Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MASALAH DAN KEBIJAKAN KEMITRAAN


Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Koperasi Kemitraan Agribisnis
DOSEN PENGAMPU: Dr. Erlyna Wida Riptanti, SP.MP

Disusun oleh:
1. Aksel Pangestu Fitrahmadani M. (H0820008)
2. Arsita Kurniawati (H0820017)
3. Azzamia Azizah Andaru (H0820020)
4. Irdan Muzakki (H0820061)
5. Mufidah Anggi Wiyanti (H0820081)
6. Nur Ismail Darojat (H0820095)
7. Sofia Fitriyyah (H0820117)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Koperasi Kemitraan Agribisnis yang berjudul “Masalah dan Kebijakan
Kemitraan” ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk melengkapi nilai mata
kuliah Koperasi Kemitraan Agribisnis. Dengan adanya makalah ini, penulis
berharap dapat memahami Masalah dan Kebijakan Kemitraan. Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak yang telah membimbing dan
memberi masukan guna terselesainya makalah ini, untuk itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi kelancaran serta hidayah
dalam pengerjaan makalah ini.
2. Dosen pengampu Mata Kuliah Koperasi Kemitraan Agribisnis, Dr. Erlyna
Wida Riptanti, SP. MP. yang telah membimbing penulis hingga
terselesainya makalah ini.
3. Teman-teman dari Prodi Agribisnis yang telah memberikan semangat,
nasihat, dan doa untuk kelancaran pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Mengingat keterbatasan kemampuan kami, maka sekiranya dapat dimaklumi
apabila nantinya dalam laporan ini terdapat kesalahan. Penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun guna sempurnanya laporan ini. Penulis juga
berharap supaya laporan ini dapat berguna bagi pembaca pada umumnya dan bagi
penulis pada khususnya.

Surakarta, Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
A. Kemitraan ................................................................................................. 3
B. Masalah .................................................................................................... 4
C. Kebijakan ................................................................................................. 5
I. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 8
A. Kemitraan Usaha di Kecamatan Sidoarjo ............................................... 8
B. Masalah yang Terjadi pada Kemitraan Usaha di Kabupaten Sidoarjo .... 11
C. Kebijakan Kemitraan Usaha Kabupaten Sidoarjo ................................... 12
II. PENUTUP ..................................................................................................... 14
A. Kesimpulan .............................................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
I. PENDAHULUAN

Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung


maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling menguntungkan, saling
memerlukan, mempercayai, dan memperkuat yang melibatkan pelaku usaha
Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar. Menurut Nonoatmodjo (2003),
kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-
kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan yang
sama. Kemitraan mempunyai beberapa prinsip dasar yang harus dilakukan agar
proses kemitraan tersebut dapat berjalan baik serta tujuan dapat tercapai.
Prinsip-prinsip kemitraan adalah saling membutuhkan, saling
ketergantungan, saling percaya, saling menguntungkan, saling mendukung, saling
membangun dan saling melindungi. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005),
terdapat tiga prinsip kunci yang perlu dipahami dalam membangun suatu
kemitraan oleh masing-masing anggota kemitraan yaitu: (1) Prinsip Kesetaraan
(Equity): individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan
harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai
tujuan yang disepakati. (2) Prinsip Keterbukaan: keterbukaan terhadap
kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota serta berbagai sumber daya
yang dimiliki. Semua itu harus diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak
awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling
keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu
diantara golongan (mitra). (3) Prinsip Azas manfaat bersama (mutual benefit):
individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh
manfaat dari kemitraan yang 4 terjalin sesuai dengan kontribusi masing-masing.
Kegiatan atau pekerjaan akan menjadi efisien dan efektif bila dilakukan bersama.
Salah satu solusi yang dapat diambil untuk mengatasi kendala terkotaknya
masing-masing sub sistem agribisnis, khususnya dalam rangka meningkatkan
peran pelaku usaha petani dan peternak (on farm) adalah melalui kemitraan. Pola
kemitraan yang menghubungkan antara perusahaan inti dengan plasma
mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup tinggi, karena disamping pola

