Anda di halaman 1dari 10

Tapi sewaktu kapal melintasi Teluk Biskaya, keadaan tidak bisa dibilang menyenangkan.

Ombak di situ besar dan ganas. Kapal yang ditumpangi sangat oleng, diombang-ambingkan
gelombang yang melanda dari berbagai arah. Bu Mannering tidak tahan, ia mengurung diri
di dalam kabin. Tapi anak-anak tetap segar bugar. Setiap saat makan mereka selalu
muncul di ruang makan. Segala hidangan yang tertera di dalam daftar mereka cicipi.
Keempat remaja itu bahkan bermaksud hendak main tenis di geladak olahraga. Tapi
dilarang keras oleh salah seorang pelayan kapal. Berbahaya, katanya.

Tapi tahu-tahu keadaan berubah lagi. Laut tenang kembali, memamerkan permukaan yang
biru tua. Matahari memancarkan sinarnya yang terik di tengah langit yang cemerlang.
Seluruh awak kapal muncul dengan pakaian serba putih, termasuk para perwira.

Kini Bu Mannering sudah merasa segar kembali. Kiki sudah bosan sekali, terkurung terus
di kabin sempit. Sementara itu ia sudah bersahabat karib dengan para pelayan pria dan
wanita yang bertugas membereskan kabin-kabin, walau mulanya mereka tercengang ketika
melihat ada burung kakaktua di kabin yang ditempati Jack dan Philip.

Mula-mula para pelayan tidak melihat Kiki yang bertengger di balik tirai pendek yang
tergantung di sisi lubang tingkap yang tertutup. Jack yang menutupnya, karena takut
Kiki terbang ke luar. Pelayan wanita yang pertama-tama mendengar Kiki. Wanita itu
masuk, karena hendak membereskan tempat tidur.

Kiki mengintipnya dari balik tirai. Kemudian ia mulai mengoceh. Nadanya tegas, seperti
menyuruh.

"Jerangkan air!"

Wanita itu kaget ia menoleh ke arah pintu, karena menyangka orang yang berbicara itu
ada di situ. Tapi di pintu tidak ada siapa-siapa.

Kini Kiki menirukan bunyi orang terceguk.

"Maaf," katanya. Pelayan wanita itu mulai takut, ia memandang berkeliling, lalu membuka
lemari.

"Sayang, sayang!" oceh Kiki lagi dengan suara yang sangat menyedihkan. Pelayan itu
tidak tahan lagi. ia cepat-cepat lari ke luar, mencari rekannya yang pria. Pelayan
yang dicari itu orang Skot. Perengut tegas, dan tidak sabaran.

ia masuk ke kabin, lalu memandang berkeliling.

"Ada apa sih?!" katanya pada pelayan wanita yang memanggilnya. "Apa yang menyebabkan
kau takut? Di sini kan tidak ada apa-apa."

Kiki terbatuk-batuk, lalu bersin dengan keras.

"Maaf," katanya. "Mana sapu tanganmu?"

Sekarang orang Skot itu yang tercengang, ia memandang berkeliling ruangan. Kiki
menguap. Panjang sekali! Setelah itu kepalanya tersembul sedikit dari balik tirai, ia
ingin melihat reaksi kedua pelayan itu.

Pelayan yang pria melihatnya, lalu datang mendekati.

"Eh�rupanya burung kakaktua!" katanya. "Baru sekali ini aku melihat ada kakaktua yang
pintar mengoceh seperti dia! Nah, Polly �kau ini burung pintar!"

Kiki terbang ke atas lemari. Ia bertengger di situ sambil melirik kedua pelayan itu
dengan sebelah mata, kiri dan kanan berganti-ganti. Setelah itu ia menirukan bunyi gong
yang memanggil penumpang untuk makan. Akhirnya ia terkekeh-kekeh.
"Benar-benar luar biasa!" kata orang Skot itu dengan kagum. "Ini burung ajaib.
Pemiliknya keterlaluan, mengurungnya di kabin sempit begini."

"Tadi aku ketakutan karenanya," kata pelayan yang wanita. "Dia mau atau tidak ya, kalau
diberi buah anggur? Sebentar, akan kuambilkan!"

Beberapa saat kemudian Kiki sudah asyik menikmati buah anggur ungu. Ketika Jack datang
untuk melihatnya kemudian, dilihatnya di lantai kabin bertebaran biji buah anggur,
serta dua orang pelayan kabin yang sedang mengagumi Kiki sambil melongo.

"Burung jorok!" kata Jack galak, sambil memandang biji-biji anggur yang berserakan di
lantai. "Ayo, turun � punguti biji-biji ini!"

Kiki mengoceh terus.

"Mudah-mudahan Anda tidak terganggu karena tingkahnya," kata Jack pada pelayan yang
wanita.

"Ah, aku malah asyik melihatnya," kata wanita itu. "Belum pernah kulihat ada burung
sepintar dia ini. Kau harus membawanya ke atas, untuk memamerkannya!"

