Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

EFUSI PLEURA ET CAUSA METASTASE CA MAMMAE

Disusun oleh:

IHSANUL IRFAN

FAA 112 016

Pembimbing:

dr. SUYANTO, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD dr. DORIS SYLVANUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2016
LEMBAR PERSETUJUAN

EFUSI PLEURA ET CAUSA METASTASE CA MAMMAE

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti

Ujian Akhir Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Diajukan Oleh

Ihsanul Irfan

FAA 112 016

Telah disetujui di Palangka Raya, Februari 2016

Oleh:

Pembimbing Materi

Dr. Suyanto, Sp.PD

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama : Ihsanul Irfan


NIM : FAA 112 016
Jurusan : Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa laporan kasus yang berjudul Efusi Pleura et causa Ca
Mammae ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan peniruan terhadap karya
dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara
penulisan yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam
laporan kasus ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Palangka Raya, Februari 2016,

Ihsanul Irfan
FAA 112 016

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II KASUS
2.1 Identitas Pasien ...................................................................................... 2
2.2 Anamnesis ............................................................................................. 2
2.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... ...16
3.1 Kanker Payudara.................................................................................... 16
A. Definisi ....................................................................................... 16
B. Epidemiologi ............................................................................... 16
C. Faktor Resiko .............................................................................. 17
D. Kriteria Diagnostik ..................................................................... 17
E. Klasifikasi Staging ...................................................................... 20
F. Klasifikasi Histologik .................................................................. 22
G Jalur Penyebaran .......................................................................... 24
H. Tatalaksana ................................................................................. 25
I. Prognosis ...................................................................................... 25
J. Pencegahan .................................................................................. 25
3.2 Efusi Pleura Maligna ............................................................................. 26
A. Definisi ....................................................................................... 26
B. Etiologi dan Patogenesis ............................................................. 26
C. Kriteria Diagnostik...................................................................... 28

iv
D. Tatalaksana ................................................................................. 32
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................... 36
BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43

v
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali.
Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas berasal dari
parenchyma.
Kebanyakan hampir tidak ada gejala dari kanker payudara, ketika pasien berobat karena
ada kelainan di payudaranya seringnya sudah terdiagnosis di stadium akhir. Hingga saat ini kanker
payudara menjadi kanker dengan tingkat insidensi nomor 2 di Indonesia, dan dari tahun ke tahun
angka insidensi semakin meningkat.
Kanker payudara sering ditemukan pada wanita, dan sekitar sepertiga dari wanita-wanita
yang mengidap karsinoma ini akan meninggal dunia karena penyakit tersebut. Wanita yang dapat
hidup hingga usia 90 tahun mempunyai satu dari delapan kesempatan untuk mengidap kanker
payudara.1
Efusi pleura (EPM) merupakan komplikasi penting pada pasien dengan keganasan
intratorakal dan ekstratorakal. Efusi pleura ini juga merupakan komplikasi keganasan stadium
lanjut yang sangat menyulitkan, dengan lebih dari 150.000 kasus per tahun di Amerika Serikat.
Beberapa penelitian mendapatkan median survival setelah penderita didiagnosis EPM adalah 4
bulan.
Efusi pleura pada seorang penderita dapat berupa penyebaran dari keganasan yang far-
advanced atau merupakan manifestasi awal dari keganasan intra atau ekstratoraks yang
mendasarinya. Walaupun semua sel ganas dapat menyebabkan EPM, tetapi lebih dari 75% EPM
disebabkan oleh keganasan di paru, payudara, atau ovarium, serta limfoma.2

1
BAB II

I IDENTITAS
Nama : Ny.S

Usia : 49 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Kader Puskesmas

Alamat : Cibitung

Ruangan : Shasta 2

Tanggal MRS : 09 November 2019

Tanggal Pemeriksaan: 20 November 2019

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan anak pasien

Tanggal : 20 November 2019


Tempat : Ruang Shasta 2

A. Keluhan Utama : Sesak napas

B. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan yang lalu
dan memberat sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan terus menerus, terasa
paling berat di dada sebelah kanan. sesak dirasakan memberat ketika berjalan dengan jarak dekat dan
sesak terasa ringan jika beristirahat dengan cara duduk membungkuk ke depan sambil memegang
bantal. Sesak tidak disertai dengan bunyi ngik- ngik ketika bernapas. Keluhan lain yang dialami
2
pasien yakni batuk semenjak sesak napas muncul. Batuk hilang timbul tanpa dahak maupun darah.
Terdapat nyeri dada dirasakan di dada sebelah kanan seperti ditusuk dan tidak menjalar

3
6 bulan sebelum masuk rumah sakit di payudara kanan timbul luka terbuka dan mengeluarkan nanah
bercampur darah dari bekas biopsi. Awalnya pasien memiliki benjolan di payudara kanan lebih 2
tahun yang lalu dan, dilakukan biopsi pertama pada tahun 2017 di RS.Belia bekasi kemudian muncul
kembali benjolan lebih besar, dilakukan biopsi kedua pada tahun 2018 di RS.Baka baktini. Mula-mula
benjolan kecil seperti kacang tapi tidak nyeri kemudian membesar hingga menjadi ukuran penutup
gelas dan terasa nyeri
Pasien juga mengeluh perut terasa agak penuh dan terasa nyeri. Keluhan lainnya yakni mual dan
muntah isi air liur. BAB belum 3 hari, namun BAK tidak ada keluhan. Keluhan lainnya yakni sakit
kepala, nyeri punggung, demam (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
 Riwayat alergi obat, makanan, hipertensi, diabetes militus disangkal
 Riwayat pengobatan paru 6 bulan, riwayat asma dan sakit kuning, malaria disangkal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat keganasan yang dialami oleh keluarga disangkal
 Riwayat hipertensi, diabetes militus, pada keluarga disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan Generalis
IV. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

4
V. Kesadaran: Compos Mentis (GCS: E4V5M6)
VI. Vital Sign
 Tekanan Darah : 135/80 mmHg
 Suhu : 37,50C
 Nadi : 80 x/ menit
 Pernapasan : 24 x/m

b. Status Lokalis
- Kepala :
Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, napas cupimg hidung (-)
- Leher :
JVP tidak meningkat (5+2 cmH20), tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan
kelenjar tiroid, tidak menggunakan otot bantu napas m. Sternocleidomastoideus.
- Thorax:
Hemithorax dextra dan sinistra tampak simetris

