Anda di halaman 1dari 5

Pengantar Penerbit

A da lima belas buku kumpulan esai. Ada satu buku novel. Ada satu
buku kumpulan cerita pendek. Ada sepuluh naskah drama yang
pernah ditulis. Ada tujuh buku kumpulan puisi. Ada satu buku kum­
pulan proisi. Ada satu buku terjemahan suluk Cirebonan. Ada satu
kaset “Kado Muhammad”, yang semuanya itu merupakan karya Cak
Nun—panggilan akrab Mas Emha Ainun Nadjib—dan beberapa di an­
taranya merupakan karya Cak Nun bersama para sahabatnya, saat
Surat kepada Kanjeng Nabi ini diterbitkan sebagai buku yang kedela­
pan (setelah Dari Pojok Sejarah [1985]; Suluk Pesisiran [1989]; Seribu
Masjid, Satu Jumlahnya [1990]; Secangkir Kopi Jon Pakir [1992]; Mar­
kesot Bertutur [1993]; Markesot Bertutur Lagi [1994]; dan Opini Ple­
set­an [1995]) oleh Penerbit Mizan.
Jika kita bertanya, sudah berapa meterkah panjang “kreativitas”
Cak Nun dalam berkarya di dunia tulis-menulis? Tentu tak mudah
mengukurnya. Ini disebabkan ada banyak karya yang tak terekam
atau terdokumentasikan yang kemungkinan besar lebih punya “gere­
get” ketimbang yang sudah dipublikasikan. Juga, kita tak dapat meng­
ukur “kreativitas” hanya dari yang tampak. Yang tak tampak pun perlu
diperhitungkan juga.

***

5
Emha Ainun Nadjib

Surat kepada Kanjeng Nabi ini lahir dari “kreativitas” Cak Nun yang
lain, yang rajin menulis di pelbagai koran dan majalah apa pun. Ham­
pir semua tulisan yang tampil di sini berasal dari koran-koran lokal
yang wilayah peredaran nasionalnya tentu tak seberapa jauh apabila
dibandingkan dengan—misalnya—wilayah peredaran Kompas atau
Republika. Bahkan, beberapa koran kemungkinan besar tak bisa men­
jangkau wilayah yang lebih luas dari seputar wilayah provinsinya.

om
Dengan begitu bisa dipastikan bahwa tulisan-tulisan Cak Nun yang
terkumpul dalam buku ini belum banyak dibaca oleh masyarakat
Jakar­ta, Bandung, Surabaya misalnya. Lebih-lebih lagi kota-kota besar

t.c
di luar Pulau Jawa. Tulisan Cak Nun terbanyak diambil dari koran-
koran lokal yang beredar di Yogyakarta—Yogya Post, Bernas, Masa

o
sp
Kini (sekarang sudah tidak ada), dan Minggu Pagi. Kemudian baru
korannya Jawa Tengah—Suara Merdeka dan Wawasan. Selanjutnya,
og
tulisan lainnya diambil dari koran yang beredar di Surabaya (Surabaya
Post, Surya, dan Jawa Pos), di Jakarta (koran Suara Karya, Pelita,
bl

Berita Buana, Suara Pembaruan, dan majalah Gatra, Amanah, serta


o.

Editor), dan di Bandung (tabloid Salam).


Dalam kesempatan ini, Penerbit Mizan ingin menyampaikan rasa
d

terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemimpin Redaksi Harian Jawa


in

Pos yang telah memberikan izin pemuatan untuk dua berita yang di­
a-

sajikan dalam buku ini.


Sementara itu, pengumpulan seluruh bahan dalam buku ini berasal
ak

dari dua sumber. Sumber pertama adalah lemari-lemari Cak Nun di


st

Kasihan, Bantul. Secara khusus perlu disampaikan rasa terima kasih


yang tulus kepada Sdr. Pating yang telah bersusah payah mengeluarkan
pu

seluruh perbendaharaan tulisan Cak Nun, kemudian membantu memi­


lih dan memilah-milahkan, serta sekaligus mengfotokopikan semua­
nya.
Sumber kedua berasal dari budi baik seorang santri Krapyak, Sdr.
Ahmad Dawawin. Waktu itu, Penerbit Mizan sedang menggarap edisi
kedua Markesot Bertutur (yang akhirnya pada tahun 1994 terbit de­
ngan judul Markesot Bertutur Lagi). Kemudian, Mas Ahmad Dawawin