Jack menuruti saran itu. Kiki dibawanya ke geladak atas. Para penumpang tercengang dan
juga geli melihat Kiki yang bertengger di bahu Jack. Kiki asyik sekali memamerkan
kepintarannya menirukan berbagai macam bunyi. Tapi ia sendiri tidak tahan mendengar
peluit kapal, ia selalu kaget setengah mati setiap kali peluit itu berbunyi. Ia tidak
tahu apa yang berbunyi begitu nyaring, dan dari mana datangnya, ia selalu terbang
menyembunyikan diri, begitu peluit dibunyikan.

Kiki ikut muncul ketika diadakan latihan bahaya. Menurut Lucy-Ann, Kiki pasti merasa
tidak enak karena tidak diberi jaket pelampung, yang berukuran kecil. Para penumpang
semuanya memakai jaket itu, lalu bergegas ke sekoci yang sudah ditentukan. Di situ
mereka mendengarkan keterangan singkat yang diberikan salah seorang perwira kapal, yang
menjelaskan apa yang harus dilakukan kalau ada bahaya. Lucy-Ann berdoa dalam hati,
semoga itu tidak terjadi.

"Besok kita sampai di Lisboa," kata Bu Mannering. "Ingat, ya � kalian nanti jangan
keluyuran sendiri-sendiri. Aku tidak mau ada petualangan lagi. Kalian jangan menjauh
dari sisiku selama kita berlabuh. Ingat baik-baik kataku itu!"
Bab 4 PHILIP MENDAPAT PELIHARAAN BARU

Hari demi hari mulai berlalu dengan cepat. Setelah meninggalkan Lisboa, Lucy-Ann dan
Dinah sudah tidak menghitung-hitung lagi. Mereka bahkan tidak tahu lagi apakah itu hari
Senin, Selasa, atau hari apa. Kalau hari Minggu mereka tahu, karena saat itu para
penumpang berkumpul di ruang duduk besar, untuk menghadiri acara kebaktian yang
dipimpin nakhoda kapal.

Selama berhari-hari tidak nampak daratan. Philip selalu bersemangat kalau ada sekawanan
ikan terbang meloncat dari dalam laut, lalu melayang di udara selama beberapa saat.
Kelihatannya indah sekali!

"Kenapa mereka begitu?" tanya Lucy-Ann.

"Mereka dikejar ikan besar yang hendak memangsa mereka," kata Philip menjelaskan. Kau
kan juga pasti meloncat keluar dari air lalu terbang di udara kalau ada ikan besar
mengejar mu, Lucy-Ann? Wah � coba ada seekor jatuh ke geladak! Aku ingin memperhatikan
dari dekat."

"Tapi tidak mungkin bisa kaujadikan peliharaan, Philip! Untung saja � karena pasti mati
kalau kaukantungi," kata Dinah. "Agak janggal juga melihatmu tanpa binatang peliharaan.
Tapi mendingan begini!"

Dinah terlalu cepat merasa senang, karena dua hari kemudian abangnya itu mendapat
seekor binatang! Kapal singgah sebentar di Madeira. Setelah itu meneruskan pelayaran,
menuju Maroko. Dan di situlah Philip menemukan seekor hewan cilik, yang kemudian
dijadikan peliharaannya.

Keempat remaja itu suka berada di Maroko. Mereka paling suka melihat pasar kaum
penduduk, walau bau di situ benar-benar menusuk hidung. Bu Mannering sampai mengatakan
bahwa ia hanya mampu ikut, dengan hidung ditutup sapu tangan. Tapi anak- anak dengan
segera sudah terbiasa pada segala macam bau di situ. Sedang Kiki tidak, kalau sikapnya
bisa dinilai dari ocehannya yang tidak henti-hentinya mengatakan, "Puh! Bah! Puh!
Hahh!"

Dinah mempraktekkan bahasa Prancis yang dipelajarinya di sekolah dengan penduduk


setempat yang berkulit coklat. ia senang sekali ketika ternyata bahwa mereka mengerti.
Ia membeli bros berukuran kecil, sedang Lucy-Ann memilih pot bunga berwarna biru.

"Kau tidak melihat sesuatu yang kausenangi di sini?" tanyanya pada Philip. Philip
menggeleng.

"Aku tidak suka barang-barang seperti itu. Tapi kalau ada sesuatu yang benar-benar
menarik � katakanlah, badik kuno � nah! Atau sesuatu yang sudah selalu kuidam-idamkan,
tapi belum pernah berhasil kumiliki."

"Apa itu?" tanya Lucy-Ann. Dalam hati ia berniat akan membelikannya untuk Philip, kalau
ia melihatnya ditawarkan di situ.

"Kau pasti tertawa mendengarnya � tapi aku selalu ingin memiliki kapal dalam botol,"
kata Philip.

Lucy-Ann tercengang mendengarnya.

"Aku melihatnya saja belum pernah," katanya. "Maksudmu, kapal di dalam sebuah botol,
kan? Aneh sekali�bagaimana cara memasukkannya?"

"Entah aku juga tidak tahu," kata Philip. "Aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku
menginginkannya. Kurasa hanya karena iseng."

"Nantilah kucarikan," kata Lucy-Ann berjanji. "Eh � coba lihat Kiki! Ia mengemis, minta
permen pada anak-anak berkulit coklat itu. Nanti sakit perut baru tahu!"

