Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perwujudan demokrasi di Indonesia salah satunya dilakukan Pemilihan Umum, hal ini
merupakan suatu kontestasi politik yang tidak jarang menghadirkan sengketa. Dalam sebuah
negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur
dari demokrasi itu sendiri. Pemilu merupakan conditio sine quanon dianutnya prinsip
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan
yang demokratis adalah setiap warga negara adalah berdaulat dan berhak ikut aktif dalam
proses politik. (Bisariyadi, dk.,2012 : 536).
Sebaik-baik sistem penyelenggaraan pemilu dirancang di dalamnya selalu ada
kemungkinan terjadi pelanggaran yang dapat mereduksi kualitas pemilu, untuk itu sebaik-baik
sistem penyelenggaraan pemilu, di dalamnya senantiasa tersedia mekanisme kelembagaan
terpercaya untuk menyelesaikan berbagai jenis keberatan dan sengketa pemilu (Firdaus, 2014).
Pelanggaran pemilu dapat terjadi sejak perencanaan, persiapan, tahapan hingga perhitungan
suara hasil pemilu (Firdaus, 2014). Pertama, pelaksanaan pemilu di negara kita masih diiringi
oleh berbagai sengketa maupun pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Kedua,
lahirnya Undang-Undang Pemilu baru melahirkan perubahan penyelesaian sengketa sehingga
perlu dipahami oleh berbagai pihakyang terlibat dalam pemilu. Ketiga, beberapa putusan
peradilan dan praktik dalam pemilu ikut mewarnai penyelesaian sengketa sehingga perlu
diulas.Salah satu hal baru dalam dua kali pemilu terakhir di Indonesia adalah dalam hal
disediakannya mekanisme gugatan keberatan terhadap hasil pemilu (Surbakti, 2011).
Di Jawa Timur misalnya, sudah dua kali periode (periode 2008-2013 dan periode 2013-
2018) pelaksanaan Pemilukada menimbulkan sengketa. Sengketa Pemilukada di Jawa Timur
tergolong unik, karena dua kali berturut-turut sengketa terjadi antara dua kandidat yang sama
yaitu pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf dengan Khofifah Indar Parawansa (pasangan
Khofifah Indar Parawansa pada 2008 yaitu Mudjiono sedangkan pada 2013 berpasangan
dengan Herman Suryadi Sumawiredja). Jika sengketa Pemilukada pada 2008 terjadi hanya
karena adanya keberatan terhadap rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilukada Jawa
Timur, pada 2013 ini sengketa terjadi baik pada tahapan verifikasi pendaftaran calon Gubernur
dan wakil Gubernur Jawa Timur maupun terhadap hasil penghitungan suara.
Pada tahapan verifikasi bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Timur terdapat
dukungan ganda yang diberikan terhadap pasangan Khofiffah-Herman dan Soekarwo-
Syaifullah Yusuf, yaitu dari Partai Kedaulatan dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia (PPNUI). Terhadap dukungan ganda tersebut melahirkan pendapat berbeda dari
komisioner KPU Provinsi Jawa Timur. Ketua KPU Andry Dewanto Ahmad dan anggota KPU
Sayekti Suindyah menilai dukungan dari PK dan PPNUI kepada Khofiffah sah, karena
ditandatangani oleh pengurus partai terbaru. Sementara dukungan terhadap pasangan Karsa
ditandatangani oleh pengurus partai lama dan ada indikasi pemalsuan dokumen. Namun, tiga
komisioner KPU lainnya menganggap dukungan tersebut tidak sah (Anwar, 2013).
Pasangan Khofifah-Herman digugurkan oleh KPU Jatim melalui Penetapan Nomor
18/Kpts/KPU.JTM-014/2013 tanggal 14 Juli 2013 sebagai calon gubernur dan wakil gubernur
karena persentase dukungan dari partai politik kurang dari 15 persen. Akhirnya, pasangan
Khofifah- Herman mengajukan gugatan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP). Khofifah-Herman menduga pencoretan dirinya sebagai calon Gubernur/Wakil
Gubernur disebabkan adanya pemalsuan dukungan PPNUI dan Partai Kedaulatan (PK) ke
pasangan lain (Zuhri, 2013).
