Anda di halaman 1dari 7

DAMPAK “CHILD ABUSE”

Mochamad Ali Sodikin, S. Kep. Ns., M. Kep (Perawat)


“Child abuse” berdampak secara fisiologis maupun psikologis pada anak.

Child abuse sampai saat ini masih merupakan masalah global yang serius,
child abuse dapat dialami oleh anak – anak sejak ia dilahirkan sampai dengan usia
18 tahun. Pada tahun 2011, di USA terdapat 3,4 juta lapaoran tentang child abuse
dan child neglect, sebanyak 60 % dari laporan tersebut telah dilakukan investigasi
dan pemeriksaan, didapatkan 687.820 anak dipastikan mengalami child abuse, dari
data tersebut mengindikasikan bahwa dari tiap 1.000 anak 27,4 diantaranya
mengalami child abuse, dan 1.570 anak ( 4 anak / hari ) meninggal di tahun 2011
akibat dari trauma fisik (phisycal abuse) 81% anak yang meninggal tersebut berusia
kurang dari 4 tahun ( www.MedicinNet onhealth.com ). Setiap tahunnya terdapat
lebih dari 3 juta laporan tentang child abuse yang dialami lebih dari 6 juta anak (
satu laporan korbannya lebih dari 1 anak ).
Statistik secara umum :
1. Laporan mengenai child abuse terjadi tiap 10 detik
2. ebih dari 4 anak meninggal tiap harinya akibat child abuse
3. Diperkirakan antara 50% - 60% kematian anak akibat child abuse dalam surat
keterangan kematiannya tidak terekam bahwa kematiannya adalah karena
child abuse
4. Diperkirakan 80% anak yang meninggal karena child abuse berada dibawah
usia 4 tahun
5. Diperkirakan 90% dari korban sexual abuse mengenal/mengetahui pelakunya
6. Child abuse terjadi pada semua tingkatan sosial ekonomi, etnik, dan budaya,
agama serta pada semua level pendidikan
7. Sekitar 30% korban child abuse dan child neglect akan melakukan tindakan
tersebut pada anak – anak mereka
8. Sekitar 80% anak korban child abuse menunjukkan adanya gangguan mental
perilaku setelah berusia lebih dari 21 tahun ( www.childhelp.org ).

