Anda di halaman 1dari 57

A.

SKENARIO
Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibunya berobat ke poliklinik. Keluhan kedua mata
sering merah berulang dan terasa gatal. Keluhan terutama dirasakan bila pasien sering
bermain bola pada siang hari.
Riwayat keluarga: ayah pasien menderita penyakit asma.
Pemeriksaan oftalmologi:
VODS: 6/6
TIODS: 15,6 mmHg
Palpebra ODS: Blefarospasme
Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+), konjungtiva tarsal inferior ODS : tenang
Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)
Kornea ODS: Horner Trantas dots (+) di limbus,infiltrate punctata (-), shield ulcer (-)
BMD, iris,pupil, lensa ODS: dalam batas normal
Segmen posterior ODS: dalam bats normal

B. Klarifikasi Istilah
1. Asma: serangan dipsneu(sesak) paroksismal (tiba-tiba) berulang disertai mengi akibat
konstraksi spasmodik bronki.
2. Blefarospasme: renjatan otot orbicularis oculi akibat spasme, letih atau rentan yang
berupa tindakan memejamkan mata dengan kuat yang tidak disadari yang dapat
berlangsung selama beberapa detik-jam.
3. Konjungtiva: membran halus yang melapisi kelopak mata dan menutupi bola mata.
4. Konjungtiva tarsal: konjungtiva yang menutupi tarsus (jaringan ikat yang membentuk
rangka kelopak mata)
5. Giant papil: tonjolan yang terdapat pembuluh darah diatasnya dan berukuran lebih
dari 3mm.
6. Konjungtiva bulbi: konjungtiva yang menutupi bulbi (bola mata).
7. Injeksi konjungtiva: melebarnya arteri konjungtiva posterior.
8. Infiltrate punctata: bahan atau larutan yang diendapkan ditandai dengan titik atau
lubang.
9. Horner Trantas Dots: Bintik putih yang merupakan degenerasi epitel kornea yang
khas ditemukan pada vernal keratoconjungtivitis tipe limbal.
10. Shield ulcer: ulkus pada kornea.
11. BMD: Bilik Mata Depan.
C. Identifikasi Masalah
1. Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibunya berobat ke poliklinik. Keluhan
kedua mata sering merah berulang dan terasa gatal. Keluhan terutama dirasakan bila
pasien sering bermain bola pada siang hari.
2. Riwayat keluarga: ayah pasien menderita penyakit asma.
3. Pemeriksaan oftalmologi:
VODS: 6/6
TIODS: 15,6 mmHg
Palpebra ODS: Blefarospasme
Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+), konjungtiva tarsal inferior ODS :
tenang
Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)
Kornea ODS: Horner Trantas dots (+) di limbus,infiltrate punctata (-), shield ulcer (-)
BMD, iris,pupil, lensa ODS: dalam batas normal
Segmen posterior ODS: dalam bats normal

D. Analisis Masalah
1. Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibunya berobat ke poliklinik. Keluhan
kedua mata sering merah berulang dan terasa gatal. Keluhan terutama dirasakan bila
pasien sering bermain bola pada siang hari.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus?
Usia dan Jenis kelamin berhubungan dengan Vernal keratokonjungtivitis sebagai
suatu faktor resiko dimana:
- Usia
Vernal Keratokonjungtivitis muncul pada usia 4 – 20 tahun. Dimana lebih
dari 80% nya muncul pada usia kurang dari 10 tahun
- Jenis kelamin
Vernal Keratokonjungtivitis lebih sering diderita oleh anak laki-laki atau laki-
laki dewasa muda. Dengan perbandingan laki-laki lebih sering 2-4 kali
dibanding perempuan. Namun, pada usia yang lebih tua, perbandingan laki-
laki dan perempuan menjadi hampir sama.
Mengapa?
Hormon sex mungkin memiliki peran dalam patofisiologi penyakit alergi
melalui reaksi resiprokal diantara imun dan endokrin. Pada pasien VKC
dilaporkan bahwa reseptor estrogen dan progesteron mengalami overekspresi
pada konjungtiva oleh eosinofil dan sel inflamasi lain. Hormon ini dapat
berikatan dengan reseptor di konjungtiva dan mengerahkan efek
proinflamatori melalui rekruitmen eosinofil ke jaringan konjungtiva.
Di epitel dan subepitel konjungtiva tarsal dan bulbar pasien VKC,
menunjukkan pewarnaan positif untuk reseptor estrogen dan progesteron.
Immunofluorescence kolonisasi reseptor estrogen dan progesteron dengan
eosinophil cationic protein menunjukkan 70% sel positif yaitu eosinofil.
Kesimpulan: hormon sex, melalui reseptornya, mungkin mempengaruhi
aktivitas eosinofil pada pasien VKC

b. Bagaimana mekanisme mata sering merah berulang dan gatal pada kasus ini?
Mengapa terkena di kedua bola mata?
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik
terhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE
berperan sebagai homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel
basofil. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan
basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-
mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of anaphylaxis,
bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor agregasi
trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang mengakibatkan
efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai
dengan gejala seperti mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan
terdapat sekret yg bersifat mukoid.

c. Bagaimana etiologi mata sering merah berulang dan gatal pada kasus ini?
Kehadiran alergen pada konjungtiva memulai dua tanggapan simultan imun,
salah satu disebabkan oleh pelepasan yang disebut "pre-formed" mediator
inflamasi seperti histamin dari sel mast, dan yang lainnya oleh produksi asam
arakidonat yang disebut "newly-formed" mediator seperti prostaglandin.
Mediator Pre-formed dikeluarkan segera setelah paparan; mediator newly-formed
tertunda sekitar delapan sampai 24 jam.
Dalam degranulasi sel mast, alergen menarik dan mengikat antibodi yang dikenal
sebagai imunoglobulin E (disingkat "IgE"), kemudian berikatan dengan sel mast
dan menyebabkan mereka berdegranulas. Ini membebaskan mediator pre-formed.
Efeknya dapat berupa langsung, tidak langsung atau kombinasi dari keduanya.
Dua mediator penting dilepaskan dari sel mast, histamin dan bradikinin,
segera mulai untuk merangsang ujung saraf yang disebut nosiseptor,
menciptakan sensasi gatal. Keduanya juga meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan vasodilatasi; ini menyebabkan tanda-tanda klinis
kemerahan dan injeksi konjungtiva.
Sementara itu, mediator lain dilepaskan dari sel mast mengirimkan sinyal kimia
yang menarik baik sel darah merah dan putih ke daerah. Setelah sel-sel ini tiba,
mereka dengan mudah mencapai permukaan konjungtiva dengan bergerak
melalui kapiler berdilatasi dan sangat permeabel.Mekanisme pertahanan tubuh
lain, disebut sebagai asam arakidonat, menghasilkan tiga inflamasi baru
terbentuk mediator-prostaglandin, tromboksan dan leukotrien-yang secara
kolektif dikenal sebagai eikosanoid.
Hampir semua sel mengandung lapisan fosfolipid dalam dinding sel nya. Setiap
gangguan atau ancaman sinyal sel mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat.
Ketika asam arakidonat berinteraksi dengan dua enzim yang dikenal sebagai
siklooksigenase dan lipoksigenase, itu dimetabolisme menjadi eikosanoid.
Kehadiran alergen ini memulai kaskade asam arakidonat baik di dalam sel epitel
konjungtiva dan juga dalam sel mast karena mereka berdegranulasi.
Sama seperti histamin dan bradikinin, prostaglandin langsung merangsang
ujung saraf untuk menghasilkan sensasi gatal dan nyeri, dan juga
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi. Leukotrien
terutama menarik makrofag (sel darah putih).

d. Mengapa keluhan terutama dirasakan bila pasien bermain bola di siang hari?
VKC lebih sering diderita oleh masyarakat yang tinggal didaerah tropis dan area
yang panas seperti Timur tengah, Mediterania, dan Afrika dibandingkan dengan
daerah yang cenderung lebih dingin.
Adanya laporan bahwa pada VKC terjadi hiperreaktivitas ketika sinar matahari,
debu, angin, dan faktor cuaca lain atau faktor non spesifik kontak dengan mukosa
konjungtiva. Dimana hiperreaktivitas ini bersamaan dengan astma dan penyakit
alergi lainnya. Walaupun hingga sekarang mekanisme hiperreaktivitas non
spesifik ini masih belum dapat dimengerti, namun kemungkinan yang diajukan
adalah pelepasan mediator vasoaktif.