Bu Mannering tetap pada pendiriannya, bahwa anak-anak harus selalu bersamanya dan
berjalan dalam rombongan penumpang. Sedang keempat remaja itu sebenarnya ingin
keluyuran sendiri melihat-lihat, karena mereka senang bergaul dengan penduduk setempat
dan keluar-masuk toko-toko sempit dan gelap yang nampak serba asing bagi mereka.

"Jangan," kata Bu Mannering melarang. "Kalian tidak dengar ya, apa yang terjadi dengan
laki-laki yang kalau makan duduk di meja sebelah kita? Bersama istrinya ia melancong
sendiri naik taksi. Eh, tahu-tahu mereka dibawa ke suatu bukit terpencil. Pengemudi
taksi tidak mau mengantar kembali ke kapal, sebelum mereka menyerahkan semua uang yang
ada pada mereka sebagai pembayaran!"

"Astaga!" kata Lucy-Ann. Anak itu ketakutan.

"Ia mengantar mereka kembali ketika tangga kapal sudah mulai diangkat," kata Bu
Mannering. "Jadi mereka tidak sempat lagi mengajukan pengaduan. Nah! Sekarang kalian
tahu, kenapa aku ingin agar kalian jangan memisahkan diri dari rombongan. Akan kujamin
bahwa kali ini kalian tidak lagi terjerumus ke dalam petualangan. Habis, kalau kalian
pergi sendiri, nanti tahu-tahu lenyap lagi, lalu mengalami bahaya yang macam-macam!
Sedang aku, semakin beruban saja sebagai akibatnya!"

"Ah, mana! Uban Bibi tidak banyak," kata Lucy-Ann. "Paling-paling hanya selembar untuk
setiap petualangan kami! Aku takkan jauh-jauh, Bibi Allie. Aku juga tidak ingin
mengalami petualangan lagi!"
Keesokan harinya diadakan acara pesiar naik bis ke pedalaman. Mereka mengunjungi suatu
kota kuno yang termasyhur, di tepi gurun pasir.

"Rombongan bis akan sudah ada di dermaga pukul setengah sebelas," kata Bu Mannering.
"Jangan lupa memakai topi, untuk melindungi kepala dari sinar matahari yang pasti
terik!"

Saat pesiar itulah Philip menemukan binatang peliharaannya yang baru. Begitu rombongan
bis datang, para penumpang bergegas-gegas masuk. Mereka sudah mulai kepanasan. Kemudian
rombongan berangkat. Iring-iringan kendaraan meluncur laju di atas jalan berpasir, yang
selama beberapa waktu melewati daerah gurun gersang. Di tepi jalan tumbuh pohon-pohon
kaktus. Menurut perasaan Lucy-Ann, pohon-pohon itu jelek kelihatannya, dengan batang
menggembung penuh duri runcing.

Dua jam kemudian mereka sampai di kota kuno yang merupakan tujuan perjalanan itu.
Gerbang-gerbang serta menara-menaranya nampak seperti tersembul dengan tiba-tiba di
tengah hamparan pasir yang luas. Anak-anak kecil berkulit coklat tua � nyaris tanpa
pakaian � berlari-lari menyongsong sambil menyodorkan tangan.

"Kasih, kasih," seru mereka. Kiki langsung menirukan. "Kasih, kasih," ocehnya dengan
suara memelas.

Para wisatawan memasuki lorong sempit, diantar seorang pemandu wisata, ia mengajak
mereka ke sebuah bangunan kuno, lalu menceritakan sejarahnya dengan suara datar.
Setelah itu rombongan naik ke atas sebuah menara besar. Mereka mendaki satu-satu,
menyusur tangga curam berbelit-belit.

Pada pertengahan jalan mendaki, Philip memandang ke luar lewat ambang jendela batu
besar. Jendela itu tentu saja tidak berkaca. Tembok di situ tebal sekali, sehingga
orang bisa duduk di ambang jendela dengan kaki terjulur. Philip menjulurkan tubuh ke
luar, karena ingin memandang ke bawah.

Ia melihat segerombolan anak berpakaian sekedarnya. Mereka itu berdiri di pelataran


sambil berbicara dengan ribut Beberapa di antaranya melempar-lempar batu.

"Apa sih, yang mereka lempari?" pikir Philip, Ia turun dari ambang jendela, lalu lari
menuruni tangga, ia berhenti, ketika ada batu melayang masuk lewat lubang jendela yang
terletak tidak jauh di atas lantai bawah.

Ia mendengar suara merintih pelan. Dilihatnya sesuatu yang kecil dan berbulu coklat
meringkuk di sudut ambang. Philip datang menghampiri. Apakah itu?

Tahu-tahu ada lagi batu melayang dilemparkan dari luar. Nyaris saja mengenai Philip.
Sialan anak-anak itu, katanya dalam hati. Philip muncul di ambang jendela, lalu
memandang ke bawah dengan sikap galak.

"He! Jangan melempar-lempar.'" bentaknya. "Dengar tidak? Jangan lempar, kataku!"