Pulmo Anterior Posterior


Inspeksi Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Palpasi Ekspansi dada asimetris +/- Ekspansi dada asimetris +/-
Fremitus vocal (-) Fremitus vocal
Perkusi: Bunyi redup +/- (mulai SIC II kebawah) Bunyi redup +/-
Batas paru hepar SIC V Linea midclavicula dextra
Batas paru lambung SIC VI Linea aksilaris anterior
Auskultasi Vesikuler -/+ Vesikuler -/+
Rhonki -/- Rhonki -/-
Wheezing -/- Wheezing -/-

Cor
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V 1 cm medial dari
linea midclavicula sinistra

5
Perkusi Kanan atas : SIC II Linea parasternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dextra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC V linea midclavicularis
sinistra

Auskultasi - S1 dan S2 Tunggal


- Reguler
- Gallop (-)
- Murmur (-)

- Mammae
Pada pemeriksaan mammae dextra terlihat luka post operasi mulai dari thorax sampai linea
midaxillaris media, terdapat satu massa berukuran 2 cm dengan konsistensi keras, berbatas tegas,
immobile dan dua buah massa yang sudah pecah berukuran 2 cm, warna massa kemerahan disertai
darah, pus (-), krusta (-). Pada mammae sinistra tidak ada kelainan.

- Abdomen
Pemeriksaan abdomen didapati inspeksi datar dan tidak terdapat venektasi. Pada auskultasi,
bising usus normal. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan di regio epigastrium dan hipokondrium
dextra, nyeri lepas (-), hepar teraba membesar 9 cm dibawah arcus costae dengan liver spand 14
cm (lobus dextra) – 11 cm (lobus sinistra), konsistensi lunak, dan tepi tumpul. Lien tidak teraba
membesar. Perkusi didapatkan bunyi pekak di regio epigastrium dan hipokondrium kanan. Nyeri
ketok CVA (-), Ascites minimalis regio lumbal dextra dan lumbal sinistra, shifting dullness (+).

- Ekstremitas
Pemeriksaan ekstremitas tidak ada kelainan. Didapati akral hangat, tidak ada edema dan
sianosis, CRT <2 detik.

6
II.3 Pemeriksaan penunjang

1. Foto thorax PA
- Trakea tidak terdorong dari mediastinum
- Terdapat batas atas efusi dengan udara di pulmo dextra
- Gambaran radioopak pada paru kanan yang hampir menutupi seluruh lapang paru
- Hilangnya sulkus kostofrenikus

7
2. USG abdomen tanggal 24 Oktober 2015
- Efusi pleura kanan minimal, pleura parietal dan pleura visceral tidak terpisah karena efusi
- Nodul multipel pada hepar
- Organ intra abdomen lainnya baik
- Asites (-)

Kesan: Metastase hepar dengan efusi pleura dextra

3. Foto Vertebra Lumbosacral AP-Lateral tanggal 24 Oktober 2015

- Corpus vertebra lumbal 5 tampak sclerotik dengan penyempitan discus L5-S1


- Corpus vertebra L1 tampak memipih

4. Kimia klinik tanggal 24 Desember 2015

Parameter Hasil Satuan Nilai Normal


Glukosa-sewaktu 72 Mg/dL <200
Ureum 23 Mg/dL 21-53
Creatinin 1,03 Mg/dL 0,17-1,5
SGOT/AST 134 U/L <31

8
SGPT/ALT 40 U/L <32
Albumin 3,64 g/dL 3,5-5,5

5. Darah Lengkap

Parameter Hasil Nilai normal


Leukosit 12850/uL 4000-10000/uL
- Neutrofil 79,7% 50-70%
- Limfosit 10,7% 20-40%
- Hematokrit 33,1% 37-54%
- RDW-SD 57,5 fL 35-56 fL
Eritrosit 3,67 juta/uL 3,5-5,5 juta/uL
Hemoglobin 10,7 g/dL 11-16 g/dL
Trombosit 285.000/uL 150.000-400.000

9
10
BAB III
Tinjauan Pustaka

3.1 Kanker Payudara


A. Definisi
Kanker payudara adalah neoplasma ganas, suatu pertumbuhan jaringan payudara abnormal
yang tidak memandang jaringan sekitarnya, tumbuh infiltratif dan destruktif, serta dapat
bermetastase. Tumor ini tumbuh progresif, dan relatif cepat membesar. Pada stadium awal tidak
terdapat keluhan sama sekali, hanya berupa fibroadenoma atau fibrokistik yang kecil saja, bentuk
tidak teratur, batas tidak tegas, permukaan tidak rata, dan konsistensi padat dan keras.1

B. Epidemiologi
Kanker payudara adalah salah satu kanker paling umum di Amerika Serikat lebih dari
160,000 wanita mengalami kanker ini setiap tahun, dan 40.000 perempuan meninggal setiap tahun
karena keganasan ini. Kira-kira 1 dari 9 wanita di Amerika Serikat akan menderita kanker
payudara, walaupun 1% kasus terjadi pada pria. Risiko meningkat dengan usia, dan meningkat
pesat saat menopouse. risiko besar. Terjadi pada wanita usia 60 tahun ke atas, dan memiliki
kesempatan 3-4% menderita kanker payudara selama 1 dekade kehidupan mereka. Lokasi yang
sering terkena kanker payudara adalah sebagai berikut.6

11
C. Faktor Risiko6,7
1. Menstruasi dini <12 tahun, menopause yang terlambat > 50 tahun

2. Belum pernah melahirkan

3. Kehamilan pertama > 30 tahun

4. Umur >50 tahun

5. Riwayat kanker payudara di satu sisi dan riwayat kanker endometrium

6. Genetik (mutasi gen BRCA1, BRCA2, ATM atau TP53)

7. Obesitas

D. Kriteria Diagnostik8
1. Anamnesis
Keluhan Utama
 Benjolan di payudara

 Kecepatan tumbuh dengan/tanpa rasa sakit

 Nipple discharge, retraksi puting susu, dan krusta

 Kelainan kulit, dimpling, peau d’orange, ulserasi, venektasi

 Benjolan ketiak dan edema lengan


Keluhan Tambahan
 Nyeri tulang (vertebra, femur)

 Sesak dan lain sebagainya

2. Pemeriksaan fisik
a. Status generalis (Karnofsky Performance Score)

12
b. Status lokalis :

1) Payudara kanan atau kiri atau bilateral

2)Massa tumor :

