Anda di halaman 1dari 3

memandang kejadian dari garis pinggir

Maret 17, 2008

Alokasi Dana Desa Versus PNPM *)


By dwi joko widiyanto

Penyakit lama peseteruan antar sektor, antar program, dan antar departeman dalam
pelaksanaan program pembangunan masyarakat belum sembuh rupanya.

Belakangan malahan menunjukkan gejala makin akut. Perseteruan tak hanya berlangsung di
pucuk-pucuk departemen di Jakarta. Tetapi sudah merembet, menjalar, dan menular hingga
ke desa-desa.

Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana desa-desa dikepung oleh banyak program, oleh
banyak departemen. Ironisnya, desa selalu tidak punya obat penawar. Posisinya tidak lebih
dari sekedar medan pertarungan, lapangan balbalan, atau stadion tempat antar departemen
saling bertanding. Sementara warga desa, pemilik sejati lapangan itu hanya menjadi
penonton, atau penggembira yang sesekali bertepuk tangan, tetapi juga yang setelah
pertandingan usai masih harus membersihkan sampah sisa-sisa pertarungan.

Kabar buruk pertarungan itulah yang kita dengar dari Mitra Samya, sebuah lembaga swadaya
masyarakat NTB yang sedang mengawal program otonomi desa di 7 desa di Kabupaten
Sumba Barat dan 2 desa di Sumba Timur.

Ada dua program yang sedang bertanding di daerah ini. Program Alokasi Dana Desa (ADD)
versus Proyek Pengembangan Kecamatan/Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
(PPK/P2KP)-proyek ini sekarang dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM).

Kabar serupa juga kita dengar dari Kabupaten Lombok Tengah. Di wilayah ini Mitra Samya
mencatat sebanyak 124 RPJM Desa yang telah disusun susah payah oleh Bapeda- AusAID-
ACCESS konon menjadi mentah kembali karena kehadiran PPK-P2KP.

Kabar ADD dari Beberapa Daerah

Di Selayar Sulawesi Selatan setali tiga uang. Para pegiat ADD di daerah ini menemukan
akseptabilitas masyarakat terhadap PPK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ADD. PPK
menjadi proyek idola dan amat diminati baik masyarakat maupun pemerintah desa.

Kelihatannya memang sakti betul PPK-P2KP ini. Meskipun dianggap memiliki banyak cacat
dari sisi substansi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, kenyatannya proyek ini malahan
lebih memasyarakat.
Kita yakin Selayar, Lombok dan Sumba hanya potret kecil dari gambaran besar
kecenderungan serupa yang terjadi di banyak daerah.

Ini adalah warning bagi siapa saja penggemar partisipasi untuk bekerja lebih keras
menemukan metodologi program. Kenyataannya yang dianggap partisipatif lebih diminati,
yang diduga memperdayakan malah dirindukan. Bagaimana bukan warning kalau
Musrenbang yang sudah dirancang berbulan-bulan dengan pikiran dan tools terbaik ternyata
bisa dimentahkan dengan satu dua gertakan.

Dari sisi desain, program PPK memang dianggap jauh lebih canggih. Mereka memiliki
sistem, mekanisme, dan prosedur pertanggungjawaban keuangan yang ketat. Mereka
merekrut fasilitator dan konsultan dalam jumlah besar, dan membayarnya dengan gaji yang
besar juga. Karena itu operator PPK di lapangan sangat solid, mungkin sudah sekuat jaringan
birokrasi negara.

Program ADD sebaliknya. Karena masih baru seumur jagung, program ini belum
menemukan sistem pengelolaan yang cukup teruji. Instrumen-instrumen teknis pembukuan
dalam program ADD relatif belum lagi dibangun. Aktor-aktor ADD kebanyakan adalah LSM
yang sebagian besar bekerja atas dasar semangat voluntarisme, sering dengan energi yang
pas-pasan pula.

Tapi itu tak penting benar. Yang paling mengenaskan adalah, banyak pemerintah
kabupaten/kota lebih senang merespon PPK tinimbang ADD. Pemerintah kabupaten/kota
mengerjakan ADD dengan setengah hati dan orang-ogahan.

Kebanyakan dari mereka berpikir pendek bahwa ADD tidak lebih dari menggelontorkan dana
kabupaten/kota kepada desa. Karena itu, mengerjakan ADD sama dengan bunuh diri,
memereteli sendiri sebagian sumberdaya yang selama ini dikangkanginya.

Tetapi kabupaten selalu punya dalih: ADD belum dilaksanakan karena masyarakat desa
belum siap menerima uang yang jumlahnya cukup besar itu. Ironisnya, kabupaten-kabupaten
yang mengatakan bahwa desa belum siap ternyata juga tidak melakukan apa-apa demi
mempersiapkan desa.

