Anda di halaman 1dari 8

Jatuhnya Majapahit

Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit secara berangsur-
angsur mengalami kemunduran. Kemunduran terjadi selain karena adanya perebutan kekuasaan,
juga karena gempuran dari kerajaan-kerajaan Islam yang mulai bermunculan kala itu. Adapun
keruntuhan kerajaan Majapahit kemudian terjadi pada masa kepemimpinan Patih Udara yaitu
pada tahun 1518.

Berikut 5 faktor penyebab kemunduran kerajaan Majapahit:


1. Tidak ada pembentukan pimpinan baru (tidak ada kaderisasi).
2. Gajah Mada sebagai Patih Amangkubumi memegang segala jabatan yang penting. Ia
tidak memberi kesempatan generasi penerus untuk tampil, sehingga setelah
meninggalnya Gajah Mada tidak ada penggantinya yang cakap dan berpengalaman.
3. Perang saudara melemahkan kekuatan. Perang Paregreg menimbulkan malapetaka bagi
rakyat dan kaum bangsawan, sehingga melemahkan kekuatan dan tidak ada persatuan.
Daerah-daerah melepaskan diri, karena pemerintaahan pusat Kerajaan Majapahit Iemah
dan kacau, para adipati di Jawa dan kerajaan-kerajaan di luar Jawa melepaskandiri.
4. Kelemahan pemerintahan pusat akibat perang saudara mengakibatkan kemunduran
ekonomi Majapahit. Perdagangan di Kepulauan Nusantara diambil alih oleh pedagang-
pedangan Melayu dan Islam.
5. Masuk dan tersiarnya agama Islam. Adipati dan daerah pesisir pantai daerah pedalaman
yang beragama Islam merasa tidak terikat oleh kekuasaari Kerajaan Majapahit, sehingga
mereka tidak taat dan setia kepada penguasa yang beragama Hindu.

Candi Peninggalan Kerajaan Majapahit


1. Candi Cetho

Candi Cetho
Candi Cetho atau dalam bahasa Jawa latin bernama Cethå merupakan candi bercorak agama
Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi).
Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut[1],
dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar. Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang
beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi
kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.
2. Candi Brahu

Candi Brahu
Candi Brahu merupakan salah satu candi yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi
Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini berada di Dukuh Jambu Mente, Desa
Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, atau sekitar dua kilometer ke
arah utara dari jalan raya Mojokerto—Jombang. Candi Brahu diduga berasal dari kata wanaru
atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti
Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
3. Candi Sukuh

Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di
wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar,Jawa Tengah. Candi ini
dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya objek pujaan lingga dan yoni. Candi ini
dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran alat-alat
kelamin manusia secara eksplisit pada beberapa figurnya. Candi Sukuh telah diusulkan ke
UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
4. Candi Tikus

Candi Tikus
Candi Tikus adalah sebuah peninggalan purbakala yang terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini terletak di kompleks
Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-
Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi
Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar
600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914.
Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro,
tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh
dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang
digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada
merupakan sarang tikus. Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara
jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya
miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M, karena
miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.

5. Candi Pari

Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik Indonesia di Desa Candi Pari, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut berada sekitar 2 km ke arah
barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini. Candi ini berada Candi ini
merupakan suatu bangunan persegi empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang
serta tutup gerbang dari batu andesit. Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293
Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk 1350-1389 M.

6. Candi Wringin Branjang

Candi Wringin Branjang


Candi Wringin Branjang adalah sebuah candi terletak di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini letaknya masih satu kompleks dengan Situs Gadungan,
ini memiliki bentuk yang sangat sederhana. Struktur bangunannya tidak memiliki kaki candi,
tetapi hanya mempunyai tubuh dan atap candi saja, dengan ukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm
dan tingginya 500 cm. Sedangkan pintu masuknya berukuran lebar 100 cm, tingginya 200 cm dan
menghadap ke arah selatan. Pada bagian dinding tidak terdapat relief atau hiasan lainnya, tetapi
dinding-dinding ini memiliki lubang ventilasi yang sederhana.

7. Candi Wringin Lawang

Candi Wringin Lawang


Gapura Wringin Lawang adalah sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit abad ke-14 yang
berada di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Bangunan ini terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa,
Wringin Lawang berarti 'Pintu Beringin'. Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan
luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang
ini lazim disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini
diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.

8. Candi Surawana

Candi Surawana
Candi Surawana (Surowono) adalah candi Hindu yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare,
Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama
sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk
memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam
Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah
berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana

9. Candi Jabug

Candi Jabug
Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini
terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur
bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut
keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama
Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam
Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton
disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja

10. Candi Bajang Ratu

Candi Bajang Ratu


Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu adalah sebuah gapura /
candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan
adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk
bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama
disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M).

Prasasti Peninggalan Kerajaan Majapahit

Prasasti Canggu
11. Prasasti Kudadu (1294 M)
Mengenai pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh
Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja dan
bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa Kudadu dan
Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.
12. Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M)
Mengenai Raden Wijaya yang telah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka
Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri
Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri,
serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di
Daha.
13. Prasasti Waringin Pitu (1447 M)
Mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari
14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre Daha, Bhre
Kahuripan, Bhre Pajang, Bhre Wengker, Bhre Wirabumi, Bhre Matahun, Bhre Tumapel, Bhre
Jagaraga, Bhre Tanjungpura, Bhre Kembang Jenar, Bhre Kabalan, Bhre Singhapura, Bhre
Keling, dan Bhre Kelinggapura.
14. Prasasti Canggu (1358 M)
Mengenai pengaturan tempat-tempat penyeberangan di Bengawan Solo. Menyebutkan tentang
pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dan ketentuan pajaknya.
15. Prasasti Karang Bogem (1387 M)
Menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem. Mengenai sengketa tanah,
persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitab-kitab hukum adat
setempat.
16. Prasasti Katiden I (1392 M)
Menyebutkan tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah
desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga dan
memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.
17. Prasasti Alasantan (939 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri
Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan.
18. Prasasti Kamban (941 M)
Meyebutkan bahwa pada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama
Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.
19. Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang
menjadi haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana
untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti).
20. Prasasti Wurare (1289 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil
mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurare. Gelar raja itu
ialah Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).
21. Prasasti Maribong (Trowulan II) (1264 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda
pemberian hak perdikan bagi desa Maribong.
22. Prasasti Canggu (Trowulan I)
Mengenai aturan dan ketentuan kedudukan hukum desa-desa di tepi sungai Brantas dan Solo
yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan bebas dari
kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan untuk kepentingan
upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat
penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat
penyeberangan di Terung.

Kitab Peninggalan Kerajaan Majapahit

Kitab Negarakertagama

23. Kitab Negarakertagama


Karangan Empu Prapnca pada tahun 1365, isinya berkaitan dengan informasi raja-raja Majapahit
dan Kerajaan Singasari, keadaan kota, candi-candi dan membahas kisah hidup Raja
Hayamwuruk.
24. Kitab Sutasoma
Dibuat oleh Mpu Tantular, isinya menceritakan tentang anak raja bernama Sutasoma yang
kemudian menajdi pendeta Buddha.
25. Kitab Arjunawiwaha
Satu lagi kitab karangan Mpu Tantular, menceritakan adanya raksasa yang berhasil dikalahkan
oleh raja bernama Arjunasasrabubu.
26. Kitab Pararaton
Kitab Pararaton mengisahkan masa kejayaan atau bisa disebut masa keemasan dari kerajaan
Majapahit dan Singasari.

Anda mungkin juga menyukai