Anda di halaman 1dari 10

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

KASUS KANKER SERVIKS

Dosen Pengampu : Muthmainah, Ns. M.Kep

Disusun Oleh :

Dewi Chintiya

1714201110069

S1 Keperawatan Reguler Kelas B

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

2019/2020
Cerita Perjuangan Rista Aditiawati, Penyintas Kanker Serviks

Setiap satu jam, ada satu perempuan Indonesia yang meninggal dunia akibat
kanker serviks. Sementara secara global, setiap dua menit, satu perempuan di dunia
meninggal karena kanker yang satu ini.
Kanker serviks adalah kanker yang muncul pada leher 2rahim perempuan yang
berfungsi sebagai pintu masuk menuju 2rahim dari vagina. Tak heran selain kanker
payudara, kanker serviks menjadi salah penyakit yang paling ditakuti oleh perempuan
Indonesia.
Hal tersebut dipahami sekali oleh Rista Aditiawati (44), seorang penyintas
kanker yang didiagnosis menderita kanker serviks pada Juli 2016 silam.
“Pertama kali terdeteksi kanker serviks itu saat memasuki bulan puasa di tahun 2016.
Saat itu saya haid tidak teratur, bisa tiap dua minggu sekali dengan volume darah yang
sangat banyak. Puncaknya adalah saat berhubungan intim dengan keluarnya bercak
darah. Karena khawatir, akhirnya saya pergi ke dokter kandungan untuk
memeriksanya,” ujar Rista kepada kumparan STYLE saat ditemui pada acara
Peringatan Hari Kanker Sedunia di Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu.
Usai menjalani sejumlah pemeriksaan dan pap smear, awalnya Rista dinyatakan
tidak terjangkit penyakit apa pun. Kemudian dokter pun juga menyarankan dirinya
untuk melakukan 2biopsi dan dirujuk ke dokter onkologi. Setelah dilakukan
pemeriksaan kembali secara menyeluruh, Rista pun dinyatakan terjangkit virus HPV
yang menyebabkan dirinya positif terkena kanker serviks pada usia 42 tahun.
“Ketika divonis kanker serviks, saat itu rasanya dunia hancur banget. Saya tidak
menyangka kalau saya bisa terjangkit kanker serviks, karena memang tidak ada tanda-
tanda sakit atau nyeri. Tiba-tiba saja saat menstruasi itu lebih banyak dan lebih sering.
Belum lagi dengan stigma orang yang terjangkit penyakit ini identik dengan orang yang
suka bergonta-ganti pasangan. Padahal saya sendiri tipikal orang rumahan yang jarang
bergaul. Kaget sekali saat itu, hati rasanya campur aduk dan akhirnya mikir yang tidak-
tidak. Saat itu saya menyalahkan suami, menyalahkan Tuhan juga kenapa harus saya
yang diberi penyakit ini,” papar Rista.
Setelah terdeteksi kanker serviks, pada November 2016 perempuan yang telah
dikaruniai tiga buah hati ini pun memutuskan untuk segera melakukan operasi besar.
“Saya masih ingat dengan jelas, masa-masa sangat emosional di suatu malam menjelang
operasi besar di pagi harinya. Dokter memberi tahu kemungkinan terburuk dari hasil
operasi nanti. Kata dokter saat itu, jika kanker yang menempel di 3nerg sudah besar dan
menempel terlalu dalam, kemungkinan tidak bisa diangkat jadi tidak bisa dibedah.
Karena si kanker serviks ini kan posisinya menempel sekali di 3nerg dan kandung
kemih, jadi memang harus benar-benar hati-hati membedahnya. Kalau terjadi kesalahan
akan menyebabkan saluran pembuangan kita terganggu. Misalnya kotoran yang
harusnya kita keluarkan saat buang air besar bisa jadi lewat lubang pipis, karena
posisinya yang sangat dekat sekali kan. Belum lagi setelah operasi, harus dilakukan
kemoterapi dan radiasi lagi. Semua itu tentu membuat saya semakin terpuruk dan
menyalahkan Tuhan,” papar Rista 3nergy menghela nafas.
Kemudian, Rista pun bergabung dengan komunitas Cancer Information and
Support Center (CISC) untuk membantunya tetap semangat melawan kanker dan
berbagi kisah dengan para anggota komunitas. Dengan tekad dan dukungan dari
keluarga serta teman-teman di komunitas, Rista pun bisa melewati masa-masa sulitnya.
Usai menjalani operasi pengangkatan rahim, Rista menjalani serangkaian rawat jalan. Ia
harus menyesuaikan beberapa perubahan yang terjadi pada tubuhnya, ia pun
membutuhkan waktu untuk kembali latihan jalan secara normal, melakukan olahraga
tertentu untuk melemaskan otot-otot, dan menyesuaikan diri dengan siklus ekskresinya
yang baru.
Beruntungnya dengan hasil screening yang ia dapati setelah operasi, kanker
yang ada di tubuh Rista rupanya tidak menyebar, jadi ia tak perlu melakukan
kemoterapi atau radiasi. Namun sejumlah pemeriksaan secara berkala masih tetap ia
lakukan.
“Setelah operasi besar, karena tidak ada penyebaran kanker, dokter menyatakan
saya tidak perlu melakukan kemoterapi dan radiasi. Tapi saya harus 4nergy4 secara
rutin (USG) seminggu sekali, kemudian berkurang jadi tiap tiga bulan sekali dan saat ini
tiap enam bulan sekali. Selanjutnya akan sekali dalam setahun, “ jelas Rista.
Menyikapi kondisi yang dialami, Rista mengungkapkan bahwa ia secara perlahan mulai
menerima dan 4nergy4 hikmah dari apa yang telah Tuhan gariskan untuknya.
“Turning point saya saat itu ketika di malam hari menuju operasi. Di situ saya pasrah
dan meminta maaf karena telah menyalahkan Tuhan dan suami. Sudah suudzon juga
kan dengan suami, karena belum tentu juga suamiku yang menularkannya. Anak-anak
juga dukung banget, minta saya harus sembuh. Saat itu saya mulai berangsur-angsur
menerima keadaan, mungkin memang sudah begini jalannya. Dan saya menyadari
bahwa di saat kita masih mau berjuang pasti ada jalan, karena setiap pengidap kanker
tidak berakhir dengan kematian,” jelas Rista.
Saat ini Rista aktif di komunitas penyintas CSIS dan kerap bicara mengenai
perjuangannya menghadapi kanker serviks.
“Saya mengakui pernah mengidap kanker serviks, tapi itu bukan akhir dari
dunia. Memang butuh waktu untuk menerima diri, namun dukungan suami, anak-anak
dan teman-teman di komunitas memberi 4nergy bagi saya untuk melawan kanker.
Dengan speak up, membuat saya lebih lega dan dapat membuat orang lain lebih bisa
aware dan dapat mencegah kanker serviks dengan melakukan pemeriksaan dini,” jelas
Rista.
Kumparan.com
Analisa Kasus
Di kasus menceritakan Rista Aditiawati yang berjuang melawan kankernya walaupun di
awal dia syok dengan diagnosa yang diterimanya namun berkat kekuatan dari keluarga
teman dan kumunitas cancer yang ia ikuti dia berhasil melewati penyakit itu dengan
penuh semangat dan pantang menyerah, dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pentingnya
perawatan paliatif yang dilakukan guna mengurangi stress yang dihadapinya dengan
bergabung ke sebuah komunitas dan saling berbagi cerita itu dapat mengurangi beban
yang dideritanya, pentingnya peran keluarga yang selalu mendukungnya, dan tak kalah
penting kita sebagai perawat yang paliatif dalam merawatnya walaupun di kasus tidak di
sebutkan perawatan yang di lakukan oleh seorang perawat, namun sudah di sebutkan
bahwa Rista dapat melewati kanker serviksnya dengan penuh semangat sabar dan
ketekunan berobat berkat keluarga dan teman temannya.

