Anda di halaman 1dari 5

sia jerih-payahku selama berhari-hari belakangan ini.

"Makan sudah tersedia, Mas, mari makan," katanya lunak, tepat seperti dulu.
Aku pandangi dia. Benarkah Dokterf Martinet: jiwanya goyah, mentalnya tidak
tumbuh secara wajar ? Kuawasi matanya. Dan mata itu kuyu. Bibirnya masih
tersenyum, tapi mata itu tetap tidak ikut tersenyum, bahkan seakan telah jadi juling.
"Mama!" teriakku. "Annelies sudah baik." Dan Mama tidak muncul. :
Tanpa membersihkan diri aku duduk menghadapi makan siang di dalam kamar.
Tak ada sendok-garpu atau pun piring di depanku. Hanya ada di depan Annelies.
Sudah berubahkah ingatannya, ataukah aku seorang yang harus makan ?
Ia mulai menyendok makanan dan disuapkan padaku. "Aku bisa menyuap sendiri,
Ann. Kaulah yang makan, mari aku suapi."
Ia tidak makan, hanya menyuapi aku juga. Dan aku harus pengunyah dan menelan.
Ia tak boleh tersinggung - itu aku tahu betul - sampai kenyang.
Mengapa kau suapi aku begini ?"
Sekali dalam hidup biarlah aku suapi suamiku," ia terdiam dan tak mau bicara
lagi.........

20. HARI INI - HARI TERAKHIR.


Perusahaan telah macet sama sekali. Maresose telah melarang siapa saja memasuki
pelataran perusahaan. Hanya pemeliharaan dan pemerahan sapi diperbolehkan
bekerja terus.
Protes Mama tidak didengarkan.
"Nyai tidak rugi," bantahnya, "semua biaya ditanggung oleh yang di Nederland sana."
Banyak surat berdatangan. Dan tak ada kesempatan untuk membalas. Membaca pun
tak ada waktu. Koran yang dikirimkan Nij man bertumpuk tanpa kena singgung.
Mama, aku, apalagi Annelies, dikenakan larangan keluar rumah, kecuali untuk
mandi dan ke belakang. Jadi kami terkena tahanan-rumah.
Dari kemah-kemahnya di pelataran para serdadu Maresose keluar hanya untuk
mengusiri orang yang menggerombol di pinggir jalan sana, yang menyatakan
sympatinya pada kami, barangkali, atau hanya untuk menonton saja.
Annelies kelihatan agak normal walau kurus, pucat matanya mati. '
"Ceritai aku tentang negeri Belanda menurut cerita Multatu-li dulu," tiba-tiba ia
meminta. .
"Adalah sebuah negeri di tepi Laut Utara sana......," aku mulai sekenanya, "tanahnya
rendah maka dinamai Negeri Tanah Rendah - Nederland, atau Holland." Sampai di
sini aku tak mendapatkan sambungannya. Matanya yang mengimpi itu tetap kuyu
begitu aneh mengawasi aku, seperti aku ini kadal jenis baru berbuntut biru yang baru