Sidang DKPP yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie mengabulkan sebagian gugatan
Khofifah – Herman dan memulihkan hak konstitusional atau memasukkan nama Khofifah-
Herman sebagai calon gubernur/wakil gubernur. DKPP juga memerintahkan kepada Komisi
Pemihan Umum (Pusat) untuk mengambil alih tanggung jawab KPU Provinsi Jawa Timur
untuk sementara, dan melaksanakan putusan ini sebagaimana mestinya, serta kepada Badan
Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan putusan ini.3
Khofifah-Herman akhirnya dapat mengikuti pertarungan dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Jawa Timur 2013. Dengan demikian, Pilkada Jatim diikuti oleh empat pasangan, yakni
pasangan Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah (Jempol), Khofifah Indar Parawansa-Herman
S. Sumawiredja (Berkah), Eggi SudjanaMuhammad Sihat (Beres) dan pasangan Soekarwo-
Saifullah Yusuf (Karsa) (Ramadhan dan Sadewo, 2013).
Dalam pertarungan tersebut pasangan incumbent Soekarwo-Saifullah Yusuf diputus KPU
Jatim memenangi Pilgub Jatim dengan memperoleh suara 8.195.816 suara atau 47,25 persen.
Pasangan Khofifah-Herman (Berkah) menempati urutan kedua dengan memperoleh 6.525.015
suara atau 37,62 persen. Pasangan Bambang DH-Said Abdullah (Jempol) menempati urutan
ketiga meraih 2.200.069 suara atau 12,69 persen. Dan pasangan perseorangan Eggi Sudjana-M
Sihat (Beres) memperoleh 422.932 suara atau 2,44 persen. KPU Jawa Timur menetapkan
Pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur
Periode 2013 – 2018. Tetapi, pasangan Khofifah-Herman (Berkah) tidak menerima keputusan
KPU Jawa Timur tersebut dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK
menolak gugatan sengketa pilkada gubernur Jawa Timur yang diajukan Khofifah Indar
Parawansa. Atas hal ini maka Soekarwo-Saifullah Yusuf kembali menjadi gubernur untuk
periode kedua kalinya (Anwar, 2013). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
membahas tentang Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun
2013.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelesaian atas gugatan yang dilayangkan oleh Khofifah Herman
(Berkah) terkait hasil rekapitulasi dalam Pemilukada Jawa Timur pada 2013?
2. Mengapa Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sedangkan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu mengabulkan gugatan pasangan Khofifah-Herman (Berkah)
dalam Pemilukada Jawa Timur pada 2013?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab gugatan yang dilayangkan oleh Khofifah Herman
(Berkah) terkait hasil rekapitulasi dalam Pemilukada Jawa Timur pada 2013.
2. Untuk mengetahui alasan Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sedangkan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu mengabulkan gugatan pasangan Khofifah-Herman
(Berkah) dalam Pemilukada Jawa Timur pada 2013.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Atas Gugatan yang Dilayangkan Oleh Khofifah Herman (Berkah)
Terkait Hasil Rekapitulasi Dalam Pemilukada Jawa Timur Pada 2013
2.1.1 Penanganan Sengketa Hasil Pilkada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Terkait penanganan sengketa hasil
pilkada, pengaturannya didasarkan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, yang berisi: ayat (1): keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. ayat (2): keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan.
ayat (3): pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten/kota. ayat (4): Mahkamah Agung memutus perselisihan hasil penghitungan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/ Pengadilan Tinggi/Mahkamah
Agung. Ayat (5): Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat
final dan mengikat. ayat (6): Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk
memutus perselisihan perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten dan kota.
Dalam peraturan pelaksanaannya, ketentuan Pasal 106 tersebut kembali diulang secara
utuh dalam Pasal 94 PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan mengenai prosedur acara
pemeriksaan di MA maupun Pengadilan Tinggi diatur dalam Perma No. 2 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan
Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Pengajuan upaya hukum
keberatan di dalam Pasal 3 ayat (1) Perma No.2 Tahun 2005 berbunyi ”Keberatan terhadap
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi atau kab/kota hanya
dapat diajukan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya
pasangan calon”, kemudian di dalam ayat (5) memperjelas bahwa ”Keberatan yang diajukan
oleh pemohon atau kuasa hukumnya wajib menguraikan dengan jelas dan rinci tentang:
a) Kesalahan dari penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD dan hasil penghitungan
suara yang benar menurut pemohon;
b) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPUD dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon;
Terkait dengan putusan yang dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi
diatur di dalam Pasal 4 bahwa Putusan berisi:
a) Permohonan keberatan tidak dapat diterima;
b) Menolak permohonan keberatan;
c) Mengabulkan permohonan keberatan dengan menyatakan membatalkan hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh KPUD dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar.
