Anda di halaman 1dari 9

(Global) Production Structure

(Global) production structure atau disebut juga production network atau jejaring
produk mengacu kepada jejaring kompleks yang melibatkan pekerja, tempat kerja, dan
aktivitas pekerjaan untuk menghasilkan barang dan jasa bagi konsumen. (Global) Production
structure berbicara tentang bagaimana sebuah barang atau jasa itu dihasilkan mulai dari dia
bahan-bahan mentah, bahan setengah jadi, sampai kemudian menjadi bahan jadi yang bisa
langsung di konsumsi oleh konsumen. Salah satu fase atau masa penting dan revolusi
industri, dimana adanya revolusi industi mengajarkan tentang bagaimana sebuah barang itu di
produksi. Di masa sekarang, di masa modern, (Global) production structure melibatkan
jajaring yang tidak hanya berlokasi di satu negara. Dia sekarang berlokasi di banyak negara
di multiple countries, misalnya di produksinya di Asia, finishing dilakukan di Eropa. Inilah
yang dikenal dengan nama (Global) production structure.

From Domestic to Global Production Structure

Perubahan dari domestic menjadi Global Production Structure dipengaruhi oleh


beberapa faktor. Pertama, adanya limitasi proses menghasilkan menghasilkan suatu barang.
Karena tiap negara itu memiliki keterbatasan dari berbagai aspek misalnya factor
endowments, skills and technology, financing. Kedua, karena adanya pertumbuhan dan
ekspansi dari aktivitas bisnis. Dan ketiga, yang mendorong terjadinya Global Production
Structure adalah karena adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari aktivitas teknologi
komunikasi dan sistem transportasi termasuk keuangan dan juga kerjasama politik ini
pengaruhnya gimana ya karena kemudian sangat gampang sekarang bagi kita untuk misalnya
pergi dari satu kota ke kota yang lain hanya dalam waktu beberapa jam kata.

Organisational Principles of Production

Taylorism 1880s-1910s

1. Taylorisme didasarkan pada prinsip-prinsip dan konsep yang dikembangkan oleh


seorang insinyur dan ahli manajemen bernama Frederick Taylor.
2. Salah satu elemen kunci dari Taylorisme adalah penerapan pendekatan ilmiah dalam
manajemen industri. Ini mencakup penggunaan perhitungan matematis, analisis data,
dan sintesis informasi untuk mengelola dan meningkatkan proses produksi.
Pendekatan ini membantu manajer dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
fakta dan data yang akurat.
3. Salah satu tujuan utama Taylorisme adalah menciptakan efisiensi ekonomi dalam
produksi. Ini dicapai dengan menghilangkan pemborosan sumber daya, termasuk
tenaga kerja, waktu, dan bahan mentah. Dengan cara ini, perusahaan dapat
meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi.

Fordism 1920s-1970s

1. Berlandaskan Karya Henry Ford → Meminjam dari Taylorisme: Fordisme didasarkan


pada konsep dan metode yang dikembangkan oleh Henry Ford, yang juga merupakan
pemimpin dalam menerapkan prinsip-prinsip Taylorisme dalam produksi otomotif.
Ford memadukan prinsip-prinsip Taylorisme dengan inovasinya sendiri, menciptakan
pendekatan yang unik untuk manajemen produksi.
2. Berpusat pada Prinsip Mass Production dan Mass Consumption: Salah satu ciri khas
Fordisme adalah fokus pada produksi massal dan konsumsi massal. Ini berarti
memproduksi barang dalam jumlah besar dengan biaya rendah sehingga dapat diakses
oleh sebagian besar masyarakat. Dalam konteks produksi otomotif, ini berarti
memproduksi mobil dalam jumlah besar agar bisa dijual dengan harga terjangkau
kepada masyarakat umum.
3. Penggunaan Efektif dari Lini Perakitan dan Tenaga Kerja; Standarisasi Produksi;
Pekerja yang Sangat Spesialis (dan oleh karena itu, kurang terampil): Fordisme
dikenal karena penggunaan lini perakitan yang efisien, di mana produk bergerak dari
satu stasiun kerja ke stasiun kerja berikutnya dengan kecepatan yang tinggi. Ini
memungkinkan peningkatan produksi yang signifikan. Namun, ini juga menghasilkan
pekerja yang sangat terampil dalam tugas-tugas mereka, yang sering kali terdeskilling
dalam artian bahwa mereka hanya bertanggung jawab atas satu tugas yang sangat
spesifik dalam proses produksi.