1
kemitraan ini dapat mengatasi kendala pendanaan maupun kualitas produk di
tingkat petani/peternak, kemitraan juga dapat menjamin pemasaran maupun
tingkat hasil produksi petani/peternak. Perusahaan inti juga memperoleh manfaat
yang besar, antara lain mereka dapat memasarkan produknya kepada plasma mitra
mereka, selain itu mereka juga akan mendapatkan jaminan pasokan bahan baku
dari mitranya keduanya saling menguntungkan sehingga akan muncul situasi
simbiosis mutualisme.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemitraan
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Kemitraan adalah kerjasama dalam
keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling
memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan yang melibatkan
pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan sebagai peraturan
teknis dari UU No. 20 Tahun 2008 juga memberikan pengertian kemitraan, yaitu
kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan
Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan
atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam hal hubungan kemitraan, maka
para pihak melaksanakan kerjasama berdasarkan perjanjian kemitraan
(partnership agreement) (Tasya dan Sabrie, 2019).
Pola kemitraan adalah bentuk kerjasama yang memiliki tujuan bersama
yaitu memperoleh keuntungan, berikut ini adalah pola yang dilakukan dalam
sebuah kemitraan di Indonesia yaitu,(1) Pola Kemitraan Intiplasma ,yaitu pola
yang berkaitan dengan hubungan petani, kelompok petani, dan usaha atau bisnis.
Dimana perusahaan inti bertugas menyediakan sarana dan prasarana lahan
produksi dan juga memasarkan hasil dari produksi yang dilakukan. Sedangkan
kelompok mitra memiliki tugas yaitu memenuhi kebutuhan dari perusahaan inti
berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati; (2) Pola Kemitraan Dagang
Umum Pola kemitraan dagang umum adalah pola bisnis yang dilakukan dalam
sebuah pemasaran hasil dari produksi dimana kegiatan ini dilakukan oleh
distributor dan pemasok komoditas yang dibutuhkan oleh perusahaan;(3) Pola
Kemitraan Sub Kontrak Dilakukan oleh perusahaan dan kelompok mitra usaha
yang melakukan produksi yaitu komponen yang dbutuhkan oleh perusahaan mitra.
Dalam subkontrak dilakukan kesepakatan terhadap harga, mutu, volume serta
waktu;(4) Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agrobisnis (KOA) dimana
kelompok mitra usaha melakukan penyediaan biaya, manajemen, sarana dan

3
prasarana produksi dan juga modal untuk membangun dan melakukan
pembubidayaan pertanian. Perusahaan mitra memiliki peran yaitu memastikan
pasar produk menambah nilai tambah pada produk yang telah melewati proses
pengolahan dan penemasan produk; (5) Pola Kemitraan Keagenan Pola ini terdiri
dari perusahaan dan juga pengusaha kecil. Perusahaan mitra memberikan hak
khusus kepada mitra untuk mendistribusikan dan memasarkan sebuah produk
yang telah dipasok oleh perusahaan mitra dan perusahaan mitra tersebut memiliki
tanggungjawab atas volume dan mutu barang atau jasa yang dijual (Dewantoro
et.al,2021).

A. Masalah
Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah tersebut seringkali membuat kemampuan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah untuk berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal.
Oleh karena itu perlu bagi Indonesia untuk membenahi penanganan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah dengan serius agar dapat memanfaatkan potensinya secara
maksimal. Adapun salah satu bentuk kerjasama yang terjalin antara Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah dengan pelaku usaha lain ialah kerjasama untuk memasok
barang kepada perusahaan ritel, mengingat kedudukan bisnis ritel di Indonesia
yang berkembang pesat terutama sejak dibukanya pasar dalam negeri bagi
masuknya ritel modern asing. Dengan adanya keadaan tersebut membawa kabar
baik bagi para pemasok yang mana dalam hal ini ialah para pelaku Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah untuk menjual barang produksinya kepada perusahaan ritel
tersebut (Choirunnisa, 2019).
Dalam hal ini kerjasama kemitraan yang dituangkan dalam sebuah kontrak
antar kedua belah pihak, seharusnya terjalin atas dasar kesepakatan para pihak.
Namun hal ini tidak terjadi melainkan adanya penentuan klausul dalam perjanjian
tersebut hanya dibuat oleh para pelaku usaha yang kuat. Pada prakteknya tak
sedikit terjadi adanya ketimpangan maupun kesenjangan yang terjadi antar para
pelaku usaha yang melakukan perjanjian dikarenakan dalam perjanjian tersebut
antar para pihak tidak adanya ketentuan yang menyebutkan bahwasanya para