2. Riwayat keluarga: ayah pasien menderita penyakit asma.


a. Bagaimana riwayat penyakit asma ayah dengan kasus?
Anak dengan riwayat keluarga ada yang menderita astma juga akan berisiko
menderita astma. Pada penderita astma terjadi reaksi hipersensitivitas 1 IgE, sel
mast dan histamin. Astma bisa kambuh jika ada alergen yang memicunya, begitu
juga dengan konjungtivitis vernal. Jika reaksi alergi terjadi, maka akan
merangsang zat imun IgE, dan lainnya.
Pada jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan kontaminasi zat imun,
yaitu: spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya membentuk
sel plasma sedangkan Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal.
Kandungan IgE pada air mata memiliki korelasi yang signifikan antara air mata
dengan level kandungan serum pada kedua mata (P<0.05). Kandungan IgE pada
air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam serum
(1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien konjungtivitis vernal
melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada air mata (61ng/ml)
dari orang normal.
Butiran antibodi IgE secara spesifik ditemukan pada air mata lebih banyak
daripada butiran antibodi pada serum. Pasien yang memiliki level antibodi IgG
yang signifikan yang menjadi butiran pada air matanyaOrang normal tidak
memiliki jenis antibodi ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan
ini menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme
imun yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal
antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata.
Kondisi ini ditemukan negatif pada orang-orang yang memiliki alergi udara,
tetapi pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak berhubungan dengan
antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE.
Kandungan histamin pada air mata d pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara
signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air mata orang normal
(10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan menggunakan mikroskopi
elektron yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mastosit
dalam substantia propia daripada dengan pengamatan yang menggunakan
mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ”hantu” ini terdapat pada air
mata dengan level histamin yang lebih tinggi.
Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan adanya
banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap
pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis
vernal.

3. Pemeriksaan oftalmologi:
VODS: 6/6
TIODS: 15,6 mmHg
Palpebra ODS: Blefarospasme
Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+), konjungtiva tarsal inferior ODS :
tenang
Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)
Kornea ODS: Horner Trantas dots (+) di limbus,infiltrate punctata (-), shield ulcer (-)
BMD, iris,pupil, lensa ODS: dalam batas normal
Segmen posterior ODS: dalam bats normal
a. Bagaimana tujuan pemeriksaan?
Visus : untuk mengetahui visus seseorang dan memberikan penilaian menurut
ukuran baku yang ada. Visus harus diperiksa walaupun secara kasar untuk
membandingkan visus kedua mata, apakah ada kelainan tertentu. Kedua mata
diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan diperiksa binokuler tidak dapat diketahui
adanya kekaburan pada satu mata.
Tekanan Intra Okular : untuk mengetahui tekanan intra okular pada pasien
apakah ada peningkatan atau tidak.
Palpebra : untuk melihat adakah kelainan palpebra yang dapat dilihat langsung
dari kamar terang.
Konjungtiva : untuk melihat apakah ada kelainan pada konjungtiva, biasanya
dapat mengindikasikan adanya radang.
Kornea : untuk melihat apakah ada kelainan pada kornea
b. Bagaimana cara pemeriksaan?
Visus :
Pemeriksaan visus dapat dilakukan dengan menggunakan Optotype Snellen, kartu
Cincin Landolt, kartu uji E, dan kartu uji Sheridan/Gardiner. Optotype Snellen terdiri
atas sederetan huruf dengan ukuran yang berbeda dan bertingkat serta disusun dalam
baris mendatar. Huruf yang teratas adalah yang besar, makin ke bawah makin kecil.
Penderita membaca Optotype Snellen dari jarak 6 m, karena pada jarak ini mata akan
melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pembacaan mula-
mula dilakukan oleh mata kanan dengan terlebih dahulu menutup mata kiri. Lalu
dilakukan secara bergantian. Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan.
Pembilang menunjukkan jarak pasien dengan kartu, sedangkan penyebut adalah jarak
pasien yang penglihatannya masih normal bisa membaca baris yang sama pada kartu.
Pada tabel di bawah ini terlihat visus yang dinyatakan dalam sistem desimal, Snellen
dalam meter dan kaki.
Data Penggolongan Visus dalam Desimal

Data Penggolongan Visus


     Dengan Optotype Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan
melihat seseorang, seperti : 

1. Bila visus 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh
orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30,
berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
3. Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50,
berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4. Bila visus adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6 meter yang oleh
orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan
uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan
pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam
penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari
pada jarak 1 meter.
7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan visus pasien yang lebih buruk
daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak
300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter berarti
visus adalah 1/300.
8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat
melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang
normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.

Tekanan Intra Okular :


Tonometri Schiotz

Tonometer Schiotz merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea


dengan beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Benda yang ditaruh pada
bola mata (kornea) akan menekan bola mata kedalam dan mendapatkan perlawanan
tekanan dari dalam melalui kornea. Keseimbangan tekanan tergantung beban
tonometer.
Alat dan Bahan : Tonometer Schiotz dan anestesi local (pantokain 0.5%)
Teknik :
 Pasien diminta rileks dan tidur telentang
 Mata diteteskan pantokain dan ditunggu sampai pasien tidak merasa perih
 Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan sampai bola mata
tertekan
 Pasien diminta melihat lurus keatas dan telapak tonometer Schiotz diletakkan pada
permukaan kornea tanpa menekannya
 Baca nilai tekanan skala busur schiotz yang berantara 0-15. Apabila dengan beban 5.5
gr (beban standar) terbaca kurang dari 3 maka ditambahkan beban 7.5 atau 10 gr.
Nilai : pembacaan skala dikonversikan pada table tonometer schoitz untuk
mengetahui tekanan bola mata dalam mmHg
Pada tekanan lebih dari 20mmHg dicurigai glaucoma, jika lebih dari 25 mmHg pasien
menderita glaucoma.
Angka skala Tekanan bola mata (mmHg) berdasarkan masing masing
beban
5.5 gr 7.5 gr 10 gr
3.0 24.4 35.8 50.6
3.5 22.4 33.0 46.9
4.0 20.6 30.4 43.4
4.5 18.9 28.0 40.2
5.0 17.3 25.8 37.2
5.5 15.9 23.8 34.4
6.0 14.6 21.9 31.8
6.5 13.4 20.1 29.4
7.0 12.2 18.5 27.2
7.5 11.2 17.0 25.1
8.0 10.2 15.6 23.1
8.5 9.4 14.3 21.3
9.0 8.5 13.1 19.6
9.5 7.8 12.0 18.0
10.0 7.1 10.9 16.5
Kekurangan : tonometer schiotz tidak dapat dipercaya pada penderita myopia dan
penyakit tiroid dibanding dengan tonometer aplanasi karena terdapat pengaruh
kekakuan sclera pada penderita myopia dan tiroid.

Tonometri Aplanasi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan tekanan intra ocular dengan


menghilangkan pengaruh kekakuan sclera dengan mendatarkan permukaan kornea.
Tekanan merupakan tenaga dibagi dengan luas yang ditekan. Untuk mengukur
tekanan mata harus diketahui luas penampang yang ditekan alat sampai kornea rata
dan jumlah tenaga yang diberikan. Pada tonometer Aplanasi Goldmann jumlah
tekanan dibagi penampang dikali 10 dikonversi dalam mmHg tekanan bola mata.
Dengan tonometer aplanasi tidak diperhatikan kekakuan sclera karena pada tonometer
ini pengembangan dalam mata 0.5 mm 3 sehingga tidak terjadi pengembangan sclera
yang berarti. Pada tonometer schiotz , pergerakan cairan bola mata sebanyak 7-14
mm3 sehingga kekakuan sclera memegang peranan dalam penghitungan tekanan bola
mata
Alat :
 Slit lamp dengan sinar biru
 Tonometer Aplanasi
 Flouresein strip
 Obat anastesi local
Teknik :
 Mata yang akan diperiksa diberi anastesi topical pantocain 0.5%
 Pada mata tersebut ditempelkan kertas flouresein yaitu pada daerah limbus inferior.
Sinar oblik warna biru disinarkan dari slit lamp kedasar telapak prisma tonometer Aplanasi
Goldmann
 Pasien diminta duduk dan meletakkan dagunya pada slitlamp dan dahinya tepat
dipenyangganya.
 Pada skala tonometer aplanasi dipasang tombol tekanan 10mmHg
 Telapak prisma aplanasi didekatkan pada kornea perlahan lahan
 Tekanan ditambah sehingga gambar kedua setengah lingkaran pada kornea yang telah
diberi flouresein terlihat bagian luar berhimpit dengan bagian dalam
 Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang member gambaran
setengah lingkaran yang berhimpit. Tekanan tersebut merupakan TIO dalam mmHg.
Nilai : dengan tonometer Aplanasi, jika TIO > 20 mmHg sudah dianggap menderita
glaucoma.

