah Pelaksanaan Pola PIR di Indonesia ……………………………… 5
2.5 Skema Kemitraan Asian Agri dan Dengan Petani Plasma ……………….. 6

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 9

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai kelembagaan kemitraaan telah dikembangkan pada komoditas
pertanian, namun sebagaian besar belum menunjukkan kinerja optimal, kecuali pada
sebagian komoditas perkebunan, khususnya kelapa sawit. Keberhasilan komoditas ini,
disebabkan oleh beberapa factor, antara lain adalah komoditas ini memiliki pasar yang
luas, dan adanya pengembangan pabrik pengolahan (Erwidodo, 1995).

Ada beberapa kelembagaan kemitraan yang aktivitasnya berkaitan dengan


usaha perkebunan kelapa sawit rakyat, seperti pola PIR - BUN. Pola ini pada awalnya
merupakan strategi dan upaya pengintegrasian struktur usaha perkebunan besar dan
perkebunan rakyat (petani kecil), yang disebut Nucleus Estate Smallholder (NES).
Kemudian istilah tersebut berubah menjadi Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan
(PIRBUN), dan disusul PIR Transmigrasi. Dalam SK Mentan
No.940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian
dikemukakan tentang pola-pola kemitraan usaha yang dapat dilaksanakan, antara lain
pola: (1) pola inti-plasma, (2) pola kemitraan subkontrak, (3) pola dagang umum,(4)
pola kemitraan keagenan, dan (5) bentuk lain seperti : pola kerjasama operasional
agribisnis (KOA). Pola inti plasma merupakan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra, yang di dalamnya kelompok mitra memproduksi komponen
yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksi. PIR-BUN adalah
bentuk pengusahaan perkebunan dimana perusahaan bermodal besar dan memiliki
sistem manajemen yang mapan. Perusahaan mitra ini sebagai inti yang fungsinya
membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma
(Mudiyono, 2006). Antara inti dan plasma diharapkan terjalin kerjasama yang saling
menuntungkan, utuh dan berkesinambungan. Perusahaan mitra memasarkan hasil
produksi kelompok mitra, atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan
perusahaan mitra (Sutawi,2008). Pada dasarnya pola kelembagaan kemitraan ini
adalah jual beli. Pola keagenan merupakan bentuk kelembagaan kemitraan yang
terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau petani. Pihak pengusaha
mitra (perusahaan besar) memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk
memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh perusahaan besar mitra.

1
Para Pihak-pihak yang bermitra terdapat kesepatan tentang target-target yang harus
dicapai dan besarnya fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan
produk.

Namun demikia kelembagaan kemitraaan usaha kebun milik desa dan


perusahaan mitra belum banyak dikaji. Pada hal, saat ini usaha milik desa sudah mulai
bertumbuh kembang dengan pesat diberbagai desa. Usaha kebun milik desa
sebagaimana diharapkan sebagai usaha desa memiliki potensi besar untuk ;
memberikan sumber pendapatan asli desa,dan pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah desa, mendorong,menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong
royong masyarakat dalam pembangunan desa, memberikan dan meningkatkan
penghasilan tetap bagi aparat desa guna meningkatkan prestasi kerja dalam rangka
mewujudkan suatu pemerintahan desa yang berdaya guna dan berhasil guna,
merupakan contoh bagi masyarakat bagaimana mengolah lahan pertanian/ perkebunan
yang sesuai dengan syarat-syarat teknis di bidang pertanian/perkebunan,
direalisasikan melalui peningkatan pendapatan dan kekayaan desa.

1.2 Rumusan Masalah


- Apa itu Kemitraaan dan Plasma ?
- Bagaimana Perkebunan Inti Rakyat (PIR) ?
- Seperti Apa Konsep serta Hak PIR dan Plasma ?
- Bagaimana Sejarah Pelaksanaan Pola PIR di Indonesia ?
- Bagaimana Skema Kemitraan Asian Agri dan Dengan Petani Plasma ?

1.3 Tujuan Penulisan


- Mengetahui apa itu Kemitraan dan Plasma
- Mengetahui bagaimana Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
- Mengetahui Konsep serta Hak PIR dan Plasma
- Mengetahui Ssejarah Pelaksanaan Pola PIR di Indonesia
- Mengetahui Skema Kemitraaan Asian Agri dan Dengan Petani Plasma

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kemitraan dan Plasma


Kemitraan adalah pengembangan perkebunan dengan menggunakan
perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di
sekitarnya atau plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan,
utuh, dan berkesinambungan. Skema kemitraan ini disebut sebagai Perusahaan Inti
Rakyat (PIR).
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013, terdapat tiga
macam Perusahaan Inti Rakyat.
 Perusahaan Inti Rakyat – Perkebunan selanjutnya disebut PIR-BUN
 Perusahaan Inti Rakyat – Transmigrasi selanjutnya disebut PIR-TRANS
 Perusahaan Inti Rakyat – Kredit Koperasi Primer untuk Anggota
selanjutnya disebut PIR-KKPA