4
pelaku usaha yang mengadakan perjanjian akan memiliki akses yang sama baik
itu antar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah maupun Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah dengan pelaku usaha besar yang pada akhirnya tak jarang
menimbulkan sengketa dan salah satu pihak pelaku usaha tidak dapat menjalankan
kerjasama dengan baik sebagaimana yang telah diperjanjikan. Dengan pola
hubungan kemitraan, dan didasarkan atas kesepakatan antara Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama yang mana
seringkali salah satu pihak dari pelaku perjanjian tersebut menjadi pihak yang
dominan dalam menentukan isi perjanjian yang nantinya dituangkan dalam
kontrak kemitraan antar dua atau lebih pelaku usaha tersebut. Salah satu faktor
yang mendasar pemasok rentan menjadi korban adalah kenyataannya
dilapangan pola kemitraan yang terjadi seringkali merupakan perjanjian baku
(Choirunnisa, 2019).
Perjanjian baku mengandung ciri-ciri sebagai berikut,(1)Pada umumnya
isi perjanjian ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;(2)Pihak yang
lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan
unsur aksidentil dari perjanjian;(3)Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah
terpaksa menerima perjanjian tersebut;(4)Berbentuk tertulis; dan (5) Dipersiapkan
terlebih dahulu secara masal atau individual. Keadaan inilah yang menyebabkan
kemampuan pemasok dalam proses negosiasi syarat-syarat perdagangan cukup
lemah dihadapan peritel besar. Lemahnya posisi pemasok kemudian berpotensi
dimanfaatkan peritel untuk menekan pemasok. Pemasok yang tidak memiliki
cukup pilihan jaringan distribusi di dalam negeri terpaksa menyepakati perjanjian
dagang, dimana dalam perjanjian tersebut memuat syarat-syarat perdagangan yang
memberatkan bagi para pemasok (Halmasiska et.al, 2021).

B. Kebijakan
Kebijakan publik dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai produk,
sebagai proses, dan sebagai kerangka kerja. Kebijakan sebagai konsep filosofis
adalah seperangkat prinsip atau kondisi yang diinginkan Kebijakan sebagai
produk berarti bahwa kebijakan dipandang sebagai rangkaian kesimpulan atau

5
rekomendasi. Kebijakan sebagai proses artinya kebijakan dipandang sebagai suatu
cara dimana suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan, seperti
program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Kebijakan sebagai kerangka
berarti bahwa kebijakan adalah proses tawar-menawar dan negosiasi untuk
merumuskan masalah dan metode pelaksanaannya. Dari pendapat tersebut dapat
ditegaskan bahwa setiap produk harus memperhatikan substansi tujuan dari
kebijakan dan kondisi kebijakan. Ini harus membuat rekomendasi yang
mempertimbangkan berbagai program yang dapat dijalankan dan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan kebijakan (Nasrun, 2016).
Bahwasanya kedudukan kemitraan yang diatur di Indonesia tidaklah lepas
dari peranan dan kebijakan Pemerintah didalamnya. Dalam peraturan
Perundangundangan Terkait Kemitraan terdapat 3 (tiga) kali perubahan aturan
yang menyangkut dengan kemitraan, yaitu (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun
1995 yang dimaksud kemitraan adalah kerjasama yang dilakukan antara usaha
besar yang disertai dengan proses pembinaan dan pengembangan yang
berkelanjutan yang dilakukan oleh usaha besar dan menengah dengan prinsip
saling menguntungkan dan membutuhkan; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 1997 yaitu Pasal 1 angka 1 yang dimaksud kemitraan adalah Kerjasama
yang dilakukan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha besar
yang didasarkan pada prinsip saling memerlukan, memperkuat dan
menguntungkan yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan usaha;(3).
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan terhadap
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (Dewantoro et.al,2021).
Mengenai kemitraan sendiri terdapat beberapa pola diantaranya yaitu inti
plasma, Waralaba, sub-contract,dll, terdapat kontrak kemitraan dengan pola
perdagangan umum, yang mana apabila ditelaah dari peraturan Perundang
Undangan Pasal 26 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Adapun karakteristik
kemitraan pola perdagangan umum dalam kontrak Kemitraan ialah (1)
Pelaksanaan Kemitraan dengan Pola Perdagangan Umum sebagaimana dimaksud
dalam pasal 26 Undang-undang No 20 Tahun 2018 Tahun 2018 huruf d,dapat

6
dilakukan dlam bentuk kerjasama pemasaran,penyediaan lokasi usaha ,atau
penerimaan pasokan dari Usaha Mikro,Kecil,Menengah oleh Usaha Besar yang
dilakukan secara terbuka; (2) Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang
diperlukan oleh Usaha Besar dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil
produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu
barang dan jasa yang diperlukan; (3) Pengaturan sistem pembayaran dilakukan
dengan tidak merugikan salah satu pihak (Choirunnisa, 2019).