Intervensi Kanker Serviks


A. Tatalaksana Lesi Prakanker Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas
pelayanan kesehatan, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana
prasarana yang ada
1. Krioterapi Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan
metode pembekuan atau freezing hingga sekurangkurangnya -20oC selama 6
menit (teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐ sel mengalami
dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok
termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem
mikrovaskular.
2. Elektrokauter Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi
dengan melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada
zona transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi
anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan
tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.
3. Diatermi Elektrokoagulasi Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan
jaringan lebih luas dan efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi
harus dilakukan dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk
memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks
dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.
4. Laser Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium,
gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang
mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada
serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis.
Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intraselular
mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya
B. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif
1. Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ), Konisasi (Cold knife conization). Bila
margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan fertilitas.
Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi. Bila fertilitas tidak
diperlukan histerektomi total Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai
tatalaksana kanker invasif.
2. Stadium IA1 (LVSI negatif), Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi
adekuat) apabila fertilitas dipertahankan.(Tingkat evidens B) Bila tidak free
margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi. Histerektomi Total apabila
fertilitas tidak dipertahankan
3. Stadium IA1 (LVSI positif) Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi
pelvik apabila fertilitas dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena
kontraindikasi medik dapat dilakukan Brakhiterapi
4. Stadium IA2,IB1,IIA1 Pilihan :
a. Operatif. Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik. (Tingkat
evidens 1 / Rekomendasi A) Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila
terdapat faktor risiko yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas
sayatan tidak bebas tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko
lainnya. Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja.
Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi eksterna
dilanjutkan dengan brakhiterapi.
b. Non operatif Radiasi (EBRT dan brakiterapi) Kemoradiasi (Radiasi : EBRT
dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
5. Stadium IB 2 dan IIA2 Pilihan :
a. Operatif (Rekomendasi A) Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
b. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C) Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi
adalah untuk mengecilkan massa tumor primer dan mengurangi risiko
komplikasi operasi. Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko,
dan hasil patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau
kemoterapi.
6. Stadium IIB Pilihan :
a. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
b. Radiasi (Rekomendasi B)
c. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
d. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)
7. Stadium III A - III B
a. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
b. Radiasi (Rekomendasi B)
8. Stadium IIIB dengan CKD
a. Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
b. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
c. Radiasi
9. Stadium IV A tanpa CKD
a. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
b. Kemoradiasi Paliatif, atau
c. Radiasi Paliatif
10. Stadium IV A dengan CKD, IVB
a. Paliatif
b. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.