Secara umum, permohonan yang ditolak adalah karena pemohon tidak pernah mampu
membuktikan adanya kesalahan penghitungan suara. Banyak permohonan diajukan dengan
alasan yang berada di luar kompetensi pengadilan berupa pelanggaran-pelanggaran yang sudah
dilakukan sejak awal proses pentahapan pilkada, seperti:
a) Surat suara yang tidak didistribusikan kepada yang berhak;
b) Menghalangi massa atau pendukung calon tertentu untuk menggunakan hak pilihnya;
c) Tidak membagikan kartu pemilih dan surat panggilan untuk memilih;
d) Para calon telah memberikan iming-iming uang kepada para pemilihnya (money politic) dan
janji-janji tertentu (kontrak politik);
e) Pelanggaran saat kampanye;
f) Pembakaran surat suara;
g) Pencoblosan surat suara oleh anak-anak dibawah umur untuk menggelembungkan jumlah
suara (Lotulung, 2005).
2.1.2 Penanganan Perselisihan Hasil Pilkada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Pembahasan penanganan perselisihan hasil pilkada berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tidak dapat terlepas dari keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Berdasarkan Undang-Undang ini terjadi
beberapa transformasi seputar hukum Pilkada, antara lain;
a) Pilkada (selanjutnya disebut Pilkada) dimasukkan dalam rezim pemilu, hal ini ditandai
dengan dimasukkannya pengaturan mengenai pilkada di dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
b) Perubahan pemaknaan pilkada dari rezim Pemerintahan Daerah ke rezim pemilu di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 membawa implikasi dikemudian hari dengan
diserahkannya penanganan perselisihan hasil Pilkada dari MA ke MK melalui Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2008.
Secara umum, penanganan perselisihan hasil Pilkada, pengaturannya dilandasi
berdasarkan Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah, yang berisi:
”Penanganan perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak UU ini diundangkan” Dasar peralihan kewenangan penyelesaian
perselisihan pilkada dari MA ke MK berdasarkan tinjauan dari sisi penyelenggara pemilu
tercantum dalam Pasal 1 Butir 5 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 yang berbunyi
”Penyelenggara Pemilihan Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk
memilih anggota DPR,DPD, DPRD, Dan Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat” selanjutnya di dalam Pasal 1 Butir 7
diperjelas kembali bahwa ”Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah
Penyelenggara Pemilu di provinsi dan Kabupaten/Kota”.
Sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 diterbitkan, Pilkada diselenggarakan
di bawah rezim pemerintahan daerah dan perselisihan hasil Pilkada diserahkan kepada MA.
Setelah terbitnya Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Pilkada dianggap sebagai bagian
dari pemilu, kewenangan penyelenggaraan Pilkada menjadi ranah dari KPU sehingga KPU
berwenang untuk membuat regulasi tentang Pilkada di bawah Undang-Undang dan
perselisihan Pilkada harus diserahkan dari MA ke MK. Peralihan kewenangan tersebut
didasarkan pada Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 bahwa institusi yang memiliki kewenangan
untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sesungguhnya telah membawa semangat perubahan
ini, oleh karena itu munculnya Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 hanya
untuk menegaskan sekaligus sebagai dasar hukum peralihan kewenangan penyelesaian
perselisihan hasil Pilkada. Teknis penyelesaian perselisihan hasil Pilkada tidak seluruhnya lagi
diatur dalam PP No.6 Tahun 2005, tata cara penyelesaian perselisihan Pilkada kini diatur
langsung melalui:
a) Hukum acara MK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang
merupakan hukum acara yang bersifat umum di dalam MK;
b) Peraturan Mahkamah Konstitusi No 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah yang merupakan hukum acara yang
bersifat khusus.