 Lokasi

 Ukuran

 Konsistensi

 Bentuk dan batas tumor

 Terfiksasi atau tidak ke kulit, m.pectoral atau dinding dada

Perubahan kulit
 Kemerahan, dimpling, edema/nodul satelit

 Peau de orange, ulserasi

Perubahan puting susu/nipple

 Tertarik

 Erosi

 Krusta

 Discharge

Status kelenjar getah bening

 Kgb aksila: Jumlah, ukuran, konsistensi, terfiksir terhadap sesama atau jaringan sekitar

 Kgb infraklavikula

 Kgb supraklavikula

Pemeriksaan pada daerah metastasis

 Lokasi : tulang, hati, paru, otak

 Bentuk

13
 Keluhan

3. Laboratorium
 Pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis

 Tumor marker: apabila hasil tinggi, perlu diulang untuk follow up

4. Pemeriksaan Radiologik/Imaging
 Pemeriksaan wajib untuk mengetahui metastasis :
 Ultrasonografi (USG) payudara kontra lateral dan mammografi

 Foto toraks

 USG Abdomen

5. Atas indikasi
 Bone scanning (bilamana sitologi dan atau klinis sangat dicurigai ganas, pada lesi > 5 cm)

 Computed Tommography (CT) scan

 CT torak jika ada kecurigaan infiltrasi tumor ke dinding dada atau metastasis paru

 CT abdomen jika klinis ada kecurigaan metastasis ke organ intraabdomen namun tidak
terdeteksi dengan USG abdomen.

 Scintimamography jika ada kecurigaan residif atau residu

 Pemeriksaan MRI untuk kasus dengan kecurigaan ca mammae intraduktal

 PET CT Scan

6. Pemeriksaan Patologi
A. Sitologi Biopsi Aspirasi Jarum Halus/Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB).
B. Histopatologi (Gold Standard )

14
1. Potong beku (PB) , yang bertujuan :

o Menentukan diagnosis lesi, pada lesi berukuran > 1 cm - <5cm. Lesi kurang dari 1
sm tidak dianjurkan.

o Menentukan tepi sayatan pada BCT/ lumpektomi.

o Menentukan status “sentinel-node”.

2. Sediaan parafin rutin dengan pulasan HE (hematoxilin-eosin). Jaringan berasal dari biopsi
”core”/ insisi/eksisi/mastektomi.

E. Klasifikasi Staging9

Tumor Primer (T)


Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis (DCIS) Ductal Carcinoma in situ
Tis (LCIS) Lobular Carcinoma in situ
Tis (Paget’s) Paget’s disease pada puting payudara tanpa tumor
T1 Tumor 2 cm atau kurang pada dimensi terbesar
T1 mic Mikroinvasi 0.1 cm atau kurang pada dimensi terbesar
T1 a Tumor lebih dari 0.1 cm tetapi tidak lebih dari 0.5
cm pada dimensi terbesar
T1 b Tumor lebih dari 0.5 cm tetapi tidak lebih dari 1 cm pada dimensi
terbesar
T1 c Tumor lebih dari 1 cm tetapi tidak lebih dari 2 cm
pada dimensi terbesar
T2 Tumor lebih dari 2 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm pada
dimensi terbesar
T3 Tumor berukuran lebih dari 5 cm pada dimensi terbesar

20
T4 Tumor berukuran apapun dengan ekstensi langsung ke (a)
dinding dada atau (b) kulit
T4a Ekstensi ke dinding dada, tidak termasuk otot pectoralis
T4b Edema (termasuk peau d’orange) atau ulserasi kulit payudara atau
satellite skin nodules pada payudara yang sama
T4c Gabungan T4a dan T4b
T4d Inflammatory carcinoma

Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional (N)


Nx KGB regional tak dapat dinilai (mis.: sudah diangkat)
N0 Tak ada metastasis KGB regional
N1 Metastasis pada KGB aksila ipsilateral yang masih dapat
digerakkan
N2 Metastasis pada KGB aksila ipsilateral yang terfiksir atau
matted, atau KGB mamaria interna yang terdekteksi secara klinis* jika tidak terdapat
metastasis KGB aksila secara klinis.
N2a Metastatis pada KGB aksila ipsilateral yang terfiksir satu sama lain (matted) atau terfiksir
pada struktur lain
N2b Metastasis hanya pada KGB mamaria interna yang terdekteksi secara klinis* dan jika
tidak terdapat metastasis KGB aksila secara klinis

N3 Metastatis pada KGB infraklavikula ipsilateral dengan atau


tanpa keterlibatan KGB aksila, atau pada KGB mamaria interna yang terdekteksi secara
klinis* dan jika terdapat metastasis KGB aksila secara klinis; atau metastasis pada KGB
supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa
keterlibatan KGB aksila atau mamaria interna
N3a Metastasis pada KGB infraklavikula ipsilateral

21
N3b Metastasis pada KGB mamaria interna ipsilateral dan KGB aksila
N3c Metastasis pada KGB supraklavikula ipsilateral

Metastasis jauh (M)


Mx Metastasis jauh tak dapat dinilai
M0 Tak ada metastasis jauh
M1 Terdapat Metastasis jauh

Stadium 0 T1 s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T0-1 N1 M0

T2 N0 M0
Stadium IIB T2 N1 M0

T3 N0 M0
Stadium IIIA T0-2 N2 M0

T3 N1-2 M0
Stadium IIIB T4 N0-2 M0
Stadium IIIC Setiap T N3 M0
Stadium IV Setiap T Setiap N M1

F. Klasifikasi Histologik8,9
1. Non invasive carcinoma
a) Ductal carcinoma in situ

22
Ductal carcinoma in situ, juga disebut intraductal cancer, merujuk pada sel kanker
yang telah terbentuk dalam saluran dan belum menyebar.
b) Lobular carcinoma in situ
Meskipun sebenarnya ini bukan kanker, tetapi LCIS kadang digolongkan sebagai tipe
kanker payudara non-invasif. Bermula dari kelenjar yang memproduksi air susu, tetapi
tidak berkembang melewati dinding lobulus.

2. Invasive carcinoma
 Paget’s disease dari papilla mammae
Paget’s disease dari papilla mammae pertama kali dikemukakan pada tahun 1974.
Seringnya muncul sebagai erupsi eksim kronik dari papilla mammae, dapat berupa lesi
bertangkai, ulserasi, atau halus.

