Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia saat ini dipenuhi oleh penduduk usia muda yang lahir pada tahun 1980
hingga 2000 atau sekarang berumur 19-39 tahun. Generasi ini disebut generasi Y
atau millennials (Purwandi, 2016). Menurut hasil survey Euromonitor, populasi
dengan usia di bawah 30 tahun mencapai 50,5% pada tahun 2012. Selain itu,
penduduk usia 15 sampai dengan 29 tahun mencapai 1.8 miliar atau sebesar 23,6%
dari total populasi dunia. Penduduk usia muda tersebut mayoritas (87%) tersebar di
negara berkembang dan hampir 60% tersebar di Asia (Global Youth Development
Index, The Commonwealth, 2016). Sementara itu, penduduk usia muda di
Indonesia dengan rentang usia 20 sampai 40 tahun di Indonesia mencapai 33,75%
dari total penduduk atau sebesar 89,5 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2018).
Besarnya populasi penduduk generasi Y ini merupakan suatu bonus demografi
karena mereka akan menjadi penggerak perekonomian negara karena dianggap
mampu baik secara fisik maupun mental (Ningrum, Putri, dan Ekaputri, 2015).

Secara bertahap penduduk usia muda ini akan mulai berkeinginan untuk memiliki
hunian, meskipun berada dalam kondisi harga hunian yang meningkat pesat.
Generasi Y yang dengan usia cukup muda memiliki keinginan untuk mandiri dan
kepemilikan tempat tinggal merupakan langkah yang penting untuk dapat mencapai
kemandirian tersebut (Li, dkk., 2017). Hunian merupakan aspek penting yang dapat
menjaga potensi generasi Y saat ini, karena tempat tinggal adalah salah satu
kebutuhan mendasar manusia sebagai tempat berlindung dan sarana pembinaan
keluarga (Sestiyani & Sariffuddin, 2015; Yuliastuti & Sukmawati, 2016). Sebagian
besar generasi Y saat ini telah menyelesaikan studinya, beberapa sudah memasuki
dunia kerja, dan memasuki usia pernikahan. Kondisi tersebut akan membuat
generasi Y mulai memasuki pasar perumahan (Yuhui, 2013).

Generasi Y atau milenial di Indonesia memiliki potensi besar dalam pembangunan


perekonomian. Mereka cenderung memilih tinggal di perkotaan untuk dapat

1
memenuhi potensi – potensi mereka. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS), pada tahun 2010, 49,8% dari total penduduk Indonesia tinggal di daerah
perkotaan dan pada tahun 2015 persentase ini meningkat menjadi 53,3%.
Kemudian, BPS juga memproyeksikan pada tahun 2035 jumlah masyarakat yang
tinggal diperkotaan sebesar 66,6%. Peningkatan jumlah masyarakat yang tinggal
diperkotaan ini merupakan implikasi dari migrasi dan perubahan struktur wilayah
yang semula pedesaan menjadi perkotaan. Penduduk usia muda memiliki peran
besar dalam peningkatan jumlah tersebut, karena penduduk yang bermigrasi dari
desa ke kota paling banyak pada usia muda dengan alasan untuk sekolah dan
bekerja (Mulder, 1993 dan Todaro, 1997 dalam ILO, 2004).

Peningkatan jumlah masyarakat yang tinggal di perkotaan tersebut diiringi dengan


aktivitas dan struktur penduduknya yang semakin kompleks. Seiring dengan
kompleksnya aktivitas penduduk, kelangkaan lahan merupakan suatu fenomena
yang tidak dapat dihindari. Kondisi ini terjadi karena harga lahan di perkotaan yang
sangat tinggi akibat adanya perubahan fungsi lahan dari permukiman menjadi
kegiatan produktif untuk menunjang kegiatan masyarakat. Fujita (2012) membahas
kembali teori von Thunen tahun 1826 yang menyatakan bahwa lokasi berpengaruh
terhadap harga lahan, semakin jauh dari pusat kota, harga lahan akan semakin
murah. Harga lahan yang semakin tinggi relatif terhadap pusat kota, membuat
masyarakat sulit untuk memiliki tempat tinggal.