Toyotism 1940s-1980s

1. Berlandaskan Prinsip Kerja/Organisasi Toyota: Toyotisme adalah sistem manajemen


yang berdasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh perusahaan otomotif
Toyota. Toyota mengembangkan sistem ini sebagai respons terhadap tantangan
produksi pasca-Perang Dunia II.
2. Beberapa Prinsip Inti:
 Lean Production (Produksi Efisien): Prinsip ini menekankan pengurangan
pemborosan dalam proses produksi.
 Just-in-Time Inventory (Inventarisasi Hanya Saat Dibutuhkan): Dalam Toyotisme,
persediaan barang-barang dipelihara pada tingkat minimum yang diperlukan untuk
menjaga aliran produksi yang lancar.
 Pekerja Multiskill (Tidak Terlalu Berspesialisasi): Berbeda dengan Fordisme,
Toyotisme melibatkan pekerja yang memiliki beragam keterampilan, bukan hanya
tugas yang sangat khusus.
 Kerja Tim dan Pengendalian Kualitas yang Kuat: Dalam Toyotisme, kerja tim
sangat penting. Para pekerja bekerja bersama dalam tim untuk memecahkan
masalah, berbagi tanggung jawab, dan memastikan kualitas produk yang tinggi.

The Era of Post-Fordism

Munculnya era Post-Fordism adalah kritik dari mass production yang dianut oleh
Fordisme. Namun, era ini juga menghadapi kritik terutama terkait dengan ketidakefisienan,
dehumanisasi pekerjaan, dan kurangnya fleksibilitas dalam menghadapi variasi permintaan
konsumen. Era ini mengacu pada kerangka kerja produksi yang lebih berfokus pada
fleksibilitas, adaptasi terhadap permintaan yang berubah, dan lebih besarnya keterlibatan
pekerja dalam proses produksi. Pendekatan ini mencakup prinsip-prinsip seperti fleksibilitas
spesialisasi, produksi yang dipandu oleh permintaan, dan hubungan sosial yang
direkonstruksi. Era Post-Fordism ini menciptakan konsep-konsep assembly line, work-life
integration, hourly wage yang sangat degembar-gemborkan saat ini.

What is Global Value Chain (GVC)?

GVC (Global Value Chain) adalah serangkaian tahapan dalam produksi suatu produk
atau layanan yang akan dijual kepada konsumen. Setiap tahap seharusnya menambah nilai,
dan setidaknya dua tahap berada di dua negara yang berbeda. Dalam GVC, proses produksi
menjadi global, dengan berbagai negara berkontribusi dalam menciptakan produk akhir.
GVCs menciptakan ketergantungan ekonomi antara negara-negara, dengan masing-masing
negara memiliki peran dalam rantai nilai global. Ini memungkinkan negara-negara untuk
memanfaatkan keahlian khusus mereka dalam produksi tertentu dan memaksimalkan efisiensi
sumber daya global. Ini juga memperkuat hubungan perdagangan internasional dan
kolaborasi antarnegara.

GVCs Process

Forward participation: suatu negara mengeskpor barang-barang yang telah


diproduksi secara domestik ke negara lain untuk melalui proses tambahan yang menambah
nilai. Misalnya, sebuah negara menghasilkan komponen elektronik dan mengeskportnya ke
negara lain, di mana komponen-komponen tersebut akan digunakan dalam perakitan produk
akhir seperti ponsel pintar.

