NIM : 04121001135
Analisis Masalah
HIPOTESIS
Ny. ATW, 30 tahun, mengalami gangguan afektif bipolar episode depresif berat kini dengan
gejala psikotik
f. Epidemiologi
Gangguan afektif mengenai perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan dengan
laki-laki. Gangguan bipolar I lebih jarang dengan prevalensi seumur hidup sekitar 1%,
serupa dengan gambaran skizofrenia. Sedangkan untuk usia, gangguan bipolar I lebih
dini daripada gangguan depresif berat. Awitan gangguan bipolar I berkisar dari masa
kanak-kanak (5 atau 6 tahun) sampai 50 tahun atau bahkan lebih tua pada kasus yang
jarang, dengan rata-rata usia 30 tahun. Gangguan bipolar I lebih lazim terjadi pada
orang lajang dan orang yang bercerai daripada yang menikah, tetapi perbedaan ini
dapat mencerminkan awitan dini serta karakteristik akibat perpecahan perkawian pada
gangguan ini. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara status sosioekonomi
dengan gangguan afektif bipolar, lebih lazim pada orang yang tidak lulus akademi
daripada lulusan akademi, suatu bukti dapat juga menunjukkan awitan usia yang
relatif dini pada gangguan ini. Prevalensi gangguan afektif tidak berbeda antar ras.
g. Faktor Resiko
a. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga (kematian, kegagalan dalam hubungan
interpersonal, frustasi dan hubungannya dengan kesetiaan)
b. Permasalahan rumah tangga yang berat
Learning Issue
Definisi
Gangguan afektif adalah kelompok gangguan mental dengan permasalah utama pada aspek
afektif, dengan atau tanpa gejala psikosis, tanpa tanda skizofrenia, dan dapat kembali secara
periodik.
Etiologi
1. Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenic (5-HIAA, HVA,
MHPG) dalam darah, urin, dan cairan serebrospinalis pasien dengan gangguan afektif.
Amin Biogenik
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling
terkait di dalam patofisiologi gangguan mood.
Norepinefrin. Penurunan norepinefrin menyebabkan terjadinya depresi. Hal ini dapat
diketahui dari downregulation reseptor beta adrenergic dan respons antidepresan klinis
serta keterlibatan reseptor prasinaps β2-adrenergik (aktivasi reseptor ini menyebabkan
penurunan jumlah pelepasan norepinefrin dan juga terletak pada neuron serotonergic
serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan).
Serotonin. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien
dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di dalam
cairan serebrospinal serta konsentrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada
trombosit. Pada terapi depresi, serotonin telah menjadi neurotransmitter amin biogenic
yang paling lazim dihubungkan dengan depresi (SSRI). Serotonin juga terlibat dalam
patofisiologi depresi.
Dopamin. Dopamin juga pernah diteorikan memiliki peranan. Data yang mendukung
bahwa aktivitas dopamine menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Hal ini
dapat dilihat pada penggunaan obat yang mengurangi konsentrasi dopamine (reserpine)
dan penyakit yang mengurangi konsentrasi dopamine seperti Parkinson, menyebabkan
pasien mengalami depresi. Dua teori terkini mengenai dopamine dan depresi adalah
bahwa jaras dopamine mesolimbic mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan
bahwa reseptor dopamin D1 mengalami hipoaktif pada depresi.
Faktor Neurokimia Lain. Data belum meyakinkan, namun neurotransmitter asam
amino (terutama asam γ-aminobutirat) dan peptoda neuroaktif (terutama vasopressin dan
opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.
Regulasi Neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin dan juga menerima berbagai input saraf melalui neurotransmitter amin
biogenic. Berbagai disregulasi neuroendokrin dilaporkan pada pasien gangguan mood
sehingga regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat fungsi neuron
yang mengandung amin biogenic yang abnormal juga. Aksis yang dimaksud adalah aksis
adrenal (hipersekresi kortisol pada depresi), aksis tiroid (5-10% pasien depresi, memiliki
gangguan tiroid), hormon pertumbuhan (somatostatin-meningkat pada depresi, prolactin-
dihambat dopamine, dirangsang serotonin).
Hal lain yang berhubungan dengan faktor biologis adalah kelainan tidur, irama
sirkadian, kindling, regulasi neuroimun, pencitraan otak, dan pertimbangan
neuroanatomis.
2. Faktor Genetik
Studi yang dilakukan pada keluarga, adopsi, anak kembar, dan keterkaitan kromosom
(bipolar I dengan kromosom sebelas dan kromosom X) menunjukkan bahwa data genetik
dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik signifikan terlibat dalam timbulnya
gangguan mood tetapi pewarisan genetik terjadi melalui mekanisme yang kompleks.