Palpebra : dilihat secara objektif pada pemeriksaan di kamar terang


Konjungtiva tarsal :
Setelah diberi anestesi lokal, pasien duduk di depan slitlamp dan diminta melihat ke
bawah. Pemeriksa dengan hati- hari memegang bulu mata atas dengan jari telunjuk
dan jempol sementara tangan yang lain meletakkan tangkai aplikator tepat diatas tepi
superior tarsus. Palpebra dibalik dengan sedikit menekan aplikator ke bawah, serentak
dengan pengangkatan tepian bulu mata. Pasien tetap melihat ke bawah, dan bulu mata
ditahan dengan menekannya pada kulit diatas tepian orbita superior saat aplikator
ditarik kembali. Konjungtiva tarsal kemudian diamati dengan pembesaran. Untuk
mengembalikannya, tepian palpebra dengan lembut diusap ke bawah sementara
pasien melihat ke atas.
c. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?
No. Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
1. VODS : 6/6 VODS : 6/6 Normal
2. TIODS : 15,6 mmHg TIODS : 10-20 mmHg Normal

3. Palpebra ODS: (-) Iritasi pada bagian


Blefarospasme dalam kelopak mata
dan permukaan mata
4. Konjungtiva tarsal (-) sel limfosit
superior ODS: Giant terakumulasi dan
papil (+), terjadi sintesis
kolagen baru
5. Konjungtiva tarsal Konjungtiva tarsal Normal
inferior ODS : tenang inferior ODS : tenang

6. Konjungtiva bulbi (-) melebarnya arteri


ODS: Injeksi konjungtiva posterior
konjungtiva (+)
7. Kornea ODS: Horner (-) adanya degenerasi
Trantas dots (+) di epitel kornea
limbus,infiltrate (tumpukan sel-sel
punctata (-), shield eosinofil)
ulcer (-)

d. Bagaimana mekanisme abnormalitas hasil pemeriksaan?


Blafarospasme
pusat kontrol pusat gagal untuk mengatur berkedip di blepharospasm, diyakini
menjadi hanya satu komponen dari kelebihan beban atau sirkuit yang terganggu.
Sirkuit ini membentuk lingkaran setan blepharospasm, yang terdiri dari anggota
tubuh sensorik, pusat kontrol pusat yang terletak di otak tengah, dan anggota
badan motorik. Ekstremitas sensorik merespon rangsangan multifaktorial,
termasuk cahaya, kornea atau iritasi kelopak mata, nyeri, emosi, stres, atau
berbagai stimulan trigeminal lainnya. Rangsangan ini dikirim ke pusat kontrol
pusat, yang mungkin secara genetik cenderung melemah karena cedera atau usia.
Ini pusat kontrol pusat yang abnormal gagal untuk mengatur rangkaian umpan
balik positif. Jalur persarafan motorik terdiri dari nucleus facial, saraf wajah, dan
orbicularis oculi, corrugator, dan otot procerus. Otot-otot wajah lain juga mungkin
terlibat

Giant Papil
Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang
dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma
pada konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid.
Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil,
menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak
hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa
kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar.
Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen,
hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel
radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler
mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada
pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant
papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas.

Injeksi Konjungtiva
Kemerahan paling nyata didaerah forniks dan berkurang ke arah limbus,
disebabkan dilatasi arteri konjungtiva posterior akibat adanya peradangan. Warna
merah terang mengesankan konjungtivitis bakterial, dan warna keputihan mirip
susu mengesankan konjungtivitis alergi.

Horner Trantas Dots


Trantas dot merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel
limbus kornea, terbentuknya panus dengan sedikit eosinofil.

E. Learning Issue
a. Anatomi Mata
Kelopak Mata

Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi
kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan komea. Palpebra merupakan alat
menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan
pengeringan bola mata. Dapat membuka diri untuk memberi jalan masuk sinar kedalam bola
mata yang dibutuhkan untuk penglihatan.Pembasahan dan. pelicinan seluruh permukaan bola
mata terjadi karena pemerataan air mata dan sekresi berbagai kelenjar sebagai akibat gerakan
buka tutup kelopak mata. Kedipan kelopak mata sekaligus menyingkirkan debu yang masuk.
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian belakang
ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.
Pada kelopak terdapat bagian-bagian :
- Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis
pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.
- Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan
bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat
otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi
menutup bola mata yang dipersarafi N. facial M. levator palpebra, yang berorigo pada
anulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M.
orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M.
levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh n.
III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.
- Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di
dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.
- Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan
pembatas isi orbita dengan kelopak depan.
- Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh
lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan ikat yang merupakan
jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom (40 bush di kelopak atas dan 20
pada kelopak bawah).
- Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.
- Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N.V, sedang
kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan melakukan
eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli. Konjungtiva
merupakan membran mukosa yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin.

Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva
mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola
mata terutama kornea.
Selaput ini mencegah benda-benda asing di dalam mata seperti bulu mata atau lensa kontak
(contact lens), agar tidak tergelincir ke belakang mata. Bersama-sama dengan kelenjar
lacrimal yang memproduksi air mata, selaput ini turut menjaga agar cornea tidak kering.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan
dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
- Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
Bola Mata

Bola mata terdiri atas :


- dinding bola mata
- isi bola mata.
Dinding bola mata terdiri atas :
- sklera
- kornea.
Isi bola mata terdiri atas uvea, retina, badan kaca dan lensa.
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan
(kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu :
1. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata,
merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut
kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera.
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang
yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang
disebut perdarahan suprakoroid.
Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan pupil yang
oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola mata. Otot
dilatator dipersarafi oleh parasimpatis, sedang sfingter iris dan otot siliar di persarafi oleh
parasimpatis. Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk
kebutuhan akomodasi.
Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor),
yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan
sklera.
3. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan
lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan
merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak. Terdapat
rongga yang potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid
yang disebut ablasi retina.
Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin yang hanya
menempel pupil saraf optik, makula dan pars plans. Bila terdapat jaringan ikat di dalam
badan kaca disertai dengan tarikan pada retina, maka akan robek dan terjadi ablasi retina.
Lensa terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar
melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat
sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea.
Terdapat 6 otot penggerak bola mata, dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak di
daerah temporal atas di dalam rongga orbita.

Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus dan
pelindung isi bola mata. Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea. Sklera sebagai
dinding bola mata merupakan jaringan yang kuat, tidak bening, tidak kenyal dan tebalnya
kira-kira 1 mm.
Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vaskular. Sklera mempunyai kekakuan
tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Dibagian belakang saraf
optik menembus sklera dan tempat tersebut disebut kribosa. Bagian luar sklera berwarna
putih dan halus dilapisi oleh kapsul Tenon dan dibagian depan oleh konjungtiva. Diantara
stroma sklera dan kapsul Tenon terdapat episklera. Bagian dalamnya berwarna coklat dan
kasar dan dihubungkan dengan koroid oleh filamen-filamen jaringan ikat yang berpigmen,
yang merupakan dinding luar ruangan suprakoroid.

Kornea

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata
yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri atas lapis :
1. Epitel
- Tebalnya 50 pm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang sating tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal Bering terlihat mitosis sel, dan sel muds ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel komea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma komea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan
berkembang terns seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 pm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbul Krause untuk
sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50
dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

Uvea
Walaupun dibicarakan sebagai isi, sesungguhnya uvea merupakan dinding kedua bola mata
yang lunak, terdiri atas 3 bagian, yaitu iris, badan siliar, dan koroid.
Pendarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar
posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat tempat masuk
saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial
inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung
menjadi satu membentuk arteri sirkularis mayor pada badan siliar. Uvae posterior mendapat
perdarahan dari 15 - 20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar
tempat masuk saraf optik.
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan otot
rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior
yaitu :
1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut sensoris untuk
komea, iris, dan badan siliar.
2. Saraf simpatis yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang
melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil.
Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris terdiri atas bagian
pupil dan bagian tepi siliar, dan badan siliar terletak antara iris dan koroid. Batas antara
korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm temporal dan 7 mm nasal. Di dalam
badan siliar terdapat 3 otot akomodasi yaitu longitudinal, radiar, dan sirkular.1
Ditengah iris terdapat lubang yang dinamakan pupil, yang mengatur banyak sedikitnya
cahaya yang masuk kedalam mata. Iris berpangkal pada badan siliar dan memisahkan bilik
mata depan dengan bilik mata belakang. Permukaan depan iris warnanya sangat bervariasi
dan mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kripti.
Badan siliar dimulai dari basis iris kebelakang sampai koroid, yang terdiri atas otot-otot siliar
dan proses siliar. Otot-otot siliar berfungsi untuk akomodasi. Jika otot-otot ini berkontraksi ia
menarik proses siliar dan koroid kedepan dan kedalam, mengendorkan zonula Zinn sehingga
lensa menjadi lebih cembung.
Koroid adalah suatu membran yang berwarna coklat tua, yang letaknya diantara sklera dan.
retina terbentang dari ora serata sampai kepapil saraf optik. Koroid kaya pembuluh darah dan
berfungsi terutama memberi nutrisi kepada retina.

