Anda di halaman 1dari 4

Differensiasi Produk, Awal Mula Post Fordism?

Pengantar

Di era global saat ini, pergeseran industri manufaktur yang dulunya berbasis supply side
sekarang beralih berbasis demand side. Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Misalnya kebutuhan konsumen akan smartphone
yang memiliki kualitas bagus dan handal (high end) maka perusahaan Apple dengan sigap dan
tanggap menciptakan dan mengeluarkan produk mereka yang berkualitas yaitu Iphone. Pun
juga perusahaan jam tangan terkemuka, Rolex, memproduksi jam tangan yang tidak massal,
seringnya limited edition untuk memenuhi permintaan dari konsumennya yang loyal.

Keywords: global, supply side, demand side, high end, limited edition

Kehancuran Fordism

Perusahaan membuat differensiasi produk agar menarik minat pembeli dan


menawarkan perbedaan agar produknya laris dibeli oleh masyarakat. Differensiasi adalah hal
vital dalam proses produksi. Seperti jam tangan Rolex yang menjadi status sosial bagi para
eksekutif. Menurut Hamilton Powell, CEO Crown & Calibre, "Sebuah arloji dapat mengatakan
sesuatu tanpa menggunakan kata-kata. Ini menyampaikan gaya, prestasi, dan dapat menjadi
pembuka rahasia utama.”

Dari gambaran di atas kita bisa melihat bahwa kebutuhan konsumen akan produk
yang unik, berkualitas adalah keniscayaan. Untuk itu perusahaan yang ingin unggul dan
menang dalam kompetisi harus mempertimbangkan aspek ini. Perubahan ini dimulai dari
tahun 1970-an sejak runtuhnya paham Fordism yang mengusung produksi massal dengan
prinsip standardisasi, penyederhanaan dan mekanisasi dalam produksi sehingga produk dari
Fordism serupa semua.
Side effect dari berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan maka konsumen
menginginkan produk yang khusus yang memenuhi harapan mereka akan suatu produk
serta efek dari globalisasi dan persaingan pasar maka terbentuklah prinsip Post-Fordism.

Sebagian besar prinsip Post-Fordism berasal dari Jepang. Negara-negara kapitalis lain
mengadopsi hal yang sama karena mereka dapat melihat keberhasilan bisnis Jepang.
Produsen menggunakan teknologi baru, terutama komputer, untuk membuat manufaktur
lebih fleksibel serta mengurangi biaya yang digunakan untuk jalur perakitan. Perekonomian
Jepang muncul dan menguat berkat dua krisis minyak selama paruh kedua tahun 1970-an
dan 1980-an. Japanization ini menjadi cepat terkenal karena microelectronic dalam produk
dan proses produksi. Kecepatan pemulihan ini menarik perhatian bisnis internasional dan
akademisi untuk organisasi produksi dan employment relationship di Jepang, saat mereka
mencari alternatif untuk model Taylorist Fordist yang telah mengalami krisis di awal 1970-an.

Kapasitas unggul sistem ini untuk menghasilkan peningkatan produktivitas dan


peningkatan kualitas dalam konteks inovasi teknologi berkelanjutan dan persaingan dalam
skala dunia menyebar secara internasional pada 1980-an dan 1990-an. Hal ini mengalami
kemajuan sangat cepat dalam dua dekade terakhir, di samping adanya pembukaan pasar
dan deregulasi. Dengan filosofi total quality control/ kontrol kualitas total (TQC) dan produksi
just-in-time/tepat waktu (JIT), bentuk organisasi Jepang telah diangkat sebagai "paradigma"
baru yang menantang logika rezim produksi tradisional Barat dan memiliki implikasi penting
yang baik untuk struktur internal maupun antar organisasi dan hubungan kekuasaan dan
kontrol.

Total Quality Control meningkatkan standar akan proses quality control karena
dengan menerapkan pengendalian mutu yang berkesinambungan dan tiada akhir untuk
menyempurnakan mutu agar tercapai kerusakan nol atau bebas dari kerusakan. Produk yang
berorientasi pada kualitas akan berorientasi pada pemakai bukan standar. Hal inilah yang
mendorong adanya diferensiasi produk. Sedangkan produksi dalam sistem JIT akan
berorientasi pada memenuhi kebutuhan pelanggan tepat pada waktunya sesuai dengan
jumlah yang dikehendakinya. Dengan sistem produksi JIT perusahaan akan terhindar dari
terjadinya kelebihan kuantitas/jumlah dalam produksi (Overproduction), persediaan yang
berlebihan (Excess Inventory) dan juga pemborosan dalam waktu penungguan (Waiting).

Contoh perusahaan yang awal mengusung prinsip ini adalah perusahaan Toyota
sehingga perusahaan Toyota menjadi salah satu model post-fordism dan terkenal dengan
istilah toyotaisme.

Flexible Specialization dan Flexible Firm

Paradigma produksi ini muncul sebagai solusi atas masalah yang terkait dengan
Fordism mengingat perubahan pasar produk ke arah kustomisasi sesuai permintaan pasar
dan menjauh dari produk massal serta dengan teknologi yang baru. Dengan flexible
specialization pengusaha dapat memproduksi barang dengan jumlah sedikit namun
disesuaikan dengan permintaan konsumen ataupun barang dengan kualitas tinggi.

Flexible Firm dikenalkan oleh Atkinson pada tahun 1984 yang menyatakan bahwa ada
kecenderungan yang berkembang bagi perusahaan untuk mencari berbagai bentuk
fleksibilitas struktural dan operasional. Dengan model flexible firm ini, karyawan perusahaan
bisa mempunyai jadwal kerja yang fleksibel sehingga bagi pekerja paruh waktu bisa
mengatur berapa banyak perusahaan yang bisa dia bekerja di dalamnya. Bagi karyawan
tetap/inti dengan jam kerja fleksibel ini bisa mengatur waktu kerja sehingga bisa mempunyai
waktu untuk pengembangan/pelatihan.

Fleksibilitas dalam struktural menguntungkan perusahaan dengan pengaturan jumlah


karyawan outsourcing atau paruh waktu yang dibutuhkan. Fleksibilitas dalam operasional
membuat karyawan bekerja secara efektif dan efisien dengan pengaturan jadwal,
pembangunan teamwork dan pengaturan beban kerja.

Kesimpulan

Diferensiasi produk hanya lah salah satu pemicu munculnya Post-Fordism. Faktor
lainnya adalah perkembangan teknologi, perampingan organisasi, fleksibilitas internal
maupun eksternal.
Referensi

Arne L. Kalleberg (2016). Flexible Firms and Labor Market Segmentation.

Arne L. Kalleberg (2001). Organizing Flexibility: The Flexible Firm in a New Century.

Mike Leat (2007). Exploring Employee Relations.

J. Lovering (2009). Fordism, Post-Fordism and Flexible Specialization.

Ian Roper (1997). (Only) Just-In-Time: Japanisation and the `NonLearning' Firm.

Anh Chi Phan; et Al. (2011). Quality management practices and competitive
performance: Empirical evidence from Japanese manufacturing companies.

https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190406161109-33-65032/ini-jam-tangan-
bos-the-fed-hingga-bos-apple-harganya

https://id.sawakinome.com/articles/business/difference-between-fordism-and-post-
fordism-2.html

http://humanresourcemanagementpj.blogspot.com/2015/09/the-flexible-firm-
model.html

https://www.slideshare.net/Soujanya/taylorism

https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0950017091005003004

https://core.ac.uk/download/pdf/45624368.pdf

https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/eb028103/full/html?
skipTracking=true

Anda mungkin juga menyukai