7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kemitraan Usaha di Kecamatan Sidoarjo


Dalam implementasinya di Kecamatan Sidoarjo masih banyak dijumpai
minimarket yang belum atau bahkan tidak sama sekali menjalin kemitraan dalam
bentuk apapun seperti melakukan pendampingan manajemen, memasarkan produk
UMKM, menyediakan tempat usaha bagi pedagang informal, memakai tenaga
kerja dari lingkungan setempat, memasok barang dagangan bagi pedagang kecil
disekitar lokasi usaha, ataupun memberikan bantuan sarana usaha seperti
rak/rombong/etalase. Data survei lapangan terkait kemitraan usaha yang terjalin
antara pengusaha minimarket dengan pedagang kecil eceran di Kecamatan
Sidoarjo menunjukkan bahwa 58 minimarket yang terdata oleh peneliti, hanya 31
minimarket yang telah menyediakan tempat usaha bagi pedagang informal.
Sedangkan minimarket yang belum atau tidak menyediakan tempat usaha
sebanyak 27 gerai. Jika di prosentase, maka jumlah minimarket yang telah
menyediakan ruang usaha di areal minimarket sebesar 53,45 %, sedangkan
minimarket yang belum menyediakan tempat usaha bagi pedagang informal
adalah sebesar 46,55%. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% pengusaha
minimarket di Kecamatan Sidoarjo telah menjalin kemitraan dengan pedagang
kecil/ pedagang informal melalui penyediaan tempat usaha di areal minimarket.
Namun masih banyak juga diantara mereka yang belum menjalin kemitraan dalam
bentuk apapun.
Setelah adanya data dari survey lapangan di atas, maka kemitraan usaha
akan dianalisis dengan menggunakan model implementasi menurut Grindle yaitu :
1. Content of policy diantaranya mencangkup :
a. Interest Affected = Suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti
melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan
tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya. Di awal pengajuan
rekomendasi sosial ekonomi, pihak minimarket diwajibkan membuat rencana
kemitraan usaha dengan pedagang kecil eceran yang berada di radius 100 m.
Karena jika semua hal yang berkaitan dengan kemitraan usaha harus izin dan

8
melalui pusat terlebih dahulu, maka besar kemungkinan masyarakat atau
pedagang akan enggan bermitra dengan minimarket tersebut.
b. Type of Benefits = Dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis
manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Selain itu dari
beberapa pedagang informal yang berjualan di areal minimarket setelah
diwawancarai mengaku untuk membuka usaha di lokasi minimarket tersebut
saja harus membayar biaya sewa yang cukup mahal, dan hal tersebut kadang
tidak tertutup dari hasil penjualan yang mereka dapat, sehingga banyak dari
mereka yang tidak bertahan lama berjualan disitu dan memilih lokasi lain
untuk membuka usahanya.
c. Extent of Change Envision = Setiap kebijakan memiliki target yang
hendak dan ingin dicapai. Perubahan tersebut tertuang dalam sebuah rencana
Merujuk pada hasil survey, kita tahu banyak point kemitraan di Perbup Nomor
20 Tahun 2011 yang tidak dilaksanakan oleh minimarket di Kecamatan
Sidoarjo. Sehubungan dengan hal itu, Staff Diskoperindag dan ESDM
Kabupaten Sidoarjo bidang perdagangan menyatakan bahwa selain untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama pedagang kecil eceran, adanya
kemitraan usaha ini diharapkan dapat membuka lapangan kerja yang luas bagi
masyarakat di sekitar, sehingga mampu meningkatkan pemasukan ekonomi
bagi masyarakat.Di lain pihak, dari sisi pedagang menginginkan perubahan
pada tarif sewa yang dipatok oleh pihak minimarket.
d. Site of Decision Making (Letak Pengambilan Keputusan) = Melihat
semakin banyaknya jumlah minimarket di Kabupaten Sidoarjo mendorong
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui DPRD Kabupaten Sidoarjo Komisi A
bersama dengan Diskoperindag dan ESDM Kabupaten Sidoarjo untuk
membuat regulasi yang mengatur tentang minimarket di Kabupaten Sidoarjo.
Perbup tersebut dibuat sebagai upaya perlindungan terhadap pasar tradisional
dan pedagang kecil eceran di Kabupaten Sidoarjo. Sehingga ketentuan-
ketentuan kemitraan usaha tersebut dijadikan sebagai alat pengambilan