2.2 Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sedangkan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu mengabulkan gugatan pasangan Khofifah-Herman (Berkah)
dalam Pemilukada Jawa Timur pada 2013
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan sementara tiga
komisioner KPU Jawa Timur atas gugatan pasangan Khofifah-Herman. Menurut keterangan
majelis DKPP Saut Sitomurang, pertimbangan DKPP memberhentikan sementara tiga
komisioner KPU Jawa Timur Karena berdasarkan fakta persidangan, dukungan pasangan
Berkah adalah sah dari Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia (PPNUI). Tindakan teradu (KPU) yang menyebut tidak memenuhi syarat adalah
bertentangan dengan peraturan perundangan. Menurutnya, KPU terbukti menghilangkan hak
konstitusional partai untuk mengusulkan calon dalam Pemilu Kada Jatim termasuk kepada
pasangan Khofifah-Herman sebagai cagub dan cawagub (detiknews, 2013). Pertimbangan
lainnya, adanya pernyataan komisioner KPU di beberapa media membuktikan KPU tidak netral
dan berpihak yaitu di Metro TV dan koran Jawa Pos. Ada enam poin yang dibacakan oleh
DKPP dalam sidang pembacaan amar putusan dengan materi gugatan Khofiffah-Herman ke
Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur, melalui Keputusan DKPP N0.74/DKPP-PKE-II/2013
yaitu sebagai berikut:
1. DKPP mengabulkan gugatan yang diajukan pengadu;
2. Menjatuhkan sanksi peringatan kepada Ketua KPU Jatim Andre Dewanto;
3. Merehabilitasi nama Komisiner KPU Jatim Sayekti dari semua tuduhan;
4. Sanksi pemberhentian sementara kepada tiga Komisioner KPU Jatim, yakni Agung
Nugroho, Agus Fauzi, dan Nadjib Hamid;
5. DKPP memerintahkan KPU RI meninjau keputusan KPU Jatim yang tidak meloloskan
Khofiffah-Herman. Dan memulihkan hak konstitusional Khofiffah-Herman;
6. DKPP memerintahkan Bawaslu mengawasi hal tersebut.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai lembaga
penyelesai sengketa pemilu putusan DKPP ini seakan mengulangi kejadian yang sama, yaitu
melakukan semacam ‘penerobosan kewenangan’. Jika pada 2008 MK dianggap menerobos
kewenangannya karena memerintahkan pemungutan suara ulang, maka pada 2013 ini DKPP
yang kewenangan aslinya hanya menilai pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat
menerbitkan putusan yang isinya memerintahkan pelolosan pasangan tertentu (Gustaman,
2013).
Pelolosan Khofifah - Herman oleh putusan DKPP ini kemudian membuat Khofifah -
Herman mencabut gugatannya di PTUN karena merasa perkara mereka sudah selesai dan tidak
perlu dilanjutkan karena DKPP sudah memerintahkan KPUD untuk mengikutkan pasangan
Khofifah - Herman pada Pilgub Jatim 2013. Pada waktu itu beredar isu bahwa penyebab
sebenarnya terjadinya dualisme dukungan itu adalah karena oknum dari partai Kedaulatan dan
PPNUI diberi uang oleh pasangan tertentu (KARSA) agar mengalihkan dukungannya ke
pasangan KARSA. Sementara ketua umum partai sebenarnya menyatakan mendukung
pasangan BERKAH. Temuan ini dikemukakan oleh saksi dalam sidang DKPP yang
menyebutkan bahwa mereka menyaksikan para beberapa petinggi parpol dikumpulkan oleh
tim sukses KARSA dan diarahkan untuk memberikan dukungan kepada KARSA. Pasangan
KARSA disebut-sebut dalam pertemuan itu membagibagikan sejumlah uang pada petinggi
parpol tersebut, namun ketua umum PK yang hadir disitu menolak tawaran itu.