PIR-BUN adalah pola umum PIR atau kemitraan yang dilakukan antara
perkebunan besar negara atau swasta dengan plasma. PIR-TRANS merupakan pola
kemitraan yang dikaitkan dengan program transmigrasi, seperti yang terjadi pada
tahun 1980-an masa Orde Baru. Sedangkan PIR-KPPA dalam perkebunan adalah
program kemitraan pemberian kredit kepada koperasi primer atau kelompok tani
untuk pembangunan kebun petani anggota koperasi primer atau anggota kelompok
tani.

Apa itu Plasma?

Wilayah plasma adalah wilayah pemukiman dan usaha tani yang


dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanaan proyek Perusahaan Inti
Rakyat (PIR) yang meliputi pekarangan, perumahan, dan kebun plasma.

Kebun plasma sendiri adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh
perusahaan inti dengan tanaman perkebunan. Sedangkan petani plasma atau petani
peserta proyek PIR atau petani peserta adalah petani yang ditetapkan sebagai
penerima pemilikan kebun plasma dan berdomisili di wilayah plasma.

3
Apa Latar Belakang dan Tujuan Program Perusahaan Inti Rakyat?

 Latar Belakang

Program Perusahaan Inti Rakyat atau kemitraan merupakan hasil dari Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang perkebunan dengan pola perusahaan inti
rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi yang dikenal dengan PIR-Trans.

Sementara itu, PIR-KPPA didasarkan pada keputusan bersama Menteri


Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor
73/kpts/KB.510/2/1998 dan Nomor 01/SKB/M/11/98.

 Tujuan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi non migas.


Meningkatkan standar hidup petani, melalui peningkatan hasil produksi yang
kemudian berdampak pada pendapatan mereka. Selain itu, program ini juga bertujuan
agar para petani dapat lebih produktif melalui pembinaan produksi, dan tata cara
pengelolaan perkebunan yang baik.

2.2 Perkebunan Inti Rakyat (PIR)

Perkebunan Inti Rakyat (PIR) adalah pola pengembangan perkebunan rakyat


di wilayah lahan bukaan baru dengan perkebunan besar sebagai inti yang membangun
dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem
kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkelanjutan. Perkebunan inti
rakyat merupakan salah satu bentuk dari pertanian kontrak (bahasa Inggris: contract
farming). Perkebunan inti sering dikombinasikan dengan program transmigrasi,
seperti di Indonesia dan Papua Nugini, untuk tanaman perkebunan seperti kelapa
sawit, karet, teh, dan lainnya. Pembangunan sarana pengolahan serta fasilitas umum
seperti jalan, sekolah, rumah ibadah, klinik, dan lainnya termasuk dalam proyek
perkebunan inti rakyat.

4
Salah satu tujuan pola perkebunan inti rakyat yaitu memobilisasi keunggulan
atau keahlian teknis dan manajerial yang dimiliki perkebunan besar untuk membantu
mengembangkan perkebunan plasma bagi pemukim yang tidak memiliki tanah dan
berada di lahan yang cocok untuk komoditas perkebunan.

2.3 Konsep Hak dan Kewajiban Perusahaan Inti dan Petani Plasma

Pihak perkebunan besar sebagai inti dengan perkebunan rakyat sebagai plasma
memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Kewajiban dari perusahaan inti:

1. Membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengolahan yang dapat


menampung hasil perkebunan inti dan plasma.
2. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan standar operasional
yang telah diatur.
3. Bertindak sebagai pelaksana penyiapan fasilitas umum.
4. Membina petani agar mampu mengusahakan kebunnya dengan baik.
5. Membeli hasil kebun plasma.

Kewajiban petani plasma :

1. Melaksanakan pemeliharaan dan pengusahaan kebunnya sesuai dengan


standar operasional yang telah diatur oleh perusahaan inti.
2. Menjual hasil produksi kebun plasmanya kepada perusahaan inti.