Anak-anak kecil yang sedang asyik melempar-lempar itu kaget sekali ketika tahu-tahu ada
orang asing muncul di jendela. Mereka cepat-cepat lari menjauh. Philip mengulurkan
tangannya, meraih makhluk kecil yang sedang meringkuk, ia ditatap mata coklat, di
tengah muka kecil keriput. Kemudian muka itu ditutupi sepasang tangan yang kecil
sekali.

"Eh, rupanya monyet � monyet kecil!" kata Philip dalam hati. ia sadar bahwa makhluk
kecil biasanya penakut. Dan ia tidak ingin menambah kecemasan monyet malang itu, yang
masih ketakutan karena tadi dilempari anak-anak. Philip banyak melihat monyet
berkeliaran di daerah itu. Tapi belum pernah dari dekat, karena binatang-binatang itu
selalu menjauh apabila didekati.

Philip menyapa monyet itu dengan suara lembut, yang menurut Lucy-Ann merupakan suara
khusus untuk binatang. Binatang cilik itu menarik tangannya yang menutupi muka. Dengan
sekali loncat ia sudah merangkul leher Philip, Ia meringkuk dengan tubuh menggigil.
Philip mengelusnya dengan hati-hati.

Tidak ada binatang yang tidak merasa tertarik pada Philip. Kuda, anjing, kucing, ular,
serangga, burung � pokoknya binatang apa saja pasti akan segera menghampirinya tanpa
merasa takut. Itulah bakat Philip yang istimewa, yang menyebabkan orang lain merasa
kagum dan agak iri padanya.

Philip duduk di ambang jendela batu, sambil berbicara dengari suara halus pada monyet
kecil yang ketakutan itu. Dan monyet itu seakan-akan menjawab, mengoceh dengan suara
seperti mencicit, sambil memandang Philip dengan sikap seperti agak malu. Cakarnya yang
sebelah menggenggam tangan Philip. Monyet kecil itu langsung jinak terhadapnya!

Anak-anak yang lain tercengang ketika mendului rombongan wisatawan turun dari puncak
menara, dan tahu-tahu melihat ada monyet kecil menggandul pada leher Philip.

"Nah � sudah kuduga dari semula bahwa ia pasti akan menemukan binatang lagi, kapan-
kapan!" kata Dinah. "Uhh, kunyuk jahat, kotor, bau � dan pasti juga banyak kutunya!"

"Ia memang bau dan kotor � dan kurasa memang banyak kutunya," kata Philip. "Tapi tidak
jahat! Kedua kakinya cedera, kena lemparan anak-anak nakal yang berkerumun di bawah
tadi."

"Kasihan," kata Lucy-Ann dengan nada prihatin. Jack mengelus-elus kepala monyet itu.
Tapi ia malah takut, cepat-cepat semakin merapatkan diri ke leher Philip.

"Ia jangan kaubawa kembali ke kapal nanti," kata Dinah. "Awas �jika kau melakukannya
juga, nanti kuadukan pada Ibu. Aku tidak mau ada monyet ikut dengan kita."

"Ia ikut," kata Philip tegas. Dinah mulai panas mendengar ucapan itu.

"Kalau begitu kau kuadukan pada Ibu. Aku akan �"

"Jangan begitu, Dinah! Lihatlah, ia masih kecil sekali � dan juga cedera," kata Lucy-
Ann. Suaranya agak gemetar. "Masa kau sampai hati �"

Dinah cepat-cepat berpaling dengan muka merah, ia jengkel, karena akan ada monyet yang
selalu saja membuntuti nanti. Tapi ia juga tidak ingin bertengkar dengan anak-anak yang
lain! Karenanya ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi sehari itu ia merajuk.

Hanya Philip saja yang tahu bagaimana ia menyembunyikan monyet itu selama perjalanan,
sampai kembali lagi ke kapal. Tapi yang jelas, orang lain tidak ada yang tahu bahwa ia
membawa monyet. Jack dan Lucy-Ann membantunya dengan jalan berdiri menutup-nutupi,
setiap kali mereka beranggapan ada orang bisa melihat binatang kecil itu. Dinah tidak
mau membantu. Tapi ia juga tidak membuka rahasia.

Begitu sudah ada di dalam kabin anak-anak � kecuali Dinah � mengerumuni binatang kecil
itu.

"Ia masih kecil," kata Philip. "Aku heran, tega sekali anak-anak tadi melempari
binatang sekecil ini. Tapi kurasa di mana-mana selalu saja ada orang yang kejam dan tak
berperasaan. Di negeri kita sendiri pun kita sudah cukup sering melihat anak-anak
melempari kucing! Lihatlah, kakinya luka dan memar. Untung saja tidak ada yang patah!
Cedera begini bisa kusembuhkan dengan cepat. Mau tidak ya dia, kalau kucuci. Aduh,
badannya dekil sekali!"

Monyet cilik itu mau saja diapa-apakan oleh Philip. Selama dua jam berikutnya anak-anak
sibuk memandikannya, lalu mengeringkan dengan hati-hati sekali. Jack mengambil sikat
sepatu kecil untuk menyikat bulunya yang halus. Monyet itu hanya merintih-rintih,
ketika Philip membubuhkan obat ke lukanya.
"Nah � sekarang beres," kata Philip ketika segala-galanya sudah selesai. "Siapa
namamu?"