9
keputusan bagi pemerintah Kabupaten Sidoarjo, yang dalam hal ini
dilimpahkan kepada dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.
e. Program Implementer = Sebagaimana yang dijelaskan dalam Perbup
Sidoarjo Nomor 20 Tahun 2011 maka dalam penelitian ini yang menjadi
pelaksana program dari pihak Pemkab Sidoarjo adalah Dinas Koperasi
Perindustrian Perdagangan dan ESDM Kabupten Sidoarjo khusunya bidang
perdagangan. Kemitraan usaha di Kecamatan Sidoarjo juga tidak bisa terlepas
dari peran masyarakat terutama pedagang kecil eceran dalam radius 100 meter
dan pedagang informal. Pola pikir masyarakat yang demikian dapat
menghambat keberhasilan implementasi kemitraan usaha di Kecamatan
Sidoarjo
f. Resources Committed = Pelaksanaan kebijakan harus didukung oleh
sumber daya yang memadai agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
Jumlah staff yang menjadi pembina dan pengawasa kemitraan usaha bagi
semua minimarket di Kabupaten Sidoarjo berjumlah 3 orang. Kurangnya
personil yang menjadi pembina maupun pengawas kemitraan usaha
minimarket dengan pedagang kecil eceran di Kecamatan Sidoarjo
mengakibatkan ketentuan-ketentuan kemitraan yang ada pada Perbup tidak
bisa digalakkan secara teratur dan menyeluruh.
2. Context of Implementation (Lingkungan Implementasi) menurut Grindle
mencakup:
a. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan,
KepentinganKepentingan, dan Strategi dari Aktor yang Terlibat) = Dalam
suatu kebijakan perlu dipertimbangkan pula kekuatan atau kekuasaan,
kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna
memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Tetapi
dalam menjalankan tugasnya tersebut Diskoperindag menjadi instansi tunggal
tanpa ada koordinasi dengan dinas lain, ditambah pula dengan kurangnya staff
yang terlibat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
kemitraan usaha ini, sehingga membuat staff Diskoperindag bagian
perdagangan merasa kewalahan. Hanya sebatas pada peneguran, dan untuk

10
pengajuan rekomendasi selanjutnya akan ditagih rencana kemitraan yang
semula mereka buat.
b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa = Lingkungan dimana
suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap
keberhasilannya, maka pada bagian ini menjelaskan karakteristik dari suatu
lembaga yang akan turut mempengaruhi kebijakan. Dalam pelaksanaan
Perbup Sidoarjo Nomor 20 Tahun 2011 tentang Penataan Minimarket di
Kabupaten Sidoarjo, karakteristik lembaga pemerintah yang terlibat yaitu
Diskoperindag dan ESDM Kabupaten Sidoarjo sangat menentukan apakah
kemitraan usaha minimarket dengan pedagang kecil eceran dapat terwujud
ataukah sebaliknya. Dari kegiatan peneguran yang mereka lakukan, tidak
terlihat kelanjutan apakah minimarket tersebut mampu berubah atau belum,
dan hal itu tidak dipaparkan secara jelas oleh Ibu Listyaningsih. Dalam
menjalankan kemitraan usaha ini, rezim pemerintah yang berkuasa dapat
diketahui dari mandat Bupati Sidoarjo.
c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana = Hal yang ingin
dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari
pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan. Pelaksana kebijakan kemitraan
usaha ini adalah pihak pengusaha minimarket. Dari hasil survey juga dari hasil
wawancara dapat diketahui bahwa pihak minimarket banyak sekali yang tidak
menjalankan kemitraan usaha. 31 dari 58 minimarket yang diamati telah
menyediakan ruang usaha bagi pedagang informal, sisanya belum
menyediakan. Rencana kemitraan usaha tersebut merupakan persyaratan wajib
bagi pihak minimarket agar mendapatkan rekomendasi sosial ekonomi dari
Diskoperindag. Seharusnya, rencana tersebut harus dilaksanakan dengan baik.
Tetapi kenyataannya hal itu hanya berakhir sebagai rencana saja tanpa ada
pelaksanaan secara nyata.