! 281!
dilihatnya dalam hidupnya "Karena tanahnya rendah orang bosan selalu
memperbaiki tanggulnya, maka jadi kebiasaan mereka meninggalkan negerinya,
mengembara, Ann, untuk mengagumi negeri-negeri lain yang tinggi Kemudian
menguasainya tentu. Dinegeri Tinggi itu penduduknya mereka bikin rendah, tak
sedikit pun mendekati ketinggian tubuh mereka." "
"Ceritai aku tentang laut."
Seorang wanita Eropa berpakaian dan bertopi serba putih masuk tanpa mengetuk
pintu. Nyai dan aku membiarkannya, toh kamar kami belakangan ini dimasuki siapa
saja, toh dia hanya akan mengganggu kami bertiga.
"Empat jam lagi kau akan melayari laut, dan laut, dan laut, Sayang," pendatang itu
membuka suara, mengambil-alih tugasku' "Ikan tiada terkirakan banyaknya. Ombak,
riak, alun, buih dan busa. Juffrouw akan naik kapal besar, indah, melintasi samudra,
Sayang, memasuki terusan Suez, berpapasan dengan kapal-kapal lain. Kalau
berpapasan, Sayang, kap&l Juffrouw akan bersuling. Yang lain juga akan bersuling.
Pernah melihat Gibraltar ? A, kota karang itu pun akan Juffrouw lalui. Setelah itu,
beberapa hari kemudian, Juffrouw akan menginjakkan kaki di bumi leluhurmu
sendiri. Pasirnya kuning gemerlapan, bunga-bungaan, semua yang Juffrouw
kehendaki. Menyenangkan. Tak lama lagi musim gugur akan tiba. Dedaunan akan
berguguran...... Betapa akan senangnya, dalam asuhan abang sendiri, sarjana,
insinyur, kenamaan, terhormat dan dihormati. Betapa akan senangnya........ Kalau
tidak suka, yah, barangkali hanya setahun-dua,
Juffrouw sudah boleh menentukan hidup sendiri. Ya, Juffrouw,
”Mas, aku lebih suka pada ombak, pada busa dan pada gelombang daripada kapal
dan Nederland......"
"Tidak, Sayang," pendatang itu menyela, "di Nederland ada segalanya. Semua saja
yang Juffrouw inginkan bisa diperoleh." Mas, apakah ada kekurangan sesuatu di sini
?" Tidak, Ann. Kau punya segalanya di sini. Kau berbahagia di sini."
"Kalau di Nederland sana ada segalanya," Mama menama bahi dengan berang,
"untuk apa orang Eropa datang kemari ?"
"Nyai, jangan sulitkan pekerjaanku. Siapkan pakaiannya."
"Bukan, bukan hanya pakaian," Mama mulai menjadi bengong, "juga perhiasannya,
juga buku bank-nya, juga surat pengakuan ayahnya, juga doa ibu dan suaminya."
"ingatkah Mama pada cerita Mama
”Ann, cerita apa maksudmu ? ”
”Mama meninggalkan rumah untuk selama-lamanya”
”Ya' Ann, mengapa ?"
Ya, Ann."

! 282!
"Di mana kopor itu sekarang, Ma "Tersimpan dalam kamar sepen, Ann."
"Aku ingin melihatnya." Mama pergi untuk mengambilnya.
"Waktunya sudah semakin dekat, Juffrouw," perempuan Eropa itu menyela.
Baik Annelies mau pun aku tak menanggapi. Dan Mama datang membawa kopor
seng kecil, coklat, berkarat, peot, de-kung dan cembung di sana-sini. Annelies segera
menyambutnya. "Dengan kopor ini aku akan pergi, Mama, Mamaku." "Terlampau
kecil dan buruk. Tidak pantas, Ann." * "Mama, dengan kopor ini dulu Mama pergi
dan bertekad takkan kembali lagi. Kopor ini terlalu memberati kenangan Mama. Biar
aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku takkan bawa apa-apa
kecuali kain batikan Bunda. Hanya kopor ini, kenangan Mama, dan batikan Bunda,
pakaian pengantinku, Ma. Masukkan sini, sembah-sungkemku pada Bunda B..... Aku
akan pergi Ma, jangan kenangkan yang dulu-dulu.
Yang sudah lewat biarlah berlalu, Mamaku, Mamaku sayang."
"Kereta sudah menunggu di luar, Juffrouw," pendatang Eropa itu menengahi lagi.
"Apa maksudmu, Ann?"
"Seperti Mama dulu, Ma, juga aku takkan balik lagi ke rumah ini."
"Ann, Annelies, anakku sayang," seru Mama dan dipeluknya istriku. "Bukan Mama
kurang berusaha, Ann, bukan aku kurang membela kau, Nak.....
Mama tenggelam dalam sedu-sedan penyesalan. Juga aku. "Kami berdua sudah
lakukan semua, Ann," tambahku. "Jangan, jangan, menangis, Ma, Mas, aku masih
ada permintaan, Ma, jangan menangis."
"Katakan, Ann, katakan," Mama mulai menggerung. "Ma, beri aku seorang adik, adik
perempuan, yang akan selalu manis padamu...."
Mama semakin menggerung.
"..... begitu manis, Ma, tidak menyusahkan seperti anakmu ini...... sampai....." ;
"Sampai apa, Ann ?"
"..... sampai Mama takkan lagi merasa tanpa Annelies ini.'
"Ann, Ann, anakku, betapa tega kau bicara begitu. Ampuni kami tak mampu
membela kau, ampuni, ampuni, ampuni."
"Kenangkan kebahagiaan itu saja, ya Mas, jangan yang
"Ayoh!" seru seorang lelaki Indo dari pintu. "Sudah dua menit terlambat berangkat."
"Mari, Sayang, Juffrouw," perempuan Eropa itu menuntun Annelies.
Sekaligus Annelies tenggelam dalam pembisuan dan ketidakpedulian.
Kehormatannya yang sebentar tiba-tiba lenyap. Ia berjalan lambat-lambat
meninggalkan kamar, menuruni tangga dalam tuntunan perempuan Eropa itu.
Badannya nampak sangat rapuh dan terlalu lemah.
Aku dan Mama lari memapahnya menggantikan perempuan itu. Tetapi lelaki Indo