Penganiayaan fisik merupakan salah satu dari perlakuan menyimpang yang


diterima oleh anak dari orang dewasa secara sengaja, memberi hukuman dengan
menyakiti anak secara fisik ( memukul, mencubit, menyudut dengan rokok dll )
adalah bentuk perlakuan menyimpang pada anak ( child abuse ), selain
penganiayaan fisik perlakuan menyimpang yang diterima anak dapat berbentuk
pengabaian fisik ( kegagalan memenuhi kebutuhan seperti makanan, pakaian,
pengawasan, perawatan medis, pendidikan, dan lain-lain ), penganiayaan emosional
( melecehkan harga diri, mempermalukan, dan lain-lain ), pengabaian emosional (
kegagalan untuk memenuhi kebutuhan emosional misalnya perhatian, dan lain-lain ),
penganiayaan seksual ( meliputi stimulasi seksual maupun kontek seksual oleh
orang dewasa pada anak ), sindrom munchausen ( penganiayaan fisik kepada anak
agar mendapatkan biaya perawatan ) (Dona L. Wong, 2004).
Setiap tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan yang
salah dan tindakan tersebut mengakibatkan suatu kerugian atau bahaya secara fisik
maupun psikologis masuk dalam kategori child abuse. Abuse pada anak tidak hanya
penganiayaan fisik yang dapat menyebabkan luka tetapi menempatkan anak dalam
situasi yang berbahaya tanpa pengawasan, mengabaikan kebutuhan anak,
perlakuan yang membuat anak merasa buruk atau merasa bodoh juga merupakan
bentuk dari child abuse ( www.helpguide.org ).
Physical abuse ( kekerasan fisik ) adalah tindakan kekerasan yang dilakukan
pada anak sehingga anak mengalami luka fisik yang bukan disebakan karena
kecelakaan. Beberapa tindakan yang dikategorikan sebagai physical abuse (
kekerasan fisik ) adalah : Tanda gigitan , memar yang tidak biasa karena pukulan,
tamparan, tendangan, laserasi, luka bakar karena rokok, air panas atau benda
benda panas lainnya., insiden kecelakaan atau luka yang tinggi, luka, bengkak pada
bagian ekstremitas, dan pewarnaan pada kulit ( lebam). Cidera fisik yang terlihat
akibat penganiyaan pada umumnya begitu khas. Biasanya berupa memar di pantat,
dipunggung bagian bawah, juga dipaha bagian dalam bahkan kelamin. Dapat juga
memar dengan bentuk khusus, berupa bekas tangan, cakaran, cambukan dan
cubitan. Dalam konteks tinggi, dengan adanya bekas luka bakar. Dan dalam konteks
yang lebih berat, dengan adanya pendarahan diselaput otak, sejumlah rusuk yang
patah, patah tulang spiral dilengan akibat puntiran paksa, serta pecahnya hati atau
limpa. Sedangkan karena pemukulan di wajah, biasanya terlihat dengan
penggumpalan darah disekitar mata dan gangguan lensa (penglihatan). Perlakuan
tindakan kekerasan dapat dilakulan oleh orang tua, keluarga dekat, maupun
pengasuh anak.
Child abuse merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak dan
merupakan suatu tindak pidana, pada UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak terdapat pasal – pasal yang berkaitan dengan perlakuan yang salah pada anak
diantaranya :
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 13
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan : Diskriminasi, eksploitasi ekonomi atau seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah
lainnya.
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian,
baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan baik fisik, mental maupun sosial, dipidana dengan penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah.
Penganiayaan seksual ( Sexual abuse ) adalah setiap tindakan seksual yang
terjadi antara orang yang telah dewasa dengan anak anak. keterlibatan anak dalam
aktivitas seksual (misal, pemerkosaan, seks oral) yang melanggar hukum, atau
keadaan dimana anak tidak mampu memberi persetujuan terhadap tindakan
tersebut. Ini termasuk eksploitasi langsung atau tidak langsung serta penganiayaan
anak (misalnya pembuatan materi pornografi). Ini bisa terjadi di dalam rumah atau di
luar rumah. Ini dapat dilakukan oleh orang tua, pengasuh, orang dewasa lain atau
anak-anak sendiri yang bertindak melalui cara yang terorganisir. Penganiaya
mungkin menggunakan hadiah atau cara lain untuk menarik anak. Ini dapat
dilakukan oleh orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal oleh anak. Semua
tindakan yang telah disebutkan di atas dapat digolongkan sebagai suatu tindakan
sexual abuse jika yang melakukan adalah anggota keluarga ayah, ibu, pengasuh,
guru, atau orang lain yang berada di lingkungan rumah anak tersebut (Social
Welfare department, 2010).
Emotional abuse adalah setiap tindakan yang dapat mengganggu
perkembangan mental dan sosial anak. Emotional abuse dapat menyebabkan