Anak-anak menyimak ocehan monyet itu.

"Kedengarannya seperti mengatakan, Mikimiki-mik,'" kata Lucy-Ann.

"Baiklah! Jika ia beranggapan bahwa itu namanya, maka mulai saat ini ia bernama Miki,"
kata Philip. "Aku ingin tahu, bagaimana pendapat Kiki mengenainya."

"Kurasa pasti tak begitu senang," kata Jack. "Kiki pasti akan merasa cemburu. Untung
saja dia kita kurung di kabin sebelah. Coba ia melihat kita sibuk mencuci dan menyikat
Miki, pasti ia akan menjerit-jerit!"

Kiki tercengang malam itu, ketika melihat ada monyet kecil bertengger di bahu Philip.
Sesaat ia menatapnya, lalu tepat seperti perkiraan Jack, ia menjerit. Dan jeritannya
tidak kepalang tanggung! Bunyi peluit kereta api cepat. Sesaat kemudian Bu Mannering
menjenguk ke dalam, hendak menyuruh anak-anak melarang Kiki ribut-ribut.

Ia kaget setengah mati ketika melihat ada monyet kecil di dalam. Ia melangkah masuk
sambil mengejap-ngejapkan mata karena heran.

"Aduh, Philip! Kenapa kaubawa dia kembali ke kapal? Masih kecil sekali kelihatannya!"

"Tadi dia dilempari anak-anak di kota kuno itu, Bu! Jadi aku terpaksa
menyelamatkannya," kata Philip. Bu Mannering memandangnya. Ayah anak-anak juga selalu
berkata begitu dulu, semasa ia masih hidup. Mana mungkin ia marah, karena sikap begitu
memang sudah mendarah daging?

"Yah � aku tidak tahu apakah ada yang protes nanti, jika kau menahannya di kapal,"
katanya sambil mengelus-elus kepala monyet itu. "Kalau Dinah, bagaimana dia?"

"Mulanya marah, tapi ia tidak mengomel," kata Lucy-Ann. "Kurasa ia sekarang ada di
kabin kami. Nanti ia akan biasa juga dengan Miki! Mau tidak mau!"

"Miki-Kiki-Miki-Kiki," oceh Kiki dengan bangga, seolah-olah baru menemukan sesuatu yang
hebat. Burung kakaktua itu menyenangi kata-kata yang kedengarannya serupa. "Miki-Kiki-
Miki- Kiki �"

"Diam, Kiki!" kata Philip. "Wah, kita salah tadi, memilih nama Miki. Sekarang Kiki
pasti tidak putus-putusnya menyebut kedua nama itu. Tapi dia ini memang Miki. Kita
tidak bisa mengubahnya lagi."

Jadi monyet cilik itu tetap bernama Miki. Sehari-dua kemudian anak-anak sudah akrab
dengannya � termasuk Dinah! Mukanya yang aneh dan kocak menyebabkan siapa yang
melihatnya pasti akan menyukainya. Apalagi jika ditatap matanya yang coklat, yang
selalu memandang seperti sedang sedih.

"Ia masih kecil sekali, tapi tampangnya seperti sudah kakek-kakek," kata Lucy-Ann. "Aku
paling senang melihat jari-jarinya yang hitam mungil � persis seperti jari manusia!
Kalau kau bagaimana, Dinah?"

"Yah � ternyata ia tidak seburuk anggapanku semula," kata Dinah mengaku. "Aku tidak mau
dia bertengger terus sepanjang hari di bahuku, seperti pada Philip itu. Aku masih tetap
yakin bahwa kutunya banyak. Tapi ia tidak buruk."

"Jangan suka bilang begitu!" tukas Philip. "Miki sama sekali tidak punya kutu!"

Dalam beberapa hari saja semangat Miki sudah kembali, ia yang mula-mula selalu diam dan
tidak banyak tingkah, tahu-tahu menjelma menjadi bandel dan cerewet. Kerjanya meloncat-
loncat kian kemari di dalam kabin. Gerak-geriknya lincah sekali, seperti bajing! Dinah
selalu khawatir kalau Miki tahu-tahu meloncat lalu bertengger di bahunya. Tapi itu
tidak pernah terjadi. Miki tidak sebegitu tolol!

Kiki selalu bingung kalau Miki sudah meloncat dengan lincah kian kemari seperti itu.
Kalau keduanya sedang bersama-sama di dalam kabin, Kiki selalu bertengger sambil
menghadap Miki dengan sikap waspada. Kalau monyet kecil itu berani menerpa, ia sudah
siap mematuk. Tapi Miki bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Itu pun tidak disukai Kiki!

Burung kakaktua iseng itu kemudian menirukan suara Philip, memanggil-manggil.

"Miki! Miki!" Tiruannya mirip sekali! Miki menoleh dengan segera, lalu celingukan. Tapi
ia tidak melihat Philip, karena saat itu memang tidak ada di situ.

"Miki!" panggil Kiki sekali lagi. Miki melompat-lompat kian kemari, mencari Philip.
Kalau Miki sudah begitu, Kiki pasti terkekeh-kekeh. Miki sebal, lalu duduk di ambang
tingkap sambil membelakangi Kiki. ia memandang ke luar, dari balik kaca tebal.