Ketua umum PPNUI yang mendukung BERKAH juga merasa tanda tangannya
dipalsukan sehingga ada surat dukungan palsu untuk pasangan KARSA. Diduga peristiwa
dualisme dukungan PK dan PPNUI ada kaitannya dengan peristiwa bagi-bagi duit itu. Dugaan
politik uang ini tentu perlu didalami lagi dan divalidasi lagi kebenarannya oleh pihak yang
berwenang, dalam hal ini Panwaslu dan kepolisian, agar pasangan yang terpilih nantinya betul-
betul pasangan yang berkompetisi secara bersih, bukan pasangan yang melakukan serangkaian
pelanggaran pemilu termasuk politik uang. Keputusan DKPP N0.74/DKPP-PKE-II/2013 itu
jelas-jelas melanggar hukum tata negara. Pembatalan keputusan KPU hanya menjadi hak dari
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab keputusan KPU merupakan fakta hukum yang
hanya bisa dibatalkan oleh PTUN sebagai lembaga hukum. Sedangkan DKPP merupakan salah
satu lembaga penyelenggara Pemilu, yang hanya bertugas untuk mengawasi dan mensidangkan
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Sekalipun DKPP menyatakan sesuai fakta,
bahwa anggota KPU Jatim terbukti melakukan pelanggaran etika. DKPP tetap tidak bisa
langsung membatalkan keputusan yang sudah dibuat. Keputusan DKPP itu hanya bisa dibawa
dan dijadikan bukti dalam persidangan di PTUN. DKPP banyak melanggar hukum tata negara.
DKPP telah melakukan intervensi untuk meloloskan pasangan BerKah yang dicoret
KPU Jatim karena tidak mampu mengumpulkan dukungan minimal 15% sebagaimana aturan
pencalonan Pilgub. Berbeda dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang
mengatakan apa yang dilakukan DKPP sudah tepat. Termasuk dengan menonaktifkan tiga
komisioner KPU Jawa Timur. Menurut Mahfud MD, demokrasi yang harus dibangun di negara
ini adalah demokrasi yang terhormat, demokrasi yang melindungi hak konstitusional warga
negara, demokrasi yang memungkinkan terjadinya persaingan secara sehat, adil, jujur, dan
bermartabat (Gustaman, 2013).
Demokrasi harus bersih, jangan dibunuh dari hulunya, ibarat membunuh bayi yang
belum lahir. Kalau pembunuhan demokrasi dari hulu dengan permainan formalitas, semua
harus melawan hal seperti itu, karena demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi yang
terhormat. Karena itu, DKPP harus tegas terhadap praktik pembunuhan demokrasi. DKPP
mengadili persoalan etika, sedangkan hukum merupakan kristalisasi etika. Jika etika dilanggar
sedemikian rupa sehingga substansinya hilang, yakni melindungi hak konstitusional, maka
etika harus diutamakan, karena aturan merupakan produk etika. Yang diutamakan bukan
aturannya, tapi etikanya.
Dalam kenyataannya tidak ada rangkaian fakta yang dapat membuktikan adanya
keterlibatan PNS dan jajaran birokrasi pemerintahan di Provinsi Jawa Timur untuk
pemenangan Pihak Terkait dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur 2013 yang terstruktur,
sistematis, dan masif sehingga secara signifikan mempengaruhi perolehan suara masing-
masing pasangan calon. Apabila ada dukungan secara pribadi pemilih kepada Pihak Terkait,
hal itu tanpa disertai adanya tindakan yang mempengaruhi dan memprovokasi yang dilakukan
oleh birokrasi dari tingkat atas sampai tingkat bawah, dengan demikian dukungan yang
demikian tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis,
dan massif (Zoelva, 2013).
Berdasarkan penilaian dan fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo
tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak cukup
bukti yang meyakinkan bahwa Pihak Terkait terlibat dalam hal yang berhubungan dengan
terpenuhi syarat atau tidak terpenuhinya syarat Pemohon menjadi peserta pasangan calon
dalam Pemilukada Jawa Timur 2013. Termohon telah melakukan mekanisme pengambilan
keputusan melalui rapat pleno Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur yang dihadiri
oleh lima komisioner dan tidak pernah melibatkan unsur lain, seperti pejabat daerah Provinsi
Jawa Timur. Termohon telah menetapkan Pemohon sebagai peserta atau Pasangan Calon
Pemilukada Provinsi Jawa Timur dan mencetak surat suara dengan gambar Pasangan Calon
Nomor Urut 4. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Termohon telah melakukan
sosialisasi keempat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dalam Pemilukada Provinsi
Jawa Timur, termasuk pasangan calon Pemohon melalui berbagai media (Zoelva, 2013).
Menurut Mahkamah, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) telah
dilantik oleh Ketua PPS di masing-masing desa atau kelurahan dan anggota KPPS tersebut
dilantik oleh Ketua KPPS. Adapun terkait dengan pemutakhiran data DPT, menurut Mahkamah
sesuai fakta persidangan DPT tersebut telah dilakukan pemutakhiran sesuai saran dari Bawaslu.