gangguan mental dan social anak, hal ini juga akan menjadi trauma psikologis yang
terus akan diingat sampai ia dewasa, bentuk dari emotional abuse diantaranya
adalah: menghina, menghardik, berkata kata kasar dan kotor, memarahi, mengomel,
membentak dan memaki anak dengan sangat berlebihan
Child abuse dapat berdampak secara fisiologis maupun psikologis pada anak,
akibat paling parah berupa kematian, cacat permanen, komplikasi fisik yang serius
seperti patah tulang, luka bakar, buta, tuli, dan cacat tetap. Luka seperti memar dan
adanya goresan pada kulit juga umumnya terjadi pada korban child abuse.
Sedangkan dampak pada kejiwaan dan psikologis pada anak juga akan melekat
seumur hidup pada anak dengan korban tindakan child abuse, mereka akan
mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif, atau lisan, tulisan, dan
kesulitan dalam menerima pelajaran serta dalam prosesnya secara menyeluruh.
Sehingga bisa juga timbul perasaan rendah diri atau yang sering kali disebut dengan
harga diri rendah, lebih lanjut akan mengalami kendala ketika berhubungan dengan
teman sebaya. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan gangguan kejiwaan,
seperti depresi, kecemasan berlebih, gangguan interaksi sosial dan bertambahnya
resiko bunuh diri pada anak. Disamping itu child abuse juga menimbulkan dampak
yang lebih luas diantaranya anak akan mempunyai pribadi yang seringkali
mempunyai perasan negatif terhadap orang lain, lebih agresif serta mudah frustasi
pasif dan bahkan lebih parah menjadi apatis terhadap permasalahan yang terjadi di
sekitarnya, tidak percaya diri, sulit menjalin kerjasama dengan orang lain dan
membenci diri sendiri secara berlebihan karena menganggap dirinya rendah dan
terhina.
Child Maltraetment juga merupakan salah satu penyebab penyalah gunaan
zat, hal ini dibuktikan oleh Tracie O Afifi, Phd, dalam Original Research yang
berjudul Childhood Maltreatment and Substance Use Disorders Among Men and
Women in a Nationally Representative Sample dengan hasil bahwa penyalah
gunaan zat berkorelasi dengan perlakuan salah yang diterima pada masa kanak –
kanak. Penyalahgunaan dan ketergantungan zat ( alkohol, penenang, opiate,
amphetamine, ganja, halusinogen, heroin dan nikotin ) dapat disebabkan child
maltreatment yang diterima pada masa kanak – kanak.
Perlindungan anak korban tindakan child abuse merupakan tanggung jawab
semua pihak, melalui pemberian perlindungan hukum, pelayanan sosial dan
penanganan medis dengan melibatkan peran aktif dari para pekerja sosial, komnas
perlindungan anak, ahli psikoterapi, pekerja medis ( dokter, perawat), keluarga
korban serta para aparat / penegak hukum. Penanganan dalam hal psikososial
melibatkan peran serta semua pihak yaitu, keluarga, korban dan pelaku, dimana
untuk sementara waktu korban dapat dipindah asuhkan kepada pihak atau keluarga
lain untuk mendapatkan ketenangan selama dalam proses pemulihan, pada evaluasi
dibutuhkan pemeriksaan spesialis jiwa dan spesialis anak, serta juga dapat
berfungsi untuk mengukur kesiapan dan kemampuan orang tua untuk melindungi
anaknya. Dukungan positif dari orang tua dan keluarga juga sangat dibutuhkan pada
anak dengan kondisi trauma emosional. Sebagai seorang perawat anjurkan orang
tua dan keluarga untuk memberi empati dan dorong anak untuk mencurahkan
perasaannnya.menjadi seorang pendengar yang baik berarti mendengarkan secara
aktif, tidak hanya mendengarkan apa yang diucapkan tetapi juga memperhatikan
bahasa tubuh. Hal ini dengan sendirinya akan memberikan dorongan rasa aman dan
nyaman pada anak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan masalah child
abuse adalah pelaku penganiayaan anak mungkin sadar bahwa perilaku mereka
patut dipertanyakan tetapi mereka kesulitan untuk mengendalikan perilaku
penganiayaan mereka atau sebagian mungkin tidak termotivasi untuk mengubah
perilaku semacam itu. Semua keluarga pasti punya masalah dan semua masalah
keluarga, pasti ada solusinya. Korban penganiayaan dan penganiaya sama-sama
membutuhkan perlakuan dan konseling profesional. Penganiayaan anak akan
mengganggu perkembangan anak dan mempengaruhi kemampuan mereka untuk
berperan dalam masyarakat sebagai warga negara yang taat hukum. Untuk
pencegahan yang efektif terhadap terjadinya penganiayaan anak dibutuhkan
dukungan masyarakat yang terus-menerus dalam menyelenggarakan pendidikan
masyarakat, serta apabila dicurigai adanya kasus penganiayaan anak segera
menghubungi organisasi yang terkait atau Unit Layanan Perlindungan Keluarga dan