Pupil
Pupil merupakan lubang ditengah iris yang mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk.
Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang dewasa
ukuran pupil adalah sedang, dan orang tua pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan
oleh lensa yang sklerosis.
Pupil waktu tidur kecil , hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur
sesungguhnya. Pupil kecil waktu tidur akibat dari :
1. Berkurangnya rangsangan simpatis
2. Kurang rangsangan hambatan miosis
Bila subkorteks bekerja sempurna maka terjadi miosis. Di waktu bangun korteks
menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan subkorteks
hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan menjadikan miosis. Fungsi
mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi dan untuk
memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang difragmanya dikecilkan.

Sudut bilik mata depan


Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada bagian ini
terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar cairan
mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehinga tekanan bola
mata meninggi atau glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini didapatkan jaringan trabekulum,
kanal Schelmm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris.
Sudut filtrasi berbatas dengan akar berhubungan dengan sklera kornea dan disini ditemukan
sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan batas belakang sudut
filtrasi Berta tempat insersi otot siliar longitudinal. Anyaman trabekula mengisi
kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua komponen yaitu badan siliar dan uvea.
Pada sudut fitrasi terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel dan
membran descement, dan kanal Schlemm yang menampung cairan mata keluar ke
salurannya. Sudut bilik mata depan sempit terdapat pada mata berbakat glaukoma sudut
tertutup, hipermetropia, blokade pupil, katarak intumesen, dan sinekia posterior perifer.

Retina
Retina adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas penyebaran daripada serabut-
serabut saraf optik. Letaknya antara badan kaca dan koroid. Bagian anterior berakhir pada ora
serata. Dibagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan terdapat makula lutea
(bintik kuning) kira-kira berdiameter 1 - 2 mm yang berperan penting untuk tajam
penglihatan. Ditengah makula lutea terdapat bercak mengkilat yang merupakan reflek fovea.
Kira-kira 3 mm kearah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih kemerah-
merahan, disebut papil saraf optik, yang ditengahnya agak melekuk dinamakan ekskavasi
faali. Arteri retina sentral bersama venanya masuk kedalam bola mata ditengah papil saraf
optik. Arteri retina merupakan pembuluh darah terminal.
Retina terdiri atas lapisan:
1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai
bentuk ramping, dan sel kerucut.
2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.
3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga
lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller Lapis
ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral
6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel bipolar,
sel amakrin dengan sel ganglion
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arch saraf optik. Di
dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
2. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.
Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid. 1 Batang lebih
banyak daripada kerucut, kecuali didaerah makula, dimana kerucut lebih banyak. Daerah
papil saraf optik terutama terdiri atas serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya
penglihatan (bintik buta).

Badan kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensa dengan
retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Mengandung air sebanyak 90%
sehingga tidak dapat lagi menyerap air. Sesungguhnya fungsi badan kaca sama dengan fungsi
cairan mata, yaitu mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang
untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Badan kaca melekat pada bagian tertentu
jaringan bola mata. Perlekatan itu terdapat pada bagian yang disebut ora serata, pars plana,
dan papil saraf optik. Kebeningan badan kaca disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah
dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhan badan kaca akan memudahkan
melihat bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskopi.
Struktur badan kaca merupakan anyaman yang bening dengan diantaranya cairan bening.
Badan kaca tidak mempunyai pembuluh darah dan menerima nutrisinya dari jaringan
sekitarnya: koroid, badan siliar dan retina.
Lensa mata
Lensa merupakan badan yang bening, bikonveks 5 mm tebalnya dan berdiameter 9 mm pada
orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih melengkung daripada bagian anterior.
Kedua permukaan tersebut bertemu pada tepi lensa yang dinamakan ekuator. Lensa
mempunyai kapsul yang bening dan pada ekuator difiksasi oleh zonula Zinn pada badan
siliar. Lensa pada orang dewasa terdiri atas bagian inti (nukleus) dan bagian tepi (korteks).
Nukleus lebih keras daripada korteks.
Dengan bertambahnya umur, nukleus makin membesar sedang korteks makin menipis,
sehingga akhirnya seluruh lensa mempunyai konsistensi nukleus.
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu :
- Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi
cembung
- Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,
- Terletak di tempatnya.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :
- Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia,
- Keruh atau spa yang disebut katarak,
- Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi.
Lensa orang dewasa di dalam perjalanan hidupnya akan menjadi bertambah besar dan berat.
Fungsi lensa adalah untuk membias cahaya, sehingga difokuskan pada retina. Peningkatan
kekuatan pembiasan lensa disebut akomodasi.

Rongga Orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk
dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri
atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan zigomatikus.
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding
lateral orbita membentuk sudut 45 derajat dengan dinding medialnya.
Dinding orbita terdiri atas tulang :
1. Atap atau superior : os.frontal
1. Lateral : os.frontal. os. zigomatik, ala magna os. fenoid
1. Inferior : os. zigomatik, os. maksila, os. palatina
2. Nasal : os. maksila, os. lakrimal, os. etmoid
Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf
optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.
Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V), saraf
frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan
arteri vena oftalmik.
Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf infra-orbita
dan zigomatik dan arteri infra orbita.
Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.
Rongga orbita tidak mengandung pembuluh atau kelenjar limfa.

Otot Penggerak Mata

Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakkan mata tergantung
pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot.1 Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot
yaitu :
1. Otot Oblik Inferior
Oblik inferior mempunyai origo pada foss lakrimal tulang lakrimal, berinsersi pada sklera
posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk
menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi.
1. Otot Oblik Superior
Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenodi di atas foramen optik,
berjalan menuju troklea dan dikatrol batik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior,
yang kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior
dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat.
Mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata dengan kerja utama terjadi
bila sumbu aksi dan sumbu penglihatan search atau mata melihat ke arch nasal. Berfungsi
menggerakkan bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi
dan insiklotorsi.
Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.
3. Otot Rektus Inferior
Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola
mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik
inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood.
Rektus inferior dipersarafi oleh n. III
Fungsi menggerakkan mata - depresi (gerak primer)
- eksoklotorsi (gerak sekunder)
- aduksi (gerak sekunder)
Rektus inferior membentuk sudut 23 derajat dengan sumbu penglihatan.
4. Otot Rektus Lateral
Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen optik. Rektus
lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi.
5. Otot Rektus Medius
Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf optik yang
sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat neuritis retrobulbar,
dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling
tebal dengan tendon terpendek.
Menggerakkan mata untuk aduksi (gerak primer).
6. Otot Rektus Superior
Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior beserta
lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila
terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi
cabang superior N.III.

Fungsinya menggerakkan mata-elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral :


- aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral
- insiklotorsi
Saraf-Saraf Orbita
1. N.II (Nervus Optikus)
N. optikus muncul dari bagian belakang bola mata dan meninggalkan orbita melalui
canalis optikus untuk masuk ke dalam rongga cranium. Selanjutnya menyatu dengan n.
optikus sisi lainnya membentuk chiasma opticum. Pada chiasma, serabut-serabut dari
belahan medial masing-masing retina menyilang garis tengah dan masuk ke tractus
opticus sisi kontralateral, sedangkan serabut-serabut belahan lateral retina berjalan ke
posterior di dalam traktus opticus sisi yang sama. Hampir seluruh serabut-serabut tractus
opticus berakhir dengan bersinaps pada sel-sel di dalam corpus geniculatum lateral. Axon
sel-sel saraf dari corpus geniculatum lateral berjalan ke posterior sebagai radiation optica
dan berakhir pada cortex visual hemispherium cerebri.
2. N.III (Nervus Oculomotorius)
N. oculomotorius keluar dari permukaan anterior mesencephalon. Saraf ini berjalan ke
depan di antara a. cerebri posterior dan a. ceberi superior. Kemudian berjalan terus ke
depan di dalam fossa crania anterior pada dinding lateral sinus cavernosus. Disini, saraf
ini bercabang dua menjadi ramus superior dan ramus inferior, yang masuk ke dalam
rongga orbita melalui fissure orbitalis superior. Ramus superior dan inferior n.
oculomotorius mempersarafi otot-otot ekstrinsik mata : m. levator palpebrae, m. rectus
superior, m. rectus medialis, m. recuts inferior, m. obliquus inferior.
3. N. IV (Nervus Trochlearis)
N. trochlearis meninggalkan permukaan posterior mesencephalon dan segera menyilang
saraf sisi lainnya. N. trochlearis berjalan ke depan melalui fossa crania media dan pada
dinding lateral sinus cavernosus. Setelah masuk ke dalam rongga orbita melalui fissure
orbitalis superior, saraf ini mempersarafi m. obliquus superior bola mata.
4. N. VI (Nervus Abducens)
Saraf ini muncul dari permukaan anterior rhombencephalon di antara pons dan medulla
oblongata, dan berjalan ke depan bersama a. carotis interna melalui sinus cavernosus di
dalam fossa crania media dan masuk orbita melalui fissure orbitalis superior. N. abducens
mempersarafi m. rectus lateralis.