Backward participation: Negara mengimpor barang yang telah diproses atau


diproduksi di luar negeri untuk digunakan dalam produksi lanjutan. Sebagai contoh, negara A
dapat mengimpor bahan baku dari negara B untuk digunakan dalam proses produksi di
negara A. Ini adalah bentuk kerjasama internasional dalam GVC yang memungkinkan
negara-negara untuk saling mengisi dalam proses produksi.

Pros and Cons of GVCs

Pros

1. Increase efficiency: GVCs memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan keahlian dan


sumber daya yang ada di berbagai negara, meningkatkan efisiensi dalam proses produksi.
2. Increase income growth: Dengan berpartisipasi dalam GVCs, negara-negara dapat
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat karena dapat memperluas pasar dan
menciptakan lapangan kerja.
3. Reduceunemployment: Keterlibatan dalam GVCs dapat membantu mengurangi tingkat
pengangguran dengan menciptakan pekerjaan dalam berbagai sektor.
4. Reduce poverty: GVCs dapat berkontribusi pada pengurangan tingkat kemiskinan dengan
menciptakan peluang pekerjaan dan mengangkat tingkat upah.
Cons

1. Inequality: GVCs dapat meningkatkan ketidaksetaraan, baik di antara negara-negara


maupun di antara berbagai kelompok pekerja.
2. Environmental degradation: Produksi dalam GVCs dapat menghasilkan dampak
lingkungan yang merugikan.
3. Profit shifting: Beberapa perusahaan dapat memanfaatkan GVCs untuk menghindari pajak
dan memindahkan laba mereka ke negara-negara dengan pajak rendah.
4. Dependency & fragility: Negara-negara yang sangat tergantung pada GVCs dapat menjadi
rentan terhadap gangguan dalam rantai pasokan global
How does Marxism view GVCs?

Marxisme menganggap Global Value Chains (GVCs) sebagai refleksi dari


ketidaksetaraan kelas dalam kapitalisme global. Pandangan ini mencerminkan bahwa GVCs
memungkinkan perusahaan multinasional untuk memaksimalkan laba mereka dengan
eksploitasi tenaga kerja dan memperdalam ketidaksetaraan ekonomi. Eksploitasi Tenaga
Kerja. Pandangan Marxism terhadap Global Value Chains (GVCs) sangat menyoroti
eksploitasi tenaga kerja dalam rantai pasokan global, dan industri tekstil di Bangladesh
adalah salah satu contoh yang mencolok dalam konteks ini. Pekerja pabrik tekstil di
Bangladesh seringkali ditempatkan dalam kondisi yang sangat berbahaya dan upah yang
sangat rendah. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Clean Clothes Campaign pada tahun
2020, situasi ini merupakan hal yang umum, dan pekerja sering kali terjebak dalam lingkaran
kemiskinan yang sulit untuk mereka keluarinya. Laporan tersebut menyatakan, "Upah yang
rendah dan kurangnya perlindungan pekerja adalah ciri khas dari industri tekstil Bangladesh"
(Clean Clothes Campaign, 2020).

Sebuah studi yang dilakukan oleh Oxfam pada tahun 2019 juga mengungkapkan
bahwa para pekerja di Bangladesh sering kali terpaksa bekerja lebih dari 60 jam seminggu
hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan dan tempat tinggal
(Oxfam, 2019). Situasi ini tidak hanya mencerminkan tingkat eksploitasi tenaga kerja yang
sangat mendalam, tetapi juga menggambarkan bagaimana GVCs dapat memperkuat
ketidaksetaraan ekonomi global, dengan pemilik merek besar seringkali mendapatkan
keuntungan sementara pekerja di negara-negara seperti Bangladesh menghadapi
ketidakadilan sosial dan ekonomi yang serius dalam proses produksi global ini. Hal ini
menunjukkan bahwa eksploitasi tenaga kerja menjadi salah satu masalah sentral dalam
diskusi tentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ekonomi global.