6
Surat kepada Kanjeng Nabi

menuturkan bahwa dia masih menyimpan banyak tulisan “Seri Marke­


sot” itu dan sejumlah besar tulisan Cak Nun yang belum pernah di­
terbitkan menjadi buku. Akhirnya, Mas Ahmad Dawawin mengirimkan
sebanyak tujuh bundel koleksinya ke Penerbit Mizan. Bahkan, satu
bundel telah disusunnya dengan rapi (walaupun belum diurutkan
secara sistematis) dan dijuduli “Surat kepada Kanjeng Nabi”.

***
“Surat kepada Kanjeng Nabi” sendiri merupakan tulisan lepas Cak
Nun di Surabaya Post untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad
Saw. pada tahun 1992. Dalam tulisan tersebut Cak Nun menyampai­
kan “kondisi” umat sekaligus mengungkapkan rasa cinta dan kekagum­
annya kepada Junjungannya itu.

Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa


hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan
cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya
cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan,
karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita
bersama kepada Allah.
Akan tetapi, tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu ke­
pada­mu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan
dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah. Dalam se­
hari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal
yang lain.
....................
Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah,
ke­banyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak
ka­rena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau
kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami
masing-masing.
Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang
mencukupi untuk disebut sahabatmu, Muhammad. Kami men­

7
Emha Ainun Nadjib

cin­taimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami


masih takut dan terus-menerus bergantung pada kekuasaan-
kekua­saan kecil di sekitar kami. Kami kecut kepada atasan. Kami
menunduk kepada benda-benda. Kami bersujud kepada uang,
dan begitu banyak hal yang picisan.

Berlandaskan isi “surat” tersebutlah, akhirnya tulisan Cak Nun ini


dipakai sebagai “ancangan”. Maksudnya, kurang lebih, adalah suatu
“pengambilan langkah awal untuk mencapai tujuan” atau “cara khusus
dalam mengambil langkah awal untuk mencapai tujuan”.
Apa “cara khusus” dan “tujuan” yang hendak dicapai? Tak mudah
menjabarkannya. Tetapi yang jelas, bila tulisan-tulisan yang terkumpul
dalam buku ini ada yang dapat menggulirkan pikiran pembaca untuk
terus menggelinding dan tidak mandek, itu sudah cukup.

Awal November 1996


Penerbit Mizan

8
Anugerah Adam Malik
untuk Emha

om
(Jawa Pos, 5 September 1991)

o t.c
sp
P enyair Emha Ainun Nadjib yang di-“cekal” di wilayah Jawa Tengah,
og
nanti malam (5 September 1991) akan menerima penghargaan
Anugerah Adam Malik di Bidang Kesusastraan. “Tentunya saya ber­
bl

syu­kur. Tapi, saya tidak tahu kenapa saya yang dipilih. Padahal, saya
o.

me­rasa belum berbuat banyak untuk dunia kesusastraan,” katanya


kepada Jawa Pos.
d

Upacara penerimaan Anugerah Adam Malik itu sendiri akan ber­


in

langsung malam ini di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Pemberian


a-

anugerah terhadap beberapa tokoh hasil seleksi lima orang juri, ma­
ak

sing-masing H. Rosihan Anwar, Adiyatman, Lasmi Jahardi, Wiratmo


Soekito, dan Amy Priyono, merupakan penganugerahan yang kelima
st

kalinya.
Menurut Sekretaris II Yayasan Adam Malik, Ny. Ratna Tarigan,
pu

tahun ini ada lima orang yang akan mendapat penghargaan dari ya­
yasan yang dipimpin oleh janda Adam Malik ini. Dia membenarkan
bahwa Emha merupakan salah seorang yang akan menerima penghar­
gaan. “Sedangkan yang lain, saya tidak mau menyebutkan. Kami ingin
bikin kejutan tentang itu,” katanya saat dihubungi melalui telepon
kemarin.

Anda mungkin juga menyukai