B. Masalah yang Terjadi pada Kemitraan Usaha di Kabupaten Sidoarjo


Pada tahun 2012 jumlah investasi Kabupaten Sidoarjo mencapai kurang
lebih 15,5 trilyun rupiah, sedangkan pada tahun 2013 (per Sepetember) nilai

11
investasi daerah NON PMDN Kabupaten Sidoarjo berjumlah Rp.
7.755.503.280.439, PMA Rp. 377.324.597.196, PMDN Rp. 257.616.067.121 total
nilai investasi Kabupaten Sidoarjo Rp. 8.390.443.944.756. Kenaikan nilai
investasi daerah Kabupaten Sidoarjo salah satunya dilakukan dengan cara
mempermudah perizinan penanaman modal baik dari asing maupun lokal dan
mengembangkan pusat jasa dan perdagangan. Salah satu jenis usaha NON PMDN
Gedung Perkantoran, Supermarket dan Supermall/Minimarket telah menghasilkan
nilai investasi pada tahun 2014 sebesar Rp. 1,049,435,307,798. Kecamatan Waru,
dan Kecamatan Gedangan. Dibandingan dengan ketiga kecamatan tersebut,
Kecamatan Sidoarjo menempati urutan pertama, disusul Kecamatan Waru,
kemudian Kecamatan Taman, dan terakhir kecamatan Gedangan. Peningkatan
jumlah minimarket di Kecamatan Sidoarjo didukung dengan lokasi yang strategis
karena Kecamatan Sidoarjo terletak di jantung Kabupaten Sidoarjo sebagai pusat
pemerintahan, kegiatan perkantoran, pertokoan, perbankan dan kegiatan
perekonomian lainnya di Kabupaten Sidoarjo.
Maraknya minimarket di Kecamatan Sidoarjo akan berdampak negatif
pada perekonomian daerah dan masyarakat jika tidak terjadi hubungan timbal
balik yang baik antara pengusaha minimarket dengan pedagang di sekitar lokasi
usaha. Hubungan tersebut dapat terjalin melalui sebuah kemitraan usaha.
Kemitraan Usaha merupakan kerjasama usaha antar usaha mikro, kecil, menengah
dan koperasi dengan usaha skala besar disertai dengan pembinaan dan
pengembangan yang dilakukan oleh penyelenggara usaha skala besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Hanya dengan kemitraan yang saling menguntungkan, saling
membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik kecil maupun menengah
akan mampu bersaing.

C. Kebijakan Kemitraan Usaha Kabupaten Sidoarjo


Minimarket di Kabupaten Sidoarjo mendorong pemerintah membuat
sebuah regulasi yang tertuang dalam Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 20 tahun
2011 yang mengatur tentang penataan minimarket di Kabupaten Sidoarjo dengan

12
tujuan membuat upaya perlindungan terhadap keberadaan pasar tradisional dan
pedagang kecil eceran.Selain bertujuan untuk melindungi keberadaan pasar
tradisional dan pedagang kecil eceran, dibuatnya Perbup Sidoarjo Nomor 20
Tahun 2011 ini juga bertujuan agar minimarket-minimarket yang telah didirikan
dan hendak didirikan di Kabupaten Sidoarjo menjalin hubungan kemitraan usaha
dengan pedagang kecil eceran di sekitar lokasi usaha, agar usaha kecil milik
rakyat bisa berjalan dan tumbuh bersama dengan minimarket tersebut. Dalam
pasal 7 tentang kemitraan usaha disebutkan bahwa Minimarket wajib
melaksanakan kemitraan dengan UMKM khususnya pedagang kecil eceran
sampai dengan radius 100 m dalam bentuk: 1) Memasarkan barang produksi
UMKM yang dikemas atau dikemas ulang (repackaging) dengan merek pemilik
barang, minimarket atau merek lain yang disepakati dalam rangka meningkatkan
nilai jual barang; 2) Menyediakan ruang usaha dalam areal minimarket untuk
usaha kecil/pedagang informal; 3) Pendampingan langsung manajemen maupun
bantuan sarana usaha bagi pedagang kecil eceran seperti rombong, rak, atau
etalase; 4) Menjadi pemasok barang dagangan bagi pedagang kecil yang ada
sekitarnya; 5) Mengutamakan penggunaan tenaga kerja setempat. Dalam hal
minimarket menjadai pemasok barang dagangan sebagaimana dimaksud, harga
barang dagangan yang dijual di minimarket tidak boleh lebih rendah atau sama
dengan harga barang yang dipasok ke pedagang kecil.