 Invasive ductal carcinoma


 Adenocarcinoma with productive fibrosis (scirrhous, simplex, NST)
Kanker ini biasanya terdapat pada wanita perimenopause or postmenopause dekade
kelima sampai keenam, sebagai massa soliter dan keras. Batasnya kurang tegas dan
pada potongan meilntang, tampak permukaannya membentuk konfigurasi bintang di
bagian tengah dengan garis berwarna putih kapur atau kuning menyebar ke sekeliling
jaringan payudara.
 Medullary carcinoma
Merupakan kanker payudara herediter yang berhubungan dengan BRCA-1.
Peningkatan ukuran yang cepat dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis dan
perdarahan.
 Mucinous (colloid) carcinoma
Mucinous carcinoma (colloid carcinoma), merupakan tipe khusus lain dari kanker
payudara, sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif, biasanya muncul
sebagai massa tumor yang besar dan ditemukan pada wanita yang lebih tua.
 Papillary carcinoma

23
Biasanya ditemukan pada wanita dekade ketujuh dan sering menyerang wanita non kulit
putih. Ukurannya kecil dan jarang mencapai diameter 3 cm. Tubular carcinoma (2%)
 Invasive lobular carcinoma
Invasive lobular carcinoma sekitar 10% dari kanker payudara. Gambaran
histopatologi meliputi sel-sel kecil dengan inti yang bulat, nucleoli tidak jelas, dan
sedikit sitoplasma. Pewarnaan khusus dapat mengkonfirmasi adanya musin dalam
sitoplasma, yang dapat menggantikan inti (signet-ring cell carcinoma).

G. Jalur Penyebaran
a. Invasi lokal
Kanker mammae sebagian besar timbul dari epitel duktus kelenjar. Tumor pada mulanya
menjalar dalam duktus, lalu menginvasi dinding duktus dan ke sekitarnya, ke anterior mengenai
kulit, posterior ke otot pektoralis hingga ke dinding toraks 2
b. Metastasis kelenjar limfe regional
Metastasis tersering karsinoma mammae adalah ke kelenjar limfe aksilar. Data di China
menunjukkan: mendekati 60% pasien kanker mammae pada konsultasi awal menderita metastasis
kelenjar limfe aksilar. Semakin lanjut stadiumnya, diferensiasi sel kanker makin buruk, angka
metastasis makin tinggi. Kelenjar limfe mammaria interna juga merupakan jalur metastasis yang
penting. Menurut observasi klinik patologik, bila tumor di sisi medial dan kelenjar limfe aksilar
positif, angka metastasis kelenjar limfe mammaria interna adalah 50%; jika kelenjar limfe aksilar
negative, angka metastasis adalah 15%. Karena vasa limfatik dalam kelenjar mammae saling
beranastomosis, ada sebagian lesi walaupun terletak di sisi lateral, juga mungkin bermetastasis ke
kelenjar limfe mammaria interna. Metastasis di kelenjar limfe aksilar maupun kelenjar limfe
mammaria interna dapat lebih lanjut bermetastasis ke kelenjar limfe supraklavikular.6
c. Metastasis hematogen
Sel kanker dapat melalui saluran limfatik akhirnya masuk ke pembuluh darah, juga dapat
langsung menginvasi masuk pembuluh darah (melalui vena kava atau sistem vena interkostal-

24
vertebral) hingga timbul metastasis hematogen. Hasil autopsy menunjukkan lokasi tersering
metastasis adalah paru, tulang, hati, pleura, dan adrenal.

H. Tatalaksana8
1. Kanker payudara stadium 0 (TIS / T0, N0M0) dilakukan terapi definitif pada T0 bergantung
pada pemeriksaan histopatologi.
2. Kanker payudara stadium dini dini / operabel (stadium I dan II, tumor <= 3 cm) dilakukan
tindakan operasi (mastektomi), kemoterapi, dan radiasi.
3. Kanker payudara stadium IIIA dapat dioperasi namun stadium IIIB tidak dapat dioperasi
4. Kanker payudara stadium IV  Sifat terapi paliatif

I. Prognosis10
5 years survival rate :
 Stadium I 
100%
 Stadium IIa 92%
 Stadium IIb 81%
 Stadium IIIa 67%
 Stadium IIIb 54%
 Stadium IV 20%
J. Pencegahan11
Pencegahan yang disarankan oleh American Cancer Society adalah
1. Pemeriksaan SADARI
2. Pemeriksaan ke tenaga medis
3. Mammografi

25
3.2 Efusi Pleura
A. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam rongga pleura yang dihasilkan dari
produksi cairan yang berlebihan atau penurunan penyerapan.
Efusi pleura dipastikan dengan adanya sel-sel kanker pada ruang pleura. Efusi pleura
berasal dari metastatik sel-sel ganas dari tempat sekitar (seperti pada keganasan paru, payudara,
dan dinding dada), invasi dari vaskularisasi paru dengan embolisasi dari sel-sel tumor ke pleura
viseralis, atau metastasis jauh hematogen dari tumor ke pleura parietalis. Begitu didapatkan pada
ruangan pleura, deposit tumor menyebar di sepanjang membran pleura parietalis dan menyumbat
stomata limfatik yang akan mengalirkan cairan intraleural.2,7

B. Etiologi dan Patogenesis


Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2
mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi pergerakan kembang kempis
paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang
seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas
absorbsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki
konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan hidrostatik, tekanan
onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta kemampuan drainase limfatik.2

26
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan umumnya
menyebabkan efusi pleura. keluhan yang paling banyak ditemukan adalah nyeri dada dan sesak.
Gejala lainnya yaitu akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosentesis
berkali-kali.
Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil bisa transudat. Warna efusi bisa sero-santokrom
ataupun hemoragik (terdapt lebih dari 10.000 sel eritrosit per cc). Di dalam cairan ditemukan sel-
sel limfosit (yang dominan) dan banyak sel mesotelial. Jenis-jenis neoplasma dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan sitologi terhadapp cairan efusi atau biopsi pleura parietalis.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:
 Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura terhadap air dan
protein.
 Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena dan getah
bening, sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan protein.
 Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
 Tumor pleura juga akan menstimulasi pelepasan kemokin yang akan meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan membrane pleura, sehingga akan memicu efusi pleura.

27
kemokin CCL22 dikatakan meningkat pada pasien dengan EPM dan secara langsung akan
menginduksi infiltrasi sel T menuju ke ruang pleura.
Efusi pleura terhadap neoplasma biasanya unilateral, tetapi bisa juga bilateral karena
obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan pengaliran cairan dari
rongga pleura via diafragma.

C. Kriteria diagnostik
1. Anamnesis
Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni :
1. Nafas terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif
2. Nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan.
Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma
atau infark pulmoner.
3. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam
jumlah yang banyak secara tiba-tiba.
4. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat
hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat
keganasan, dll.