Selain itu, terkait dengan permasalahan DPT yang didalilkan oleh Pemohon, bahwa
sebagaimana putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, permasalahan DPT merupakan bagian
dari permasalahan kependudukan di Indonesia yang belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah,
sehingga apabila tidak dapat dibuktikan secara hukum bahwa Termohon melakukan
pelanggaran DPT secara terstruktur, sistematis, dan masif yang dapat menguntungkan salah
satu pasangan calon maka Termohon tidak dapat dibebani kesalahan atas kekurangan soal DPT
dalam penyelenggaraan Pemilukada Provinsi Jawa Timur (Nazriyah, 2015).
Sedangkan mengenai Anggaran untuk hibah dan bantuan sosial, sesuai fakta persidangan
tidak terbukti pemberian hibah dan bansos dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif
sehingga mempengaruhi kebebasan pemilih untuk memilih atau tidak memilih yang pada
akhirnya mempengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon, khususnya suara
Pemohon dan Pihak Terkait. Tentang adanya pelanggaran lainnya, menurut Mahkamah, tidak
cukup bukti bahwa telah terjadi pelanggaran dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun
2013 yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Berdasarkan penilaian atas fakta dan
hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan Pokok permohonan tidak
beralasan menurut hukum dan menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya
(Nazriyah, 2013). Melalui pengacaranya, menurut mantan Ketua MK Akil Mochtar Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Gus
Ipul), dalam sengketa Pilkada Jawa Timur di MK dinilai penuh kejanggalan.
Anggota Tim Kuasa Hukum penggugat pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur
Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Herman Suryadi Sumawiredja, yakni Juli Edy
menilai, Majelis Hakim Konsitusi pada persidangan putusan tidak memberikan pertimbangan
yang cukup terhadap bukti-bukti dan saksi-saksi, termasuk saksi ahli dan pemohon. Majelis
Hakim Konstitusi terkesan menggampangkan membuat kesimpulan bahwa dalil pemohon
tidak beralasan menurut hukum, tanpa mengurai dan atau mempertimbangkan bukti-bukti dan
saksi dari pemohon (Harahap, 2013).
Sementara itu, calon Gubernur Jawa Timur yang mengajukan gugatan sengketa pilkada ke
Mahkamah Konstitusi, Khofifah Indar Parawansa menilai, pada amar putusan yang dibacakan
oleh Majelis Hakim Konstitusi lebih berpihak kepada tergugat. Hal ini terlihat dari uraian yang
dibacakan Majelis Hakim hanya menyampaikan pernyataan saksi-saksi dari pihak tergugat dan
tidak menyampaikan pernyataan saksi-saksi dari pihak penggugat (Nazriyah, 2013).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Problem pemilukada Jawa Timur 2013, menunjukkan masih banyaknya agenda
demokrasi yang harus kita selesaikan, baik dari sisi regulasi, kelembagaan, maupun penegakan
hukum. Pemilu, sejatinya adalah proses yang sangat beradab dalam memilih pemimpin dan
pengatur negara. Namun, karena pemilu adalah suatu mekanisme untuk memilih siapa yang
akan berkuasa, maka sulit dihindari terjadinya benturan kepentingan bahkan menimbulkan
kekerasan yang dapat merusak tujuan mulia dari pilihan demokrasi. Dalam posisi yang
demikian, moralitas, etik dan hukum menjadi sangat penting untuk dikedepankan. Bila
moralitas dan etik telah menjadi rujukan dan pegangan bersama, maka hukum menjadi tidak
penting, karena semua memiliki kesadaran yang sama untuk saling menghormati. Sebaliknya
jika, etik dan moralitas terabaikan, hukum harus mengambil peran penting dan harus
ditegakkan dengan tegas. Pada saat sekarang ini, kita berada pada titik dimana moralitas dan
etik dan proses demokrasi masih jauh dari harapan. Dalam kondisi demikian, hukum terutama
institusi.