b. Histologi dan Histopatologi Mata


Histologi Mata
1. Konjungtiva

Konjungtiva bersambung dengan epitel kornea pada batas tepi kornea dan dengan
kulit pada batas tepi kornea dan dengan kulit pada tepi kelopak mata. Epitel konjungtiva
beragam menurut tempatnya. Epitel konjungtiva terdiri dari membran basal yang terdiri dari
sel kuboid dan lapisan permukaan yang terdiri dari sel kerucut atau silindris, dan terutama
pada yang melapisi kelopak bawah, terdapat beberapa lapisan intermedia yang terdiri dari
satu hingga tiga lpisan sel poligonal. Di antara sel epitel tersebar beberapa sel goblet yang
mensekresi mukus.

Sel-sel epitel superfisial konjungtiva mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukusdiperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata. Stroma
konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.

Pada stroma juga terdapat kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring),
yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal. Sebagian besar kelenjar Krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus
atas.

Goblet cells ( arrows ) are prominent in this section of conjunctival epithelium.


Scattered mononuclear cells are often present in apparently healthy individuals in the
underlying conjunctival stroma.
In dark-skinned individuals, the basal layers of the conjunctival epithelium are
pigmented ( arrows )

A small lymphoid follicle and island of accessory lacrimal tissue are present in the
stroma of the palpebral conjunctiva

The conjunctiva can be divided into three parts. The palpebral conjunctiva ( arrow )
lines the posterior surface of the eyelid. The bulbar conjunctiva ( double arrows )
extends from the limbus over the anterior sclera. The bulbar and palpebral conjunctiva
converge upon the conjunctiva of the superior and inferior fornices ( triple arrows )
2. Kelopak Mata
Lapisan kelopak mata terdiri dari kulit tipis. Epidermis terdiridari epitel berlapis
gepeng dengan papila. Di dermis terdapat folikel rambut dengan kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat.
Lapisan interior kelopak mata adalah membran mukosa yang disebut konjungtiva
palpebra. Bagian ini terletak dekat dengan bola mata. Epitel konjungtiva palpebra adalah
epitel berlapis kolumnar rendah dengan sedikit sel goblet. Epitel berlapis gepeng kulit tipis
berlanjut hingga ke tepi kelopak mata dan kemudian menyatu dengan epitel berlapis silinder
konjungtiva palpebra.
Lamina propia konjungtiva palpebra yang tipis mengan dung serat elastik dan
kolagen. Di bawah lamina propia adalah lempeng jaringan ikat kolagenosa padat yang
disebut tarsus, tempat ditemukannya kelenjar sebasea khusus yang besar yaitu kelenjar tarsal
(meibomian)(glandula sebasea tarsalis). Asini sekretorik kelenjar tarsal bermuara ke dalam
duktus sentralis yang berlajan sejajar dengan konjungtiva palpebra dan bermuara di tepi
kelopak mata.
Ujung bebas kelopak mata terdapat bulu mata (cilia palpebrae) yang berasal dari
folikel rambut panjang dan besar. Bulu mata berhubungan dengan kelenjar sebasea kecil. Di
antara folike-folikel rambut bulu mata terdapat kelenjar keringat (Moll) (glandula sudorifera
palpebralis) besar.
Kelopak mata mengandung tiga jenis otot; bagian palpebra otot rangka yaitu
orbikularis okuli (musculus orbicularis oculi); otot rangka siliaris (Riolan) (musculus ciliaris)
di bagian folikel rambut, bulu mata, dan kelenjar tarsal; dan otot polos yaitu otot tarsal
superior (Muller) (musculus tarsalis superior) di kelopak mata atas.
Jaringan ikat kelopak mata mengandung sel adiposa, pembuluh darah, dan jaringan
limfoid.
3. Limbus

 Limbus merupakan zona peralihan dari kornea ke sklera.


 sangat vaskuler
 Di lapisan stroma terdapat saluran tak teratur berlapis endotel, yaitu jalinan trabekula,
menyatu membentuk kanalis Schlemm, yang berfungsi mengangkut pergi cairan dari
COA/bilik depan.

4. Kornea
Kornea merupakan bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya dan merupakan
lensa konveks-konkaf,kornea bagian tengah mata lebih tebal dari bagian perifer.kornea
memiliki lima lapisan:(1) epitel anterior, (2) membran basal, (3) subsansia propia, (4)
membrans limitans posterior, (5) epitel posterior.
Sel sel yang paling dominan dalam substansia propia adalah fibroblast,terutama
terletak di lapis serabut kolage. Sel ini berbentuk memanjang serta bercabang dengan sedikit
sitoplasma.
Sel sel dan serabut yang tertanam dalam matriks yang bersifat amorf yang mengambil
warna metakromatik disebabkan adanya sulfatet glicosaminoglicans.matriks yang berperan
penting dalam memberikan sifat tembus cahaya pada kornea, dengan mempertahankan
derajat optimal dari dehidrasi; terlalu banyak kandungan air membuat kornea manjadi keruh.
Kornea memiliki 5 lapisan yaitu 1. Epitel, 2. Lapisan Bowman, 3. Stroma, 4. Membran
Descemet, dan 5. Endotel kornea
1. Corneal epithelium
merupakan epitel skuamosa non-keratinisasi dengan lapisan sel basal dapat mencapai
5-7 lapis sampai lapisan superfisial dengan ketebalan total sekitar 50 um.
Lapisan basal terdiri dari satu lapisan cuboidal sel kolumnar (~ 18 μ tinggi). Di atas
lapisan sel basal 2 lapisan sel sayap (berbentuk seperti sayap). Di luar lapisan ini dua
sel superfisial menjadi lebih datar dan lebih padat dengan beberapa kehilangan
organel sel.
Permukaan atau sel superfisial memiliki butiran glikogen serta membran luar tebal
(100 angstrom) yang PAS positif. The glycocalyx permukaan terdiri dari mucins
transmembran, MUC1 dan MUC16 yang berasal dari permukaan. Pada gambar di
bawah daerah cokelat merupakan pewarnaan imunohistokimia pada epitel kornea
superfisial (biasanya sekitar 2 lapisan) oleh antibodi terhadap mucin 0-linked yang
disebut MUC.
Sel-sel permukaan ditutupi oleh microvillous / microplical, undulasi saling
berhubungan yang diukur sekitar 0,5 mikron ketebalan dan tinggi dan 1-3 mikron
panjang, tidak terlihat dalam foto ini.
Banyak ujung saraf bebas berhenti dalam epitel ini dan merupakan aferen bagian dari
refleks berkedip (silia), yang dimediasi terutama melalui bagian sensorik dari saraf
kranial kelima (V1). Saraf umumnya muncul dari saraf siliaris posterior longus.
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa saraf terutama hadir dalam dua pertiga
anterior dari kornea dan membran Descemet kehilangan persarafan. Saraf yang masuk
di limbus, kehilangan perineuria mereka serta selubung myelin. Pleksus sub-epitel
atau sub-basal sangat padat dengan persarafan. Saraf mengirimkan cabang di sudut 90
derajat ke permukaan dan menembus lapisan Bowman. Saraf benar-benar kehilangan
selubung myelin mereka saat mereka menembus lapisan Bowman. Saraf menembus
hingga 2 lapisan sel dari permukaan (dekat sel superfisial).
2. Bowman’s layer
Lapisan Bowman terdiri dari fibril kolagen halus dan sekitar 10 m tebal. Lapisan ini
aselular. Lapisan Bowman dibatasi di anterior oleh membran basal epitel kornea.
Lapisan ini terdiri dari fibril kolagen diatur dalam distribusi acak. Dimana lapisan
Bowman bergabung mendasari stroma pipih, ada zona transisi dari fibril kolagen yang
diatur oblik untuk lamellae kolagen stroma kornea superfisial. Lapisan Bowman
jarang terlihat di slit lamp dan hanya oleh pengamat yang paling berpengalaman.
Namun dengan pencahayaan yang tepat lapisan Bowman cukup terlihat di bawah
mikroskop bedah (panah 2 pada gambar di bawah)