2. Pemeriksaan fisik
1. Biasanya ada gejala dari penyakit dasarnya.
2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan besar karena proses keganasan.
3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura interlobaris tidak memberi gejala-gejala.
Begitu pula bila efusinya berada di atas diafragma.
4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai dengan luasnya efusi pada auskultasi
suara napas berkurang atau menghilang.
5. Resonansi vocal berkurang  Egofoni
6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini belum menimbulkan gejala pada
pemeriksaan fisik.

28
7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL, baru dapat ditemukan gejala berupa
gerak dada yang melambat atau terbatas saat inspirasi pada sisi yang mengandung
akumulasi cairan. Fremitus taktil juga berkurang pada dasar paru posterior. Suara perkusi
menjadi pekak dan suara napas pada auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya
masih vesikuler.
8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi atelektasis pada paru bagian
bawah. Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang mengandung timbunan cairan
menjadi terbatas sedangkan sela iga melebar dan menggembung. Pada auskultasi di atas
batas cairan, sering didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam, sebab suara ini
ditransmisiskan oleh jaringan paru yang menagalami atelektasis. Pada daerah ini juga
dapat ditemukan fremitus vokal dan egofoni yang bertambah jelas.
9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat menyebabkan seluruh paru
menjadi kolaps kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar, gerak dada pada inspirasi
sangat terbatas, suara napas, fremitus taktil maupun fremitus vocal sulit didengar karena
sangat lemah. Selain itu terjadi pergeseran mediastinum ke arah kontralateral dan
penurunan letak diafragma.

3. Pemeriksaan penunjang
Efusi pleura memiliki gambaran radiologi yang bervariasi antara lain:

Efusi subpulmonal
 Hampir semua efusi awalnya terkumpul dibawah paru antara pleura parietal yang melapisi
diafgrama dengan pleura viseralis lobus inferior.
 Gambaran diafgrama bukan merupakan gambaran diafgrama yang sebenarnya, melainkan
cairan pleura yang terkumpul diatas diafgrama.
 Menggeser titik tertinggi diafgrama ( bukan diafgrama sebenarnya) ke arah lateral.
 Pada efusi pleura subpulmonal kiri terdapat peningkatan jarak antara udara lambung
dengan udara di paru
 Pada foto lateral biasanya terdapat penumpulan sulkus kostofrenikus posterior

29
Penumpulan sulkus kostofrenikus
 Sulkus kostofrenikus posterior ( foto lateral) menjadi tumpul terlebih dahulu, kemudian
diikuti sulkus kostofrenikus lateral (foto toraks tegak)
 Penebalan pleura juga dapat menyebabkan penumpulan sulkus kostofrenikus, namun
penebalan pleura biasanya berbentuk skilope ( lereng untuk ski) dan tidak akan berubah
jika terdapat perubahan posisi pasien.

Tanda meniskus
 Tanda ini sangat sugestif akan adanya efusi pleura
 Akibat paru yang elastis, maka cairan pleura lebih tinggi dibagian tepi.

Perselubungan hemitoraks
 Terjadi ketika rongga pleura mengandung 2L cairan pada orang dewasa.
 Paru akan kolaps secara pasif
 Efusi paru yang besar ini akan mendorong jantung dan trakea menjauhi sisi yang terkena
efusi.

Efusi yang terlokalisir


 Terjadi akibat adhesi antara pleura viseral dengan pleura parietal
 Adhesi lebih umum terjadi pada hemothoraks dan empiema
 Memiliki bentuk dan posisi yang tidak lazim ( tetap di bagian apeks paru pada foto tegak)

Pseudotumor fisura
 Disebut juga vanishing tumor
 Merupakan koleksi cairan pleura yang berbatas tegas dan terletak di fisura atau subpleura
dibawah fisura
 Tidak berubah dengan perubahan posisi pasien

Efusi laminar
 Bentuk efusi pleura yang menyerupai pita tipis disepanjang dinding lateral toraks,
terutama didekat sulkus kostofrenikus.

30
 Sulkus kostofrenikus cenderung tetap tajam
 Biasanya akibat gagal jantung atau penyebaran limfatik dari suatu keganasan.
 Tidak bergerak bebas sesuai posisi pasien.

Pemeriksaan radiologis dengan foto dada standar dapat mendeteksi efusi pleura dengan
volume minimal 50 cc pada pandangan lateral, tetapi pemeriksaan ini hanya bersifat sugestif untuk
diagnosis EPM. Efusi pleura yang massif meningkatkan kemungkinan terbentuknya meniscus sign
dengan cairan yang terlihat memanjat pada dinding dada lateral, pergeseran mediastinum ke sisi
kontralateral, dan inverse dari diafragma. Tanda radiograÞ dari suatu EPM termasuk penebalan
pleura terlobulasi yang sirkumferensial, penuhnya iga (crowded ribs), dan peninggian
hemidiafragma atau pergeseran mediastinu ipsilateral konsisten dengan atelektasis karena
obstruksi oleh tumor.
Pemeriksaan ultrasonografi dada belakangan ini makin luas penggunaannya untuk
mengevaluasi pasien-pasien dengan efusi pleura karena kemampuannya untuk mendeteksi cairan
dengan volume yang sedikit (5cc), mengidentifkasi gambaran sugestif dari EPM, dan menuntun
thoracentesis dan pemasangan kateter thoraks.Temuan sugestif EPM antara lain densitas pleural
solid, penebalan pleura yang hypoechoic dengan batas yang ireguler atau tidak jelas, invasi massa
pleural-based ke jaringan sekitar, serta pola melingkar dalam cairan pleura yang menunjukkan
debris seluler.
Contrast-enhanced chest computed tomography/ CT dada dengan kontras memberikan
informasi imaging yang paling bermanfaat untuk mengevaluasi pasien dengan kecurigaan EPM.
Hasil pencitraan di sini akan dapat melihat sampai ke abdomen atas (untuk metastasis adrenal dan
hepar). Selain itu, tumor primer yang tersembunyi dapat diidentiÞ kasi seperti pada kanker
payudara, kanker paru, thymoma (tumor mediatinum), atau konsolidasi pada rongga (limfoma).
Temuan CT dada yang mengarah pada diagnosis EPM antara lain penebalan pleura
sirkumferensial, penebalan pleura nodular, penebalan pleura parietal yang lebih dari 1 cm, dan
keterlibatan pleura mediastinal atau bukti adanya tumor primer. Semua temuan sugestif tersebut
memiliki sensitivitas antara 88% sampai 100% dengan spesiÞ sitas 22% hingga 56%.