Ketidaksetaraan Ekonomi. Pandangan Marxism terhadap Global Value Chains


(GVCs) membuka jendela yang memperlihatkan ketidaksetaraan ekonomi yang semakin
diperdalam oleh dinamika ekonomi global. Dalam konteks ini, perusahaan multinasional
memainkan peran sentral, mendominasi rantai pasokan dan menguasai sebagian besar
keuntungan yang dihasilkan dalam proses produksi. Data dari World Inequality Database
mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan, yaitu meningkatnya ketidaksetaraan
pendapatan global sejak tahun 1980. Bahkan dalam situasi yang sangat mencengangkan
seperti pandemi COVID-19, para miliarder terkaya di dunia justru mengalami peningkatan
kekayaan, sementara jutaan orang lainnya merasakan dampak berat dari resesi ekonomi yang
melanda. Laporan yang diterbitkan oleh Oxfam pada tahun 2021 lebih lanjut mengonfirmasi
ketidaksetaraan ekonomi yang mengkhawatirkan dengan menyebutkan bahwa 1% terkaya di
dunia memiliki lebih dari dua pertiga kekayaan global (Oxfam, 2022).

Melalui statistik ini, terlihat dengan jelas bagaimana GVCs telah menjadi salah satu
pendorong utama dalam memperdalam ketidaksetaraan ekonomi global. Penguasaan besar
keuntungan oleh sekelompok kecil individu dan perusahaan multinasional menimbulkan
konsekuensi sosial yang serius, seperti peningkatan kesenjangan antara kelompok terkaya dan
sebagian besar populasi dunia. Sementara perusahaan multinasional mungkin memanfaatkan
keuntungan global dari rantai pasokan yang sangat terintegrasi, pekerja dan komunitas di
negara-negara produsen seringkali ditinggalkan dengan upah rendah dan kondisi hidup yang
memprihatinkan. Dalam konteks ketidaksetaraan ekonomi yang semakin meningkat,
pemahaman perspektif Marxism menjadi sangat relevan dalam mempertanyakan dan
mengkritis masalah ketidaksetaraan ekonomi yang mendalam dalam tatanan ekonomi global.

Dampak Terhadap Negara-Negara Pemasok. Pandangan Marxism terhadap Global


Value Chains (GVCs) memperlihatkan dampak yang signifikan pada negara-negara pemasok,
terutama yang berada di kategori negara-negara berkembang. Meskipun negara-negara ini
seringkali menjadi sumber tenaga kerja murah yang sangat diandalkan oleh perusahaan
multinasional, realitasnya adalah mereka sering tidak memperoleh manfaat sebanding dengan
kontribusi mereka pada rantai pasokan global. Sebaliknya, GVCs cenderung menciptakan
ketergantungan ekonomi yang serius, di mana negara-negara ini terlalu tergantung pada
industri tertentu, yang seringkali berbasis pada sektor manufaktur atau tekstil.

Ketergantungan ini menjadi masalah serius ketika permintaan turun atau perusahaan
multinasional memutuskan untuk memindahkan produksi mereka ke tempat lain yang
menawarkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Ini mengakibatkan negara-negara
pemasok mengalami dampak ekonomi yang signifikan, terutama dalam bentuk krisis
ekonomi. Sebagai contoh, krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara produsen pakaian
saat beberapa merek besar memutuskan untuk memindahkan produksi mereka ke negara lain
yang menawarkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah merupakan sebuah ilustrasi yang
sangat relevan. Dalam situasi ini, pekerja di negara-negara pemasok sering kali kehilangan
pekerjaan, dan ekonomi lokal mereka mengalami penurunan yang nyata.
Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana negara-negara pemasok berada dalam
posisi yang sangat rentan terhadap fluktuasi dalam permintaan global dan keputusan bisnis
perusahaan multinasional. Dalam konteks ini, perspektif Marxism menjadi sangat penting
dalam mengungkapkan bagaimana GVCs tidak hanya mengakibatkan ketidaksetaraan
ekonomi antara negara-negara, tetapi juga menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan
kerentanan ekonomi yang mendalam bagi negara-negara pemasok.Dominasi Perusahaan
Multinasional. Pandangan Marxism tentang Global Value Chains (GVCs) membuka mata
terhadap peran dominasi perusahaan multinasional dalam dinamika ekonomi global.
Perusahaan-perusahaan ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menentukan aturan
permainan dalam rantai pasokan global. Mereka dapat mengendalikan harga, kondisi kerja,
dan bahkan memengaruhi kebijakan ekonomi dan perdagangan di negara-negara tempat
mereka beroperasi.