Kiki asyik sekali, karena dengan segera ia sudah tahu bahwa ia bisa menirukan beberapa
bunyi yang menyebabkan Miki ketakutan. Monyet kecil itu gemetar ketakutan apabila Kiki
menirukan suara anjing menggonggong, ia juga heran. Diperhatikannya burung kakaktua
itu dengan cermat. Kemudian disadarinya bahwa tidak ada suara anjing menggonggong, jika
Kiki tidak ada di dalam kabin. Wah! Jangan-jangan Kiki itu burung anjing! Atau anjing
burung?

Lain kali, ketika Kiki menirukan gonggongan anjing, ia menyambungnya dengan suara
geraman. Miki tidak tahan lagi. Diambilnya sabun dari bak cuci muka, lalu
dilemparkannya ke arah Kiki. Tepat mengenai paruhnya. Kiki menguak karena kaget Nyaris
saja ia jatuh dari tenggeran.

Miki belum puas. Kini diraihnya sikat gigi, lalu dilemparkannya pula ke arah burung
kakaktua yang sama sekali tidak menyangka akan diserang dengan cara begitu. Setelah itu
menyusul gelas plastik tempat sikat gigi tadi. Lemparan Miki selalu jitu. Kiki sibuk
terbang berpindah- pindah, berusaha melindungi diri dari serangan Miki yang bertubi-
tubi. Apa saja yang terpegang, langsung dilemparkan. Sikat rambut, sisir, gulungan
film� pokoknya apa saja!

Untung saat itu Philip masuk.

"Aduh � apa-apaan ini? Ayo, Miki, pungut kembali barang-barang itu!" katanya galak.
"Apa yang diperbuat Kiki terhadapmu! tadi, sampai kau mengamuk? Miki nakal, ya!"

"Miki nakal, anak jahat!" oceh Kiki, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Miki menuruti
perintah Philip. Dipungutinya barang-barang yang dilempar-lemparkannya tadi dengan
patuh. Setelah itu ia bertengger di atas bahu Philip, seperti kebiasaannya. Kiki
cemburu, lalu hinggap di bahu Philip yang satu lagi.

Miki mengoceh, mengata-ngatai Kiki. Kiki tidak tinggal diam � dibalasnya ocehan itu.
Bunyinya persis suara Miki. Monyet kecil itu terdiam sejenak, lalu menjawab lagi dengan
bersemangat. Philip mendengarkan saja dengan perasaan geli.

"Aku tidak tahu apakah kalian benar-benar saling memahami," katanya. "Tapi sebaiknya
begitu! Aku tidak mau setiap kali masuk kemari, melihat barang-barangku berserakan ke
mana-mana. Jadi kalian harus berteman! Mengerti, Kiki dan Miki?"

"Puuh!" kata Kiki, tapi dengan suara ramah, ia mencubit ujung telinga Philip.

"Kau sendiri yang puuh," kata Philip. "Dan jangan kaucubiti telingaku!"

Bab 5 LUCIAN MUNCUL

Anak-anak menganggap Viking Star sudah seperti rumah mereka sendiri. Rumah terapung
yang lengkap dengan segala-galanya, kecuali daerah lingkungan yang biasa. Seluruh sudut
kapal sudah mereka kenali. Mereka pun sudah melihat-lihat di ruang mesin, diantar oleh
Mac, Masinis Satu. Mereka bahkan diizinkan Perwira Satu naik ke anjungan. Itu merupakan
kehormatan besar, karena tidak diberikan pada sembarang orang.

Bu Mannering juga menjalin persahabatan dengan beberapa orang, yang disukainya di


kapal. Di samping Jack, Dinah, Philip, dan Lucy-Ann, tidak banyak lagi anak-anak lain.
Anak-anak itu jauh lebih muda daripada mereka. Dan umumnya manja sekali. Tidak asyik
mengajak mereka bermain-main!

"Sayang tidak ada yang sebaya dengan kalian di sini," kata Bu Mannering. "Kalau ada kan
bisa lebih menyenangkan." "Kami tidak memerlukan siapa-siapa lagi. Bu," kata Philip.

"Kami berempat saja sudah cukup senang. Menghadapi anak-anak kecil yang manja-manja itu
saja sudah repot � mereka selalu saja mengganggu Miki, dan memancing-mancing Kiki agar
mau bicara."

"Tapi dia pintar," kata Jack. "Setiap kali mereka mendekat, ia langsung membentak.
'Diam!', katanya."

"Kasar sekali sikapnya," kata Bu Mannering. "Seharusnya ia kau larang, Jack!"

"Ah � ia kan hanya mengatakan apa yang sebetulnya hendak kukatakan sendiri," kata Jack

"Anak-anak manja! Kapan-kapan pasti kuceburkan anak perempuan berambut jagung itu ke
dalam kolam! Selalu saja ia datang merengek-rengek, ingin memegang Kiki! Bayangkan �
memegang Kiki! Dikiranya Kiki itu apa �boneka?"