Peran dari faktor genetik pada bipolar lebih besar dari depresi. Penelitian yang dilakukan
dalam keluarga, apabila satu orang dari orang tua penderita gangguan mood memiliki
gangguan mood maka anak mereka memiliki faktor resiko 50%. Contoh lain pada anak
kembar monozigotik, presentasi untuk bipolar sekitar 33%-90% sedangkan pada depresi
memiliki presentasi sekitar 50%, tetapi untuk anak kembar dizigotik memiliki presentasi
hanya 25%. Dalam studi adopsi, seorang anak dengan orangtua biologis memiliki
gangguan, akan tetap memiliki pewarisan komponen genetik untuk gangguan depresi
berat.
3. Faktor Psikososial
Dari observasi, peristiwa kehidupan memainkan peran dalam gangguan mood terutama
depresi. Seperti adanya penelitian anak yang kehilangan orang tuanya pada saat mereka
berusia kurang dari 11 tahun atau kehilangan pasangan/PHK merupakan stresor terbesar
pada gangguan mood terutama depresi.
4. Formulasi lain depresi
a. Teori kognitif
Menurut teori ini, depresi terjadi akibat distorsi kognitif spesifik yang terdapat pada
seseorang yang rentan terhadap depresi. Distrorsi tersebut, depressogenic schemata,
merupakan cetakan kognitif yang menerima data internal maupun eksternal dengan
cara yang diubah oleh pengalaman sebelumnya.
b. Ketidakberdayaan yang dipelajari
Teori ini menghubungkan fenomena depresi dengan pengaaman/peristiwa yang tidak
dapat dikendalikan (anjing dalam laboratorium dipergunakan sebagai percobaan
dapat mengalami depresi, mengalami defisit motivasi).
Manifestasi Klinis
Gejala-gejala gangguan afektif terletak pada aspek afektif. Walaupun proses berpikir dan
perilaku mengalami gangguan, namun dapat terlihat lebih harmonis. Dapat dipisahkan
dengan jelas antara episode manik dan depresi.
Episode Manik
o Berhubungan aspek afektif
Jarang mengalami halusinasi (kebanyakan pujian)
Gangguan asosiasi berupa flight of ideas, logorrhoe, clang-associations
o Proses berpikir : megalomania, tidak sistematis, pemenuhan keinginan yang
berlebihan, terkadang ada delusi yang bersifat menggoda.
o Perilaku : hipoaktif, stupor, tidak ingin makan dan minum, dehidrasi
o Keadaan ringan:
Hipomania : berbicara sangat banyak, sibuk, percaya diri, harga diri berlebih,
agresif, mudah tersinggung, selalu berdebat, lebih kronis
Impresi : kepercayaan diri berlebihan, namun sebenarnya bergantung pada
orang lain secara berlebihan.
Episode Depresi
o Aspek afektif : hipotimia, pesimistik, merasa terganggu, dan murung
o Asosiasi terganggu dengan adanya hemung, sperung, berbicara monosilabel,
terkadang tidak bersuara.
o Proses berpikir : merasa berdosa dan bersalah, hipokondriasis, nihilism, delusi
menyalahkan diri sendiri, paranoid, halusinasi mengikuti sampai keinginan untuk
bunuh diri muncul.
o Hiperaktif, bernyanyi, menari, berteriak, tidak sopan, dan tidak pantas. Mudah
tersinggung, kurang tidur, dan tidak pernah merasa lelah, perhatian mudah
terganggu, banyak rencana namun tidak pernah selesai.
o Terjadi percobaan bunuh diri, retardasi motorik berkurang namun pemikiran bunuh
diri masih ada. Sering terjadi pada kecemasan dan adanya riwayat keluarga.
Prognosis
Episode manik
Jika lebih muda dari 20 tahun, maka akan menjadi lebih parah (onset 20-25 tahun).
Lebih akut lebih baik.
Eksaserbasi yang terjadi lebih sering memperburuk prognosis.
Jika ada gejala skizofrenik, prognosis buruk.
Tanpa terapi, serangan akan bertahan selama 6 bulan.
Sulit untuk mencegah eksaserbasi meskipun dengan menggunakan obat yang bagus
Kondisi kronik jarang ditemukan sebelum 40 tahun.
Episode depresi
Onset 30-35 tahun.
Semakin muda, maka prognosis lebih buruk
Jika depresi muncul, tidak dapat dipastikan apakah akan kambuh atau tidak.
Terjadi lebih disebabkan karena faktor genetik, dan prognosis lebih buruk.
Semakin tua, makan depresi lebih sering terjadi.
Tanpa terapi, pemulihan membutuhkan waktu 9 bulan.
Semakin akut semakin baik, kronis akan menyebabkan depresi ringan, dan lebih sering
berarti semakin parah.
Jika dibandingkan dengan episode mania, episode depresi lebih sering menjadi kronik.
Jika ada hipokondrik dan kenihilan yang parah dengan banyak kecemasan, maka akan
menyebabkan prognosis buruk.