2.4 Sejarah pelaksanaan pola PIR di Indonesia

Pengembangan perkebunan pola PIR di Indonesia dimulai melalui serangkaian


proses persiapan, pada tahap awal berupa penguatan kepada perusahaan perkebunan
negara melalui bantuan Bank Dunia untuk menjadi calon perusahaan inti.
Pengembangan pola PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang kemudian
dikenal dengan nama NES bantuan Bank Dunia, yang diikuti oleh Bank
Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Pada awal pengembangan pola
PIR dilaksanakan oleh 7 PTP yang sekarang menjadi PT Perkebunan Nusantara (lihat:
Daftar badan usaha milik negara Indonesia), proses penguatan PTP dilakukan dalam
tiga tahap:

5
 Tahapan pertama (1969-1972), Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7
PTP.
 Tahapan kedua (mulai 1973), Merintis proyek pola Unit Pelayanan
Pengembangan (UPP) dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek
Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatra Utara (P3RSU) dan Proyek
Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN).
 Tahapan ketiga (mulai 1973), Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I
dilakukan pada tahun 1977 untuk pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan
Tebenan, Sumatra Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan
perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80-an, yaitu proyek NES
IV Betung.

2.5 Skema Kemitraan Asian Agri dan Dengan Petani Plasma

Petani plasma adalah para petani yang ikut ambil bagian dalam program
transmigrasi pemerintah yang dijalankan pada tahun 1987 atau Perkebunan Inti
Rakyat yang dikenal sebagai PIR-trans. Dalam program tersebut, para petani yang
mayoritas datang dari pulau Jawa direlokasi ke daerah pedesaan dan mendapatkan
lahan pertanian seluas 2 hektar untuk masing-masing kepala keluarga. Ditambah
lahan seluas setengah hektar untuk rumah tinggal dan tanaman lainnya. Petani plasma
ini kemudian bermitra dengan perusahaan setempat yang menyediakan bantuan
berupa pekerja untuk menyiapkan lahan. Setelah empat tahun perkebunan sawit
mereka siap dipanen.

Perusahaan juga menyediakan bantuan teknis. Dalam skema kerja sama ini,
petani plasma setuju untuk menjual hasil produksi mereka kepada perusahaan dengan
harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Asian Agri merupakan salah satu
perusahaan pertama yang ikut berpartisipasi dalam program pemerintah ini. Saat ini,
perusahaan telah bermitra dengan 30.000 petani plasma dengan total lahan seluas
60.000 hektar perkebunan kelapa sawit. Selain memastikan keberlanjutan suplai
produksi kelapa sawit, dalam kemitraan ini Asian Agri juga turut berkontribusi untuk
meningkatkan standar hidup petani dengan meningkatkan hasil produksi perkebunan
mereka yang dapat berdampak pada pendapatan para petani.

6
Dalam kemitraan ini, Asian Agri melatih para petani plasma mengelola
perkebunan kelapa sawit mereka dengan cara yang berkelanjutan dan produktif.
Selain itu perusahaan juga membantu petani untuk mendapatkan pinjaman dari bank
untuk memulai perkebunan baru dan membantu mereka untuk dapat membayar
pinjamannya. Asian Agri menyediakan bibit Topaz milik perusahaan bagi para petani
mitranya. Bibit ini dikenal sebagai bibit yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi
dan kelebihan lainnya. Selain itu perusahaan juga membantu petani untuk
mendapatkan penghasilan alternatif saat menghadapi masa replanting. Masa
replanting memang sangat penting karena tanaman kelapa sawit harus diremajakan
setelah 25 tahun. Tanpa bantuan dan pelatihan dari Asian Agri, para petani mungkin
akan menunda untuk meremajakan perkebunan kelapa sawitnya yang akan berdampak
pada turunnya hasil dan semakin rendahnya pendapatan para petani karena usia
tanaman yang tua. Tidak hanya itu, Asian Agri juga membantu para petani mitranya
untuk mendapatkan sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
Sertifikasi RSPO ini memungkinan para petani mitra Asian Agri mendapatkan premi
dari penjualan produk yang mereka hasilkan yang kemudian dibagikan oleh
perusahaan kepada petani plasma setiap tahunnya. Keberlanjutan Asian Agri untuk
bermitra dengan petani di Indonesia semakin dikuatkan dengan merintis program
Komitmen Satu Banding Satu. Dalam komitmen ini, perusahaan bertujuan untuk
menyamakan total lahan perusahaan dengan total lahan yang dimiliki oleh mitra
petani dan ditargetkan bisa tercapai pada tahun 2018.

Pendampingan yang diberikan Asian Agri kepada petani:

1. Pembentukan Koperasi

Asosiasi Amanah merupakan satu-satunya petani swadaya dan pertama di


Indonesia yang meraih sertifikasi RSPO atas binaan Asian Agri.

2. Pemberian Bantuan Bibit

Saat ini lahan petani swadaya menghasilkan 15% minyak kelapa sawit dengan
2,25 MT CPO per tahunnya. Padahal potensi lahan tersebut apabila dikelola
dengan baik dapat menghasilkan 18% atau sebesar 3.6 MT CPO per tahunnya.