13
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan tentang Kebijakan
Kemitraan Usaha di Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Maraknya
convenience store (minimarket) di Kabupaten Sidoarjo akan berdampak negatif
bagi perekonomian daerah dan masyarakat jika tidak terjalin hubungan timbal
balik yang baik antara pengusaha convenience store (minimarket) dengan
pedagang di sekitar lokasi usaha. Hubungan ini dapat dibangun melalui kemitraan
usaha. Minimarket di Kabupaten Sidoarjo mendorong pemerintah membuat
sebuah regulasi yang tertuang dalam Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 20 tahun
2011 yang mengatur tentang penataan minimarket di Kabupaten Sidoarjo dengan
tujuan membuat upaya perlindungan terhadap keberadaan pasar tradisional dan
pedagang kecil eceran. Selain bertujuan untuk melindungi keberadaan pasar
tradisional dan pedagang kecil eceran bertujuan agar minimarket-minimarket yang
telah didirikan dan hendak didirikan di Kabupaten Sidoarjo menjalin hubungan
kemitraan usaha dengan pedagang kecil eceran di sekitar lokasi usaha, agar usaha
kecil milik rakyat bisa berjalan dan tumbuh bersama dengan minimarket tersebut.
Di Kecamatan Sidoarjo masih banyak dijumpai minimarket yang belum atau
bahkan tidak sama sekali menjalin kemitraan dalam bentuk apapun seperti
melakukan pendampingan manajemen, memasarkan produk UMKM,
menyediakan tempat usaha bagi pedagang informal, memakai tenaga kerja dari
lingkungan setempat, memasok barang dagangan bagi pedagang kecil disekitar
lokasi usaha, ataupun memberikan bantuan sarana usaha seperti
rak/rombong/etalase.

B. Saran
Saran yang dapat kami berikan pada pembahasan kali ini adalah agar lebih
memaksimalkan peninjauan lapang yang bertujuan untuk melakukan pengecekan
dan pengawasan terhadap kegiatan kemitraan usaha yang dilakukan oleh
minimarket. Selain itu, diperlukan penambahan tim khusus atau sumber daya
manusia guna memaksimalkan pembinaan dan pengawasan terhadap kemitraan

14
ini. Karena jika kemitraan ini benar-benar dijalankan maka manfaat yang akan
dihasilkan bagi lingkungan sekitar sangat besar. Kerja sama dengan pihak
kecamatan juga sebaiknya dilakukan untuk melaksanakan pembinaan dan
sosialisasi kepada para pengusaha minimarket maupun pihak pedagang kecil
eceran. Selanjutnya perlu adanya penegakan sanksi secara tegas oleh
Diskoperindag jika ada pengusaha minimarket yang tidak melakukan kemitraan
selama beroperasi.

15
DAFTAR PUSTAKA
Amalia Tasya, A. dan Yunita Sabrie, H.2019. Implementasi Sifat Hukum
Pengangkutan dalam Pelaksanaan Ojek Online.Jurnal Perspektif, 24 (3):156-167.
Choirunnisa, N.2019. Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha Mikro
Kecil dan Menengah Melalui Perjanjian Kemitraan Antara Carrefour dan
Pemasoknya. Jurnal Jurist-Diction, 2(3):1083-1102.
Dewantoro,S., Sharon,G., & Slamet Supriatna.2021. Pengaturan
Hubungan Kemitraan antara Aplikator dan Mitra Pengemudi dalam Usaha
Transportasi Online di Indonesia Justitia Jurnal Hukum, 1(6):16-37.
Halmasiska, H., Musa, A., & M. Yunus, F. (2021). Tanggung Jawab
Perjanjian Kemitraan PT Karya Semangat Mandiri dengan Peternak Plasma di
Kecamatan Indrapuri. Al-Iqtishadiah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2(2):100-
123.
Nurkaidah, .., Nasrun, M., Andi Munarfah, M., & Suhaeb, F. (2016). The
Implementation of Poverty Alleviation Policy of Traditional Fishermen in Palopo,
Indonesia. Mediterranean Journal Of Social Sciences, 7(6):253-258.

16

Anda mungkin juga menyukai