31
D. Tatalaksana2
Manajemen EPM pada prinsipnya adalah paliatif. Sampai saat ini beberapa
penatalaksanaan yang sering dilakukan pada kasus EPM adalah torakosentesis terapeutik,
pleurodesis, drainase yang dengan kateter indwelling jangka panjang, serta pembuatan shunt
pleuroperitoneal.

1. Torakosentesis terapeutik
Awal manajemen untuk EPM yang simtomatik adalah torakosentesis terapeutik. Dengan
pendekatan ini akan dapat dinilai respon sesak nafas terhadap pengeluaran cairan. Walaupun
keluhan dapat membaik setelah torakosentesis, sekitar 98% ! 100% pasien dengan EPM akan
mengalami reakumulasi cairan dan sesak nafas yang berulang dalam 30 hari. Cairan yang
dikeluarkan berkisar antara 1 sampai 1,5 liter.
Pengeluaran cairan yang lebih banyak akan berakibat terjadinya oedem paru re-ekspans.
Bronkhoskopi intervensional untuk membuka jalan nafas yang mengalami obstruksi sebelum
dilakukan torakosentesis dikatakan dapat mengurangi resiko terjadinya oedem paru tersebut.

2. Pleurodesis
Pleurodesis adalah pilihan tindakan pada pasien-pasien EPM yang mengalami perbaikan
setelah dilakukan thorakosentesis dan terjadi re-ekspansi paru yang baik pada radiograÞ dada pasca
tindakan. Sampai saat ini kombinasi tindakan drainase dan pleurodesis dengan agen sklerosan
merupakan tindakan efektif untuk menangani EPM.
Keberhasilan pleurodesis selain dilihat dari perspektif pasien, juga dapat dilihat dari aspek
tehnik, khususnya agen sklerosan yang dignakan. Agen sklerosan yang dimasukkan ke dalam ruang
pleura untuk pleurodesis makin lama makin berkembang serta makin banyak. Dari sekian banyak
agen ini, talc bebas-asbestos dikatakan paling baik untuk pleurodesis. Banyak penelitian klinis yang
mendukung efektivitas talc yang lebih superior dibandingkan agen sklerosan lainnya, serta
belakangan ini talc telah diterima sebagai agen sklerosan pilihan untuk pleurodesis pada kasus
EPM.

32
3. Drainase dengan indwelling catheter
Pemasangan indwelling catheter jangka panjang dapat memberikan drainase intermiten
sampai 1000 ml cairan pleura pada 2 sampai 3 kali periode seminggu. Berkurangnya keluhan sesak
nafas segera dirasakan pada 94% sampai 100% pasien. Terdapat beberapa jenis kateter yang dapat
dipakai pada prosedur ini, yang banyak dipakai belakangan ini adalah kateter pleura
Pleurx®.Kateter pleura Pleurx® ini terdiri dari kateter silikon 15,5F sepanjang 66 cm, dengan
lubang-lubang sepanjang 25,5 cm bagian proksimalnya. Pada bagian distalnya terdapat polyester
cuff dan di bagian ujungnya dengan mekasisme katup latex rubber. Katup ini didisain untuk
mencegah lewatnya cairan atau udara, kecuali bila tersambung dengan access tip dari komponen
drainase yang terdapat pada paket kateter ini. Setelah dilakukan anestesi, bronkoskopi dilakukan
untuk mengeksklusi obstruksi endobronchial. Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS)
dilakukan untuk menilai rongga pleura. Setelah drainase dan diseksi dikerjakan, penilaian ekspansi
paru dilakukan sebagai syarat untuk memasang kateter ini. Ujung yang berlubang- lubang tadi
dimasukkan ke rongga pleura dengan VATS, kemudian dibuat terowongan subkutan untuk
mengeluarkan kateter hingga ujung polyester terletak 1 cm dari insisi anterior. Ikatan

33
dengan Prolene 2/0 dilakukan pada terowongan, sedangkan insisi kulit ditutup dengan nylon 4/0.
Bagian kateter dengan katup tersisa di luar kulit dan dilindungi dengan cap. Drainase inisial
dilakukan dengan suction -10kPa untuk mencegah terperangkapnya udara pada rongga pleura.
Drainase dapat dilakukan di rumah, dengan 3 kali seminggu untuk 3 minggu pertama, selanjutnya
tergantung keluhan klinis dan produksi cairan pleura.
Pemasangan kateter indwelling ini merupakan pilihan manajemen paliatif apabila pasien
tidak memenuhi syarat untuk dilakukan pleurodesis. Belakangan juga ditemukan bahwa
pemasangan kateter indwelling jangka panjang ini memberikan kemungkinan terjadinya
pleurodesis spontan berkisar antara 40% sampai 58% dalam 2 sampai 6 minggu drainase. Putnam
dkk. juga membuktikan tidak adanya perbedaan dalam keluhan pada pasien dengan drainase jangka
panjang dibandingkan pleurodesis dengan agen doksisiklin.

4. Pleuroperitoneal shunting
Pleuroperitoneal shunting adalah sebuah tehnik alternatif untuk menangani EPM yang
refrakter dengan pleurodesis kimiawi maupun pada pasien dengan trapped lung syndrome.
Beberapa kasus serial mengenai shunting pleuroperitoneal mendapatkan perbaikan gejala sekitar
95% dari seluruh kasus shunting. Pemasangan alat dilakukan dengan bantuan thorakoskopi atau

34
minithorakotomi. Perlengkapan untuk tehnik ini yaitu dua buah katup unidireksional dengan
kateter pleural dan peritoneal yang berlubanglubang pada kedua ujungnya. Kerja alat ini diaktivasi
oleh tekanan yang diberikan oleh pasien untuk mengatasi tekanan positif dari rongga peritoneum.
Suatu kasus serial dari 160 pasien EPM yang dipasang pleuroperitoneal shunting, didapatkan
komplikasi pada 15% pasien. Komplikasi yang terjadi antara lain erosi kulit, infeksi, dan oklusi
dari shunt sehingga memerlukan perbaikan atau penggantian.

35
BAB IV
Pembahasan
Efusi pleura akibat dipastikan dengan adanya sel-sel kanker pada ruang pleura. Efusi pleura
akibat keganasan berasal dari metastatik sel-sel ganas dari tempat sekitar (seperti pada keganasan
paru, payudara, dan dinding dada), invasi dari vaskularisasi paru dengan embolisasi dari sel-sel
tumor ke pleura viseralis, atau metastasis jauh hematogen dari tumor ke pleura parietalis. Begitu
didapatkan pada ruangan pleura, deposit tumor menyebar di sepanjang membrane pleura parietalis
dan menyumbat stomata limfatik yang akan mengalirkan cairan intraleural.

ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien ini adalah:
1. Berdasarkan anamnesis seorang wanita umur 52 tahun dengan adanya riwayat pasien
menderita ca. mammae sebelumnya, batuk yang lama, sesak napas, dan penurunan berat badan
dapat disebabkan oleh keganasan.

2. Sesak napas, batuk kering, nyeri dada seperti ditusuk, ketertinggalan gerak dada, fremitus
vokal yang menurun, perkusi paru didapatkan redup, serta menghilangnya suara napas
vesikuler dan resonansi vokal menjadi egofoni pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi
pleura . Cairan dalam rongga pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai dinding
toraks sehingga vokal fremitus melemah. Adanya cairan menyebabkan perkusi paru redup saat
diperkusi. Bunyi vesikuler yang menghilang serta resonansi vokal menjadi egofoni juga dapat
disebabkan efusi pleura , karena cairan merupakan rintangan bagi bising vesikuler, serta
adanya efusi mengakibatkan alveolus tidak dapat mengembang dengan luas.

3. Sesak napas disebabkan karena paru yang teregang memiliki kecenderungan tertarik ke
dalam menjauhi dinding thoraks sedangkan dinding thoraks yang tertekan cenderung bergerak
keluar menjauhi paru. Pengembangan ringan rongga pleura yang terjadi sudah cukup untuk
menurunkan tekanan intrapleura ke tingkat subatmosfer sebesar 756 mmHg

36
(tekanan intra-alveolus 760 mmHg). Tekanan intrapleural turun disebabkan karena adanya
sedikit cairan. Pada efusi pleura cairan memenuhi rongga pleura sehingga tekanan negatif
bertambah, gradien transmural semakin tinggi sehingga dorongan ke dinding thorax
meningkat membuat pasien sesak napas.

4. Karakteristik nyeri pleura yaitu bersifat tajam, menusuk dan semakin berat bila menarik
napas/batuk. Iritasi pleura parietal pada daerah 6 iga bagian atas dirasakan sebagai nyeri yang
terlokalisir, sedangkan iritasi pada pleura parietal yang meliputi diafgrama yang dipersarafi
oleh nervus prenikus dirasakan sebagai nyeri yang menjalar ke puncak leher/bahu. Enam
nervus interkostalis bagian bawah mempersarafi pleura parietal bagian bawah dan lapisan luar
diafgrama sehingga nyeri pada daerah ini dapat menjalar ke abdomen bagian atas.

5. Bila ada cairan pleura yang cukup banyak maka akan didapatkan garis Ellis Damoiseau
yaitu garis lengkung konveks dengan puncak pada garis aksilaris media. Selain itu bisa
didapatkan adanya segitiga Garland yakni daerah timpani yang dibatasi oleh vertebra torakalis,
garis Ellis Damoiseau dan garis horizontal yang melalui puncak cairan. Kemudian didapatkan
juga segitiga Grocco yakni daerah redup kontralateral yang dibatasi oleh garis vertebra,
perpanjangan garis Ellis Damosiseau ke kontralateral dan batas paru belakang bawah.

6. Diagnosis yang dapat disingkirkan pada pasien ini adalah efusi pleura karena TB paru.
Karena pasien sebelumnya menderita Ca mammae, meski pada TB biasanya terdapat batuk
kering maupun batuk produktif, penurunan berat badan, sesak napas dan nyeri dada seperti
ditusuk (pleuritik) jika TB sudah menginfiltrasi pleura. Namun pasien tidak mengalami gejala
hematogenik yakni demam dan pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya.

37
7. Penegakan diagnosis efusi pleura dapat diperkuat dengan hasil radiologi. Hasil radiologi
pasien adalah hilangnya sulkus kostofrenikus, gambaran radioopak pada paru kanan yang
hampir menutupi seluruh lapang paru. Radiologi pasien tidak menunjukan adanya tanda
meniskus. Pada USG abdomen Pleura visceral dan pleura parietal tidak terpisah menunjukan
efusi tidak masif. Diagnosis pasti yang dapat ditegakkan adalah Efusi pleura et causa metastase
ca mammae.

8. Pada pasien selain ditemukan gejala diatas ditemukan pula pleural rub di lobus superior-
inferior. Bunyi ini berasal dari regangan mekanik pleura yang menyebabkan vibrasi dinding
dada dan parenkim paru. Pada keadaan normal, lapisan pleura yang halus dan lembab yang
bergesekan pada waktu bernafas tidak mengeluarkan suara. Bising ini bersifat non-musikal,
mempunyai nada rendah, dan terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Bunyi ini dapat terjadi
pada pleuritis atau Schwarte (penebalan pleura). Diagnosis banding yang mungkin adalah
pleuritis.

9. Untuk mammae dextra pasien yang setelah dioperasi tumbuh benjolan lagi, benjolan
tersebut berdasarkan klasifikasi staging masuk ke T1C yakni tumor berukuran tidak lebih dari
2cm. Tidak terdapat pertumbuhan kembali disekitar kelenjar getah bening, namun terdapat
metastase jauh yakni ke pulmo dextra dan hepar. Jadi staging mammae pasien saat ini adalah
T1C N0 M1. Stadium kanker yang dikatakan sebelumnya oleh dokter terhadap pasien adalah
stadium III, mengingat bahwa stadium III B tidak dapat dioperasi, berarti sebelumnya pasien
menderita Ca mammae dextra stadium III.

10. Masalah lain yang dialami pasien adalah nyeri tekan regio epigastrium dan hipokondrium
dextra, hepar teraba membesar 9 cm dibawah arcus costae dengan liver spand 14 cm (lobus
dextra) – 11 cm (lobus sinistra), konsistensi lunak, dan tepi tumpul. Perkusi didapatkan bunyi
pekak di regio epigastrium dan hipokondrium kanan ascites minimalis, shifting dullness (+).
Asites pada pasien terjadi karena hipertensi porta dan vasodilatasi spalnknikus kemudian
berdampak pada ekstravasasi cairan ke rongga peritoneum secara langsung ( akibat

38
perbedaan tekanan hidrostatik), serta aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (mekanisme
arterial underflling) sehingga terjadi vasokonstriksi arteri renalis dan retensi natrium. Retensi
natrium akan meningkatkan tekanan pembuluh darah splanknikus dan sistemik, yang
kemudian mengakibatkan asites. Keluhan kembung atau begah pada perut dapat dirasakan saat
volume cairan sekitar 1-2 L. Diagnosa yang tidak mungkin ditegakkan adalah Karsinoma
hepar et causal sirosis hati, karena pada anamnesis pasien menyangkal tidak pernah menderita
hepatitis. Diagnosa yang mungkin karena pasien pernah menderita ca mammae yang kambuh
lagi dan terdapat hepatomegali, diganosa yang tepat adalah ca mammae metastase hepar.