7
Hasil kelapa sawit petani swadaya dapat lebih maksimal apabila ditanami dengan
bibit baru.

3. Penanganan Hama Kelapa Sawit

Asian Agri menangani hama yang mengganggu pertumbuhan kelapa sawit


dengan menjalankan kebijakan Integrated Pest Management. Untuk menangani
hama ulat api misalnya, Asian Agri menggunakan predator alami Sycanus sp.
yang disediakan tempat tinggalnya.

4. Aplikasi EFB, Effluent Cake, Solid, Penggunaan Pupuk

Janjangan kosong atau EFB (empty fruit bunch) merupakan bekas TBS
(tandan buah segar) yang berondolannya sudah lepas pada saat pengolahan di
pabrik kelapa sawit. Dari setiap TBS yang diolah akan dihasilkan 20% janjangan
kosong dari setiap berat TBS yang diolah.

5. Integrasi Sapi Dengan Kelapa Sawit

Salah satu cara Asian Agri untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah kelapa
sawit adalah integrasi tanaman kelapa sawit dengan sapi. Hasil sampingan atau
limbah kelapa sawit berupa pelepah daun sawit, lumpur sawit, serat perasan buah
serta bungkil sawit dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Melalui Program Sistem
Integrasi Sapi Kelapa Sawit (SISKA), para petani Asian Agri memiliki sumber
penghasilan alternatif dan mampu memanfaatkan limbah kelapa sawit dengan
baik.

Target kedepan yang akan dilakukan Asian Agri dan petani swadaya
meningkatkan produktivitas dengan melakukan pengelolaan yang terbaik pada lahan
dan memaksimalkan potensi perolehan TBS. Dengan demikian dapat
mengoptimalkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani.
Keseluruhan target tersebut dapat dicapai dengan memiliki pemahaman yang sama
mengenai perspektif keberlanjutan dan menolak praktik-praktik yang tidak
berkelanjutan.

8
III

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Upaya memperbaiki struktur sosial masyarakat perkebunan telah banyak


dilaku-kan, di antaranya dengan mengintegrasikan perkebunan besar dengan
perkebunan rakyat melalui program kemitraan usaha perkebunan. Namun demikian,
upaya yang telah dilakukan selama ini belum membuahkan hasil yang optimal.
Banyak kasus di lapangan menunjuk-kan bahwa sharing system dalam program
kemitraan masih timpang sehingga praktek-praktek hubungan sosial produksi yang
ber-langsung cenderung berbentuk asimetris-eksploitatif karena pengambilan
keputusan lebih banyak ditentukan oleh pihak perusa-haan mitra yang menguasai
pengetahuan teknologi dan modal finansial.

Realitas sosial tersebut lebih lanjut menyebabkan jalannya program kemitraan


usaha perkebunan hanya mampu mendistri-busikan peluang usaha dan aset produksi
kepada petani kecil (pada tahap awal prog-ram), tetapi tidak mampu
meredistribusikan kekuasaan dan manfaat secara berkelanjutan kepada para petani
kecil tersebut. Bahkan pada beberapa kasus, program kemitraan tersebut hanya
membuahkan “pertumbuhan tanpa pemerataan” yang ditunjukkan oleh munculnya
kembali petani miskin dan gejala involusi serta berlangsungnya “konflik sosial
terbuka”. Untuk memperbaiki kelemahan pelak-sanaan program kemitraan usaha
perkebunan yang terjadi di masa lalu, maka program kemitraan usaha perkebunan ke
depan harus disertai dengan upaya pemberdayaan. Dengan terciptanya masya-rakat
yang komunikatif, maka hubungan sosial produksi di antara para pelaku usaha
kemitraan akan menempati posisi yang relatif sama (subjek-subjek, bukan subjek-
objek), sehingga setiap penafsiran atas realitas sosial yang mereka jalani berlangsung
melalui “dialog kritis” dan empati guna mendapatkan pemahaman bersama dan
konsensus sosial. Kekuatan yang sangat besar diperlukan untuk menghadapi
tantangan global dalam meraih manfaat yang lebih besar agar manfaat yang akan
didistribusikan secara adil kepada para pelaku kemitraan mampu meningkatkan kese-
jahteraan, bukan melestarikan kemiskinan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Badrun,M. (2010). "Konsepsi pola PIR". Tonggak Perubahan: Melalui PIR kelapa sawit
membangun negeri. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.

Mangoensoekarjo, S. dan Semangun, H. (2008). Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit.


Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia. Diakses tanggal 24 Maret 2020.

Supriono, Agus dan Agusta, Ivanovich, ed. (2009). Perkebunan dalam Lintasan Zaman.
Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan - Departemen Pertanian.

Badrun,M. (2010). Tonggak Perubahan: Melalui PIR kelapa sawit membangun negeri.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

10

Anda mungkin juga menyukai