Kesulitan memiliki tempat tinggal merupakan akibat dari ketidakcocokkan produk


permukiman yang ada dengan persepsi masyarakat secara umum, tidak terbatas
pada masyarakat dengan penghasilan rendah saja. Banyak penduduk usia muda
yang mengalami masalah tersebut, meskipun usia muda adalah usia produktif yang
berpotensi untuk mendapatkan penghasilan lebih besar, tetapi peningkatan harga
rumah yang tidak sebanding dengan penghasilan membuat penduduk usia muda
sulit mendapatkan tempat tinggal. Untuk tetap memenuhi kebutuhan tempat
tinggalnya, hal yang umum dilakukan adalah mengorbankan lokasi tempat tinggal,
penduduk usia muda harus tinggal di lokasi yang jauh dari tempat kerja (Li, dkk.,
2017). Hunian yang seharusnya menjadi penunjang ekonomi malah memperburuk

2
kondisi perekonomian masyarakat. Jika masalah ini terabaikan, maka seiring
berjalannya waktu, tanpa disadari jarak atau gap antara penghasilan dengan harga
rumah akan semakin jauh.

Dalam berbagai studi tentang perumahan, perdebatan didominasi oleh perspektif


ekonomi dan hanya memberikan sedikit perhatian pada dimensi budaya, seperti
masalah keterjangkauan. Untuk dapat mengatasi persoalan perumahan, Turner
(1968) dan Sastrosasmita (1990) memberikan gambaran bahwa perlu adanya
spesifikasi program terhadap kategori masyarakat tertentu. Pemerintah Indonesia
sudah mengembangkan dan menerapkan strategi pembiayaan perumahan,
diantaranya adalah subsidi dan tunjangan dalam berbagai bentuk. Akan tetapi,
strategi – strategi tersebut masih kurang dapat dirasakan oleh masyarakat
khususnya penduduk usia muda karena pemerintah cenderung menilai keberhasilan
pengadaan perumahan dari sisi supply saja dan mengabaikan kebutuhan masyarakat
yang merupakan target sebagai pengguna perumahan tersebut.

Pemerintah Indonesia melalui Permenpera nomor 07 tahun 2013 sudah menetapkan


kebijakan dalam mengintervensi perkembangan kota dari sisi permukiman dengan
konsep hunian berimbang. Hunian berimbang yang dimaksud adalah pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman secara proporsional dengan komposisi
tertentu. Selain itu, pada tahun 2015 pemerintah juga meluncurkan program Satu
Juta Rumah untuk mengatasi backlog perumahan sebesar 13,5 juta. Akan tetapi,
peraturan ini belum dapat sepenuhnya memenuhi fenomena perkotaan terkait
dengan kelangkaan tempat tinggal bagi penduduk usia muda di perkotaan, karena
program ini kurang mengakomodasi penduduk usia muda dan lebih
memprioritaskan pada kelompok masyarakat yang lebih tua dan berpenghasilan
rendah.

Kebutuhan akan hunian generasi Y ini terbentur dengan kebijakan – kebijakan


pemerintah. Perlu adanya kesadaran dalam perencanaan khususnya perumahan dan
permukiman yang berpusat pada masyarakat dengan mempertimbangkan preferensi
penduduk usia muda. Pertanyaan mendasar untuk dapat menelusuri kebutuhan

3
perumahan adalah apa yang dimaksud dengan rumah itu sendiri dan bagaimana
rumah memberikan nilai tertentu terhadap penghuninya. Pembahasan tentang
kepemilikan rumah perlu mempertimbangkan perspektif masyarakat secara
menyeluruh bukan hanya dari perspektif ekonomi saja.

Variabel usia sangat erat kaitannya dengan preferensi tempat tinggal dibandingkan
dengan tingkat pendapatan, jenis kelamin, pendidikan, dan tempat kelahiran
(Abramsson & Andersson, 2015). Perbedaan preferensi secara natural terjadi
seiring dengan kelompok usia tertentu. Oleh karena itu, penting untuk lebih
memahami perbedaan preferensi tempat tinggal penduduk dalam penelitian ini
adalah usia muda atau Generasi Y atau milenial agar penyediaan tipe tempat tinggal
dapat terlaksana dengan tepat sasaran (Abramsson & Andersson, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


Setiap individu memiliki cara tersendiri dalam memenuhi kebutuhan termasuk
hunian. Era tertentu akan memberikan pengaruh terhadap karakteristik masing –
masing individu dalam satu generasi. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi
generasi Y, karena generasi ini memiliki keunikan karena keberagamannya
(Solomon, 2009).