Nomor 3 adalah pada stroma kornea, 4 adalah di ruang anterior (BMD) dan 5 adalah
iris.
3. Corneal stroma
Lapisan utama kornea terdiri dari 60-70 lapisan berturut-turut (lamellae dari oblik
berorientasi terikat erat, serat kolagen (lamellae kornea) tertanam dalam matriks
ekstraseluler terutama terdiri dari glikosaminoglikan sulfat. Untuk memberikan
kekuatan mekanik maksimum arah serat kolagen berbeda di setiap lapisan. di antara
lamellae ini memiliki fibrocytes yang jarang (keratocytes).
Tidak ada pembuluh darah di kornea; susunan paralel reguler kolagen dan kurangnya
sel merender tembus kornea dan memungkinkan untuk mentransmisikan cahaya.
Kornea terdiri dari kolagen. Kolagen dalam tubuh biasanya opak. Karena fibril kornea
membentuk semacam array 3 dimensi difraksi kisi-kisi lamellae, cahaya berhamburan
dihilangkan oleh interferensi destruktif. Fibril namun harus terpisah dari satu sama
lain dengan kurang dari ½ dari panjang gelombang cahaya untuk tetap transparan.
Oleh karena itu penyimpangan dari lapisan Bowman dapat dikompensasikan dengan
pengaturan ini. Edema kornea membuat kornea berawan karena fibril menjadi lebih
terpisah.
4. Descemet’s membrane
Mirip dengan kapsul lensa, adalah membran PAS-positif. Diproduksi oleh
endotelium, membran tipis pada masa bayi, peningkatan ketebalan ~ 5 μ di masa
kanak-kanak, dan kemudian ke ~ 8 sampai 10 μ dewasa
5. Corneal endothelium
Sel-sel endotel terletak pada permukaan posterior kornea dan membentuk batas
anterior dari ruang aquous anterior sebagai lapisan tunggal (~ 5 sampai 6 μ tebal) dari
sel pipih tersusun hexagonal.
Sel endotel memiliki banyak mitokondria, yang dihubungkan bersama oleh
desmosomal dan occluding junction, dan pompa cairan dari stroma kornea. Ini dengan
demikian mencegah hidrasi berlebihan matriks ekstraseluler, yang akan menghasilkan
kekeruhan kornea sebagai pemisahan antara lamellae melebihi ½ dari panjang
gelombang.
HISTOPATOLOGI
Seperti yang terlihat dalam foto epitel menebal dan spongiotik (edema interseluler
atau seperti yang terlihat di sini pemisahan sel epitel. Ada hiperemi dramatis dalam
propria substantia dan infiltrat inflamasi kronis dengan berbagai eosinofil. Namun,
yang paling penting adalah eksositosis eosinofil dalam epitel (panah). Permukaan
menunjukkan deskuamasi epitel dan sel-sel inflamasi.
Dua pola klinis terlihat. Dalam bentuk palpebral, konjungtiva tarsal berkembang
papila raksasa subepitel, datar atasnya. Dalam bentuk limbal, ada kekeruhan difus
gelatin bulbi dan konjungtiva limbal atas disebut papila limbal, atau munculnya
kekeruhan dot like dikenal sebagai Trantas dots. Nodul gelatinosa bisa membesar, dan
kekambuhan kronis dapat menyebabkan jaringan parut fibrovascular dari subepitel.
Secara histologi, dalam papila limbal dan dots Trantas, pada awalnya terjadi hipertrofi
epitel dan kemudian atrofi dan penipisan epitel. Substantia propria sangat disusupi
oleh eosinofil, basofil, dan mast cells.

.
A. foto klinis menunjukkan limbal konjungtivitis vernal. B. Histopatologi
menunjukkan sel-sel inflamasi banyak dengan dominasi eosinofil.
● gambaran mikroskopis:
○ proliferasi fibrovascular inti papiler dengan infiltrasi perivaskular dari limfosit, sel plasma,
sel mast, eosinofil dan basofil
○ hiperplasia epitel, hipertrofi, kemudian atrofi
○ degenerasi hialin stroma
○ discharge filamen keputihan tebal dibentuk dari mukus, sel epitel, polimorf dan sejumlah
besar eosinofil
○ Tranta spot:
- Papila limbal keabu-abuan dengan bintik-bintik putih di atas
- kumpulan eosinofil, debris seluler yang terkait dengan proliferasi epitel di Intra dan
subepitel.
- Degenerasi epitel sebagai akibat pembentukan seperti saku lokal yang mengandung debris
epitel dan eosinophils
○ keterlibatan Kornea:
- Penyebaran langsung: pembentukan pannus dengan kerusakan lapisan Bowman
- Keratitis epithelialis vernalis Tobgy

c. Konjungtivitis dan Vernal Keratoconjungtivitis Tipe Limbal


Konjungtivitis
Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit
mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak
mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu. Penyakit ini bervariasi
mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak
sekret purulen kental.

Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin
banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical dan agen
imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien
yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif.

Gejala objektif dari konjuntivitis adalah:


a. hiperemi;
Merupakan gejala yang paling umum pada konjuntivitis. Terjadi karena pelebaran
pembuluh darah sebagai akibat adanya peradangan. Hiperemi mengakibatkan adanya
kemerahan pada konjuntiva. Makin kuat peradangan itu makin terlihat merah
konjuntiva.

b. Epifora atau mata berair, nrocos.


Biasa terjadi pada mata yang terkena benda asing dan meradang. Adanya hiperemi
yang berat, terjadi transudasi pembuluh darah dan menambah cairan air mata tersebut.
eksudat adalah produksi dari peradangan konjungtiva.

c. Peradangan
pada infeksi lebih banyak eksudat ketimbang peradangan alergi. Jenis eksudat akan
berbeda pada infeksi dengan Neisseria Gonokokken , eksudat akan berupa nanah.
Sedang infeksi koken lain akan memberi getah radang mukus.

d. Kemosis
Sembab pada konjuntiva bulbi yang meradang. Biasanya menunjukkan adanya
peradangan yang berat, baik di dalam maupun diluar.

e. Folikel,
Merupakan bangunan khas sebagai benjolan kecil pada konjuntiva palpebra atau
fornicis. Terdapat pada semua infeksi virus, klamidian, alergi dan konjuntivitis akibat
obat-obatan, berwarna pucat atau abu-abu.
f. Granula
Merupakan bentuk ukuran besar dari follikel, terutama folikel trakoma.

g. Flikten
Bangunan khas berbentuk benjolan seperti gunung. Dilereng terlihat hiperemi
dipuncak menguning pucat. Ini merupakan manifestasi alergi bakteri.

h. Membran dan pseudomembran,


Merupakan hasil proses koagulasi protein di permukaan konjuntiva. Pada
pseudomembran koagulum hanya menempel di permukaan, sedang sekret membran
koagulumnya menembus keseluruh tebal epitel.Pengelupasan membran akan
menimbulkan perdarahan hebat, sedang pada pseudomembran tidak menimbulkan
perdarahan

Klasifikasi Konjungtivitis

a. Konjungtivitis Bakteri

Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri.
Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret
pada mata dan iritasi mata.

Etiologi dan Faktor Risiko


Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut,akut,
subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N
gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab
yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza
dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada
konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata
yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini
biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis
dan keadaan imunodefisiensi.

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci,
staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan
tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan
infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya
kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah.

Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab


perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi
konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun
yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang
terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan
berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat
menyebabkan infeksi pada konjungtiva.

Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi


konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada
kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain,
dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata.
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis
bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada
lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas
adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur.

Diagnosis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja
penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang
lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit
menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga
ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat
pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan
alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak.

Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada
pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva
paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen
akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa
karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk
palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata
dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada
kornea.

Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen


mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh
diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Pada
konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas
dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva.
b. Konjungtivitis Virus

Definisi

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis
virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga infeksi
ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada
konjungtivitis bakteri.

Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus adalah virus
yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virus yang paling
membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster,
picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency
virus.

Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan dapat
menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan
virus (fomites) dan berada di kolam renang yang terkontaminasi.

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis
konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya. Mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya. Pada
keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai
demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai
pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah
terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan. Pada konjungtivitis ini
biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi
umum lainnya seperti sakit kepala dan demam.

Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang
biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri,
fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.

Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan


coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing,
hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva
dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).

Diagnosis

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu


diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe- tipe menurut
penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun
ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor- faktor resiko dan keadaan lingkungan
sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus .

Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya sebelah
mata atau kedua mata yang terinfeksi.

Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan


gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan
lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya.

Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti blefarokonjungtivitis.
Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear halus
atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit.

Penatalaksanaan

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa
umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun antivirus topikal
atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea.

Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran


infeksi dan pemberian artificial tears / obat tetes mata.

c. Konjungtivitis Alergi

Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan
oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun. Reaksi
hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi
hipersensitivitas tipe I.

Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi


musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan
dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan
konjungtivitis papilar raksasa.

Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh- tumbuhan biasanya
disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi
serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan
riwayat asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada
pasien dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada
pengguna lensa- kontak atau mata buatan dari plastik .

Gejala Klinis

Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub- kategorinya. Pada
konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal,
kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat.
Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal
dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak
papila halus di konjungtiva tarsalis inferior.

Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan
yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang
eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman
penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan
gejala yang mirip konjungtivitis vernal.

Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada
gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling
penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja
disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia.

Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi
sekunder.

Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan
kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk
meredakan gejala lainnya.

d. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan
infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih dan
dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang
terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix
schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang.

e. Konjungtivitis Parasit

Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis, Loa


loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium, Taenia
solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

f. Konjungtivitis kimia atau iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan


substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi- substansi iritan
yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis,
seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala- gejala berupa
nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.

Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka
panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan
pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.

Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan


pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).

g. Konjungtivitis lain

Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis juga
dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti penyakit
tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh
penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau
penyebabnya (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan
dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah. (AOA,
2008).

Vernal Keratoconjungtivitis
1. DD
Diagnosis banding pada umumnya tidak sulit, kecuali yang dihadapi penderita
dewasa muda, karena mungkin suatu konjungtivitis atopik. Kelainan mata pada
konjungtivitis atopik berupa kelopak mata yang tebal, likenisasi, konjungtiva
hiperemi dan kemosis disertai papil- papil di konjungtiva tarsalis inferior.
Kadang- kadang papil ini bias besar mirip cobble stone dan dapat dijumpai pada
konjungtiva tarsalis superior. Trantas dot’s juga bias dijumpai pada konjungtivitis
atopik meskipun tidak sesering pada konjungtivitis vernalis.
Selain konjungtivitis atopik, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya Giant
Papillary conjungtivitis pada pemakaian lensa kontak, baik yang hard maupun
yang soft. Gejalanya mulai dengan gatal disertai banyak mucus serta timbulnya
atau ditemukannya papil raksasa di knjungtiva tarsalis superior. Kelainan ini dapat
timbul baik satu minggu sesudah pemakaian lensa kontak maupun setelah lama
pemakaian. Pada kelainan ini tidak ada pengaruh musim. Pemeriksaan sitologi
hanya menunjukkan sedikit eosinofil. Dengan dilepasnya kontak lens, gejala-
gejalanya akan berkurang.
Konjungtivitis vernalis kadang- kadang perlu di diagnosis banding dengan
trachoma stadium II yang disertai folikel- folikel yang besar mirip cobble stone.

2. WD
Keratokonjungtifitis Vernal

3. Definisi
Keratokonjungtivitis Vernal Merupakan suatu peradangan konjungtiva kronik,
rekuren bilateral, atopi, yang mengandung secret mucous sebagai akibat reaksi
hipersensitivitas tipe I. Penyakit ini juga dikenal sebagai “catarrhak musim semi”.
biasanya terjadi pada masa anak-anak yang tinggal di daerah kering dan hangat.
Onset terjadi pada usia 5 tahun ke atas dan berkurang setelah masa pubertas. Pada
umumnya didapatkan riwayat atopi pada pasien atau keluarga.
Konjungtivitis vernal adalah iritasi bilateral yang terjadi musiman dan
berulang pada konjungtiva (selaput mata). Penyakit ini dikenali dari adanya bintil
kecil yang biasanya terdapat pada konjungtiva tarsal, dan bintil dapat membesar
atau berkembang secara terpisah maupun menyatu pada sekeliling konjungtiva.
Bagian yang warnanya putih, tampak berkapur dan mengeras, dikenal sebagai
titik-titik “Horner-Trantas” yang kadangkala tampak pada satu atau lebih daerah
sekitar limbus. Gejala yang mendasar adalah rasa gatal; manifestasi lain yang
menyertai meliputi: mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan
perasaan seolah ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan,
muncul berulang, dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga
menyebabkan ia tidak dapat beraktivitas normal.
Klasifikasi
Ada tiga tipe konjugtivitis vernalis :
1. Bentuk Palpebra
Pada tipe palpebral ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior, terdapat
pertumbuhan papil yang besar atau cobble stone yang diliputi secret yang mukoid.
Konjungtiva bawah hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih berat
disbanding bentuk limbal. Secara klinik, papil besar ini tampak sebagai tonjolan
bersegi banyak dengan permukaan uang rata dan dengan kapiler di tengahnya.
2. Bentuk Limbal
Hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik
gelatine. Dengan trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau
eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya panus dengan sedikit
eosinofil.
3.Bentuk campuran

4. Epidemiologi
Penyebaran konjungtivitis vernal merata di dunia, terdapat sekitar 0,1%
hingga 0,5% pasien dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada iklim panas (misalnya di Italia, Yunani, Israel, dan sebagian Amerika
Selatan) daripada iklim dingin (seperti Amerika Serikat, Swedia, Rusia dan
Jerman). Penyakit ini tergolong penyakit anak muda, jarang terjadi pada pasien
usia di bawah 3 tahun atau di atas 25 tahun. Dari 1000 kasus yang tercatat di
literatur, 750 kasus terjadi pada pasien dengan usia 5 hingga 20 tahun. Dalam
koleksi kami sendiri terdapat 38 dari 39 pasien yang berusia lebih muda dari 14
tahun, ketika penyakit tersebut berawal. Usia yang paling banyak adalah 5 tahun,
dimana lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan yang terinfeksi.
Beigelman memaparkan 5000 kasus yang dilaporkan dan menemukan bahwa
penyakit berpeluang dua kali lipat terjadi pada anak laki-laki.
Umumnya terdapat riwayat keluarga yang bersifat alergi atopik (turunan). Kami
menemukan bahwa 65% pasien kami yang menderita konjungtivitis vernal
memiliki satu atau lebih sanak keluarga setingkat yang memiliki penyakit turunan
(misalnya asma, demam rumput, iritasi kulit turunan atau alergi selaput lendir
hidung permanen). Penyakit-penyakit turunan ini umumnya ditemukan pada
pasien itu sendiri. Dalam koleksi kami, 19 dari 39 pasien memiliki satu atau lebih
dari empat penyakit turunan utama.
Kurun waktu konjungtivitis vernal rata-rata berkisar 4 sampai 10 tahun. Akan
tetapi penyakit ini jarang tinggal menetap pada usia 30an, 40an dan 50an, tetapi
infeksinya lebih parah daripada anak-anak.
Semua penelitian tentang penyakit ini melaporkan bahwa biasanya kondisi
akan memburuk pada musim semi dan musim panas di belahan bumi utara, itulah
mengapa dinamakan konjungtivitis ”vernal” (atau musim semi). Di belahan bumi
selatan penyakit ini lebih menyerang pada musim gugur dan musim dingin. Akan
tetapi, banyak pasien mengalami gejala sepanjang tahun, mungkin disebabkan
berbagai sumber alergi yang silih berganti sepanjang tahun.

5. Etiologi
Etiologi KV sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor
penyebab diduga adalah alergen serbuk sari, debu, tungau debu rumah, bulu
kucing, makanan, faktor fisik berupa panas sinar matahari atau angin. Reaksi
alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau lebih alergen atau
bersamasama dengan faktor–faktor lain.