Interversi Keperawatan Paliatif Kanker Serviks


A. Langkah-langkah dalam pelayanan paliatif (Kemenkes, 2013),adalah:
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Memahami pasien dalam membuat wasiat atau keinginan terakhir
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek social
4. Tatalaksana gejala
5. Informasi dan edukasi
6. Dukungan psikologis, cultural dan social
7. Respon fase terminal
8. Pelayanan pasien fase terminal
B. Aktifitas perawatan paliatif pada penderita:
1. Membantu penderita mendapat kekuatan dan rasa damai dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
2. Membantu kemampuan penderita untuk mentolerir penatalaksanaan medis.
3. Membantu penderita untuk lebih memahami perawatan yang dipilih.
C. Aktifitas perawatan paliatif pada keluarga:
1. Membantu keluarga memahami pilihan perawatan yang tersedia.
2. Meningkatkan kehidupan sehari-hari penderita, mengurangi kekhawatiran dari
orang yang dicintai (asuhan keperawatan keluarga).
3. Memberi kesempatan sistem pendukung yang berharga

Pelayanan asuhan keperawatan penderita meliputi pemenuhan kebersihan diri


(mandi, berhias, kebersihan mulut, perawatan kuku), kebutuhan nutrisi, kebutuhan tidur
dan kenyamanan tempat tidur dan memfasilitasi lingkungan ruang rawat yang kondusif.
Kebutuhan saat-saat terminal adalah memberi dukungan pada keluarga (memberikan
kesempatan bertanya, memberikan informasi, memberikan saran cara memberikan
dukungan pada penderita, menyediakan barang-barang yang memberi rasa nyaman,
menyediakan dukungan interdisiplin).
Pada pasien kanker stadium terminal, fokus terapiadalah membuat pasien merasa
nyaman dan tenang, oleh karena itu perawatan rumah adalah pilihan yang lebih baik
untuk pasien dan keluarganya.Di Indonesia,perawatan paliatif di rumah biasanya
memerlukan kunjungan tim kesehatan secara teratur di rumah. Tim dapat terdiri dari
dokter, perawat, atau bidan yang melakukan pemeriksaan dan penilaian kesehatan
penderita. Selain itu, diperlukan relawan ataupun pekerja sosial baik dari lembaga
swadaya masyarakat, lingkungan tempat tinggal, atau keluarga pasien sendiri yang
dapat membantu menjaga dan merawat penderita di rumah.
Di Amerika, program perawatan rumah untuk pasien kanker terminal disebut
hospice care. Hospice care adalah program perawatan berkualitas untuk orang-orang
yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan, dengan memberikan pelayanan
berupa terapi kedokteran professional, penanggulangan nyeri, dan dukungan emosional
dan spiritual sesuai keinginan dan kebutuhan pasien dan keluarganya.Program ini
diregulasi pemerintah melalui NPHCO (National hospice and palliative care
organization) dan ditujukan untuk pasien dengan ketentuanusia harapan hidup kurang
dari enam bulan, adanya keinginan pasien sendiri untuk dirawat di rumah.23,24 Penting
untuk mengetahui dan mempraktekkan ketrampilan menyampaikan berita buruk, baik
pada pasien maupun keluarganya. Isunya adalah bagaimana menyampaikan kondisi
pasien secara jujur dan terbuka dengan tetap menjaga optimisme dan harapan pasien.
Pemilihan waktu kapan saat yang tepat menyampaikan informasi menentukan
keberhasilan, terutama jika kematian sudah menjelang. Dengan melibatkan pihak dan
professional lain, dokter dapat menghindari dari beban menjadi satu-satunya tumpuan
pasien dan keluarganya terhadap penyakit yang sudah progresif dan terminal.
Ketika penyakit semakin progresif dan kematian sudah menjelang, tujuan utama
perawatan paliatif adalah membuat pasien merasa nyaman menemui kematiannya, dan
keluarga yang ditinggalkan juga dapat melalui proses kehilangan tersebut dengan baik.
Pengobatan yang sudah tidak memiliki manfaat dan mengurangi rasa nyaman pasien
sebaiknya dihentikan. Beberapa intervensi dan tindakan yang tidak diinginkan tidak
perlu dilakukan, meskipun batasan dari ‘kesia-siaan’ pengobatan tersebut belum ada
kesepakatan yang jelas dari para ahli.

Referensi :
Anita. 2016. Perawatan Paliatif Dan Kualitas Hidup Penderita Kanker. Jurnal
Kesehatan, Volume Vii, Nomor 3
Alkaf Syifa. 2016. Terapi Paliatif bagi Penderita Kanker Ginekologi. Jurnal
Kedokteran Unila Volume 1, Nomor 2
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional
( http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKServiks.pdf di akses pada tanggal 14
oktober 2019 jam 17.36 )

Anda mungkin juga menyukai