Keberagaman tersebut juga berlaku bagi preferensi memilih hunian. Penduduk usia
muda atau generasi Y dengan rentang usia 20 sampai 40 tahun menentukan
preferensi hunian dengan ciri khas tertentu. Preferensi ini terbentuk karena adanya
perbedaan tanggung jawab pada masing – masing usia. Penelitian terhadap
preferensi generasi Y dalam memilih hunian penting berbagai pihak baik
pemerintah maupun pengembang, agar kebijakan dan produk hunian dapat tepat
sasaran.

Milenial akan memasuki fase baru dalam kehidupan, seperti meninggalkan rumah
untuk bekerja atau sekolah, memasuki dunia pernikahan, dan menempati posisi
baru dalam pekerjaan. Mengetahui keberagaman preferensi hunian generasi Y
penting, karena secara usia saat ini, generasi Y akan memasuki pasar hunian yang

4
nantinya akan mempengaruhi tren yang akan terjadi (Moos, dkk., 2015). Meskipun
demikian, belum terdapat studi tentang preferensi hunian generasi milenial di
Indonesia. Preferensi sangat beragam dan memberikan nilai yang berbeda pada
setiap individu, subjek penelitian ini akan difokuskan pada penduduk usia muda
(generasi Y) di Indonesia. Oleh karena itu, studi ini akan difokuskan pada preferensi
penduduk usia muda terhadap atribut – atribut dan trade – off dari berbagai macam
atribut hunian.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan studi ini adalah menjelaskan preferensi masyarakat khususnya penduduk
usia muda di Indonesia dalam memilih tempat tinggal. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka sasaran yang harus tercapai adalah :
1. Menganalisis status hunian saat ini dan preferensi status hunian bagi milenial.
2. Menganalisis motivasi dan kesanggupan milenial dalam membayar hunian.
3. Menganalisis atribut – atribut hunian yang menjadi preferensi penduduk usia
muda dalam memilih hunian.

1.4 Manfaat Penelitian


Dalam bidang ilmu perencanaan wilayah dan kota, penelitian ini bermanfaat untuk
memberikan tambahan kajian ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi
permukiman khususnya preferensi tempat tinggal penduduk usia muda atau
Generasi Y. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi memberikan
pemahaman yang lebih baik terhadap preferensi penduduk usia muda di Indonesia
dalam memilih perumahan. Manfaat – manfaat tersebut akan memberikan
kemudahan bagi pengembang perumahan dan pembuat kebijakan. Melalui
penelitian ini, penulis berharap akan meningkatkan ketertarikan peneliti – peneliti
lain terkait topik ini, sehingga akan memberikan hasil yang lebih luas dan detail.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Untuk dapat memperjelas masalah yang akan dibahas dan mencegah terjadinya
pembahasan yang meluas pada penelitian, maka perlu ditetapkan batasan – batasan

5
dalam studi ini. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan wilayah dan objek
penelitian sebagai berikut :
1. Pada Dasarnya wilayah studi yang dikaji adalah seluruh Indonesia, namun
dalam pelaksanaan survei hanya terdapat dari Metropolitan Jakarta,
Surabaya, Bandung, dan kota – kota lainnya dengan persentase yang sangat
kecil.
2. Objek kajian dalam studi ini adalah penduduk usia muda dengan
penghasilan tetap. Secara lebih rinci penduduk usia muda pada penelitian
ini didefinisikan sebagai pekerja tetap dengan pendapatan yang tetap setiap
tahunnya dan membayar pajak.

1.6 Sistematika Penulisan


Secara garis besar, penulisan tesis ini terdiri dari :
a. BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan penelitian, lingkup
kajian, permasalahan, dan sistematika penulisan.
b. BAB II PREFERENSI PENDUDUK USIA MUDA DALAM MEMILIH
TEMPAT TINGGAL DI PERKOTAAN
Berisikan perkembangan dari teori yang relevansi dengan analisis yang
dilakukan, perkembangan topik kajian dan penelitian – penelitian terdahulu yang
telah dilakukan.
c. BAB III METODE PENELITIAN
Menjelaskan prosedur atau metode sistematis yang digunakan dalam penelitian
ini untuk mencapai tujuan penelitian.
d. BAB IV GAMBARAN UMUM MILENIAL DAN HUNIAN DI INDONESIA
Bagian ini menjelaskan gambaran umum mengenai karakteristik Generasi Y
atau generasi milenial, gambaran umum generasi milenial di Indonesia, dan
gambaran umum kondisi hunian di Indonesia.
e. BAB V PREFERENSI HUNIAN MILENIAL
Merupakan bab yang berisikan hasil dan analisis yang dilakukan pada penelitian
ini.

6
f. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi atau
saran berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai