Anda di halaman 1dari 4

Pertanyaan :

1. Menurut Henry Jenkins dalam Bukunya ”Convergence culture: Where old & New Media Collide”
mengatakan ada 4 aspek dari convergence culture, yaitu:

a. Collective Intelligence (Bobot 20 %)


Lévy berpendapat bahwa hak istimewa Internet apa yang dia sebut "kecerdasan kolektif," di
mana tidak ada satu orang yang mengetahui semua informasi yang disajikan melainkan setiap
orang berkontribusi untuk pengetahuan kelompok yang lebih besar, dengan keseluruhan lebih
besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Levy kontras dengan itu model dengan model
"kecerdasan bersama" sebelumnya, di mana setiap anggota kelompok memiliki hal yang sama
pengetahuan umum (Jenkins, 2006, hal. 4)
b. Affective Economics (Bobot 20 %)
Mendekati ekonomi afektif sebagai alat ilmiah yang produktif daripada strategi pemasaran,
saya ingin mempertimbangkan bagaimana crowdfunding menarik penggemar ke dalam
'dialektika nilai' yang intensif (Hills, 2002). Di bagian selanjutnya, akan mempertimbangkan
bagaimana crowdfunding saat ini memungkinkan reposisi paratekstual tenaga kerja
showrunners/profesional media (Tryon, 2013: 146-147) sebagai jenis 'tanda cinta' seperti
kipas, karenanya secara diskursif mendekomodisasi nilai tukar industri teks media. Namun,
pada saat yang sama, crowdfunding juga memberikan nilai tukar pada keinginan penggemar
untuk angsuran baru dari teks-teks tercinta, menyerukan dan menormalkan komodifikasi diri
dari sentimen penggemar dan nilai guna, dan inilah yang akan saya jelajahi di bagian penutup.
Gagasan kontra kemunculan yang belum pernah terjadi sebelumnya, saya akan
mempertimbangkan bagaimana keterlibatan Rob Thomas dengan materi VM yang 'unau
thorized', penggunaan strategisnya atas Televisi tanpa Kasihan dan sanksinya atas wacana
anti-industri refleksi diri dalam VM semuanya menawarkan preseden untuk Kickstarter
kampanye. Dan untuk memikirkan tentang tumbukan crowdfunding antara pengaruh
penggemar dan neoliberal logika konsumen, saya akan meninjau kembali 'ekonomi afektif'
(Jenkins, 2006). Implikasi utama dari argumen ini ada dua. Pertama, ekonomi afektif tidak
hanya mengizinkan produser media untuk 'mengeksploitasi' keterlibatan penggemar; itu juga
meminta produsen untuk melakukan kerja emosional yang sedang berlangsung dari 'front
sosial' yang koheren di mana identitas seperti penggemar dan wacana decommoditising
dimobilisasi. Kedua, menggeneralisasi Deleuzian/ Diskusi Marxis tentang fandom media
sebagai yang secara struktural terikat ke dalam budaya (digital) kapitalisme gagal
mempertimbangkan bagaimana para penggemar yang berpartisipasi dalam VM Kickstarter
secara otomatis mengomodifikasi nilai guna mereka dengan menyetujui konversinya kembali
menjadi nilai tukar yang baru ditemukan. Di sana terletak agensi penggemar yang
ditampilkan di sini, alih-alih proses ini terjadi 'di belakang' punggung penggemar, seolah-
olah. Sementara penggemar mengomodifikasi pengalaman penggemar mereka secara
otomatis dan kenangan, mereka juga secara taktis mengambil dari proses crowdfunding
Kickstarter dengan menegosiasikan bagaimana hal ini berarti bagi mereka. Jenkins (2006)
menjelaskan bahwa dia mengacu pada konfigurasi baru teori pemasaran ... yang berusaha
memahami emosi dasar-dasar pengambilan keputusan konsumen ... Dalam banyak hal,
ekonomi afektif mewakili upaya untuk mengejar ketinggalan dengan pekerjaan dalam studi
budaya ... di komunitas penggemar dan pemirsa komitmen. Namun, ada perbedaan penting:
karya studi budaya berusaha untuk memahami konsumsi media dari sudut pandang
penggemar …; wacana pemasaran baru berusaha untuk membentuk ... keinginan konsumen.
