Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

FEBRIS CONVULSI

Pembimbing Akademik:
Dadang Kusbiantoro S.Kep, Ns, M.Si
Pembimbing Klinik:

Oleh :
BAMBANG SUSANTO
11.02.01.0842

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS) S1-KEPERAWATAN


STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM

I. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu mencapai > 38 C). Kejang demam dapat terjadi karena proses intrakranial
maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2- 4 % populasi anak berumur 6
bulan s/d. 5 tahun paling sering pada anak usia 17-23 bulan (Sylvia, 2006).
Sedangkan menurut (Abraham, 2006) febris convulsion atau yang biasa disebut
kejang demam, merupakan penyakit neurologi pada anak yang paling sering terjadi dan
memerlukan kecermatan diagnosis dalam memberikan penanganan secara keseluruhan.
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab kejang demam salah satunya faktor
genetika.

II. Klasifikasi
Menurut (Sylvia, 2006) kejang demam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Ciri dari kejang ini adalah:
(1) Kejang berlansung singkat
(2) Umunya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 10 menit
(3) Tidak berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang kompleks (complex febrile seizure)

III. Etiologi
Menurut (Sylvia, 2006) Kejang dibedakan menjadi intrakranial dan ektrakranial.
1. Intracranial meliputi :
(1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachoid, subdural atau ventrikuler.
(2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
(3) Kongenital: disgenesis, kelainan serebri
2. Ekstrakranial meliputi:
(1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan
elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
(2) Toksik: intoksikasi , anestesi lokal, sindroma putus obat.
(3) Kongenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.
Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu:
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 18 bulan.
- Tinggi suhu badan sebelum kejang → makin tinggi suhu sebelum kejang demam,
semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
- Lamanya demam sebelum kejang → semakin pendek jarak antara mulainya demam
dengan kejang, maka semakin besar resiko kejang demam berulang.

IV. Manifestasi klinis


Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkit dapat berbentuk tonik- klonik, klonik, bilateral. Bentuk
kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai
kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan, atau
hanya sebtakan atau kekauan fokal (Sylvia, 2006)
1. Kejang umum biasanya diawali kejang tonik kemudian klonik berlangsung 10
sampai dengan 15 menit, bisa juga lebih.
2. Takikardia: pada bayi frekuensi sering diatas 150-200 per menit.
3. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat
menurunnya curah jantung.
4. Gejala bendungan sistem vena:
- Hepatomegali.
- Peningkatan tekanan vena jugularis.

V. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glaukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan peraataraan fungsi paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler.
Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membrane sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (NA+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan yang disebut potensial membrane dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 10ºC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubu,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38ºC
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu
40ºC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai denyut jantung
yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas
otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat Rangkaian kejadian
diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul
edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah
mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi. (Sylvia, 2006).
VI. WOC
VII. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien demam menurut (Abraham, 2006):
1. Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap, elektrolit, dan
glukosa darah dapat dapat dilakukan walaupun kadangtidak menunjukkan kelainan
yang berarti.
2. Indikasi lumbal pungsi pada kejang damam adalah untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis, indikasi lumbal pungsi pada pasien
dengan kejang demam meliputi:
- Bayi < 12 bulan harus melakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis sering
terjadi tidak jelas.
- Bayi antara 12 bulan - 1 tahun.
3. Elektroensefalogram (EEG): dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus
dari kejang.
4. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.

VIII. Penatalaksanaan
Tujuan penanganan kejang demam adalah untuk menghentikan kejang sehingga
defek pernafasan dan hemodinamik dapat diminimalkan (Abraham, 2006).
Pengobatan saat terjadi kejang
1. Pemberian diazepam supositoria pada saat kejang sangat efektif dalam
menghentikan kejangf. Dosis pemberian:
(1) 5 mg untuk anak < 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak >3 tahun, Atau 5
mg untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan BB > 10 kg,
(2) 0,05 - 0,7 mg/kg BB/ kali.
2. Diazepam intravena juga dapat diberikan dengan dosis sebesar 0,02 - 0,5 mg/ kg
BB. Pemberian secara perlahan-lahan dengan kecepatan 0,5 - 1 mg per menit
untuk menghindari depresi pernafasan. Bila kejang berhenti sebelum obat habis,
hentikan penyuntikan. Diazepam dapat dibeikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila
anak masih kejang. Diazepam tidak diajurkan diberikan per IM karena tidak
diasorbsi dengan baik.
3. Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
4. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau
penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan nafas.
5. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
6. Sebagian besar kejang berlangsung singkat & dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
7. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera di bawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk di bawa ke
fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber
yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik di lakukan secepat mungkin
tanpa menyatakan batasan menit.
8. Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu di bawa menemui dokter
untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kakakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
9. Memastikan jalan nafas anak tidak tersumbat.
10. Pemberian oksigen melalui face mask.

IX. Komplikasi
Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada orang
tua, sebagian kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka panjang, kejang
demam tidak mengakibatkan kerusakan otak, keterbelakangan mental atau kesulitan
belajar / ataupun epiksi epilepsy pada anak di artikan sebagai kejang berulang tanpa
adanya demam kecil kemungkinan epilepsy timbul setelah kejng demam. Sekitar 2 - 4
anak kejang demam dapat menimbulkan epilepsy, tetapi bukan karena kejang demam
itu sendiri kejang pertama kadang di alami oleh anak dengan epilepsy pada saat
mereka mengalami demam. Namun begitu antara 95 – 98 % anak yang mengalami
kejang demam tidak menimbulkan epilepsy (Ngastiyah, 2005).
Komplikasi yang paling umum dari kejang demam adalah adanya kejang demam
berulang. Sekitar 33% anaka akan mengalami kejang berulang jika, demam kembali.
Sekitar 33% anak akan mengalami kejang berulang jika mereka demam kembali
resiko terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika:
1. Pada kejang yang pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak terlalu
tinggi.
2. Jarak waktu antara mulainya demam dengan kejang yang sempit.
3. Ada faktor turunan dari ayah ibunya.
Risiko yang akan dihadapi seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Namun begitu faktor terbesar adanya kejang demam berulang ini adalah usia.
Semakin muda usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin besar
kemungkinan mengalami kejang berulang (Roy, 2005).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
KEJANG DEMAM