Anak ( Family and Child Protective Services Unit ) (Social Welfare department,
2010).
Pada ilustrasi kasus di atas maka dapat ditegakkan diagnose keperawatan :
1. Takut / cemas berhubungan dengan interaksi interpersonal yang negatif,
perilaku menyimpang yang berulang dari orang lain, ketidakberdayaan.
Tujuan dan hasil yang diharapkan:
Cemas dan stres yang dialami anak berkurang atau menghilang ditunjukkan
dengan : Anak menunjukkan minimalnya atau tidak adanya bukti – bukti distres
dan anak terlibat hubungan yang positif dengan pemberi asuhan.
Intervensi keperawatan:
1) Tugaskan pemberi asuhan dan lingkungan terapiutik yang konsisten selama
hospitalisasi
2) Demonstrasikan penerimaan pada anak agar anak menunjukkan hal yang
sama pada kita
3) Tunjukkan perhatian sambil tidak menguatkan perilaku yang tidak tepat
4) Rencanakan aktifitas yang tepat untuk menarik perhatian anak bersama
perawat, orang dewasa lain, dan anak – anak yang lain, gunakan terapi
bermain
5) Puji kemampuan anak
6) Perlakukan anak sebagai seseorang yang mempunyai masalah khusus
selama hospitalisasi, bukan sebagai korban “penganiayaan”
7) Dorong anak untuk membicarakan perasaannya terhadap orang tua dan
penempatannya di masa yang akan datang
8) Bila mungkin dorong pengenalan orang tua angkat sebelum penempatan
2. Perubahan menjadi orang tua berhubungan dengan anak, pemberi asuhan atau
karakteristik situasional yang mencetuskan perilaku penganiayaan.
Tujuan dan hasil yang diharapkan ( keluarga ) :
a) Pasien ( keluarga ) menunjukkan bukti interaksi yang positif dengan anak.
Intervensi keperawatan:
1) Identifikasi keluarga yang beresiko terhadap penganiayaan
2) Tingkatkan kedekatan orang tua pada anak
3) Tekankan praktik mengasuh anak, khususnya metode disiplin yang
efektif
4) Tingkatkan perasaan – keadekuatan orang tua dan harga diri orang tua
5) Dorong sistem pendukung yang ada
6) Ajari anak untuk mengenali situasi yang menempatkan mereka pada
resiko penganiayaan seksual
b) Pasien ( keluarga ) mendapatkan dukungan yang adekuat:
- Orang tua menunjukkan aktifitas yang tepat untuk menjadi orang tua,
orang tua mencari kelompok dan individu pendukung
- Orang tua mendapatkan bantuan dalam menghadapi masalah
Intervensi keperawatan:
1) Berikan perhatian pada orang tua, mengambil alih tanggung jawab
perawatan anak sampai orang tua merasa siap untuk berpartisipasi
2) Tunjukkan sikap perhatian murni, bukan menuduh dan menghakimi
3) Rujuk orang tua ke kelompok pendukung khusus atau konseling
4) Bantu keluarga mengidentifikasi kelompok pendukung untuk orang tua
seperti keluarga besar, atau tetangga, bantu orang – orang dekat
lainnya untuk memahami pentingnya peran mereka dalam mencegah
penganiayaan lebih lanjut
5) Rujuk ke lembaga – lembaga sosial yang dapat memberikan bantuan
dalam area – area seperti dukungan finansial, rumah yang adekuat dan
pekerjaan
c) Pasien ( keluarga ) menunjukkan pengetahuan tentang pertumbuhan dan
perkembangan yang normal:
- Orang tua menunjukkan pemahaman tentang harapan normal untuk
anak mereka
Intervensi keperawatan:
1) Ajarkan pengharapan yang realistis tentang perilaku dan kemampuan
anak
2) Tekankan metode alternatif dari disiplin, seperti penghargaan, waktu
istirahat, konsekuensi dang ungkapan verbal atas ketidaksetujuan
3) Ajarkan metode penanganan masalah atau sasaran perkembangan,
seperti negativism pada toddler, toilet training dan kemandirian
4) Ajarkan melalui demonstrasi dan model peran bukan menguliahi,
hindarkan pendekatan yang otoriter ( Dona L. Wong, 2004 ).

Referensi:
Tracie O Afifi, Phd.);, & Gordon J G Asmundson, P. J. S., IVID. (2012). Childhood
Maltreatment and Substance Use Disorders Among Men and Women in a
Nationally Representative Sample. CanJPsychiatry, 57(11), 677-686.
Harriet Hiscock, J. K. B. (2012). Preventing mental health problems in children:the
Families in Mind population-based clusterrandomised controlled trial. BMC
Public Health, 12.
Melinda Smith, M. A., and Jeanne Segal, Ph.D. (2013, August 2013.). Recognizing,
Preventing, and Reporting Child Abuse. Child Abuse & Neglect Retrieved
january 9, 2014, from www.helpguide.org
Wong, D. L. (2004). Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik (S. K. Monica Ester,
Trans.). Jakarta EGC.
“Child Abuse It Matters You” Social Welfare department, Indonesia oktober 2010
tanggal 9 januari 2014
National Child Abuse Statistics, www.childhelp.org, diakses tanggal 9 January 2014
MedicinNet onhealth.com diakses tanggal 9 januari 2014

Anda mungkin juga menyukai