(hal. 61–62) hampir tidak dapat mengharapkan studi pemasaran dan budaya untuk menempati
wilayah intelektual yang sama, meskipun Jenkins (2006) dengan cermat mengamati bahwa
'penggemar aliran sesat tertentu acara televisi dapat memperoleh pengaruh yang lebih besar
atas keputusan pemrograman di zaman sekarang ekonomi afektif.
c. Transmedia Storytelling (Bobot 20 %)
Definisi ekstensif dari gagasan kedua diberikan pada tahun 2003, dalam artikel bernama
Transmedia Storytelling di mana Jenkins menegaskan bahwa, dalam bentuk yang ideal, setiap
media harus melakukan apa yang dilakukannya dengan lebih baik, tanpa redundansi, tetapi
memberikan informasi pelengkap. Jenkins (2003) mengilustrasikannya dengan menyatakan
bahwa, misalnya, sebuah cerita dapat diluncurkan sebagai film, diperluas sebagai acara TV,
buku atau buku komik, dan disampaikan sebagai permainan. Seperti yang dikatakannya,
setiap media atau franchise harus mandiri untuk memungkinkan aliran otonom, sehingga
tidak perlu menonton film untuk menikmati permainan dan sebaliknya. Meskipun Jenkins
telah mulai membahas masalah konseptual, dalam bukunya tahun 2006, Convergence
Culture: Dimana media lama dan baru bertabrakan, topik ini dibahas secara lebih menyeluruh.
Dari sudut pandangnya, transmedia storytelling terdiri dari laporan cerita yang disampaikan
melalui berbagai platform media, masing-masing teks berkontribusi dengan cara yang
berbeda dan relevan dengan cerita yang lengkap. Jenkins menyangkut perluasan cerita yang
dibagi menjadi beberapa bagian yang didistribusikan ke beberapa media – media yang
memiliki potensi paling cocok untuk mengeksploitasi setiap segmen tertentu. Oleh karena itu,
semua bagian dan media akan terintegrasi. Dalam hal ini, kita dapat melihat gagasan
transmedia storytelling sebagai suatu sistem, mirip dengan yang disarankan oleh Kinder
(1993). Definisi inklusif dari transmedia storytelling disediakan dalam publikasi 2011,
Transmedia 202: Lebih Lanjut Refleksi, di mana Jenkins menjelaskan: Transmedia
storytelling mewakili proses di mana elemen integral dari sebuah fiksi tersebar secara
sistematis di berbagai saluran pengiriman untuk tujuan menciptakan pengalaman hiburan
yang terpadu dan terkoordinasi. Idealnya, setiap media memberikan kontribusi uniknya
sendiri terhadap terungkapnya cerita.
d. Participatory Culture (Bobot 20 %)
Konsep Participatory Cultures dikembangkan oleh Henry Jenkins. Apabila penelitian terdulu
berfokus pada masyarakat kontemporer seperti masalah ketenagaan kerja, politik,
industrialisasi, globalisasi dan masalah literasi. Adanya konvergensi media ini salah satunya
dikaitkan dengan harapan tentang masa depan dimana masyarakat berpatisipatif ke dalam
media sering dijadikan sebagai konsumen akan tetapi fenomena New Media, budaya
konsumen telah bergerak maju dengan menolak adanya konsumen pasif yang dikendalikan
oleh kapitalis, karena dalam new media setiap individu memiliki kesempatan untuk
mengambil peran dan berpatisipatif aktif dalam produksi, diseminasi, dan interprestasi budaya
(Jenkins, 2006). Jenkins (2009) menggambarkan Participatory Culture sebagai sebuah istilah
yang menandai keterikatan dan ekspresi kreatif yang umum ditemui dalam praktik fandom
saat ini. Participatory Cultures telah diasosiasikan dengan gagasan bahwa batasan antara
konsumen pasif dan produser aktif telah dikikis atau dihapus karena kedua pihak sekarang
telah disatukan menjadi pemain dalam aliran budaya. Jenkins (2009) memberikan
karakterisasi terhadap participatory cultures dengan mendefinisikan sebagai sebuah budaya
yang: 1). Hambatan untuk ekspresi seni maupun keterlibatan masyarakat sipil relative rendah.
Umumnya saat ini remaja atau masyarakat dapat terlibat dan berpartisipasi ke dalam suatu
komunitas online dengan mudah. Ada beberapa platform yang memberikan kemudahan
penggunanya untuk stalking atau sekedar berselancar, mengamati, menjadi silent reader saja.
Akan tetapi kebanyakan platform mengharuskan seseorang untuk melakukan pendaftaran
terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam komunitas dan berpartisipasi aktif (seperti
mengunggah, mendownload, dan berinteraksi dengan anggota lainnya). Untuk mendaftar ke
dalam jejaringan sosial maupun komunitas online tanpa hambatan yang berarti, untuk masuk
atau tergabung menjadi anggota dalam sebuah komunitas online adalah hal yang mudah tidak
ada syarat registrasi yang sulit. Salah satu syarat tergabung dalam suatu komunitas adalah
dengan mempunyai akun email saja. Setelah tergabung di dalamnya remaja dengan mudah
untuk terlibat secara aktif untuk saling bertukar infomasi, foto, konten mengenai ketertarikan
yang sama. 2). Memiliki dukungan kuat untuk berkarya dan sekaligus berbagi karya dengan
sesama partisipan. yaitu keyakinan bahwa kontribusi perorangan merupakan hal yang penting,
baik sekedar menonton sampai memberikan respon. Dalam berpatisipasi memiliki tingkatan-
tingkatan dari pengguna aktif dan pasif bahkan sebagai silent reader (pengguna yang hanya
sekedar .mengamati tanpa melakukan respon berupa komen ataupun melakukan aktivitas
seperti menggunggah dan mendownload). 3). Memiliki semacam informal mentorship, berupa
pembagian ilmu dari yang berpengalaman kepada pemula. Dalam suatu komunitas online
pastinya terdapat anggota yang telah lama tergabung didalamnya, acapkali komunitas di suatu
situs web tertentu membuat suatu role play yang menjadi ciri khas atau identitas dari
komunitas tersebut. Contohnya dalam situs kaskus yang merupakan komunitas berupa forum
diskusi online yang telah menciptakan istilah-istilah bahasa baru (bahasa slang) yang hanya
digunakan dalam situs tersebut dan hanya mereka yang benar-benar menjadi bagian dari
anggota yang terkadang memahami mengenai pengertian dari bahasa tersebut. Adanya
sebutan seperti mastah, dimana sebutan ini merujuk pada mereka yang telah berpengalaman
(biasanya bergabung dalam waktu yang cukup lama dan berpartisipasi aktif). Biasanya
seseorang yang disebut mastah ini merupakan seseorang yang memiliki kemampuan atau
pengetahuan lebih (expert dibidangnya) dibandingkan yang lainnya dan seringkali menjadi
bahan rujukan dari pengguna lainnya. 4). Di dalamnya para member percaya bahwa
kontribusi mereka berarti. Mereka menyadari bahwa sekecil apapun bentuk partisipasi yang
dilakukannya telah memberikan kontribusi dalam komunitasnya tersebut karena antara satu
member dengan yang lainnya ketika mereka telah bergabung dalam suatu komunitas maka
mereka telah dianggap menjadi bagian dari komunitas tersebut. Rasa solidaritas yang tinggi
dan saling menjaga satu sama lain terlihat dari mereka yang memberikan respon berupa
komentar terhadap konten yang diunggah atau diposting oleh anggota lain. 5). Dan dimana
para member merasakan tingkatan koneksi sosial dengan anggota yang lain. Perasaan akan
adanya hubungan sosial (sense of connection). Ketika seseorang bergabung dalam suatu
komunitas online maka meraka telah dianggap menjadi salah satu bagian dari komunitas
tersebut. Pada tingkatan pengguna apapu mereka menganggap atu memiliki keyakinan bahwa
mereka telah mendapat informasi dan menjadi bagian dari komunitas tersebut.
Jelaskan masing masing dari aspek tersebut dan berikan contohnya!

2. Teori Cyberculture yang diungkapkan oleh Manuel Castells bahwa perkembangan teknologi
internet pada dasarnya melahirkan ”Informational Capitalism”. Jelaskan dan berikan contohnya!
(Bobot 20 %)
Teori cyberculture menegaskan perkembangan teknologi internet pada dasarnya melahirkan apa
yang disebut informational capitalism. Teknologi dan entitas yang berada di dalamnya seperti
produsen, distributor, pengiklan, maupun pengguna merupakan model ekonomi baru
melandaskan produk dan komoditasnya pada informasi. Namun patut dicatat, teknologi informasi
tidaklah serta merta mengubah kultur yang ada di tengah masyarakat dan jika ada perubahan
kultur pun disebabkan oleh interaksi yang terjadi di antara keduanya. Dalam internet individu
menjadi entitas yang selain mengonsumsi juga menghasilkan produk. Sifat internet yang
menghubungkan antarentitas melalui perantaraan perangkat komputer pada akhirnya menciptakan
perangkat tersebut sebagai pabrik dalam memproduksi informasi. Informasi yang ada pada dunia
virtual pada dasarnya merupakan produk kreatif dari entitas itu sendiri. Intinya, perkembangan
dan pertumbuhan internet dewasa ini telah mengubah wajah dunia. Ada banyak hal yang berubah.
Berbagai hal yang sebelumnya terbatas oleh kondisi dan geografis kini perlahan mengabur,
menjadikan pertukaran informasi berlangsung sepanjang waktu. Namun di sisi lain, kondisi ini
juga semakin mengaburkan batasan antarbudaya, mengubah cara berkomunikasi antarbudaya, dan
secara langsung maupun tidak langsung menghadirkan percampuran budaya. Dari perspektif
komunikasi antarbudaya, penulisnya mencoba menghadirkan bahasan komprehensif bagaimana
budaya termediasi di internet. Di dalamnya, dapat kita temukan pemaparan tentang fenomena
siber dan pengaruhnya terhadap kebudayaan dan konsep komunikasi antarbudaya. Teoretisi
cyberculture seperti Manuel Castells (2000: 18) menegaskan bahwa perkembangan teknologi
internet pada dasarnya melahirkan apa yang disebut sebagai ”informational capitalism”. Bahwa
teknologi dan entitas yang berada di dalamnya seperti produsen (perangkat keras maupun lunak),
distributor, pengiklan, maupun pengguna merupakan model ekonomi baru yang melandaskan
produk atau komoditasnya pada informasi. Lebih jauh Manuel Castells (2000: 9) menegaskan,
We are still in a capitalist mode of production, in terms of the relations between capital, property
ownership and labour (even if, as we shall see, he argues that the social structure, i.e. class, has
fundamentally changed). Following his old mentor, Alain Touraine, he specifies a mode of
development as ‘the technological arrangements through which humans act upon matter (nature),
upon themselves, and upon other humans’ in order to generate wealth The technological
arrangements through which humans act upon matter (nature), upon themselves, and upon other
humans’ in order to generate wealth (Castells, 2000: 9). Perkembangan teknologi baru
memberikan paradigma baru pula terhadap bentuk-bentuk ekonomi baru. Namun patut dicatat
bahwa teknologi informasi tidaklah serta-merta mengubah kultur yang ada di tengah masyarakat
dan jika ada perubahan kultur pun disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara keduanya
(Castells, 2010: 5). Teknologi informasi jika dipandang sebagai sebuah mesin memberikan
kemudahan terhadap transformasi informasi itu sendiri menjadi produk (komoditi) dari sebuah
proses produksi ”the products of new information technology industries are information
producing devices or information processing itself” (Castells, 1996:67). Informasi menjadi
komoditas yang diperebutkan baik oleh pekerja, pemilik perusahaan, maupun melibatkan negara.
Dengan kata lain, siapa yang bisa menguasai cum memanipulasi informasi, maka dianggap akan
memenangi persaingan global sebagaimana yang disebut Castells sebagai ”dot.com businesses”.
Juga, individu sebagai entitas secara otomatis memposisikan dan diposisikan sebagai pekerja
yang telah terprogram atau ”self programmable”. Misalnya, ketika individu membuka situs
citizen journalism di internet, maka saat itu pula kondisi konsumen/ produsen terjadi. Individu
menjadi konsumen saat ia menggunakan media citizen journalism atau membaca konten.
Berbarengan dengan itu, saat individu menulis serta mempublikasikan konten di media citizen
journalism, pada dasarnya individu tersebut tengah memproduksi informasi sebagai sebuah
komoditas. Demikian pula, entitas yang ada di internet merupakan bagian dari proses produksi
dan juga sebagai sumber dari apa yang diproduksi tersebut. Oleh karena itu, pencitraan diri di
dunia virtual merupakan upaya yang dilakukan individu untuk mendapatkan balasan (reward),
baik secara ekonomi maupun politik.

Selamat Mengerjakan!

Acuan Pembuatan Soal: Ditinjau & Diverifikasi


Oleh: Ketua Program Studi
1. SAP
2. Silabus
3. Pustaka
Novida Irawan, M.Si
Tanggal, 24/08/2021

Anda mungkin juga menyukai