OLEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Landasan Ontologi, Epistimologis,
Dan Aksiologis Filsafat Pancasila” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupunjpikirannya.
Juga saya berterimakasih kepada Bapak dosen Drs. Hamuni, M.Si. yang telah
memberikan tugas ini untuk menambah wawasan saya terhadap cara penyusunan
makalah.
cccx
Juga harapan saya semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
gsf
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 2
1.4. Manfaat 2
BAB II. PEMBAHASAN 3
2.1. Pengertian Filsafat. 3
2.2. Pengertian Pancasila. 3
2.3. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila. 3
2.4. Landasan Epistimologis Filsafat Pancasila. 6
2.5. Landasan Aksiologis Filsafat Pancasila. 8
BAB III. PENUTUP 12
3.1 Kesimpulan 12
3.2. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pancasila dalam menyusun beberapa kalimat yang tingkat relevansinya
mencapai topik makalah yang akan dibuat.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat.
2. Untuk mengetahui pengertian Pancasila.
3. Untuk memahami landasan ontologis filsafat Pancasila.
4. Untuk memahami landasan epistimologis filsafat Pancasila.
5. Untuk memahami landasan aksiologis filsafat Pancasila.
1.4 Manfaat
1. Mampu mengetahui pengertian filsafat.
2. Mampu mengetahui pengertian Pancasila.
3. Mampu memahami landasan ontologis filsafat Pancasila.
4. Mampu memahami landasan epistimologis filsafat Pancasila.
5. Mampu memahami landasan aksiologis filsafat Pancasila.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Pengertian Filsafat
2. 2. Pengertian Pancasila
3
Ontologi mempelajari ciri hakiki (pokok) dari keberadaan (Being)
yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Ontologi
mempelajari keberadaan dalam bentunya yang paling abstrak, dan
pertanyaan yang diajukan adalah “Apakah keber-adaan (Ada) itu? Apakah
hakikat keberadaan sebagai keberadaan (Being-as-Being)“.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Dengan demikian, secara ontologis hakikat dasar keberadaan dari sila-sila
Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini. Notonagoro lebih lanjut
mcngemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila-sila
Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat, raga dan jiwa, serta jasmani dan rohani. Selain itu, sebagai
makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu, secara hierarkis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
mendasari dan
menjiwai keempat sila-sila Pancasila (Kaelan, 2005).
4
makhluk sosial. Di samping itu, kedudukannya sebagai makhluk pribadi
yang berdiri sendiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensmya,
segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai
Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki
sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis
tersebut.
I. Tuhan adalah sebab pertama (causa prima) dari segala sesuatu , Yang
Maha Esa dan segala sesuau tergantung kepadanya. Tuhan adalah
sempurna dan maha kuasa, merpakan dzat yang mutlak, ada secara
mutlak. Zat yang mulia dan sempurna.
II. Manusia memiliki susunan hakikat pribadi yang monopluralis
(majemuk tunggal), bertubuh-berjiwa, berakal-berasa-berkehendak,
bersifat individu-makhluk sosial, berkedudukan sebagai pribadi
berdiri sendiri-makhluk Tuhan yang menimbulkan kebutuhan
kejiwaan dan religious, yang seharusnya secara bersama-sama
dipelihara dengan baik dalam kesatuan yang seimbang, harmonis, dan
dinamis.
III. Mengakui adanya kualitas metafisis “satu”. “Satu” ialah secara mutlak
tidak dapat terbagi. Merupakan cirri pribadi yaitu mempunyai bentuk,
susunan, sifat-sifat dan keadaan tersendiri sehingga kesemuanya itu
menjadikan yang bersangkutan suatu keutuhan (keseluruhan) yang
5
mempunyai tempat tersendiri (utuh,terpisah daari yang lain,
mempunyai benuk dan wujud).
IV. Mengakui adanya “rakyat”. Rakyat ialah keseluruhan jumlah semua
orang, warga dalam lingkungan daerah atau Negara tertentu, yang
dalam segala sesuatunya meliputi semua warga, dan untuk keerluan
seluruh warga, termasuk hak dan kewajiban asasi kemanusiaan setiap
warga, sebagai perseorangan dan sebagai penjelmaan hakikat
manusia. Hakikat rakyat adalah pilar Negara dan yang berdaulat.
V. Mengakui adanya kulitas metafisis “baik” ang berupa adil. Adil ialah
dipenuhinya sebagai wajib segala sesuatu yang merupakan hak dalam
hubungan hidup kemanusiaan. Sebagai penjelmaan hakikat manusia
(wajib lebih diutamakan daripada hak), pemenuhan hak sebagai
kewajiban tersebut mencakup hubungan antara Negara (pendukung
wajib) dengan warga negaranya (disebut keadaan distributif),
hubungan antara warga Negara, hubungan antara warga negara
dengan negara (diseut keadilan legal) dan hubungan di antar sesama
warga negara (disebut keadilan kumulatif). Keadilan mengandung inti
adil yang pada hakikatnya adalah kerelaan (aspek jiwa) dan
kesebandingan (aspek raga).
6
dipandang sebagai teori kognisi. Ia lebih mendasar dai metodelogi. Karena
itu asumsi-asumsi epistemologi suatu bentuk pengetahuan tercermin pada
metodologi yang diterapkan dalam pengenbangan pengetahuan tersebut.
Landasan epistemologi menentukan cara-cara yang dipakai untuk
memperoleh dan memvalidasi pengetahuan.
7
kesewenang-wenangan manusia terhadap yang lainnya. Proses
pembentukan pengetahuan melalui lembaga pendidikan secara teknik
edukatif lebih sederhana. Komunikasi antar guru dan siswa juga sangat
penting.
Adil disini dalam arti luas, seimbangn antara ilmu umum dengan agama.
Dan untuk mendapatkannya dapat dilakukan pendidikan secara
informal, formal, dan non-formal.
8
susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila ifu.
Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan
berbentuk piramidal, yaitu:
a. Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya;
b. Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila
ketiga, keempat. dan kelima;
c. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta
mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima;
d. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga,
serta mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
e. Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan
keempat.
Demikianlah susunan Pancasila memiliki sistem logis, baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis
Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu,
dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila
Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi Landasan
kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan
dan kodrat manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi
Pancasila juga mengakui kcbenaran wahyu. Selain itu, dalam sila ketiga,
keempat, dan kelima, epistemology Pancasila mengakui kebenaran
konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham
epistemologi, Pancasila memandang bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka
moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk
mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah
sebabnya Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas
bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
9
2. 5. Landasan Aksiologis Pancasila
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan
hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya
sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu
dapat disarikan sebagai berikut; Tuhan yang maha esa sebagai mahasumber
nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antarhubungannya,
termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara
psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang
dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan
pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi
demi keharmonisan dan kelestarian hidup.
10
1. 2. Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Bangsa kita ini sudah memiliki sikap gotong royong dan suka
musyawarah, dan seharusnya ini harus terus dilestarikan. Dan dalam
sia ini juga ddapat diartikan semua orang mempunyai derajat yang
sama untuk musyawarah, dll.
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
3.2. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
http://blog.umy.ac.id/rinienurul/2012/11/13/filsafat-pendidikan-pancasila-dalam-
tinjauan-ontologis-epistimologis-dan-aksiologis/
http://blog.unnes.ac.id/wawanandriawan/2015/11/19/paper-pancasila-dalam-
perspektif-ontologis-epistimologis-dan-aksiologis-filsafat-pancasila/
13