I. Pengkajian
1. Identitas pasien
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi
nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
Umur biasanya 6 bulan sampai 4 tahun, jenis klelamin laki-laki perempuan 2 : 1,
insiden tertinggi pada anak umur 2 tahun.
2. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama: Kejang karena panas.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan pola serangan kejang, lama serangan, frekuensi dan keadaan sebelum,
selama dan sesudah serangan.
(1) Pola serangan
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum, dan terjadi dalam
waktu 16 jam setelah demam.
(2) Lama serangan
Pada kejang demam sederhana lama kejang kurang dari 15 menit.
(3) Frekuensi serangan
Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun, pada kejang demam
sederhana frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat
kali.
(4) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar
tanpa ada kelainan saraf.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
(1) Riwayat kejang sebelumnya.
Adanya faktor predisposisi terjadinya kejang demam antara lain trauma
kepala, Infeksi, dan reaksi terhadap imunisasi.
4) Riwayat Kehamilan dan Persalinan
(1) Riwayat kehamilan: penyakit yang diderita ibu, perdarahan pervagina dan
obat-obatan yang digunakan.
(2) Riwayat Persalinan: kelahiran spontan atau dengan tindakan, perdarahan
antepartum, KPD, Aspixia.
5) Riwayat Imunisasi
Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas
yang dapat menimbulkan kejang.
6) Riwayat Kesehatan Keluarga
25-50 % kejang demam mempunyai faktor keturunan adanya faktor keluarga yang
menderita kejang demam, penyakit saraf atau penyakit lainnya.
7) Pertumbuhan dan Perkembangan
(1) Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian
tubuh yang secara kuantitatif dapat di ukur.
(2) Perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat
dicapai melalui tumbuh, kematangan dan belajar.
3. Tumbuh Kembang Anak-anak usia 1-3
1) Pertumbuhan
(1) Kenaikan BB karena umur 1-3 tahun berkisar antara 1,5 – 2,5 kg (rata- rata 2
kg), PB 6 - 10 cm (rata-rata) pertahun.
(2) Kenaikan lingkar kepala 12 cm di thun pertama dan 2 cm ditahun ke dua dan
seterusnya.
(3) Tumbuh gigi 8 buah: tambahan gigi susu, gerakan pertama dan gigi taring
seluruhnya berjumlah 14-16 buah.
(4) Erupsi gigi: gerakan pertama menusul gigi taring.
2) Perkembangan
(1) Tahap perkembangan psikoseksual menurut Freud
Fase anal: pengeluaran tinja sebagai sumber kepuasan libido, mulai
menunjukkan keakuannya, cinta diri sendiri/egostik, mulai kenal dengan
tubuhnya, tugas utamanya adalah kebersihan, perkembangan bicara dan
bahasa (meniru dan mengulang kata sederhana, hubungan interpersonal,
bermain).
(2) Tahap perkembangan psikososial menurut Erik erikson
Perkembangan keterampilan motoric dan bahasa dipelajari anak toddler dari
lingkungan dan keutungan yang ia dipeoleh dari kemampuannya untuk
mandiri (tak tergantung) melalui dorongan orang tua untuk makan,
berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua terlalu over protektif, menuntut
harapan yang terlalu tinggi maka anak akan merasa malu dan ragu-ragu,
seperti juga perasaan tidak mampu yang dapat berkembang pada diri anak.
(3) Gerakan kasar halus, biacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan mandiri,
umur 2-3 tahun.
a. Berdiri sendiri dengan satu kaki tanpa berpegangan sedikit pun 2 hitungan.
b. Meniru membuat garis halus.
c. Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata.
d. Melepas pakian sendiri.
4. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran: Penurunan kesadaran
2) TTV: Suhu: Hipertermi (>38oC), RR: Fase iktal: Tachipnea : >40 x/mnit (bayi),
>28 x/mnit (anak) Fase posiktal: normal / Bradipnea: <30 x/menit (bayi), <24
x/menit (anak), Nadi: Fase iktal: Takikardi: >120 x/menit (bayi), >110 x/menit
(anak) Post iktal: normal/ bradikardia: <110 x/menit (bayi), <100 x/menit (anak),
TD: Fase iktal: hipertensi: >90/60 mmHg (bayi), >95/65 mmHg (anak) Fase post
iktal: normal 80/45 - 90/60 mmHg (bayi), 90/60 - 95/65 mmHg
3) Head To Toe
(1) Kepala: Disporposi bentuk kepala, kejang umum, tonik klonik dan sakit
kepala.
(2) Mata: Dilatasi Pupil, gerakan bola mata menyimpang ke satu sisi dan gerakan
kelopak mata cepat/ kedipan kelopak mata, reflek cahaya turun dan
konjungtiva merah.
(3) Mulut:
- Fase ictal: Produksi saliva berlebihan, vomiting dan Cyanosis mukosa mulut,
gigi mengatup, lidah jatuh ke belakang (stridor) / tergigit.
- Fase post ictal: Apnea
(4) Hidung :
- Fase ictal: Adanya pernafasan cuping hidung, Cyanosis.
- Fase post ictal: apnea
(5) Leher: pada tetanus terjadi kaku kuduk.
(6) Dada:
- Fase ictal
Inspeksi: peningkatan gerakan pernafasan, adanya tarikan intercostae, bentuk
dada simetris
Palpasi: tidak terdapat kelainan
Perkusi: redup pada lapang paru
Auskultasi: ronkhi
- Post ictal :
Inspeksi : Apnae atau nafas dalam dan lambat.
Palpasi: tidak ada kelainan
Perkusi: redup pada lapang paru
Auskultasi: ronki
(7) Abdomen
- Fase Ictal :
Inspeksi: distensi abdomen/ peningkatan tekanan otot-otot lambung
Auskultasi: bising usus meningkat
Perkusi: normal / timpani
Palpasi: Peningkatan blader
- Post ictal :
Inspeksi: tidak ada kelainan
Auskultasi: hiperperistaltik
Perkusi: norml/timpani
Palpasi: tidak ada kelainan
(8) Ekstermitas
- Fase Ictal: kejang/kekakuan pada ekstremitas atas dan bawah dan cyanosis
pada jari tangan dan kaki.
- Post ictal : relaksasi otot dan nyeri serta kelemahan pada otot.
5. Aktivitas Daily Living
1) Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Tidak ada kelainan
2) Pola Nutrisi
Sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak (lidah) / gigi (cedera selama kejang)
3) Pola Eliminasi
Ictal: peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter.
Post ictal: otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urin/fekal)
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Fase ictal: anak bisa jatuh/cedera dan lidah bisa tergigit, gerakan involunter
Post ictal: Keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus, pada saat kejang
5) Pola Tidur dan Istirahat
Pasien mengalami gangguan tidur apabila panas tinggi tetapi apabila panasnya
sudah turun anak dapat tidur secara normal.
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah
 Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl).
 BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
 Elektrolit: K, Na, Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ), Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ).
 Cairan Cerebo Spinal: Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
 Skull Ray: Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
 Tansiluminasi: Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.
 EEG: Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
 CT Scan: Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral
oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

II. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan secret.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dipsnea/apnea.
3. Hipertermi berhubungan dengan gangguan termoregulasi.
4. Resiko kejang berulang berhubungan dengan resiko keterlambatan.
5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan inkontientas urin / fekal.
6. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran.
7. Resiko asfiksia/aspirasi berhubungan dengan kebutuhan O2 meningkat.
8. Nutrsi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.
III. Perencanaan
No Dx Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Jelaskan pada keluarga petingnya 1. Pengetahuan yang baiak membantu
nafas takefektif selama 1 x 24 jam diharapkan jalan pemberian posisi yang tepat saat terjadi dalam pemberian asuhan keperawatan.
berhubungan nafas kembali paten dengan KH: serangan kejang.
dengan  Keluarga mampu menjelaskan 2. Letakkan klien dalam posisi yang 2. Meningkatkan aliran sekret, mencegah
peningkatan pemeberian posisi yang benar saat nyaman (miring, permukaan datar, lidah jatuh dan tersumbatnya jalan
produksi saliva terjadi kejang. miringkan kepala selama serangan nafas.
 Keluarga / ibu bersedia kejang).
melonggarkan pakaian bila terjadi 3. Ajarkan pada keluarga/ibu untuk 3. Sebagai fasilitas sebagai usaha untuk
serangan kejang. melonggarkan pakaian terutama pada bernafas.
 Ibu melonggarkan pakaian terutama leher, dada dan perut pada saat kejang
pada daerah leher, dada dan perut 4. Masukkan spatel lidah / jalan nafas 4. Jika dimasukan diawal untuk

 Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi), 24 buatan atau gulungan benda lunak. membuka rahang, alat ini dapat