Itulah sebabnya mengapa banyak praktek ADD yang masih jalan di tempat. Kecuali di
beberapa daerah, rata-rata kebijakan ADD sejauh ini masih berupa good will . FPPD
Yogyakarta hingga awal Agustus 2007 mencatat masih terdapat sekitar 40% kabupaten/kota
di Indonesia yang belum mempunyai aturan dasar ADD.

Plus Minus ADD-PPK

Mungkin benar bahwa PNPM dan ADD punya watak yang beda. Yang pertama dikenal
sebagai proyek Bank Dunia, dan berbau utang luar negeri. Sedangkan yang terakhir adalah
program yang diusung untuk menjalankan misi otonomi daerah.

Yang pertama cenderung menegasikan pemerintah desa, sedangkan yang kedua justru
menjadikan pemerintah desa sebagai sasaran utama. Yang pertama mengibarkan bendera
poverty alleviation, dan yang kedua membentangkan spanduk good village governance. ADD
dilahirkan oleh Depdagri, sedangkan induk semang PPK-P2KP konon Bappenas-Menko
Kesra-Depdagri.
Walaupun demikian, integrasi pengelolaan kedua program ini sebenarnya dimungkinkan.
Dana nondesentralisasi yang masuk daerah dan desa, seperti PPK dan teman-temannya, bisa
ditempatkan sebagai dana akselerasi. Yaitu dana yang ditujukan untuk mempercepat
pencapaian tujuan perencanaan daerah dan desa.

Dana itu tentu saja harus disatukan dengan perencanaan lokal, sehingga PPK tidak perlu
membangun jaringan birokrasi dan perencanaan lagi. Pihak pusat cukup melakukan fasilitasi
dan supervisi atas perencanaan lokal ini.

Dalam praktek di beberapa daerah, upaya mengintegrasikan kedua program ini mulai
bermunculan. Para pegiat otonomi daerah di Nusa Tenggara Timur misalnya, saat ini sedang
merancang workshop integrasi ini, melibatkan Team AusAID-ACCESS, Mitra Samya, PPK,
dan P2KP. Aktivitas serupa juga lahir di Lombok Barat NTB, Janeponto, dan Bantaeng
Sulawesi Selatan.

Tetapi upaya mengintegrasikan keduanya, selain membutuhkan energi besar, juga penuh
jebakan dan agak berbahaya. Karena, sementara desain integrasi dirancang, puluhan
workshop dilakukan, dan peraturan-peraturan untuk menjalankan desain baru itu dibikin,
jangan-jangan desa sudah keburu habis.

Stamina desa sudah terkuras untuk memahami program-program baru yang tak selalu bisa
mereka mengerti. Juga yang tidak memberikan mereka kedaulatan untuk memutuskan
nasibnya sendiri.

Tetapi di luar soal teknis dan desain program, perseteruan ADD versus PNPM mungkin
menggambarkan persoalan yang jauh lebih besar danmendasar. Ialah bahwa upaya-upaya
pemberdayaan desa, atas nama program apapun, masih jauh panggang dari api. Bahwa nasib
desa sebenarnya tidak pernah berubah. Bahkan pada jaman ketika otonomi desa sedang
memperoleh momentum kebangkitannya seperti sekarang, desa sejatinya tidak pernah
memiliki kesempatan untuk otonom. Desa hanya suboordinat negara.

Negaraisasi Desa Belum Selesai

Kenyataan ini mengantarkan kita kepada soal lain. Ialah bahwa apa yang disebutoleh Hans
Antlov sebagai “negaraisasi desa” ternyata tidak hanya berlangsung semasa Orde Baru.
Proses menyuntikkan serum negara ke dalam sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan desa
belum berhenti. Proses itu terus berlanjut, hingga hari ini, dengan varian dan modus yang
barangkali jauh lebih canggih dibandingkan dengan yang pernah terjadi di masa lalu.

Jika di masa lalu negaraisasi desa dilakukan atas nama stabilitas politik dan pertumbuhan
ekonomi, sekarang dikibarkan di bawah bendera pengentasan kemiskinan dan demokrasi.
Jika di masa lalu aktor negaraisasi desa adalah partai politik dan otoritarianisme
kepemimpinan, sekarang pemeran utamanya adalah departemen pemerintah dengan seluruh
jaringan birokrasinya, Bank Dunia, pemerintah kabupaten/kota, LSM, fasilitator, dan
konsultan profesional pembangunan masyarakat. Orang desa? Silakan menonton di pinggir
lapangan.

*) Kompilasi dari sebuah diskusi di milis simfoni_desa@yahoogroups.com

Anda mungkin juga menyukai