"Kau tidak boleh menceburkan anak itu ke kolam, Jack," kata Bu Mannering dengan nada
kaget. "Kuakui, anak itu memang perengek �tapi ia kan masih kecil!"

"Ya, tapi rewel seperti nyamuk," kata Jack lagi. "Aku kadang-kadang kepingin sekali
punya penepuk nyamuk, apabila anak itu mendekat."

"Ah, sudahlah�mereka kan turun di pelabuhan berikut yang kita singgahi," kata Philip.
Ia mengelus-elus Miki yang bertengger di bahunya, seperti biasa. Kalau ia bersama-sama
dengan Jack, kelihatannya aneh sekali. Seekor monyet kecil menongkrong di bahu anak
yang satu, sedang, di atas bahu temannya bertengger seekor burung kakaktua. Para
penumpang lain selalu tersenyum geli apabila melihat mereka lewat

"Syukurlah kalau begitu," kata Dinah, yang tidak begitu suka pada anak-anak yang masih
kecil. "Tapi jangan-jangan nanti naik lagi anak-anak kecil lainnya, yang sama rewelnya
seperti mereka."

Perkiraannya ternyata keliru. Hanya seorang anak laki-laki saja yang naik. Sedang anak
perempuan tidak ada sama sekali. Ketika kapal menepi ke dermaga pelabuhan Napoli di
Italia, anak-anak kecil yang manja dan cengeng turun semua. Mereka menuruni tangga
kapal sambil merengek dan menjerit-jerit. Mereka memang rewel sekali. Jack dan ketiga
anak lainnya memperhatikan dengan perasaan lega, sementara Kiki berteriak-teriak,

"Selamat jalan, jangan balik ya, selamat jalan!"

"Jack! Aku belum pernah mendengar Kiki mengucapkan kata-kata itu," kata Bu Mannering,
dengan nada mengecam.

"Pasti kau yang mengajari!"

"Kiki pandai membaca pikiranku, Bibi Allie," kata Jack sambil tertawa. "Wah � lihat,
Pak Kelinci datang!"

Anak-anak tertawa geli sambil memperhatikan seorang anak laki-laki jangkung yang saat
itu naik ke kapal. Gigi atasnya memang seperti gigi kelinci, sangat menjorok ke luar.
Sedang dagunya miring ke belakang. Umurnya kurang lebih sama dengan Jack dan Philip, ia
memakai kaca mata berbingkai bulat. Matanya nampak besar di balik lensa tebal.
Kelihatannya seperti selalu memandang dengan heran. Anak itu menyusur tangga kapal ke
atas, sambil nyengir dengan ramah.

Ia sibuk berbicara dengan seorang wanita yang menyusul di belakangnya, dalam bahasa
Inggris bercampur bahasa asing. Keduanya disertai seorang laki-laki bertubuh pendek
gemuk. Orang itu memakai kaca mata gelap, sehingga matanya tidak kelihatan.

"Paman! Bibi! Kita benar-benar berangkat sekarang! Bukan main � hebat sekali kapal ini!
Aku pasti takkan mabuk laut nanti." Setelah itu ia mengoceh. Sebetulnya bukan mengoceh,
tapi berbicara dalam bahasa asing. Kiki memiringkan kepala dengan sikap heran,
mendengar kata-kata asing itu.

Ketika anak laki-laki itu lewat, ia menyapa anak itu seakan-akan mengajak mengobrol.
Kiki menirukan kata-kata yang baru saja didengarnya. Anak laki-laki bertampang kelinci
itu menoleh ke arahnya dengan heran.

"Bukan main! Ada kakaktua yang pintar berbicara. Bukan main!"

"Bukan main!" oceh Kiki menirukannya. "Bukan main bukan main!"

"Ayo diam, Kiki! Jangan kurang ajar ya," tukas Jack memarahi.

Miki yang duduk di atas bahu Philip menjulurkan kepala ke arah Kiki, lalu mengoceh
panjang lebar. Anak laki-laki tadi memandang dengan asyik.

"Bukan main! Ada monyet yang bisa bicara pula! Apa katanya?"

"Katanya, rasa-rasanya ia pernah melihatmu, tapi tidak tahu lagi di mana," jawab Philip
dengan sikap serius. "Lalu ia bertanya pada Kiki, mungkin saja Kiki masih ingat!"

Lucy-Ann tercekikik karena geli. Anak laki-laki itu melongo sejenak. Kemudian ia ikut
tertawa, menampakkan sepasang gigi depan yang besar-besar.

"Ah, kau mempermainkan aku, ya! Tapi asyik � ada kakaktua yang pandai bicara, serta
monyet jinak! Kalian anak-anak yang beruntung!"

"Ayo terus, Lucian," kata laki-laki gempal yang di belakangnya sambil mendorong-dorong
menyuruh naik. Anak laki-laki yang bernama Lucian itu bergegas maju. Tapi ia masih
sempat menoleh sebentar sambil nyengir, seakan-akan menyesal karena percakapan putus
dengan begitu saja. Laki-laki tadi mengatakan sesuatu dengan suara jengkel pada wanita
yang berjalan seiring dengannya. Tapi ia berbicara dalam bahasa asing, sehingga anak-
anak yang lain tidak memahaminya. Tapi mereka dapat menebak bahwa Lucian tidak
disenangi pamannya!

"Wah � jika si Kelinci tadi satu-satunya anak yang naik di sini, kurasa ia pasti akan
menempel tenis pada kita," kata Philip.

"Anak konyol begitu!"

"Bukan main!" oceh Kiki. Jack mengerang.

"Nah, sekarang Kiki tentu siang malam akan terus mengoceh begitu," katanya. "Untung
saja Miki tidak bisa benar-benar berbicara seperti manusia. Kalau dia juga ikut
mengoceh seperti Kiki � kita takkan bisa mengatakan apa-apa lagi. Selalu saja diserobot
mereka berdua!"

Kemudian kapal berangkat lagi, mengarungi laut yang biru sekali airnya. Enak rasanya
duduk-duduk di haluan, menikmati hembusan angin. Kiki dan Mik. juga senang berada di
situ.

Hal yang dikhawatirkan Jack dan Philip kemudian memang terjadi. Anak laki-laki yang
baru naik itu selalu saja membuntuti mereka. Anak-anak selalu langsung tahu jika ia
datang, karena Kiki pasti memberi tanda.

"Bukan main!" kuaknya. Anak-anak hanya bisa mendesah dengan kesal. Lagi-lagi Lucian!
Anak itu mendekat sambil nyengir dengan ramah, lalu duduk di sisi mereka.

Hari pertama perkenalan mereka pun ia sudah menceritakan segala-galanya tentang


dirinya, ia sudah tidak berorang tua lagi. Ayah dan ibunya sudah meninggal dunia.
Ayahnya orang Inggris. Tapi ibunya berasal dari Yunani. Jadi banyak sanak saudaranya di
Yunani, ia bersekolah di Inggris, tapi selama liburan ia biasanya mendatangi
kerabatnya. Umurnya empat belas tahun, hampir lima belas. Ia tidak menyukai olahraga
dan permainan, gemar pada sejarah, dan tidak menyukai namanya.

"Apa sebabnya?" tanya Dinah.

"Habis � anak-anak lelaki di sekolahku selalu mengubahnya menjadi Lucy-Ann," kata


Lucian menjelaskan. "Maksudku � kan tidak enak, punya nama seperti anak perempuan."

"Itu namaku," kata Lucy-Ann. "Aku suka pada namaku."

"Ya � karena kau memang anak perempuan," kata Lucian. "Tapi bagiku tidak! Apalagi jika
teman-teman menyingkatnya, menjadi Lucy."

"Lucy Cuci!" oceh Kiki menirukan nama itu. "Lucy Cuci! Bukan main!"

Anak-anak tertawa mendengarnya, termasuk Lucian. Kiki sendiri terkekeh-kekeh.

"Lucy Cuci, Cuci Guci, wah, bukan main!" oceh Kiki bersenandung dengan asyik.

"Bukan main � burung kalian ini kocak sekali!" kata Lucian kagum. "Aku kepingin bisa
meminjamnya, untuk kubawa ke sekolah. Eh � kau membawanya ke sekolah, ya?"

"Dulunya memang," kata Jack dengan nada menyesal. "Tapi ia suka berteriak pada guru
kelas agar membersihkan kaki dan menutup pintu! Lalu ketika suatu hari ia berteriak,
'Jangan menyedot-nyedot, pakai sapu tanganmu! �, ia langsung diusir. Habis � ia
berteriak begitu pada Kepala Sekolah!"

"Masih ingat tidak, ketika kau menyembunyikannya di dalam lemari di kelas, lalu ia
menirukan bunyi mercon meletus?" kata Philip sambil tertawa lebar. "Waktu itu satu hari
setelah Perayaan Kembang Api � dan ia masih ingat bagaimana bunyi mercon!"

Lucian nampak kagum sekali. Mulutnya ternganga, seakan-akan mendengarkan dengannya di


samping dengan telinganya.

"Bukan main!" katanya. "Lalu, apa yang terjadi setelah itu?"

"Yah � kami sekelas ikut meletus � tertawa keras-keras! Setelah itu berganti guru yang
meletus, dengan cara lain lagi. Kami disuruhnya menitipkan Kiki pada seseorang di desa
dekat sekolah kami. Kami tentu saja setiap hari ke sana untuk menjenguknya. Dan setiap
akhir pekan, ia boleh ikut kami tinggal di asrama."

"Dan setiap ada pertandingan di sekolah, Kiki juga ikut hadir, ya Jack?" kata Lucy-Ann.
"Ia juga ikut bersorak-sorak, bersama anak-anak!"

"Bukan main," kata Lucian. "Coba aku memegangnya sebentar."

"Hati-hati, ia tidak mau jika dipegang orang lain," kata Jack memperingatkan. Tapi
tangan Lucian sudah terulur, hendak menjamah burung kakaktua itu. Tapi saat itu juga ia
terpekik, sambil menarik tangannya cepat-cepat. Kiki mematuknya dengan sengit Lucy-Ann
tercengang melihat mata Lucian basah.

Anak itu berpaling, lalu pergi sambil mengisap ibu jarinya yang berdarah. Ia tidak

Anda mungkin juga menyukai