– 28 x/menit (anak). mencegah tergigitnya lidah dan

 Tidak ada otot bantu pernafasan. memfasilitasi saat melakukan

 Tidak sianosis. penghisapan lendir atau memberi


sokongan terhadap pernapasan jika
 Tidak terjadi penumpukan
diperlukan
saliva/sekret
5. Lakukan suction bila perlu. 5. Menurunkan resiko aspirasi dan
asfiksia.
6. Berikan oksigen / ventilasi sesuai 6. Menurunkan hipoksia cerebral akibat
kebutuhan pada fase post ictal. dari sirkulasi yang menurunkan /
oksigen sekunder terhadap spasme
selama serangan kejang.
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Berikan penjelasan kepada keluarga 1. Keluarg
efektif selama 1 x 24 jam diharapkan pola tentang penyebab adanya peningkatan a klien mengetahui penyebab
berhubungan nafas klien adekuat dengan KH: pola nafas pada fase ictal. terjadinya peningkatan pola nafas pada
dengan spasme  Keluarga mengetahui penyebab 2. Kosongkan mulut klien dari benda / zat anak
bronkus peningkatan pola nafas. makanan. 2. Menuru
 Keluarga bersedia mengosongkan 3. Observasi tanda-tanda vital klien. nkan resiko aspirasi.
mulut klien ketika terjadi kejang.
 Keluarga/ ibu dapat membantu 4. Observasi adanya otot bantu nafas dan 3. Menget
memposisikan klien semi fowler. adanya pernafasan cuping hidung. ahui tingkat perkembangan klien.

 TTV dalam batas normal 4. Adanya

- TD: 80/45 - 90/60mmHg (bayi), 5. Ajarkan kepada ibu untuk memberikan otot bantu nafas dan PCH menandakan

90/60 - 95/65 mmHg. posisi semi fowler pada klien. adanya distres pernafasan.

- Suhu 36,5º – 37,5º C (bayi), 36 – 5. Posisi

37,5º C (anak). 6. Kolaborasi dengan tim medis / dokter semi fowler membantu

- Nadi 110 – 120 x/menit (bayi), dalam pemberian terapi. memaksimalkan ekspansi paru dan

100-110 x/menit (anak). menurunkan upaya pernafasan

- RR 30 – 40 x/menit (bayi), 24 – 28 6. Melaks


x/menit (anak) anakan fungsi independent.
 Tidak terjadi aspirasi.
 Tidak ada PCH dan otot bantu nafas.
 Ekspansi paru maksimal.

3 Hipertemi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Berikan penjelasan pada keluarga tentang 1. Memberi pengetahuan penyebab
berhubungan selama 2 x 24 jam diharapkan penyebab peningkatan suhu tubuh. terjadinya peningkatan suhu tubuh
dengan peningkatan suhu tubuh dapat teratasi anak.
gangguan dengan KH; 2. Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam 2. Pemantauan tanda vital yang teratur
termoregulasi  Keluarga mampu menjelaskan sekali. dapat menentukan perkembangan
penyebab peningkatan suhu tubuh. keperawatan yang selanjutnya.
 Keluarga / ibu bersedia memberikan 3. Pertahankan suhu tubuh normal. 3. Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh
kompres dingin dan memberikan tingkat aktivitas, suhu lingkungan,
baju yang mudah menyerap keringat. kelembaban ketinggian
 Keluarga / ibu mengompres dingin mempengaruhi panas atau dinginnya
pada kepala dan ketiak dan tubuh.
memakaikan baju yang tipis. 4. Ajarkan pada keluarga memberikan 4. Proses konduksi / perpindahan panas

 Suhu 36,5º – 37,5º C (bayi), 36 – kompres hangat pada kepala / ketiak. dengan suatu bahan perantara.

37,5º C (anak). 5. Anjurkan keluarga / ibu untuk 5. Proses hilangnya panas akan

 Nadi 110 – 120 x/menit (bayi), 100- memberikan baju tipis dan terbuat dari terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak

110 x/menit (anak). kain katun. dapat menyerap keringat.


 Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi), 24 6. Beriksan obat antipiretik sesuai indikasi 6. Menurunkan panas pada pusat
– 28 x/menit (anak). hipotalamus dan sebagai propilaksis
 Anak tidak rewel
DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M. Rudolph. 2006. Buku Ajar Pediatrik. Jakarta: EGC

Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan / Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit, Jakarta: EGC

Roy, Meadow. 2005. Notes Pediatrik. Edisi 7. Jakarta: Erlangga

Sylvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis, Proses-proses, dan Penyakit,


Edisi 6. Jakarta. EGC.

Anda mungkin juga menyukai