Penanganan Perselisihan Hasil Pilkada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Setelah terbitnya Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Pilkada dianggap sebagai
bagian dari pemilu, kewenangan penyelenggaraan Pilkada menjadi ranah dari KPU sehingga
KPU berwenang untuk membuat regulasi tentang Pilkada di bawah Undang-Undang dan
perselisihan Pilkada harus diserahkan dari MA ke MK. Peralihan kewenangan tersebut
didasarkan pada Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 bahwa institusi yang memiliki kewenangan
untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sesungguhnya telah membawa semangat perubahan
ini, oleh karena itu munculnya Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 hanya
untuk menegaskan sekaligus sebagai dasar hukum peralihan kewenangan penyelesaian
perselisihan hasil Pilkada
Menurut Mahkamah Konstitusi, program Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Rakyat
(Jalin Kesra) yang dilakukan Soekarwo bukanlah kesalahan fatal dalam proses Pilkada.
Menurut MK, program tersebut merupakan program berkelanjutan yang dimulai dan
dilaksanakan sejak 2010. Tidak terbukti adanya keterlibatan PNS dan jajaran birokrasi
pemerintahan di Provinsi Jawa Timur untuk pemenangan Pihak Terkait dalam Pemilukada
Provinsi Jatim Tahun 2013 yang terstruktur, sistematis, dan masif sehingga secara signifikan
mempengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon. Pertimbangan DKPP
mengabulkan gugatan Khofifah-herman karena KPU terbukti menghilangkan hak
konstitusional partai untuk mengusulkan calon dalam Pemilukada Jatim termasuk kepada
pasangan Khofifah-Herman sebagai cagub dan cawagub.
3.2 Saran
Perlu adanya pengadilan khusus Pilkada dan harus ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur bahwa program hibah dan dana sosial (bansos) harus dilaksanakan pada tiga
tahun pertama pemerintahan kepala daerah sehingga jika petahana akan mencalonkan kembali
pelaksanaan kampanye dapat dilakukan secara fair, transparan dan tidak ada dugaan manipulasi
dana hibah dan bansos.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Mujib. 2013. Inilah Kronologi Gugatan Pilgub Jatim 2013 (I). Dari website:
https://surabaya.tribunnews.com/2013/10/07/inilah-kronologi-gugatan-pilgub-jatim-
2013-i
Bisariyadi, Anna Triningsih, Meyrinda Rahmawaty H, Alia Harumdani W. 2012. Komparasi
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham
Demokrasi Konstitusional. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3, September 2012532
DetikNews. 2013. DKPP Nonaktifkan 3 Komisioner KPU Jatim. Dari website:
https://news.detik.com/berita/d-2320119/dkpp-nonaktifkan-3-komisioner-kpu-jatim
Firdaus. 2014. Penyelesaian Sengketa Pemilu sebagai Upaya Memulihkan Kepercayaan dan
Memperkuat Legitimasi Pemerintahan Demokrasi, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum
Vol.8 No.2 Tahun 2014, Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Gustaman, Y. 2013. Mahfud MD: DKPP Bisa Batalkan Keputusan KPU Jatim. Dari website:
https://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/30/mahfud-md-dkpp-bisa-batalkan-
keputusan-kpu-jatim.
Harahap, Riza. 2013. Rizal Ramli: putusan sengketa Pilkada Jatim janggal. Dari website:
https://www.antaranews.com/berita/399641/rizal-ramli-putusan-sengketa-pilkada-
jatim-janggal.
Hendrawan, Indra. 2015. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Pasca
Putusan MK NO. 97/PUU-XI.2013. Jurnal Rechts Vending Volume 4, Nomor 1, April
2015.
Nazriyah, R. 2013. Dinamika Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM NO. 4 VOL. 20 OKTOBER 2013: 641 – 665642.
Nazriyah, R. 2015. Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3, September 2015
Ramadhan, Bilal dan Sadewo, Joko. 2013. Ini Sejarah Sengketa Pemilukada Jatim di MK. Dari
website: https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/31/mynq6l-ini-
sejarah-sengketa-pemilukada-jatim-di-mk.
Surbakti, Ramlan dkk. 2011. Seri Demokrasi Elektoral Buku 16 Penanganan Sengketa Pemilu,
Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Zoelva, Hamdan. 2013. Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2013382.
Zuhri, Sepudin. 2013. Perselisihan Pilkada Jatim Diputuskan MK Hari Ini (7/10/2013). Dari
website: https://kabar24.bisnis.com/read/20131007/347/167444/perselisihan-pilkada-
jatim-diputuskan-mk-hari-ini-7102013.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4026).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076).
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678).

Anda mungkin juga menyukai