! 283!
dan perempuan Eropa itu menolak kami.
Di bawah tangga telah berkerumun Maresose.
Dan kami dihalau tak boleh mendekat! Maka kami hanya dapat melihat makhluk
tersayang itu dituntun seperti seekor sapi, dan berjalan lambat-lambat, anaktangga
demi anaktangga.
Mungkin begini juga perasaan ibu Mama diperlakukan oleh Mama dulu karena tak
mampu membelanya dari kekuasaan Tuan Mellema. Tapi bagaimana perasaan
Annelies ? Benarkah dia sudah melepaskan segalanya, juga perasaannya sendiri ?
Aku sudah -tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar suara tangisku sendiri. Bunda,
putramu kalah. Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biar pun tak
mampu membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah Pribumi di hadapan
Eropa ? Eropa! kau, guruku, begini macam perbuatanmu ? Sampai-sampai istriku
yang tak tahu banyak tentangmu kini kehilangan kepercayaan pada dunianya yang
kecil - dunia tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya seorang. Hanya seorang.
Aku panggil-panggil dia. Annelies tidak menjawab. Menoleh pun tidak.
"Aku akan segera menyusul, Ann," pekikku.
Tanpa jawab tanpa toleh.
"Juga aku, Ann, besarkan hatimu!" seru Mama, suaranya parau, hampir-hampir tak
keluar dari kerongkongan.
Juga tanpa jawab tanpa toleh.
Pintu depan di persada sana dibuka. Sebuah kereta Gubernur -telah menunggu
dalam apitan Maresose berkuda. Mama dan aku tak diperkenankan melewati pintu
itu.
Sekilas masih dapat kami lihat Annelies dibantu menaiki Kereta. Ia tetap tak
menengok, tak bersuara.
Pintu ditutup dari luar.
Pintu ditutup dari luar.
Sayup-sayup terdengan roda kereta menggiling kerikil, lama makin jauh, jauh
akhirnya tak terang lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu
Whilelmina bertahta.
Kami menundukkan kepala di belakang pintu.
"Kita kalah, Ma," bisikku.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat hormatnya.
Buru
Lisan, 1973. Tulisan, 1975.

! 284!
Copyright © topmdi · Personal Website
This template downloaded form

! 285!

Anda mungkin juga menyukai