Salah satu dampak utama dari dominasi ini adalah pengekangan negara-negara dalam
upaya mereka untuk mengatur bisnis dan melindungi hak pekerja. Perusahaan multinasional
sering memiliki kemampuan untuk memaksa atau mempengaruhi negara-negara tuan rumah
untuk memberikan insentif fiskal, mengendurkan regulasi lingkungan, atau bahkan
melemahkan hak pekerja demi menjaga investasi dan produksi mereka. Hal ini
mengakibatkan negara-negara sering kali menemui dilema di mana mereka perlu
mempertahankan daya tarik bagi investasi asing sambil juga menjaga kepentingan sosial dan
pekerjaan dalam negeri. Dalam konteks ini, pandangan Marxism sangat menekankan bahwa
GVCs sering kali menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan yang mendalam di antara aktor-
aktor ekonomi global. Perusahaan multinasional memegang kendali atas sebagian besar
proses produksi global, sementara negara-negara yang lebih lemah sering kali menjadi
subyek yang harus menyesuaikan diri dengan aturan yang dibuat oleh korporasi internasional.
Dalam perspektif ini, ketidaksetaraan kekuasaan yang terdapat dalam GVCs menjadi
perhatian utama, dan menggambarkan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik terpusat pada
perusahaan multinasional dalam ekonomi global saat ini.

Beberapa negara selain Bangladesh juga menghadapi isu-isu serupa dalam konteks
Global Value Chains (GVCs). Sebagai contoh, Tiongkok, dengan sektor manufaktur yang
besar, telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Meskipun demikian, ada
keprihatanan terkait kondisi kerja, hak buruh, dan upah pekerja, terutama di sektor-sektor
yang lebih rendah. Meksiko adalah negara lain yang terlibat aktif dalam rantai pasokan
dengan Amerika Serikat, namun pekerja di sektor-sektor tertentu mungkin menghadapi upah
yang rendah dan kondisi kerja yang sulit. Vietnam, yang juga merupakan pemain penting
dalam sektor garmen dan tekstil, menghadapi masalah serupa, dengan upah pekerja di sektor
ini seringkali dianggap sangat rendah. Indonesia dan India juga terlibat dalam banyak GVCs,
tetapi terdapat keprihatanan terkait upah minimum dan ketidaksetaraan ekonomi, terutama di
sektor-sektor tertentu. Seluruh contoh-contoh ini mencerminkan keragaman pengalaman
negara-negara yang terlibat dalam GVCs, dengan masalah eksploitasi tenaga kerja dan
ketidaksetaraan ekonomi yang bervariasi tergantung pada sektor, perusahaan, dan kebijakan
yang ada di masing-masing negara.

DAFTAR PUSTAKA

World Inequality Database. https://wid.world/

Oxfam. (2021). "The Inequality Virus: Bringing Together a World Torn Apart by Coronavirus
through a Fair, Just and Sustainable Economy."
https://www.oxfam.org/en/research/inequality-virus

Clean Clothes Campaign. (2020). "A Tale of Exploitation in the Fashion Industry: Clean
Clothes Campaign Global Reports." https://cleanclothes.org/resources/publications/a-
tale-of-exploitation-in-the-fashion-industry

Oxfam. (2019). "Made in Poverty: The True Price of Fashion."


https://www.oxfam.org/en/research/made-poverty-true-price-fashion

Anda mungkin juga menyukai