39
Ondansetron juga diberikan kepada pasien dalam bentuk injeksi dosis 8 mg 2x sehari.
Ondansentron adalah derivate carbazalone yang strukturnya berhubungan dengan serotonin. Efek
antiemetik ondansetron ini didapat melalui, blokade sentral di CTZ pada area postrema dan nukleus
traktus solitaries sebagai kompetitif selektif reseptor 5-HT3 dan memblok reseptor 5- HT3 di
perifer pada ujung saraf vagus di sel enterokromafin di traktusgastrointestinal. Indikasi
ondansentron pada pasien ini adalah mual dan muntah. Namun jika ondansentron diberikan dalam
jangka lama dapat timbul efek samping seperti konstipasi dan sakit kepala. Tablet curcuma 3x1
diberikan kepada pasien karena pasien mengeluh adanya penurunan nafsu makan. Tiap tablet
mengandung Curcuma yang diserbukkan sebesar 20 mg.
Kodein merupakan analgesik agonis opioid. Efek codein terjadi apabila codein berikatan
secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf pusat. codein pada pasien
ini berfungsi sebagai antitusif karena pasien mengeluh batuk kering dan sebagai analgesik
golongan opioid. Dexametason 3 x 0,5 mg pada pasien ini berguna sebagai antiinflamasi karena
terdapat peradangan di sekitar kulit dada kanan pasien. Pasien juga diberikan sucralfat dengan dosis
3 x C I yang berguna sebagai sitoprotektor gaster.
Pada hari kedua pasien mendapat terapi yang sama seperti sebelumnya. pada hari ketiga
pasien mendapatkan terapi salbutamol 2x2mg sebagai bronkodilator agar dapat mengatasi sesak,
dan MST continus yang merupakan kepanjangan morphine sulfat dikemas dalam bentuk tablet,
berfungsi untuk mengatasi rasa nyeri yang berat pada pasien. Plan pada hari ketiga adalah
pemeriksaan darah lengkap dan ganti verband per hari.
Hari keempat pasien mendapat terapi tambahan yakni ranitidin 2x1 amp untuk mengurangi
sekresi asam lambung karena pasien mengeluhkan nyeri perut. Pasien mendapat injeksi ceftriaxone
yakni golongan antibiotik cephalosporin yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa kondisi
akibat infeksi, karena pada pasien ini dicurigai menderita infeksi sekunder paru. Infus yang diberi
adalah D10% : RL 20 tpm. Jenis cairan dextrose 10% dimaksudkan untuk mencegah hipoglikemi
pada pasien dengan kerusakan organ hepar karena terhambatnya proses glukogenesis di hepar. RL
diberikan untuk menambah elektrolit pasien.
Hari kelima pasien mendapat terapi Laxadin syr dosis 3 x 1C karena mengeluh sulit BAB.
Hari keenam terapi lanjut. Hari ketujuh terapi lanjut, plan tambahan adalah USG mammae dextra

40
namun pasien mengeluh tidak dapat berbaring lama sehingga USG dibatalkan, tetapi pasien
menyetujui tindakan pungsi ascites.
Hari kedelapan injeksi furosemid dan injeksi ceftriaxone dihentikan. Hari kesembilan,
sepuluh, dan sebelas terapi dilanjutkan. Hari ke duabelas terapi tambahan adalah Xeloda III-0-III.
Xeloda merupakan obat kemoterapi untuk mencegah metastasis kanker. Plan yang dilaksanakan
adalah cek darah lengkap, dan USG. Hari ketigabelas dan keempatbelas terapi dilanjutkan. Hari
kelimabelas pasien pulang.12

41
BAB V

Kesimpulan

1. Telah dilaporkan Ny. P, perempuan berumur 52 tahun seorang Ibu Rumah Tangga datang
ke IGD tanggal 24 Desember 2015 dengan keluhan sesak napas, batuk kering, nyeri dada
kanan, benjolan di payudara kanan, perut terasa penuh dan nyeri, nafsu makan dan berat
badan menurun serta pasien memiliki riwayat operasi kanker payudara kanan.
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat didiagnosis
sebagai Efusi Pleura et causa Ca mammae dd Pleuritis dan Ca mammae metastase hepar.
3. Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan torakosentesis dengan kombinasi
pleurodesis, jika setelah dilakukan torakosentesis efusi kembali, maka dapat dicurigai
adanya pleuritis. Jika setelah torakosentesis dilakukan namun pasien masih merasa sesak
napas dan ditemukan gambaran radiolusen thorax, dapat dicurigai terjadinya
pneumothorax.
4. Secara umum penatalaksanaan yang dillakukan untuk perbaikan keadaan umum sudah
tepat, namun karena kurangnya sumber daya, pihak rumah sakit merujuk pasien ke RS
Banjarmasin untuk melakukan kemoterapi lagi kepada pasien sebagai tindakan paliatif
yang lebih bermakna.
5. Prognosis untuk pasien adalah Dubia Ad Malam karena ca mammae sudah bermetastasis
jauh dan tindakan yang dapat diberikan hanyalah tindakan paliatif/pencegahan saja.

42
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R., Karnadihardja W., Prasetyono T., Rudiman R., Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 3. Jakarta: EGC. 2012
2. Rai I. Efusi Pleura : Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini. Denpasar: Divisi
Pulmonologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP. 2009
3. Snell SR. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2012
4. Mescher LA. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC 2012
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2012
6. Walker AR. Prognostic and Predictive Factors in Breast Cancer. 2th Edition. Informa
Helalthcare. 2008
7. Papadakis AM. Current Medical Diagnosis and Treatment 2015. 54th Edition.
McGrawhill Education. 2015
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Nasional Penanganan Kanker:
Kanker Payudara. 2015
9. Berger DP. Concise Manual of Hematology and Oncology. New York: Springer. 2008
10. Ferronica, R. Kuliah Kanker Payudara. Palangka Raya: RSUD Doris Sylvanus. 2015
11. Rovere, G. Early Breast Cancer From Screening to Multidisciplinary Management. New
York: Taylor and Francis Group. 2006
12. Syarif A., Estuningtyas A., Setiawati A., dkk. Farmakolgi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

43

Anda mungkin juga menyukai