6. Manifestasi klinis
Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada mata, mata
sering berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata. Gejala lainnya
fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna
hijau atau kuning tua. KV dapat terjadi pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau
terjadi bersamaan dengan dominasi pada salah satu tempat tersebut.
Pada konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil
cobblestone yang menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan
pada limbus dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang disebut
sebagai trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel eosinofil. Apabila
penyakit meluas sampai kornea, disebut sebagai keratokonjungtivitis
vernalis (KKV) dan digolongkan ke dalam penyakit yang lebih berat, karena
dapat menyebabkan penurunan visus.

7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, adanya riwayat atopi, dan


pemeriksaan penunjang. Hasil uji kulit umumnya positif terhadap alergen tertentu,
terutama serbuk bunga, debu rumah, tungau debu rumah; namun kadang-kadang uji
kulit dapat memberikan hasil yang negatif.

8. Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
interstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada
konjungtiva akan dijumpai hiperemi dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat
akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan
pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh
hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah
gambaran cobblestone.
Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan
sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik
pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations.
Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis
mekanik
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan
hipertofi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada
limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam
kualitas maupun kuantitas stem cells.
Tahap awal konjungtivitis vernalis ini ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam
kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil
yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di
antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini
berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel- sel PMN, eosinofil, basofil dan sel
mast.
Tahap berikutnya akan dijumpai sel- sel mononuclear lerta limfosit makrofag. Sel
mast dan eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak superficial.
Dalam hal ini hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Temuan ini
sangat bermakna dalam membuktikan peran sentral sel mast terhadap
konjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya dalam
konjungtiva sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.
Fase vascular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen,
hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel
radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler
mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada
pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil
bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Horner- Trantas dot’s yang terdapat
di daerah ini sebagian besar terdiri dari eosinofil, debris selular yang
terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.

9. Patogenesis
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas
tipe I merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV. Pemeriksaan
histopatologik dari lesi di konjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast,
eosinofil dan limfosit pada subepitel dan epitel.
Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akan
membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa KV bukan murni
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan merupakan
kombinasi tipe I dan IV. Bonini dkk, menemukan bahwa hiperreaktivitas non
spesifik juga mempunyai peran dalam KV. Faktor lain yang berperan adalah
aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast.
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE
spesifik terhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi
IgE berperan sebagai homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan
sel basofil. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast
dan basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya
mediator-mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of
anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-
faktor agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang
mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan
ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal, merah, edema, berair, rasa
seperti terbakar dan terdapat sekret yg bersifat mukoid. Terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai karakteristik, yaitu dengan adanya
ikatan antara antigen dengan IgE pada permukaan sel mast, maka mediator kimia
yang terbentuk kemudian akan dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan
derivat-derivat eosinofil yang dapat menyebabkan inflamasi di jaringan
konjungtiva.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang telah
tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu, sehingga
menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan monosit
(makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah
paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit,
sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin berat, banyak sel
limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul
nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi sel mast tidak hanya
disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga disebabkan oleh
anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya
mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa melalui
ikatan alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh
rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik,
misal rangsangan panas sinar matahari, angin.

10. Penatalaksanaan

Pada umumnya KV dapat sembuh sendiri setelah 2 – 10 tahun. Tujuan pengobatan


pada KV untuk menghilangkan gejala dan menghindari efek iatrogenik yang serius dari
obat yang diberikan (kortikosteroid). Prinsip pengobatan bersifat konservatif. Tata laksana
konjungtivitis vernalis berdasarkan beratnya gejala dan tanda penyakit, yaitu

1. Terapi utama : berupa penghindaran terhadap semua kemungkinan alergen


penyebab.

2. Terapi topikal

Pemberian vasokonstriktor topikal dapat mengurangi gejala kemerahan dan


edem pada konjungtiva. Namun pada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan kombinasi obat vasokonstriktor dan antihistamin topikal (vasocon A)
mempunyai efek yang lebih efektif dibanding pemberian yang terpisah.

Pemberian stabilisator sel mast yaitu natrium kromoglikat 2% atau sodium


kromolyn 4% atau iodoksamid trometamin dapat mencegah degranulasi dan
lepasnya substansi vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid
topikal.

Pemakaian iodoksamid dikatakan mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan


dengan natrium kromoglikat 2% maupun sodium kromolyn 4%.6
Pemberian obat antiinflamasi non-steroid topikal seperti diklofenak, suprofen,
flubirofen dan ketorolak dapat menghambat kerja enzim siklo- oksigenase, namun saat ini
hanya ketorolak yang mendapat rekomendasi dari Food Drug Administration. Bila
obat-obatan topikal seperti antihistamin, vasokonstriktor, atau sodium kromolyn tidak
adekuat maka dapat dipertimbangkan pemberian kortiko- steroid topikal.
Allansmith melaporkan bahwa pemberian terapi “pulse” dengan deksametason 1%
topikal, diberikan tiap 2 jam, 8 kali sehari kemudian diturunkan secara bertahap selama 1
minggu, dapat mengobati inflamasi pada KV, tetapi bila tidak dalam serangan akut
pemberian steroid topikal tidak diperbolehkan. Saat ini preparat steroid digunakan dengan
cara injeksi supratarsal pada kasus KV yang refrakter. Siklosporin bekerja menghambat
aksi interleukin 2 pada limfosit T dan menekan efek sel T dan eosinofil, terbukti
bermanfaat menurunkan gejala dan tanda KV.Terapi untuk kasus berulang yang tidak
dapat diobati dengan natrium kromoglikat atau steroid, diberikan siklosporin topikal 2%
dan mitomisin-C topikal 0,01%.3.

3. Terapi sistemik

Pengobatan dengan antihistamin sistemik ber- manfaat untuk menambah efektivitas


pengobatan topikal. Pemberian aspirin dan indometasin (golongan antiinflamasi non-
steroid) yang bekerja sebagai penghambat enzim siklooksigenase dilaporkan dapat
mengurangi gejala KV. Kortiko- steroid sistemik diberikan bila ada indikasi khusus yaitu
inflamasi berat pada kornea dan konjungtiva yang bertujuan untuk mencegah kerusakan
jaringan. Efektivitas pemberian imunoterapi sebagai terapi alergi pada mata sampai saat
ini belum memberikan hasil yang memuaskan.

4. Terapi suportif

 Kurangi aktivitas di luar


 Desensitisasi dengan alergen inhalan.
 Kompres dingin pada mata dan menggunakan kacamata hitam.
 Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan berguna untuk mencuci
mata
 Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke tempat
berhawa dingin.

5. Terapi bedah
Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah otograf konjungtiva dan krio terapi, namun
kelemahan kedua terapi ini dapat menyebabkan terjadinya sikatriks, trikiasis, defisiensi air
mata dan entropion. Keratotomi superfisial dapat dilakukan untuk reepitelisasi kornea.

Tata laksana yang diberikan pada pasien ini adalah menghindari penyebab dengan
cara mengurangi frekuensi bermain di luar rumah, menjaga kebersihan lingkungan,
memakai kacamata hitam, diberikan kortikosteroid topikal, stabilisator sel mast
(iodoksamid) topikal, dan terapi sistemik berupa antihistamin, dan kortikosteroid.
Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan karena saat ini pasien termasuk dalam
derajat penyakit sedang ke berat. Penggunaan stabilisator sel mast perlu diberikan dalam
jangka panjang (4-6 bulan) untuk mencegah kekambuhan.

11. Komplikasi
Komplikasi yang timbul dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakitnya atau efek
samping peng- obatan yang diberikan. Bila proses penyakit meluas ke kornea,
dapat terjadi parut kornea, astigmatisme, keratokonus, dan kebutaan. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan glaukoma, katarak dan infeksi
bakteri sekunder
12. Prognosis
Walaupun penyakit ini termasuk self-limiting, namun bila proses
keratokonjungtivitis tidak dapat teratasi maka prognosisnya menjadi buruk.

F. Kerangka Konsep
Anak laki-laki, 7 tahun, bermain bola disiang hari

Riwayat atopi nodul Giant papil

Sebukan limfosit, eosinofil, plasma, basofilepitel


Mendesak ke stroma
konjungtiva
Terpapar alergen
Terdeskuamasi

Makrofag (APC)

Th1

Horner trantas dots


Limfosit B
Alergen IgE

Denaturasi sel mast

Histamin Vernal Keratoconjungtivitis tipe campuran

Mensensitisasi saraf pruritus Efek vasodilator

Injeksi konjungtiva

Gatal-gatal Mata kemerahan

Pemeriksaan oftalmologi

G. Kesimpulan
Seorang anak laki-laki usia 9 tahun mengalami vernal keratoconjungtivitis tipe campuran
dengan riwayat ayah menderita asma.

Anda mungkin juga menyukai